Bab 14

Berbeda dengan Chu Yao yang geli mendengar perkataannya sendiri, Mo Yan justru semakin tersulut. Amarah membuat wajahnya merah. Chu Yao yang menyadari perubahan emosi pada pemuda itu. Ia tiba-tiba berputar, menunduk menyerang kaki perampok itu dengan belatinya.

Dengan gerakan lincah Mo Yan menyambar pedang dan melemparnya tepat menembus arteri leher sang pimpinan perampok. Riak merah seketika menyembur menciptakan genangan disekitarnya.

Tubuh besar itu seketika ambruk. Mo Yan menarik pedang yang tertancap dan kembali menghunuskan nya ke perut mayat tersebut. Ia melakukan gerakan memutar hingga merobek isi perut manusia yang sudah tak bernyawa itu tanpa ampun.

Semua orang yang melihat langsung memucat. Bahkan beberapa pelayan seketika muntah ditempat. Mereka kini bukan takut pada para perampok, namun wajah es yang membunuh orang membabi buta tanpa ampun didepan mereka.

Chu Yao menarik lengan Mo Yan. Ia memeluk tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. Napas mereka naik turun. Situasi dan kondisi di ruangan itu sudah kacau.

"Bereskan mayat-mayat ini!" Pemuda berpakaian putih itu memerintahkan dua orang rekannya.

Kedua orang itu mengangguk dan seketika membereskan ruangan bersama beberapa orang berpakaian hitam yang merupakan kaki tangannya.

Mo Yan berbalik dan merengkuh Chu Yao dalam pelukannya. Tak ada penolakan. perempuan lincah itu membalas dengan tepukan lembut di punggungnya. Ia membiarkan Mo Yan menguasai emosinya. Ketika sudah merasa tenang, pemuda berwajah dingin itu menuntun Chu Yao ke sebuah kursi. Ia mengambilkan segelas air dan menyerahkannya ke tangan gadis itu.

Chu Yao tersenyum dan menyandarkan kepalanya di perut Mo Yan yang keras. Ia meminum air dengan tenang dan menyerahkan sisanya pada pria kaku tersebut. Sejujurnya yang memerlukan air minum itu bukanlah dirinya, melainkan sosok tegap yang berdiri disampingnya.

Pemuda berpakaian putih menghampiri mereka. Ia mengucapkan salam dan membungkuk memberi hormat. Mo Yan dan Chu Yao membalas dengan semestinya.

"Terima kasih atas bantuan tuan dan nona." Ucapnya dengan seulas senyum hangat.

"Tidak, kamilah yang harus berterimakasih atas bantuan tuan muda. Bukan begitu, sayang?" Balas Chu Yao dengan kedipan nakal kearah Mo Yan.

Mo Yan mengangguk kebingungan. Meski otaknya masih memutar informasi namun ada sedikit percikan rasa senang ketika Chu Yao memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Tangan Chu Yao meraih lengan Mo Yan dan melilitkannya ke tubuhnya.

Pemuda berpakaian putih itu nampak sedikit merona. Wajar saja, di tempat manapun dimasa ini tidak ada perempuan yang terang-terangan menunjukkan perasaan mereka seperti yang Chu Yao lakukan saat ini. Terlebih jika itu adalah seorang gadis. Tindakan seperti itu akan menodai reputasi bahkan bisa merusak masa depan.

"Ternyata tuan dan nona sudah menikah. Mohon maafkan kelancangan saya. Saya Lei Zuan. Semoga kelak bisa menjalin persahabatan dengan tuan dan nona" Jelas pemuda itu.

"Saya Yao yao dan dia adalah suami saya, Mo Yan." Perkataan Chu Yao membuat Mo Yan bergidik. Namun ia tetap dalam mode diam. Hanya Mo Yan yang faham dengan senyum Chu Yao saat ini. Senyum penuh intrik dan licik.

Tuan muda Lei membungkuk sopan ketika mereka saling mengenalkan diri. Ia kembali berkomentar, "Sungguh pengalaman yang mahal bisa melihat ilmu beladiri yang hebat dari tuan Mo. Apakah kalian menuju kota Nian juga?"

Mo Yan melirik isyarat mata Chu Yao. Dengan tegas ia membenarkan pertanyaan tuan muda Lei, "Tapi kami hanya sekedar jalan-jalan. Lebih tepatnya berbulan madu."

Chu Yao tersedak mendengar perkataan Mo Yan. Senyumnya seketika mengembang. Bukan karena bahagia justru takjub melihat Mo Yan bisa membodohi orang terpelajar didepan mereka dengan wajah tanpa dosa andalannya.

"Baiklah, kalau begitu saya tak akan mengganggu lagi. Biar sisanya yang disini kami yang mengurus. Silahkan tuan dan nyonya Mo beristirahat."

Mo Yan dan Chu Yao berpamitan dengan sangat sopan. Mereka sengaja saling berpegangan tangan. Tak lupa Chu Yao membumbui adegan dengan gerak manja layaknya suami istri yang baru menikah.  Mereka menaiki tangga dan menghilang dibalik pintu kamar.

Sudut bibir tuan muda Lei yang awalnya tersenyum seketika berubah. Raut wajahnya menjadi serius. Ia kembali berkumpul dengan kedua rekannya. Sorot matanya menjadi tajam. Tak menampakkan seorang pemuda cendikiawan yang ramah.

"Tuan muda, semua sudah dibereskan. Biaya ganti rugi pun sudah dibayar." Jelas pemuda berkulit sedikit gelap.

Tuan muda Lei hanya duduk sambil meminum teh, "cari informasi tentang kedua orang itu." Perintahnya dengan singkat di iringi anggukan siap kedua orang di sampingnya.

***

Setelah memasuki kamar, Mo Yan langsung mengunci dan memastikan situasi. Ia tak ingin ada orang yang mencuri dengar pembicaraan nya dengan sang majikan. Chu Yao yang sejak tadi duduk di kursi, kini melempar pandang kearah laki-laki itu.

Seakan tau maksud dari tatapan itu, Mo Yan segera berlutut disampingnya. Chu Yao menghela napas panjang. Ia kemudian meminta Mo Yan berdiri dan duduk disampingnya.

"Mulai saat ini kita adalah pasangan suami istri. Jangan sampai mereka yang diluar mengetahui identitas kita yang sebenarnya. Mengerti?" Bisik Chu Yao dengan suara halus.

Mo Yan menganggukkan kepala. Ia pun memberanikan diri bertanya, "apa nona mencurigai tuan muda Lei?"

Chu Yao diam sesaat sambil mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja, "bukankah kau juga mencurigainya?" Balas Chu Yao.

Mo Yan meletakkan pedangnya di atas meja dan duduk dengan tenang. Ia menuangkan segelas teh untuk Chu Yao dan berkata, "sebagai prajurit yang sudah terlatih, saya mampu mengenali kemampuan orang-orang yang memilki keahlian beladiri apalagi kemampuan di atas rata-rata seperti ketiga orang dibawah tadi. Meski penampilan tuan muda Lei nampak seperti bangsawan terpelajar biasa namun aura pemburu nya masih begitu kuat."

"Jadi itulah alasanmu mengikuti alur drama kebohongan yang aku buat tadi?" Tebak Chu Yao.

"Benar. Lagi pula sangat tidak mungkin seorang bangsawan biasa memiliki dua pengawal terlatih yang sekaligus mengkoordinir begitu banyak prajurit bayangan seperti kejadian malam ini." Jelas Mo Yan.

Chu Yao membenarkan penjelasan Mo Yan. Sangat sedikit orang yang bisa mengimbangi kemampuan bertarungnya. Tapi mereka bertiga mampu menyelaraskan gerakan bahkan bisa membaca situasi ketika saat-saat genting seperti saat dirinya disandera tadi.

"Aku curiga tuan muda Lei itu orang Kekaisaran." Celetuk Chu Yao, "Kau lihat simbol yang tergantung di pedang tuan muda Lei tadi?"

Anggukan Mo Yan memancing penjelasan baru, ia pun kembali menjabarkan, "... Simbol naga menggenggam bola kehidupan. Seingat ku, ayah dulu pernah memiliki simbol yang sama seperti mereka.."

".. Jika mereka memang berada dibawah komando ayah, apa kau pernah melihat mereka selama ini? " Tanya Chu Yao.

"Mereka bukan orang-orang jendral." Tegas Mo Yan, "orang-orang yang dilatih jendral, meski sekilas nampak berbeda namun sebenarnya memiliki beberapa kesamaan. Dan, hanya kami sendiri yang mengetahui nya."

"Berarti itu hanya kemungkinan pertama, yaitu mereka adalah orang-orang Kekaisaran." Ucap Chu Yao dengan yakin.

Tiba-tiba Mo Yan berdiri dan menggendong Chu Yao menuju tempat tidur. Chu Yao yang ingin bertanya seketika terdiam dengan isyarat mata yang Mo Yan berikan.

Seakan faham, ia pun kembali bersandiwara bersama Mo Yan, "Haiyoo suamiku.. Hari ini sungguh melelahkan, aku ingin segera tidur."

Mo Yan membaringkan Chu Yao masih dengan kewaspadaan tinggi. Ia melemparkan sesuatu dan menyebabkan api lilin padam seketika. Pemuda itu melompat keatas tempat tidur dan berpura-pura menindih tubuh Chu Yao dibawahnya. Tirai kelambu tergerai bersamaan. Menutupi posisi mereka yang sejak tadi dipantau oleh seseorang diluar kamar.

Situasi saat itu begitu gelap dan hening. Posisi tubuh mereka tetap tak mengalami perubahan. Degup jantung Chu Yao mulai terdengar.

Ia membenamkan wajahnya yang memerah kedalam selimut namun justru membuat tubuh Mo Yan tertarik mendekat. Wajah mereka begitu dekat hingga mereka bisa merasakan hembusan napas satu sama lain.

"Bersuara lah." Bisik Mo Yan ketika menyadari posisi orang asing telah bergerak dibalik jendela kamar mereka.

"Bersuara? Maksudnya?" Chu Yao balik bertanya namun Mo Yan hanya mengalihkan wajah.

Merasa Chu Yao tidak memahami instruksinya, Mo Yan kembali berusaha menjelaskan. Namun suaranya malah tercekat di kerongkongan.

Chu Yao yang kebingungan, meraih wajah pemuda itu dengan kedua telapak tangannya. Seketika mereka kembali saling bertatapan. Wajah Mo Yan memanas. Ia ingin segera pergi dari situasi canggung ini.

"Bersuara seperti apa?" Chu Yao memang tidak berpura-pura. Ia tidak mengerti perintah bias yang Mo Yan berikan.

Akhirnya wajah tampan itu menunduk dan menyentuh leher Chu Yao dengan penuh rasa malu. "Maafkan saya. Bersuara lah, mendesah lah."

Mata Chu Yao terbelalak. Sensasi aneh menyelimuti nya ketika hidung Mo Yan menyentuh lehernya yang jenjang. Ia baru memahami apa yang dimaksud Mo Yan dengan 'bersuara'.

Dengan sigap Chu Yao memeluk tubuh Mo Yan dan mengeluarkan ******* panjang. Sesekali terdengar bunyi kecupan saling beradu yang notabene hanya suara isapan jemari Chu Yao itu sendiri.

Cukup lama mereka berpura-pura seperti itu. Hingga akhirnya Mo Yan melompat duduk dengan normal di tepi tempat tidur.

"Sudah aman." Terang Mo Yan dengan suara serak.

Napasnya memburu hingga menyumbat pendengarannya sesaat. Ritme jantungnya begitu diluar kontrol. Keringat mengucur deras ditubuh nya.

Untung saja keadaan sekarang gelap gulita. Tak akan ada yang menyadari perubahan raut wajahnya saat ini.

"Sebaiknya mulai sekarang kau tidur bersamaku ditempat tidur. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan hanya karena tidur yang terpisah." Ucap Chu Yao dengan intonasi memerintah.

Chu Yao menarik Mo Yan hingga terbaring disampingnya. Perempuan itu menyelimuti sang pengawal dengan tenang.

"Tidurlah." Chu Yao memejamkan matanya.

Meski rasa malu menghampiri dirinya namun seketika terkalahkan oleh rasa lelah yang begitu dahsyat. Ia pun tertidur pulas dan tanpa sadar berbalik menghadap Mo Yan.

Sang pengawal yang sejak tadi berperang dengan prinsip hidupnya kini dibuat kalah tak berdaya.

Sekali lagi benteng pertahanan dirinya di uji. Perempuan ini benar-benar sadis. Dengan mudah menyiksa pria seperti nya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Mo Yan tersenyum. Tarikan napas panjang membuatnya lebih tenang. Ia kemudian menyusupkan lengannya disela leher sang nona dengan penuh kehati-hatian.

Chu Yao pun dengan nyaman mendekatkan diri dalam pelukan Mo Yan. Wangi rambut perempuan itu menggelitik kelembutan hati nya. Ia pun mengecup ubun-ubun Chu Yao dan segera menyusul ke alam mimpi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!