Bab 3

Tak perlu waktu lama, diujung jalan telah nampak nyonya Xun yang memakai gaun berwarna hijau. Dibelakang nya seorang perempuan muda yang diyakini Chu Yao sebagai Chu Ling memakai gaun berwarna merah muda dengan model rambut yang mencolok.

Tak jauh dari mereka nampak bibi Wen disertai beberapa pelayan pria membawa tongkat.

Chu Yao menyipitkan pandangannya. Kedua alisnya saling bertaut. Bukan karena terkejut melihat begitu banyak orang yang harus dibawa nyonya Xun untuk mendisiplinkannya, justru rasa ngilu kembali terasa pada bekas luka di kepalanya yang masih diperban.

Mungkin dia harus meminta tambahan obat pereda nyeri jika semua urusan hari ini terselesaikan dengan baik.

"Waaahh, ada peristiwa apa nih sampai-sampai ibu oh maaf, maksud saya nyonya Xun sampai harus membawa parade ke paviliun dingin?"

Chu Yao sebenarnya sangat tau maksud dari ibu tirinya tersebut. Dia hanya ingin segera menyelesaikan tanpa harus bertele-tele. Jika emosi nyonya Xun cepat tersulut maka akan mudah bagi Chu Yao membalikkan situasi tanpa harus membuang banyak waktunya.

Rombongan itu tersentak. Napas mereka sempat tertahan melihat bercak pada gaun yang dikenakan Chu Yao.

Pupil mata Chu Ling menyempit. Ketakutan melanda nya. Jantungnya berdegup kencang. Butiran keringat membasahi tubuh nya yang kaku.

Nyonya Xun mengatupkan bibir. Menahan rasa kesal akibat cuitan anak tirinya. Ini kali pertama dia menapakkan kaki di paviliun dingin. Tempat yang paling tidak disukainya.

Semua orang pun tau bahwa tempat itu merupakan tempat terakhir selir Meng beristirahat. Lebih tepatnya tempat untuk menghukum sang selir.

Dimasa lalu, Chu Yao hanya tau bahwa ibunya dihukum karena dituduh berselingkuh dengan seorang pengusaha dari Merva.

Merva merupakan negara asal ibu Chu Yao. Setelah negara Airland memenangkan peperangan, negara Merva menjadi negara dibawah kekuasaan negara Airland.

Selir Meng yang dikala itu masih sebagai putri kesayangan raja Merva, yang saat itu saling jatuh cinta dengan jendral Chu menjadi tawanan Kekaisaran.

Pada saat itu semua anggota keluarga kerajaan Merva dijatuhi hukuman mati kecuali selir Meng.

Entah bagaimana caranya sang Jendral bisa membujuk kaisar untuk mengampuni selir Meng hingga bisa membuat kaisar Menganugerahkan pernikahan untuk keduanya.

Sayang semua informasi itu Chu Yao dapatkan ketika dia berada di desa Liba. Ketika umurnya tidak bertahan lebih dari tiga bulan.

"Ku dengar kau sudah siuman. Bagaimana perasaanmu Yao'er? "

Fokus Chu Yao kembali kepada nyonya Xun dan rombongan. Sakit di kepalanya kembali terasa ngilu. Tak ada jawaban sedikitpun dari bibirnya.

"Kakak, ibu bertanya padamu." Chu Ling berkata selembut kapas, berusaha mengontrol ketakutan dalam dirinya. Dia masih berharap jika Chu Yao seperti yang dulu. Menurut apa yang dikatakannya.

"Mungkin dia masih sedikit linglung. Tak apa. Biarkan ibu melihat dirimu. Kemarilah Yao'er."

Chu Yao merasa ingin muntah seketika mendengar kepura-puraan sepasang ibu dan anak didepannya.

"Jangan bertele-tele, bukankah nyonya ingin mendisiplinkan ku. Kenapa harus pura-pura bertanya tentang keadaanku. Berhentilah! Apa kalian tidak lelah terus bersandiwara seperti ini?"

"Sungguh tidak sopan berkata seperti itu didepan nyonya!" Bibi Wen membentak Chu Yao.

Bibi Wen mundur selangkah ketika Chu Yao mulai maju," Sebagai seorang pelayan, apakah bibi Wen berbicara lebih sopan padaku selama ini?"

Bibi Wen bungkam. Bola matanya mengarah pada nyonya Xun. Nyonya Xun menegakkan dagunya. Baginya Chu Yao bukanlah orang yang perlu di takutkan. Di Mansion ini hanya dialah Satu-satunya orang yang perlu ditakuti. Dia yang berkuasa ketika jendral Chu tak ada di sini.

Chu Yao menyilangkan kedua tangan di dadanya. Tak ada yang bisa membaca air muka Chu Yao saat ini. Aura dingin menyelimuti mereka.

"Ku rasa kalian kecewa karena rencana kalian untuk membunuh ku tidak berhasil. Oh ya adik Ling, lain kali berlatih lebih intens biar dorongan mu lebih kuat. Tenagamu terlalu lemah."

Chu Ling memucat. Dia tak berkomentar apapun. Badannya semakin mengecil dibelakang nyonya Xun tanpa disadari nya.

Mereka menyadari Chu Yao sekarang bukanlah Chu Yao yang dulu. Begitu patuh, lembut dan bodoh. Mereka sadar jika taktik yang biasa mereka lakukan tak akan berpengaruh lagi untuk gadis itu.

"Lancang!"

Suara lecutan cambuk beradu di tanah seakan memperingatkan Chu Yao siapa penguasa saat ini.

Chu Yao semakin mendekat kearah nyonya Xun. Sang nyonya dengan panik memecut cambuk hingga lengan kiri Chu Yao terluka olehnya.

Chu Yao mempercepat langkah dan kini berada tepat di belakang nyonya Xun. Belatinya yang semula berada di lengan gaun kini telah berpindah dileher nyonya Xun.

"Ibu!"

"Nyonya!"

Chu Ling dan bibi Wen berteriak bersamaan. Para pelayan yang membawa tongkat memasang kuda-kuda.

"Jangan bergerak jika ingin selamat. Belatiku ini sudah mengoyak dua nyawa hari ini. Jika nyonya tidak ingin jadi yang ketiga maka kooperatif lah !" Bisik Chu Yao pelan ditelinga nyonya Xun.

Nyonya Xun yang kaget dan gemetaran itu menuruti permintaan Chu Yao tanpa penolakan sedikitpun. Ketakutan sudah menguasai dirinya.

Para pelayan mundur beberapa langkah atas instruksi nyonya Xun.

"Lepaskan aku! Kau tak kan selamat jika ayahmu pulang nanti. Jika kau menuruti ibu, ibu akan meminta ampunan kepada ayahmu."

"Apa kau sedang mencoba bertransaksi dengan ku?" Chu Yao semakin mengeratkan genggaman belati dileher nyonya Xun, "kuberi tahu kau suatu rahasia.. " Desisnya pelan, "... Jika aku katakan kalau aku tau siapa dalang dibalik kematian ibuku, atau kecelakaan ku beberapa hari yang lalu itu bukan suatu ketidaksengajaan, apa pendapatmu?"

Nyonya Xun seketika memucat. Meski berusaha tenang namun suaranya tetap bergetar hebat.

"A,apa maksudmu? Bukankah semua orang sudah tau apa yang terjadi saat itu.. "

Sebelum nyonya Xun selesai berkata, Chu Yao sudah memotong pembicaraan, "jika aku memberitahu ayah, kira-kira apa tindakan ayah selanjutnya? Haruskah semua bukti ku serahkan pada ayah?"

Napas nyonya Xun tercekat. Chu Yao tersenyum sinis dan melepaskan genggaman belati dari leher nyonya Xun, "Berpikirlah dengan tenang. Masih ada kesempatan sebelum ayah kembali." Lanjutnya ringan.

Tubuh nyonya Xun merosot ke tanah. Ucapan Chu Yao menimbulkan efek simulasi yang beragam di otaknya

"Oh iya, aku ingin aula pengobatan dan dapur utama terbuka untuk orang-orang ku... Sekalian juga semua akses didalam mansion. Anggap saja itu sebagai permintaan pertama dariku."

Chu Yao melambaikan tangan sambil berlalu meninggalkan rombongan itu ke dalam paviliun dingin.

Nyonya Xun dan rombongan terdiam menahan emosi. Bagi mereka tindakan Chu Yao saat ini diluar ekspektasi. Mereka salah membaca situasi. Seharusnya mereka tidak bertindak tanpa rencana matang. Chu Yao sekarang tidak bodoh lagi. Dia bukan lawan yang bisa dikendalikan seperti dulu.

***

Aroma terapi tercium menenangkan. Chu Yao tau dupa itu sengaja dibakar untuk merileksasikan syaraf mereka yang tegang baru-baru ini.

Lengan kiri nya kini sudah terbungkus rapi. Perban yang dililitkan paman Tong nampak kontras dengan kulit putih Chu Yao yang terluka.

Dia berjalan dengan anggun dengan pakaian baru yang diganti oleh Xier. Perempuan berusia tujuh belas tahun itu duduk menyantap hidangan dengan tenang tanpa rasa khawatir sedikitpun. Jemarinya yang kecil nan lentik meraih cawan berisi cairan obat. Dia menghabisi obat itu dalam beberapa kali teguk, tanpa drama sedikitpun.

Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, mereka tau nona pertama Chu sangat susah minum obat sepahit itu.

Bibi Hui, paman Tong dan Xier tak berani bertanya sedikitpun ketika sang majikan kembali. Mereka hanya menyelesaikan tugas masing-masing dengan berhati-hati.

"Terimakasih atas hidangannya, lezat sekali." Puji Chu Yao ketika bibi Hui mulai membereskan piring dan mangkuk di atas meja.

"Mulai sekarang, kita semua bebas keluar masuk di setiap tempat di mansion ini. Bibi bisa mengambil apapun di dapur utama. Apa yang mereka makan maka kita pun akan memakannya."

"Benarkah?" Suara Xier memecah keheningan. Rasa ketidakpercayaan timbul pada dirinya, semudah itukah nona nya mendapatkan persetujuan nyonya Xun.

Perempuan kurus dengan wajah putih pucat itu hanya mengangguk," bibi dan Xier boleh kembali beristirahat. Aku akan memanggil jika memerlukan kalian."

Bibi Hui menyikut lengan Xier ketika melihat Xier hendak bertanya untuk kedua kalinya. Xier mengurungkan niat. Ia paham bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Mereka bersama-sama mundur diri meninggalkan kamar sang majikan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!