Bab 6

Tak ada yang tau sejak kapan Mo Yan kembali. Begitu membuka mata, Chu Yao sudah menemukan sosok pria yang selalu berpakaian hitam itu di depan pintu kamar. Meski Chu Yao sudah menekankan bahwa formalitas tidak diperlukan ketika mereka hanya berdua, namun kebiasaan Mo Yan begitu sulit diubah.

Rutinitas pagi tetap berjalan seperti biasa. Setelah sarapan dan meminum tonik, Chu Yao berganti pakaian. Dibalik bilik tipis terdengar sebuah pertanyaan.

"Apa kau sudah mendapatkan informasi nya?"

Mo Yan mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menyerahkannya kepada Chu Yao. Chu Yao membaca dengan seksama. Setelah itu meminta Mo Yan untuk segera membakarnya.

"Apa kau bisa membawaku menemui Nona Rong secara diam-diam sekarang?" Tanya Chu Yao.

Mo Yan mengangguk dan tiba-tiba menggendong Chu Yao di pelukannya. Mo Yan melompat dengan ringan keluar paviliun lewat jendela. Dengan mudah Mo Yan membawa Chu Yao berlari dari atap ke atap lainnya.

Tak mengherankan jika Mo Yan menyandang predikat terbaik. Kemampuan qinggongnya saja sudah membuat Chu Yao terpukau seperti ini. Begitu sampai disuatu gang sempit yang sepi, Mo Yan menurunkan Chu Yao dengan lembut.

"Mohon nona tunggu disini, saya akan memeriksa keadaan terlebih dulu."

Mo Yan kembali melompati tembok dan menghilang dengan cepat. Hanya dalam beberapa menit ia pun kembali. Tanpa tedeng aling-aling Chu Yao sudah berayun kembali dalam pelukan Mo Yan.

Mo Yan tetap tenang membawa Chu Yao seakan-akan tak ada beban yang sedang dibawanya. Chu Yao mengeratkan genggaman tangan dileher Mo Yan. Wajahnya terbenam dibahu Mo Yan yang keras. Mo Yan memiliki aroma khas yang disukai Chu Yao. Meski tercium samar, aroma itu memberikan efek tenang dan nyaman untuk Chu Yao.

Mo Yan menurunkan Chu Yao di sebuah rumah kecil di sudut kota. Rumah itu nampak tak terurus. Terdapat banyak bagian bangunan yang aus di makan rayap. Jaring Laba-laba yang banyak menggantung didalamnya.

Mereka berjalan kedalam rumah. Chu Yao mendapati seorang wanita berusia di atas dua puluh tahun terikat dengan mulut yang tersumpal kain. Wanita itu adalah Rong Li. Dengan terisak Rong Li menyeret tubuhnya menjauh ketika Chu Yao berusaha mendekati nya.

"Patuh lah! Aku jamin nyawa nona Rong akan selamat." Ucap Chu Yao sembari menarik sumpal kain di mulut wanita itu.

"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dariku?" Rong Li bertanya dengan sangat hati-hati.

"Tak perlu tau siapa kami. Nona Rong cukup menjawab dengan jujur setiap pertanyaan yang ku berikan."

Melihat sikap Rong Li yang kooperatif, Chu Yao tersenyum dan mulai menginterogasi, "apa nona Rong mengenal seorang laki-laki bernama Ah Zheng?"

Rong Li melirik kearah Mo Yan dan dengan gugup menganggukkan kepala. Aura kejam tak berperasaan itu semakin mengintimidasi nya.

"Apa kau tau dia pernah bekerja di kediaman jendral Chu?" Sekali lagi Rong Li mengangguk.

"Apa hubungan kalian?"

"... Ah Zheng dulu pelanggan tetap wisma bunga persik... Dia dulu sering mengunjungi saya... Ta, tapi sudah lama kami tidak bertemu.."

"Apa kau tau dimana dia saat ini?" Tanya Chu Yao yang dibalas dengan gelengan kepala Rong Li.

"Apa dia meninggalkan sesuatu untukmu atau apapun itu?!" Chu Yao mulai frustasi. Ia semakin mendesak Rong Li untuk berpikir.

Rong Li mengambil jepit rambut di kepalanya dan menunjukkan pada Chu Yao, "dua hari yang lalu saya mendapat kiriman jepit rambut ini dari pengirim tanpa nama. Saya rasa itu adalah Ah Zheng."

Chu Yao mengambil jepit rambut berukiran bunga persik itu dan memberikannya pada Mo Yan.

"Kenapa kau bisa yakin jika pengirim anonim itu adalah dia?"

"Karena sejak dulu hanya Ah Zheng yang sering mengirimi saya hadiah dengan motif bunga persik. Katanya bunga persik sangat cocok untuk saya."

Chu Yao menatap Mo Yan yang sejak tadi meneliti setiap sisi jepit rambut itu. Setelah puas, jepit rambut itu ia selipkan di dalam pakaiannya.

"Aku akan melepaskan mu. Ku sarankan agar kau segera meninggalkan kota ini sejauh mungkin." Chu Yao melepaskan ikatan yang membelit tubuh Rong Li dan memberikan beberapa perak ke pada wanita itu.

"Hiduplah dengan identitas baru. Jangan pernah kembali ke kota ini lagi. Paham?!" Tambahnya dengan penuh penekanan. Rong Li pun bersujud berterimakasih dan segera pergi.

"Mo Yan..."

Dengan gesit Mo Yan mendekat begitu namanya dipanggil oleh Chu Yao.

"Selidiki dari mana jepit rambut itu berasal."

"Baik." Mo Yan menerima perintah dan berjalan keluar.

Ia bersiul beberapa kali. Tak lama muncullah dua orang berpakaian hitam. Mo Yan berbicara sejenak kemudian memberikan jepit rambut tadi kepada mereka. Setelah selesai, kedua orang itu menghilang.

"Mereka rekanmu?" Tebak Chu Yao sembari berjalan keluar menghampiri Mo Yan. Mo Yan balas mengangguk.

"Berarti mereka juga yang selama ini membantuku..." Tambah Chu Yao yang lagi-lagi dibalas anggukan pelan Mo Yan.

Chu Yao menghela napas panjang, "apa tenggorokanmu tersangkut tulang ikan?"

Kedua alis Mo Yan berkerut mendengar pertanyaan Chu Yao. Ekspresi nya menjelaskan ketidakpahamannya. Chu Yao menahan rasa geli yang muncul.

"Maksudku, apa tidak ada kata lain yang bisa kau katakan padaku selain 'Baik, iya' dan ini.. " Chu Yao menirukan gerakan Mo Yan yang mengangguk dengan wajah dingin.

Ia pun tak lagi bisa menahan tawa. Ia pun tergelak, "lucu sekali. Wajahmu itu bisa membuat orang kencing di celana saking takut nya..Ahahaaaa... "

Mo Yan hanya memandang Chu Yao dengan ekspresi kebingungan. Ini kali pertama Mo Yan melihat gadis cantik itu tertawa sampai terpingkal-pingkal.

"Lihat! Coba liat wajahmu itu... Ahahahahaaaa... Nampak lebih bodoh dari aku.. Ahahahaaaa.." Ejek Chu Yao yang tertawa sampai terbungkuk-bungkuk.

Chu Yao sekilas melihat sudut bibir Mo Yan terangkat keatas. Meski sekilas dia yakin Mo Yan tersenyum. Chu Yao mendekat dan memegang sudut bibir Mo Yan dengan kedua telunjuknya.

"Tersenyumlah. Kau semakin tampan kalau tersenyum. "

Mo Yan tersentak kaget.

"... Tapi kau hanya boleh tersenyum cuma di depanku. Asal kau tau, aku ini orang yang serakah."

Chu Yao tersenyum lebar. Jemarinya menarik sudut bibir Mo Yan membentuk sebuah senyuman. Tanpa Chu Yao sadari dia telah menghipnotis Mo Yan dengan tindakannya. Mo Yan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Chu Yao dengan tangan kanannya.

Chu Yao terdiam. Keheningan menyelimuti mereka. Napas Chu Yao tercekat. Detak jantungnya memburu. Dia perlu oksigen!

"Berpeganglah. Kita harus sudah di rumah sebelum gelap." Mo Yan menarik lengan Chu Yao dan menggendongnya secara tiba-tiba.

Chu Yao memeluk leher Mo Yan. Dia melakukannya dengan patuh. Wajahnya masih panas. Memerah seperti tomat. Dia sangat malu dengan pikirannya.

Ditengah perjalanan tiba-tiba Chu Yao menyuruh Mo Yan berhenti dan bertanya, "kenapa kau menculik nona Rong? Bukankah lebih mudah jika kita langsung ke wisma bunga persik untuk menemuinya?"

"Situasi di sana tidak aman, jika ada yang menyadari keberadaan nona di sana bisa menambah masalah untuk nona kedepannya."

"Hmm.. Tak kusangka kau berpikir sebijak ini."

Tentu saja Mo Yan memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Sebagai sesama laki-laki saja, Mo Yan merasa jijik dengan perilaku hidung belang yang mengunjungi tempat pelacuran itu. Mustahil baginya mengijinkan sang nona menginjakkan kaki ke tempat penuh dosa semacam itu.

Chu Yao menarik ujung baju Mo Yan. Fokus Mo Yan pun kembali.

" Mo Yan... Aku lapar.." Ucap Chu Yao pura-pura membuang muka, "...Tapi aku tidak mau pulang."

Nafas Mo Yan kembali rileks. Dia kembali menggendong Chu Yao. Dengan gesit berlari dan melompat melewati jalan setapak.

Tak lama mereka sudah memasuki kota. Hiruk pikuk aktifitas jual beli pun mulai terlihat.  Kesibukan itu telah membuat Chu Yao terpukau. Dari sekian tahun, baru hari ini dia kembali berjalan bebas keluar mansion. Meski tak berkomentar, Mo Yan sangat tau betapa antusiasnya Chu Yao saat ini.

Chu Yao dan Mo Yan singgah di sebuah kedai kecil. Chu Yao memesan dua porsi bakpao. Sembari mengamati aktifitas disekitar dia menyeletuk, "lain kali kita kesini lagi ya, berdua."

Mo Yan tetap dengan wajah datarnya. Menyodorkan dua porsi bakpao yang sudah disuguhkan sang penjual. Chu Yao menyodorkan satu porsi untuk Mo Yan. Meski sedikit enggan namun satu buah bakpao sudah lenyap masuk ke perut Mo Yan.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara teriakan, "Awas! Minggir!"

Mo Yan refleks memeluk Chu Yao dan melompat menjauh dari tempat mereka semula. Hanya dalam hitungan detik seekor kuda yang membawa sebuah gerbong kereta berlari kearah mereka. Mo Yan segera melemparkan dua belati hingga mengenai tali kekang kereta. Dia melompat keatas kuda yang masih berlari dengan liar. Dengan cekatan dia melukai leher sang kuda hingga mati seketika.

Chu Yao melihat sekilas kearah kereta yang terhenti ditengah jalan. Orang-orang yang berada didalam kereta mulai keluar. Dari bentuk kereta nya saja semua orang tau itu milik seorang bangsawan terpandang.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Chu Yao ketika Mo Yan kembali disamping nya, "sebaiknya kita segera pergi dari sini."

Begitu mereka ingin pergi, seorang pelayan dari kereta itu mencegat mereka. Langkah mereka terhenti. Ia mewakili Tuannya membungkuk hormat mengucapkan Terima kasih kepada Mo Yan.

"Jika boleh tau, siapakah nama tuan yang telah berjasa menyelamatkan Tuan Muda Zhao?"

Pantas saja! Itu adalah kereta dari kediaman bangsawan Zhao. Sekelebat ingatan muncul di otak Chu Yao. Bukankah Tuan Muda Zhao ini yang sejak dulu disukai saudara tirinya.

"Tidak perlu, kami hanya kebetulan lewat. Ayo kita pergi."

"Mengapa nona nampak terburu-buru?" Ucap seorang laki-laki tampan berpakaian biru yang Chu Yao tau merupakan Tuan Muda satu-satunya keluarga Zhao, Zhao Ming De.

"Tolong biarkan kami membalas kebaikan tuan dan nona agar tak ada hutang di kehidupan selanjutnya."

"Tidak perlu. Cukup anda cek kembali penyebab kuda anda berlaku liar biar tidak ada korban dikemudian hari."

Chu Yao dan Mo Yan membalikkan badan dan seketika hilang dari pandangan, meninggalkan rasa penasaran pada Zhao Ming De.

"Siapa nona itu? Aku belum pernah melihatnya di kota ini sebelumnya." Celetuk seorang gadis seusia Chu Yao.

Zhao Ming De pun tersadar, "entahlah." Jawabnya sekilas.

Sebenarnya ia pun ingin tau siapa nama nona muda tadi. Keinginannya menjadi urung ketika nona tersebut bersikap dingin. Seperti sengaja menjaga jarak. Ada sedikit rasa kecewa dihatinya. Rasa tertolak sedikit melukai harga dirinya. Biasanya setiap gadis muda selalu berperilaku manis didepannya. Mereka selalu berusaha merebut perhatiannya. Namun gadis yang satu ini berbeda. Tak ada kepura-puraan dimatanya.

"Dia sangat cantik ya kak." Goda si gadis yang tak lain adik dari Zhao Ming De, Zhao Lin Lin.  Zhao Ming De pura-pura tak mendengar godaan sang adik.

"Pengawal disamping nya juga sangat tampan tapi nampak dingin dan kejam. Mereka berdua seperti lukisan hidup." Celoteh Zhao Lin Lin riang.

"Hmm.. Jadi kakakmu ini kalah tampan, begitu?" Zhao Ming De' balik menggoda sang adik.

"Bu, bukan. Kakak yang paling tampan."

Zhao Ming De' menyentil kecil dahi adiknya. Ia pun diam-diam mengagumi kecantikan perempuan yang tadi berbicara dengannya. Ia berharap suatu hari ia bisa bertemu kembali dengan sang nona.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!