Bab 4

"Bagaimana kondisinya?" Chu Yao bertanya pada paman Tong namun pandangannya tetap fokus pada tubuh Mo Yan yang terbaring telungkup di tempat tidurnya. Rupanya paman telah mengganti pakaian Mo Yan dan mengobati beberapa luka yang terbuka ditubuh pengawal itu.

"Pengawal Mo tidak memiliki luka dalam. Karena tubuh pengawal Mo sudah terlatih maka saya perkirakan luka luarnya akan sembuh sepenuhnya dalam tiga hari. Hanya saja sisa beberapa racun ringan masih mengendap di pernafasannya. Kemungkinan itu telah memperburuk kualitas tidur pengawal Mo dalam setahun terakhir. " Jelas paman Tong.

"Kapan kira-kira dia akan sadar?"

"Kemungkinan malam ini atau paling lambat besok pagi. "

"Luka di kepalanya?"

"Hanya luka luar, tidak sampai merusak  tempurung kepala. Paman akan membuatkan obat untuk menyembuhkan semua lukanya."

Chu Yao mengangguk ringan, "tolong tambahkan tonik untuk meregenerasi sel-sel yang telah lama rusak. Gunakan obat terbaik. Paman bisa ke aula pengobatan. Sebut saja namaku jika mereka mempersulit paman."

"baik."

"Sekalian tolong cari cara agar sisa racun itu segera lenyap dari tubuh Mo Yan. Bagaimanapun aku ingin Mo Yan benar-benar sehat. "

Paman Tong membungkuk hormat, "Baik nona. Apakah ada perintah lainnya?"

"Tidak. Paman bisa kembali beristirahat."

Paman Tong pamit. Pintu kamarpun tertutup dengan pelan.  Suasana kembali hening. Chu Yao duduk diujung tempat tidur. Matanya menyapu wajah Mo Yan yang tertutup topeng perak dengan seksama.

Ada rasa penasaran menggelitik dihatinya. Dari kehidupan lalu hingga saat ini Chu Yao tidak pernah melihat wajah asli Mo Yan.

Ingatan Chu Yao kembali pada saat dia pertama kali bertemu Mo Yan di kamp pelatihan. Satu tahun setelah ibunya meninggal dunia. Saat itu usia Chu Yao sembilan tahun.

Ayahnya mengajak Chu Yao ikut ke kamp demi menghibur kesedihan putri tercintanya. Di sana dia dibiarkan berjalan sesuka hati, kemanapun dia pergi.

Disanalah sang Jendral mengenalkannya dengan seorang anak laki-laki yang memakai topeng diwajahnya. Anak laki-laki itu begitu pendiam hingga membuat Chu Yao kecil sedikit ketakutan.

Namanya Mo Yan. Ternyata dia telah lama dipersiapkan Jendral Chu untuk menjadi pengawal pribadi Chu Yao.

Sejak saat itu lah Mo Yan selalu jadi pengikut setia Chu Yao. Mereka sempat dekat satu sama lain. Namun entah mengapa kedekatan itu berangsur hilang dan seakan menjadi orang asing.

Bukan hanya hubungan nya dengan Mo Yan, bahkan dengan sang ayah. Semuanya merenggang. Seakan-akan tak pernah mengenal satu sama lain.

Hanya ketakutan dan ketidakpercayaan yang tertanam dalam hati Chu Yao. Selain Nyonya Xun dan Chu Ling, semua orang di dunia ini tidak menyayanginya. Begitulah yang dulu dipikirkan Chu Yao.

Pantaslah dia dikatakan sebagai putri Jendral yang bodoh dan lugu. Mudah dimanfaatkan. Sehingga sering dianggap remeh oleh para pelayan di mansion.

Akibat rasa minder itu diapun sering mengunci diri didalam kamar. Dengan bujukan nyonya Xun dan Chu Ling, Chu Yao pun mau-mau saja dipindahkan ke paviliun dingin tanpa tambahan pelayan satupun.

Hanya bibi Hui, paman Tong, Xier, Mo Yan dan dirinya di paviliun sebesar itu. Sesuai namanya, suasana paviliun itu sungguh sunyi dan dingin.

Satu persatu orang-orang disekitarnya meregang nyawa. Paman Tong, bibi Hui dan Xier tewas secara berurutan oleh penyakit ganas yang tidak bisa disembuhkan.

Paviliun dingin diisolasi. Hanya Mo Yan yang terus mendampingi dirinya. Bahkan Jendral Chu pun meninggal dunia tepat diusia Chu Yao yang ke sembilan belas tahun.

Entah karena tidak sabar untuk melenyapkan Chu Yao, ibu dan adik tirinya meningkatkan dosis racun untuk Chu Yao. Racun itu menyebabkan kelumpuhan pada kaki kanannya. Mo Yan berusaha meminta ijin untuk membawa Chu Yao berobat keluar paviliun tapi malah difitnah. Dia dituduh telah meracuni orang-orang di paviliun dingin dan mirisnya Chu Yao percaya saja fitnahan itu.

Chu Yao masih ingat bagaimana pandangan Mo Yan ketika Chu Yao memerintahkan nya meminum racun yang Chu Yao sodorkan. Chu Yao pun masih ingat bagaimana dengan mudahnya dia diasingkan ke desa Liba dan akhirnya menghabiskan usia mudanya di sana tanpa satu orangpun disisinya.

Chu Yao mengusap wajahnya. Menarik napas panjang dan berjalan perlahan menuju kearah jendela. Tak terasa diluar sudah gelap. Hembusan angin begitu sejuk menyentuh tubuhnya. Rambutnya yang tergerai panjang melambai-lambai ditiup udara malam. Meski nampak pucat dan kurus, kecantikan yang diturunkan oleh selir Meng kepadanya masih terukir dengan jelas.

Fokus Chu Yao terusik. Mo Yan terbatuk sadarkan diri. Chu Yao berbalik menghampiri tempat tidur dan memeriksa keadaan Mo Yan dengan teliti.

"Bagaimana perasaan mu?"

Mo Yan yang baru membuka mata terkesiap kaget melihat wajah Chu Yao mendekat. Tanpa ragu dia bangkit duduk di atas tempat tidur. Ditahannya rasa sakit yang menjalar di setiap sobekan kulit ditubuhnya. Wajahnya yang tadi nampak terkejut dan waspada kini stabil tanpa menampakkan emosi apapun.

"Hamba pantas mati!" Mo Yan menunduk siap menerima hukuman sebagaimana mestinya. Dia sudah menyadari bahwa dia tidak berada di kamarnya. Bahkan dia sekarang sedang duduk bersimpuh di tempat tidur majikannya.

Chu Yao acuh tak acuh. Dia mengambilkan semangkuk sup yang masih hangat di atas perapian kecil di atas meja. Dia menyodorkan sup itu pada Mo Yan.

"Angkat kepalamu dan makanlah sup ini. "

Mo Yan semakin membungkukkan badan "hamba tidak berani!" Ucapnya dengan suara berat.

Chu Yao kembali duduk di tepi kasur dan memegang dagu Mo Yan dengan ujung telunjuknya, "jika ku bilang makan ya makan!"

Mata mereka saling beradu pandang tapi itu hanya sebentar. Mo Yan segera mengalihkan pandangannya. Dia menerima mangkuk sup tersebut dan segera menghabiskan nya. Seketika mangkuk itu kosong melompong.

"Minum ini!" Chu Yao kembali menyodorkan semangkuk obat. Kali ini mangkuk tersebut lebih besar dibandingkan mangkuk sebelumnya. Lagi-lagi Mo Yan meminumnya tanpa berkata sepatah katapun.

Meski terlihat tanpa ekspresi namun pikiran Mo Yan telah meluncurkan berbagai tanda tanya. Dia tau yang barusan diminum olehnya adalah obat dengan bahan-bahan yang berkualitas. Dia tak habis pikir, mengapa nona nya tiba-tiba baik seperti ini?

"Kau tidak curiga? aku bisa saja memberimu racun?" Tanya Chu Yao melihat tindakan Mo Yan yang meminum obat dengan spontanitas.

"Hamba tidak berani."

"Lain kali jangan pernah memakan atau meminum apapun dengan sembrono seperti itu. Bahkan dariku sekalipun. Paham!"

Mo Yan mengangguk tanpa mengubah raut wajah sedikitpun.

"Malam ini kau tidur disini."

Kali ini wajah Mo Yan menengadah keheranan. Ini sangat tidak pantas. Harga diri tuannya bisa tercoreng. Jika orang lain tau bagaimana reputasi nona kedepannya.

"Tapi.. "

"Diam dan tidurlah! Ini perintah! Apa perlu aku masuk kedalam selimut bersamamu?"

Mo Yan segera menuruti perintah meski seluruh bagian tubuhnya menolak. Dia berbaring menyamping dan menutup matanya. Dia berkeringat. Situasi ini lebih mencekam dibandingkan latihan fisik yang dulu dia terima. Semua terasa serba salah bahkan sekedar untuk menarik nafas. Terus terang ini lebih menegangkan dibanding bertarung dengan beberapa ahli pedang sekaligus.

Disisi lain Chu Yao mengambil sebuah buku dan duduk dengan tenang sembari membaca dibawah terpaan sinar bulan di jendela. Pikirannya menembus waktu. Dia menyadari setiap alur kehidupannya kini berubah semenjak dia memutuskan untuk menyelamatkan Mo Yan. Dia tidak bisa memperkirakan kejadian selanjutnya dengan akurat.

Ada setitik keraguan melintas dibenaknya. Namun seketika ditepis oleh potongan-potongan ingatan masa lalu. Dia harus teguh untuk memperbaiki kehidupan nya kali ini.

Esok paginya Mo Yan terbangun lebih awal. Tubuhnya sudah terasa lebih sehat dibanding sebelumnya. Lukanya pun sudah mulai mengering. Luka-luka tersebut masih sepele dibandingkan pelatihan yang telah diterimanya dari jendral Chu.

Sudut matanya menemukan sosok perempuan yang tengah tertidur diantara tumpukan buku. Mo Yan bangkit tanpa bersuara sedikitpun. Ragu meresapi pikirannya. Perlukah dia memindahkan nona Chu Yao ketempat tidur, atau membiarkan nya tetap di sana.

Meski tubuhnya mengalami penurunan berat badan dalam beberapa waktu, namun otot-otot bisep Mo Yan berbanding selaras dengan kekuatannya. Dengan mudah ia mengayunkan Chu Yao kedalam pelukannya dan membawa Chu Yao berbaring keatas tempat tidur. Gerakan Mo Yan begitu lembut. Ia tak ingin sampai Chu Yao terbangun.

Chu Yao hanya bergerak sedikit dan kembali meringkuk dalam mimpi nya. Mo Yan menyelimuti sang majikan dengan penuh hati-hati. Dia Kemudian keluar melalui jendela dan menghilang dalam sekejap.

***

Paviliun musim semi.

"Ibu.. Apa yang sebaiknya kita perbuat? Ling'er takut jika Chu Yao benar-benar memberitahu ayah tentang perbuatan kita selama ini. "

"... "

"Apa ibu punya cara?"

"... "

"Kenapa ibu hanya diam? Ling'er  sudah tidak memiliki jalan keluar. Ayolah ibu... "

Chu Ling terus merengek didepan ibunya yang sejak tadi hanya duduk diam. Nyonya Xun semalaman tidak bisa tidur. Syaraf otaknya berdenyut-denyut dipaksa berpikir keras tanpa henti.

"Ling'er ingin Chu Yao menghilang dari rumah ini sesegera mungkin. "

Nyonya Xun tiba-tiba tersenyum, raut wajahnya yang tadi gusar kini nampak berseri. Dia menyeruput teh nya dan berkata, "kau benar, Ling'er. Jika dia tidak bisa kita lenyapkan paling tidak kita harus bisa membuat nya keluar dari rumah ini."

"Apa ibu punya ide sekarang?"

"Sabarlah. Biarkan situasi ini sedikit tenang. Kita pura-pura ikuti apa yang diinginkan anak bodoh itu."

"Maksud ibu?"

"Sudahlah, biar itu menjadi urusan ibu. Ibu minta kau bisa menahan emosimu sampai ibu bisa memastikan situasi ini sudah dalam genggaman tangan kita. "

"...Baiklah."

Chu Ling menurut saja apa yang ibunya perintahkan. Ibunya memanggil bibi Wen yang sejak tadi berada diluar kamar. Nyonya Xun membisikkan sesuatu ke telinga bibi Wen diiringi beberapa kali anggukkan.

Tak lama bibi Wen bergegas meninggalkan mereka. Nyonya Xun kembali menyeruput santai sisa tehnya. Menyisakan berbagai pertanyaan di kepala Chu Ling.

***

Matahari telah terik ketika Chu Yao terbangun. Nampak Xier muncul dengan nampan berisi air. Chu Yao bangkit dan melihat sekitar. Ia tak mempersoalkan kejanggalan yang ada, seakan tau siapa yang memindahkannya ketempat tidur. Chu Yao mencuci wajah kemudian mengeringkannya dengan handuk kecil.

"Apa nona ingin makan sekarang?"tanya Xier.

" Nanti saja, antarkan makan siang dan obat ku ke aula kehidupan. " Chu Yao menjawab se ala kadarnya. Dia berjalan keluar paviliun. Beberapa kali Chu Yao berpapasan dengan beberapa pelayan yang menunduk memberi salam kepada nya.

Tak mengherankan, pasti berita tentang perubahan karakter nya sudah menyebar di seluruh mansion. Mungkin sebentar lagi seluruh kota pun akan mengetahui nya.

Tapi Chu Yao tak perduli. Masa bodoh dengan reputasi. Bukankah sejak dulu reputasi nya sudah begitu buruk. Hanya menambahkan satu reputasi buruk lagi bukanlah suatu hal yang perlu di ambil pusing.

Langkah kaki Chu Yao terhenti di aula kehidupan. Aula yang memiliki ratusan buku yang berisikan berbagai macam informasi. Dahulu Chu Yao tidak melirik sedikitpun ke tempat ini. Baginya aktivitas membaca tidak begitu penting untuk perempuan bodoh seperti nya. Kini, dia menyadari kekeliruan itu.

Ada dua orang pelayan pria berjaga di setiap sisi pintu. Kedua pelayan itu membungkuk hormat memberi salam dan mempersilakan Chu Yao masuk kedalam.

Tanpa menunggu, Chu Yao segera mengambil beberapa buku dan menenggelamkan dirinya  dalam kesibukan sepanjang hari.

"Kemana saja kau?" Chu Yao menutup buku Ketika menyadari kehadiran Mo Yan di sisinya.

"Hamba pantas dihukum. " Mo Yan berlutut tanpa disuruh. Tangannya terkepal bersiap menerima hukuman.

Chu Yao menghela napas dan menyuruh Mo Yan mendekat, "kemarilah."

"Kau ini, selalu minta dihukum. Aku hanya minta penjelasan darimu. Bukan untuk menganiaya dirimu... Jangan bergerak!" Mo Yan refleks menjauh ketika Chu Yao mencoba memeriksa bekas luka di kepalanya.

"Apa kau sudah minum obatmu?" Tanya Chu Yao disertai anggukan Mo Yan.

"Mulai sekarang aku akan mengatur jadwal makan, minum obat dan istirahat mu.. Mulai hari ini dan seterusnya kau akan makan bersamaku.."

"... "

"Apa kau keberatan? "

"Hamba tidak berani!"

Chu Yao menahan senyum melihat kekikukan pria yang selalu berpakaian hitam itu. Keinginannya untuk menggoda Mo Yan semakin kuat.

"Duduklah di sampingku. Temani aku membaca semua buku ini."

Sebuah buku telah berada di tangan Mo Yan. Dia semakin bingung dengan perubahan sikap Chu Yao padanya. Semenjak kemarin, Chu Yao selalu membuatnya terkejut.

Mo Yan kembali menguasai diri. Dia mencoba duduk sedikit jauh dari Chu Yao namun ujung baju nya sudah ditarik oleh perempuan itu.

Mo Yan kembali tidak berkutik.

Terpopuler

Comments

love to read

love to read

ngakak eh

2023-03-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!