Bab 18

Keesokan harinya, setelah meninggalkan tempat peristirahatan, Chu Yao berinisiatif mengajak Mo Yan menyisir jalan disekitar kota Nian.

Ia berpikir untuk memanjakan dirinya dan Mo Yan sehari atau dua hari sebelum kembali ke ibu kota.

Selain disebabkan kemelut pemikiran yang masih terpintal kusut layaknya benang yang berserabutan, Chu Yao ingin sekali-kali membuat pria berwajah tegas itu bisa merasakan hari yang santai.

Agak keterlaluan jika selama ini ia tidak bisa memberikan satu hari dimana Mo Yan bisa berekspresi normal layaknya pemuda lajang pada umumnya.

Chu Yao dan Mo Yan berjalan santai diantara kesibukan orang yang berlalu lalang. Sesekali mereka berhenti untuk sekedar melihat dagangan dari beberapa penjual ditepi jalan poros kota.

Jalan poros kota memang dipenuhi dengan berbagai aktifitas. Salah satunya transaksi jual beli perhiasan dari berbagai macam batuan unik yang didominasi oleh bebatuan kristal andalan kota Nian.

Tentu saja demikian, kota Nian merupakan kota penghasil kristal, dengan banyak tambang di setiap pegunungan nya. Bukan hal yang aneh jika kota Nian menjadi salah satu daerah dengan penghasilan yang cukup tinggi di Airland.

"Sayang sekali jika kita hanya sebentar di kota ini. " Gumam Chu Yao dengan nada yang riang.

"Kelak nona bisa kesini lagi, kapanpun yang nona mau. " Balas Mo Yan ketika melihat senyum lebar tersungging dibibir Chu Yao yang penuh.

Meski saat ini wajah gadis itu nampak begitu ceria, namun sorot matanya tak bisa membohongi intuisi Mo Yan yang tajam.

Jejak kebimbangan masih nampak jelas di iris matanya. Sisa kesedihan pun masih membekas di kelopak mata bawahnya yang sedikit bengkak.

Chu Yao meraih tangan Mo Yan dan menggiring pemuda itu mengikuti langkah kakinya. Mereka berlari kecil menyusuri jalan yang dipenuhi oleh khalayak ramai.

"Sebelum pulang, hari ini aku akan mengajakmu bersenang-senang, Mo Yan. Dan ku pastikan kau tidak akan pernah melupakannya seumur hidup" Ucap Chu Yao lantang. ekspresi bersemangat membuat semburat merah dikedua pipinya.

Mo Yan terpukau. Matanya menatap tanpa berkedip. Senyum terkulum andalannya mengukir bebas disudut bibirnya yang tipis. Ia mengikuti langkah kaki gadis cantik itu tanpa penolakan sedikitpun.

Chu Yao mengajak Mo Yan berkeliling.

Perempuan itu membawa sang pengawal mencoba beberapa permainan tradisional, membeli beberapa makanan hingga menonton atraksi pertunjukan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Langkah kaki mereka terhenti di salah satu kios buah di tepi jalan. Chu Yao terpaku sejenak saat matanya terfokus pada sebuah jepit rambut berbentuk bunga teratai yang terbuat dari kristal berwarna merah muda.

Mo Yan mengamati wajah gadis itu dari sudut matanya. Tak ada perubahan di sana. Sang gadis hanya menarik napas dan kembali melanjutkan langkah.

"Mo Yan. Kenapa kau masih disitu?" Panggil Chu Yao ketika menyadari sosok pria berbadan tegap itu tak ada disampingnya.

Alis matanya sedikit berkerut ketika melihat Mo Yan menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih pada penjual perhiasan itu.

Kecurigaan mulai merayap dipikiran Chu Yao. Jangan-jangan muka batu ini membeli sesuatu untuk seorang gadis?

"Apa yang kau lakukan disitu tadi?" Tanya Chu Yao dengan penuh selidik.

"Tidak ada. Saya hanya bertanya apakah beliau mengetahui alasan mengapa banyak prajurit Kekaisaran berada di pintu gerbang kota." Jawaban Mo Yan terdengar mengada-ngada.

Chu Yao ber'oh' ringan menanggapinya. Meski ada sedikit rasa tidak nyaman di hatinya, namun ia mencoba untuk mengabaikan nya.

Toh bukan sesuatu hal yang salah jika Mo Yan memang mempunyai kekasih diusianya yang cukup matang saat ini.

Jika dirinya sampai melarang Mo Yan membelikan jepit rambut sebagai hadiah untuk orang yang dicintainya, rasanya itu terlalu egois dan melanggar privasi seorang manusia.

Tapi.... Mengapa ada rasa perih di dada Chu Yao saat ini?

Ah sudahlah!

Ia tak mungkin merusak suasana hanya karena kecurigaannya yang tak berdasar.

Chu Yao kembali berhenti di sebuah kios buah. Ia mengeluarkan beberapa tael perak dan membeli beberapa buah jeruk kesukaan Mo Yan.

"Coba buka mulutmu?" Chu Yao tiba-tiba menyodorkan sebuah jeruk yang sudah ia kupas kedalam mulut Mo Yan.

"Enak? " Tanya nya kemudian. Ekspresi nya begitu polos dengan tatapan berbinar. Begitu dekat hingga Mo Yan melihat pantulan dirinya di iris mata gadis itu yang bulat.

Mo Yan mengiyakan dengan sedikit gerak canggung. Bola matanya beralih dari tatapan gadis lincah itu. Jawaban kikuknya tidak membuat Chu Yao menyadari bahwa perlakuannya barusan membuat wajah pria itu memerah.

"Ayo, ikuti aku lagi. " Ajak Chu Yao tanpa melepaskan genggaman ditangan pria itu, "kali ini aku akan membawamu melihat apa yang seharusnya dilihat seorang laki-laki sejati. "

"Apa?" Mo Yan menelan saliva nya ketika Senyum licik Chu Yao telah mengembang dengan sempurna. Intuisinya berkata ada hal buruk yang akan terjadi.

Dan, dugaannya tidak meleset. Gadis itu membawanya ke tempat hiburan terkenal di kota Nian. Mo Yan tiba-tiba merasa pusing. Bisa-bisa nya perempuan itu berpikir untuk membawanya ketempat pelacuran disaat-saat seperti ini.

"Nona, ini tidak benar." Tolak Mo Yan ketika Chu Yao mengajaknya masuk kedalam.

"Tidak apa-apa. Masuklah!" Nada memerintah keluar begitu saja dibibir Chu Yao. Tangannya bersedekap kaku di dada.

Mo Yan tak bergeming. Perintah absurd apa lagi yang diberikan padanya. Raut wajah datar yang Mo Yan perlihatkan tetap tak bisa mengikis keinginan Chu Yao untuk membawanya kedalam.

"Tidak apa-apa. Ayo Masuk! Aku akan menemanimu." Ulang Chu Yao dengan nada membujuk sambil menarik tangan pria itu dengan sekuat tenaga.

Alis Mo Yan berkerut. Air mukanya terlihat masam, "nona, tempat seperti ini bukanlah tempat yang baik. Apalagi untuk perempuan seperti nona. Lebih baik kita ke tempat lain saja. "

Chu Yao berdecak. Ia membantah, "ini bukan untukku, tapi untukmu!"

"Tapi, saya tidak perlu kesini."

"Tidak! Kamu harus masuk kedalam. Paling tidak melihat beberapa penari di sana. Apa kau menolak perintahku?"

"Saya tidak berani." Jawab Mo Yan sedikit menundukkan kepala dengan jemari saling mencengkram kuat.

Benar. Ia takkan pernah menolak jika tuannya memberi perintah untuk menyelidiki sesuatu bahkan di tempat kotor seperti itu.

Namun, hati kecilnya akan memberontak jika harus masuk sekedar untuk bersenang-senang. Terlebih membawa sang majikan bersama nya dan melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat perempuan terhormat macam Chu Yao.

"Kalau begitu cepatlah masuk! Apa lagi yang kau tunggu?" Chu Yao sedikit kesal melihat Mo Yan yang tetap membatu.

"Apakah nona ingin saya menyelidiki sesuatu didalam sana?"

Chu Yao menghela napas, "Sepertinya kau salah paham. Aku hanya ingin membiarkanmu bersenang-senang hari ini." Jelasnya sambil mengalihkan bola matanya yang bulat.

Dengan gumaman pelan ia berkata,"Bukankah setiap pria yang beranjak dewasa selalu..."

Mulut Chu Yao tersumpal tangan besar Mo Yan sebelum perkataannya selesai terucap. Chu Yao menengadahkan pandangan dan bertatapan langsung dengan mata Mo Yan yang tajam.

"Mengapa kau begitu ingin aku melihat mereka?" Tanya Mo Yan dengan suara berat," Tidak semua laki-laki suka berada ditempat seperti itu. "

Mo Yan kembali menelan saliva nya, ia tak menduga ada sisi lain dari diri Chu Yao yang baru terlihat. Sifatnya yang masih naif dan terkesan arogan justru membuat pria itu serba salah.

Sebagai pria yang memiliki keterikatan mutlak dengan majikan yang selalu harus ia patuhi, ia memang tidak berhak memberi penolakan atas semua perintah yang diberikan.

Hanya saja, untuk perintah seperti ini rasanya tidaklah salah jika ia menolak. Mo Yan tau maksud gadis itu baik, namun entah mengapa rasanya seperti dipaksa untuk menjual diri.

Dilain sisi, Chu Yao merasa tidak enak hati. Ia ingin menjelaskan namun suaranya masih terbenam dalam dekapan tangan Mo Yan yang besar.

Ia mencoba menggenggam erat jemari pria maskulin itu dan menarik jauh dari bibirnya. Namun usahanya sia-sia. Tangan pria itu tetap bertahan disitu. Bahkan sekarang tangan satunya justru merengkuh tubuh Chu Yao dalam dekapannya. Mengunci seluruh gerakannya.

"Aku akan menuruti semua perintahmu tapi tidak untuk yang ini.. " Ucap Mo Yan dengan tatapan tajamnya. Ia bahkan tidak perduli jika sang nona memberi hukuman untuknya nanti.

"Aku tidak perlu bersenang-senang di sana hanya untuk membuktikan bahwa aku adalah laki-laki dewasa yang normal." Suara beratnya tetap terdengar lembut namun memiliki makna yang tegas.

"Patuhlah." Ucap Mo Yan mengakhiri penjelasan.

Chu Yao terpaku. Tanpa sadar menganggukkan kepala. Menuruti apa yang sang pengawal perintahkan.

Tidak! Kenapa muka batu ini justru berlagak seperti majikan? Bukankah dia yang harus Mo Yan patuhi.

Chu Yao mengerutkan bibirnya. Ia ingin menegur kelancangan sang pengawal namun justru kembali mematung ketika melihat senyum tipis tersungging dibibir Mo Yan.

Jantung nya seketika berdegup kencang.

Mo Yan melepaskan tangannya dari bibir merah muda sang majikan. Namun sorot matanya yang tajam telah mengunci fokus gadis itu. Mereka saling menatap tanpa berbicara sepatah katapun.

"Yoo.. Tak ku duga kalian memiliki ketertarikan terhadap tempat ini. "

Suara tenor Long Ye Zuan yang akrab ditelinga membuat kedua pemuda pemudi itu mengalihkan pandangan.

"Tuan muda Lei?" Ucap Chu Yao dengan pupil mata yang melebar.

Ye Zuan berdiri bersama Yun Yi. Ia melambaikan kipasnya dan sedikit terkekeh, "mau sampai kapan kalian akan berpelukan seperti itu? Kalian sungguh membuat ku cemburu. "

Mo Yan dan Chu Yao refleks memisahkan diri. Wajah keduanya sedikit memerah dan canggung. Lagi-lagi membuat pangeran kedelapan terkekeh geli.

"Mengapa anda berada disini?" Tanya Chu Yao saat Ye Zuan sudah berada beberapa langkah di depan mereka.

"Seharusnya aku yang bertanya, mengapa orang yang mengaku sudah menikah malah ada ditempat ini?" Ye Zuan menekankan kata 'mengaku' dengan menaikkan oktaf suaranya.

Chu Yao menghampiri laki-laki nyentrik itu, "tuan muda, kota ini sangat luas, kenapa kami hanya melihatmu lagi dan lagi. Apa kau memang berniat mengikuti kami?"

"Ck, ck, ck, jangan besar kepala. Bukankah aku yang sendiri ini sangat wajar berada di area hiburan begini. Kalau kalian?" Decak Ye Zuan.

"Kami hanya bersenang-senang." Chu Yao menjawab singkat.

"Ditempat ini?" Alis Ye Zuan terangkat heran. Kemudian tergelak dengan lantang hingga tubuhnya terbungkuk.

"Terserahlah!" Chu Yao sangat malas beradu mulut dengan pria itu. Kecerewetan Ye Zuan cukup bisa membuat kepalanya berdenyut. Mulut pria itu seakan tidak ada beda dengan perempuan.

"Ayo Mo Yan!" Chu Yao mengajak sang pengawal beranjak dari tempatnya.

Ia berjalan melewati Ye Zuan seakan tidak menganggap keberadaan laki-laki itu dekatnya. Langkahnya begitu cepat sehingga tiga orang lelaki dibelakangnya ikut menyelaraskan langkah bersamaan.

"Yao yao... Pelan sedikit lah! Kau benar-benar tidak mencerminkan seorang gadis yang anggun. "Ye Zuan mengomentari langkah kaki Chu Yao.

"Cerewet! Aku tak menyuruhmu untuk mengikuti ku." Balas Chu Yao kesal.

"Apa kau marah?" Tanya Ye Zuan sambil membuka kipasnya dengan lebar, "sepertinya kau memang marah."

"Apa kau tidak capek mengikuti perempuan pemarah seperti dia?" Celetuk Ye Zuan ketika Mo Yang berjalan sejajar disampingnya.

Mo Yan menggelengkan kepala. Tetap dengan aura dingin yang sudah menjadi ciri khasnya.

Ye Zuan kembali berdecak, membuka tutup kipasnya dengan gerakan anggun berirama, " Aahh.. Hidupmu benar-benar membosankan. Wajah rupawan mu jadi sia-sia. Lihat lah aku! Ketampananku ini telah menjadi berkah dalam hidup. Sekali mengedipkan mata, para perempuan cantik di penjuru negeri akan terkesima. Begitu damainya hidup dipuja oleh kenikmatan dunia. Apa kau mau aku ajari caranya?"

Kedipan nakal Ye Zuan membuat alis Mo Yan berkerut. Pria itu terkekeh dan membuat Chu Yao membalikkan pandangan kearah keduanya.

"Tutup mulutmu! Aku akan mencincang tubuhmu dan menjadikannya santapan ikan  jika kau sampai berani mengajarinya trik-trik kotor seperti itu!"

Yun Yi mengernyit dengan keberanian yang dimiliki Chu Yao. Perkataan gadis itu sangat lancang. Ia bisa dihukum mati jika pangeran tidak berlapang dada atas ucapannya barusan.

Yun Yi berdiri diposisi siap kalau-kalau sang pangeran memerintahkan untuk mencabut nyawa perempuan itu.

Namun sang pangeran justru semakin terbahak. Tak ada rasa tersinggung yang nampak diwajahnya.

Chu Yao semakin merasa kesal. Namun ia tetap bertahan dengan sikap detensif. Mo Yan tak tinggal diam. Ia maju di tengah dan menunduk hormat.

"Terima kasih atas tawaran tuan muda Lei. Tapi saya tidak memerlukannya. " Ucap Mo Yan dengan sopan, "jika tidak ada lagi, kami undur diri."

Mo Yan dan Chu Yao saling memberi isyarat. Mereka bersamaan membalikkan badan. Namun Ye Zuan menghentikan gerakan mereka.

"Tunggu!" Nada memerintah terdengar nyaring. Pria itu menutup kipas dan seketika merubah air mukanya.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku harap kalian bisa ikut denganku."

Chu Yao bergerak maju. Membaca bahasa tubuh pria nyentrik didepannya dengan seksama. Tak ada lelucon di sana. Intuisi Chu Yao menjadi lebih peka. Mungkin saja sejak awal pangeran kedelapan ini memang menginginkan sesuatu darinya.

Pria itu hanya mengulur waktu agar dirinya tidak membuat batas.

Menarik!

"Apa keuntungan yang bisa aku peroleh jika mengikuti perintahmu?"

Sikap Chu Yao yang seakan menantang membuat Yun Yi maju dengan pose siaga. Namun lagi-lagi sang pangeran tidak mengambil hati atas tindakan lancang gadis itu.

Ia bahkan mengangkat tangannya untuk menghalangi gerak sang pengawal yang ingin maju menyerang.

"Barter. Anggap kita saling tukar kepentingan. Cukup adil bukan, Chu Yao?" Ye Zuan berbisik. Ia sengaja memelankan suara agar tidak terdengar sembarang orang.

Ekspresi Chu Yao berubah. Sudut mulutnya sedikit berkedut melihat senyum licik pangeran kedelapan. Laki-laki itu telah mengetahui identitas aslinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!