Bab 7

Begitu tiba di paviliun dingin, Chu Yao sudah disambut dengan tangisan bibi Hui. Tubuhnya gemetar. Terdapat memar yang sudah mulai kebiru-biruan di telapak tangannya. Ketakutan nampak jelas terlukis dimata tuanya.

"Nona, tolong selamatkan Xier." Ucap bibi Hui berlutut dan memohon.

"Bangunlah, Xier kenapa bibi? Tangan bibi kenapa bisa seperti ini?" Meski bisa menebak penyebabnya namun Chu Yao masih ingin mendapat penjelasan langsung dari bibi Hui.

Dengan terbata-bata bibi Hui menjelaskan. Ia mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya,"Ini salah saya. Seharusnya saya yang dihukum."

"Saya mengajak Xier ke dapur utama untuk mengambil beberapa stok bahan makanan. Saat itu saya berinisiatif mau memasak olahan daging. Ketika kami tiba di dapur utama, kami melihat hanya tersisa satu daging mentah. Xier bertanya pada pelayan di sana, apakah stok daging mentah masih ada kelebihannya. Mereka bilang itu adalah stok terakhir. Mereka menyuruh kami mengambilnya. Kami sempat menolak. Kami takut nyonya atau nona kedua membutuhkan daging itu. Tapi, mereka bersikeras mengatakan kalau nyonya atau nona hari ini tidak mau makan dari olahan daging. Mereka meyakinkan kami jika mereka akan bertanggungjawab kalau-kalau nyonya atau nona bertanya."

Chu Yao tetap diam mendengarkan. Bibi Hui menarik napas dan menstabilkan suaranya. Ia kembali menjelaskan, "kami sempat ragu tapi mereka tetap memaksa. Akhirnya kami membawa daging itu kembali ke paviliun dingin. Tak lama beberapa pelayan nona kedua datang. Mereka meminta kami menghadap nona kedua. Kemudian... "

"Kemudian kalian dihukum?" Tebak Chu Yao.

Bibi Hui mengangguk, air matanya kembali menetes, "benar nona. Mereka hanya memukul tangan saya, tapi mereka menahan Xier. Tolong selamatkan Xier. Seharusnya saya yang dihukum. Saya yang mengajak Xier ke dapur utama."

Chu Yao mengerutkan kening. Dia tidak habis pikir, ada-ada saja yang dilakukan adik tirinya untuk merangsang amarahnya.

"Mo Yan." Chu Yao bangkit dan memanggil Mo Yan, "ikuti aku. Kita akan berkunjung ke paviliun musim panas. Sudah lama aku tidak bertemu nona kedua."

Mo Yan mengikuti langkah Chu Yao yang tenang. Sesekali Mo Yan melirik sang majikan. Hanya ingin memastikan apakah ketenangan itu hanya sebuah kepura-puraan.

Begitu menginjakkan kaki di paviliun musim panas, mereka sudah mendengar suara teriakan kesakitan seorang perempuan. Chu Yao meminta Mo Yan untuk menunggu diluar dan harus selalu bersiaga. Chu Yao kembali berjalan menghampiri sumber suara. Nampak Chu Ling duduk santai melihat Xier yang terbaring telungkup menahan sakit akibat pukulan dua orang pelayan.

Beberapa pelayan pribadi Chu Ling yang menyadari kedatangan Chu Yao tanpa sadar mundur selangkah dan menunduk memberi salam.

"Oh, kakak sudah datang." Ucap Chu Ling pura-pura gembira.

"Cepat siapkan kursi dan teh untuk kakak!" Perintah Chu Ling kepada dua orang pelayan disisinya.

"Tak perlu! Aku kesini hanya ingin menjemput Xier." Ucap Chu Yao sambil berjalan mendekat dan dihalangi empat orang pelayan laki-laki.

"Tampaknya adik tidak berkenan." Chu Yao maju selangkah dengan wajah yang dingin.

"Kurasa adik tidak kekurangan pelayan disini sehingga harus bermain dengan pelayanku."

Chu Ling tanpa sadar menelan ludah. Ia berusaha tetap tenang meski aura kakak tirinya seakan-akan siap membantai semua orang di dalam paviliun.

"Tentu kak. Aku hanya memberi contoh pada pelayan lain agar tidak sembarangan mengambil hak orang lain." Ucapan Chu Ling yang asal jeplak ini seakan menjadi bumerang untuknya.

Wajah Chu Yao tetap tenang namun suaranya semakin dalam dan gelap, "Apa hakmu berani-beraninya mendisiplinkan pelayanku?!"

Chu Ling bangkit dari kursinya dan dengan angkuh mendekati Xier. Dia menjambak rambut pelayan yang telah babak belur itu dengan kasar.

"Dia mencuri dikediaman jendral!" Tukasnya dengan kepercayaan diri yang tinggi, "sebagai seorang majikan, aku berhak menghukum pelayan manapun jika dia terbukti bersalah!"

"Dari sisi mana kau bisa yakin bahwa Xier telah mencuri? Apa kau punya bukti?" Pancing Chu Yao.

"Tentu!" Cuping hidung Chu Ling mengembang sombong. Dia kembali berteriak kepada salah seorang pelayan, "Panggil para pelayan di dapur utama!"

Tak lama beberapa pelayan dapur utama muncul. Mereka memberi salam dan berdiri tidak jauh dari pintu utama paviliun. Dari bahasa tubuh pun Chu Yao tau bahwa mereka gugup dan ketakutan. Mereka memang sengaja disuruh Chu Ling menjebak Xier dan bibi Hui.

"Apa benar Xier mencuri?" Tanya Chu Yao mulai menginterogasi.

"Be, benar nona. Semua orang di dapur utama menjadi saksinya." Jawab kepala pelayan dapur utama sambil menyeka keringat yang mengalir diwajahnya.

"Begitu. Ceritakan kronologi nya!" Chu Yao melipat kedua tangannya di dada dan mulai mendengarkan sang kepala pelayan bercerita menurut versi mereka. Sesekali Chu Yao memejamkan mata dan mengangguk pelan.

"Itulah ceritanya. Tolong nona tegakkan keadilan." Ucap kepala pelayan dapur utama mengakhiri cerita.

"Jadi menurutmu Xier mengambil daging itu tanpa memperdulikan larangan kalian?"

"Benar nona. Daging itu tinggal satu-satunya dan akan kami masak untuk nona kedua. Xier tak mengindahkan ucapan kami. Dia tetap pergi membawa daging itu."

Chu Ling menegakkan dagunya dengan sombong dan berkata, "kakak dengar sendiri kan? Xier memang patut aku disiplinkan."

"Lanjutkan hukuman! Pukul dua puluh pukulan lagi!" Chu Ling berteriak memerintahkan para pelayan untuk melanjutkan hukuman Xier.

Tanpa diduga sebuah belati melesat melintas tepat melewati wajah Chu Ling. Semua pelayan berlutut ketakutan. Para pelayan perempuan berteriak terkaget-kaget karena lemparan pisau tepat mengenai dinding paviliun. Tak ada yang tau itu ulah siapa selain Chu Yao. Mo Yan telah memberikan peringatan untuk mereka.

Chu Yao tersenyum, mencibir keterkejutan Chu Ling. Dia berjalan mendekati kepala pelayan dapur utama dan berbisik, "kau boleh membodohi semua orang, tapi tidak denganku."

Kepala pelayan itu menjadi pucat dan tiba-tiba bersujud dengan tubuh bergetar. Chu Yao menarik belati yang tadi menancap didinding dan memainkannya disekitar leher kepala pelayan.

"Ampuni hamba! Ampuni hamba!"

"Katamu Xier mengambil tanpa ijin? Apa kau lupa siapa majikan Xier? Xier kesana atas ijinku. Aku adalah nona pertama dari istri resmi Jendral Chu. Beraninya kalian membantah perintah ku! " Lengkingan suara Chu Yao yang penuh amarah semakin membuat para pelayan ketakutan.

"Dan kau.." Tunjuk Chu Yao kearah Chu Ling, ".. Jangan pernah lupa dengan posisimu! Sebagai anak selir kedua, posisimu masih di bawahku. Keberanian dari mana yang kau dapat sehingga merasa berhak mengatur orang-orang ku?! "

Raut wajah Chu Ling memucat. Tangannya mengepal hingga kuku-kukunya yang terawat menembus permukaan kulit tangannya.

"Tapi Xier bersalah! Dia.."

Belum sempat Chu Ling menyelesaikan perkataannya, tangan Chu Yao telah mendarat manis di pipinya. Telinganya berdenging seketika.

"Kau.. " Chu Ling berteriak geram ketika menyadari sudut bibirnya sobek dan mengeluarkan sedikit darah.

"Anggap ini sebagai hukuman karena kau melampaui batas." Chu Yao memperingatkan saudari tirinya.

Semua orang yang melihat kejadian itu tak berani bergerak. Mereka tau jika mereka berani melawan, nona pertama mereka takkan segan melenyapkan nyawa mereka.

Nona pertama Chu bukanlah orang yang bodoh lagi. Dia bukan gadis lugu seperti sebelumnya. Tidak ada gadis polos yang berani menyiksa orang lain hingga meregang nyawa dengan wajah tenang seperti itu.

Chu Ling memaki Chu Yao dalam hati. Rasa kesal dan malu membuatnya meneriaki Chu Yao dengan keras, "Kau! Kau akan mendapatkan balasan! Tunggu saja!"

Chu Yao tak bergeming dan membalikkan badannya.

" Antar Xier kembali ke paviliun dingin!" Perintah Chu Yao pada beberapa orang pelayan yang masih ketakutan. Diapun pergi meninggalkan tempat itu tanpa perduli dengan teriakan uring-uringan adik tirinya.

Begitu sampai di paviliun dingin, paman Tong dan bibi Hui segera membawa Xier beristirahat di kamarnya. Setelah paman Tong selesai mengobati bibi Hui dan Xier secara bergantian, Chu Yao kembali ke kamarnya bersama Mo Yan.

Chu Yao duduk menyandarkan kepalanya di jendela. Kelelahan nampak di wajah cantiknya yang mungil. Mo Yan meletakkan pedang dan menghampiri Chu Yao. Jemarinya yang kasar memijit pelan pelipis sang majikan.

Chu Yao tersenyum menikmati perlakuan Mo Yan. Dia tau pria pendiam itu selalu perhatian padanya. Paling mengerti akan dirinya.

***

"Gadis bodoh! Sudah ibu bilang jangan mencari masalah untuk sementara ini dengannya! Apa kau tidak bisa lebih bersabar?"

Nyonya Xun melempar cawan teh hingga pecah ketika mendengar penuturan sang putri. Chu Ling menunduk. Air matanya tetap mengalir. Meski sudah diobati, rasa sakit akibat tamparan saudari tirinya masih meninggalkan rasa ngilu diwajahnya.

"Tenangkan dirimu nyonya. Nona kedua tidak bersalah. Dia hanya berusaha membantu nyonya." Ucap bibi Wen menenangkan luapan emosi nyonya Xun.

"Bagaimana aku bisa tenang, lihatlah wajahnya."

"Ibu... "

"Jangan merengek padaku! Kau hampir saja merusak rencana yang sudah ibu susun."

Nyonya Xun menarik napas panjang. Dia memijit keningnya yang berkerut. Rasa kesal terhadap Chu Ling sebenarnya tidak seberapa. Kemampuannya untuk mengendalikan Chu Yao lah yang membuatnya naik pitam. Dia seakan tidak mampu untuk mengatur anak tirinya sekarang ini.

Chu Yao benar-benar sudah diluar batas!

"Ini sudah larut, kembalilah ke kamarmu. Rawat lagi wajahmu. Sebentar lagi ulang tahun Mei'er. Ibu ingin kau tampil memukau."

Chu Ling mengusap air matanya dan bangkit meninggalkan paviliun ibunya. Nyonya Xun memanggil bibi Wen dan menyerahkan sebuah amplop merah padanya.

Bibi Wen membaca tulisan luarnya. Itu merupakan undangan pesta ulang tahun dari bangsawan Cheng. Dengan wajah bingung bibi Wen bertanya, "undangan pesta? Bukankah selama ini nyonya melarang nona pertama untuk bersosialisasi diluar?"

"Jangan banyak bertanya! Antarkan undangan itu segera. Pastikan anak itu yang menerima. Katakan padanya bahwa dia wajib hadir sebagai putri resmi jendral Chu."

Meski belum sepenuhnya faham dengan tujuan nyonya Xun, bibi Wen tetap patuh menjalankan perintah sang majikan.

Perempuan paruh baya itu pamit dan segera pergi mengantarkan undangan itu bersama beberapa orang pelayan lainnya.

Pintu kamar Chu Yao diketuk pelan. Chu Yao yang sejak tadi sedang membahas beberapa buku dengan Mo Yan menghentikan aktifitasnya sejenak.

"Itu bibi Hui." Mo Yan menyeletuk.

Chu Yao tertegun, "kau tau tanpa melihat objeknya?"

Mo Yan mengangguk dan menambahkan, "kemungkinan juga ada utusan dari nyonya diluar."

Chu Yao mendekatkan wajahnya kearah Mo Yan, "apa kau memiliki indera keenam?"

"Hanya sebuah keahlian biasa." Jawab Mo Yan dengan wajah datar.

Dasar tukang pamer. Padahal Chu Yao hanya ingin bercanda. Kenapa muka es itu tetap tidak berubah?

Ketika pintu terbuka, nampak bibi Hui memberi salam. Dia mengatakan jika bibi Wen ingin menyampaikan sesuai dari nyonya Xun dan tidak boleh diwakilkan oleh siapapun.

Setelah mendapat persetujuan sang majikan, bibi Hui pun undur diri. Chu Yao menarik mantel yang tergantung disisi tempat tidur dan memakainya. Tanpa menunda waktu Chu Yao pun segera menemui bibi Wen.

Begitu melihat Chu Yao, bibi Wen dan beberapa orang pelayan memberi salam dengan terpaksa.

"Undangan pesta?" Chu Yao sedikit kaget. Tumben sekali ibu tirinya memberikan undangan pesta untuknya. Trik apa lagi yang akan mereka lakukan.

"Benar. Nyonya berpesan jika nona wajib menghadirinya sebagai perwakilan putri resmi jendral Chu." Jelas bibi Wen.

"Hmm.. Kau boleh pergi." Chu Yao menyimpan undangan tersebut dan berjalan kembali ke kamar.

Chu Yao melepas mantel dan duduk di ujung tempat tidur.

"Mo Yan." Laki-laki berpostur tegap itu segera mendekat begitu namanya dipanggil. Ia berdiri tepat di depan Chu Yao.

"Mendekat lah. Bacakan ini untukku." Chu Yao memberikan amplop merah tersebut kepada Mo Yan. Ia merebahkan kepalanya tanpa ragu di badan laki-laki berpakaian hitam itu.

Chu Yao memejamkan matanya. Telinganya mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Mo Yan. Suara laki-laki itu begitu menenangkan sehingga membuat Chu Yao mengantuk. Tanpa sadar ia pun tertidur.

Mo Yan memegang kepala Chu Yao yang lunglai. Napas perempuan itu terdengar teratur. Meski nampak tenang namun Mo Yan masih menemukan sisa-sisa kelelahan di sana. Mo Yan tak habis pikir dengan perilaku Chu Yao akhir-akhir ini yang seakan-akan menguji benteng pertahanan dirinya.

Mo Yan menggendong Chu Yao. Perempuan itu nampak kecil dalam pelukannya. Dia memperlakukan Chu Yao dengan sangat hati-hati ketika membaringkannya di atas tempat tidur lalu menyelimuti nya.

Tiba-tiba Chu Yao meraih tangan Mo Yan. Badan Mo Yan seketika membatu. Mo Yan perlahan berusaha melepaskan namun pelukan ditangannya semakin kuat dan erat.

Lagi-lagi! Tindakan Chu Yao yang tanpa sadar ini mengusik emosinya.

Sebagai seorang pengawal pribadi, Mo Yan sudah dilatih untuk tidak pernah menunjukkan emosi apapun. Emosi yang nampak hanya akan membuatnya lemah.

Mo Yan menengadahkan kepala. Menatap langit-langit kamar yang gelap. Sesekali menarik napas panjang. Mengatur ritme jantungnya yang tak beraturan. Ia membiarkan sejenak keintiman itu terjadi. Selang beberapa waktu pelukan itu melonggar. Ia pun mematikan lilin dan pergi tanpa membuat suara sedikitpun.

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Semangat kak. Hiks... baru mulai lagi karena ke yang lainnya. Nanti bakal mampir lagi 🤗🤗🤗

2023-04-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!