Bab 2

"Lepaskan dia!"

Para pengawal dan pelayan yang menyiksa Mo Yan menoleh bersamaan ke sumber suara.

Mereka mengenali perempuan muda berpakaian putih didepan mereka.

Dia adalah putri pertama jendral Chu dari selir Meng. Selir yang sangat dicintai sang Jendral.

Mereka kebingungan. Saling melempar pandang dengan keberadaan nona pertama di ruangan itu. Tak seharusnya seorang nona berada di tempat seperti itu.

Chu Yao mengeluarkan pedang dari sabuknya. Langkah kakinya semakin mendekat kearah para pengawal dan pelayan tersebut.

"Lepaskan dia!" Ulang Chu Yao dengan intonasi yang sedikit keras hingga membangunkan Mo Yan.

Mo Yan menengadah. Meski dia terluka parah tapi dia masih sadar bahwa orang yang di lihatnya itu adalah Chu Yao, majikannya yang penakut.

"Lepaskan pedang itu, nona!"

"Nona tidak mungkin berniat membunuh kami disini, bukan?"

"Tidak mungkin, bukankah melihat darah saja nona sudah pingsan. Ahahhahaaa..."

Beberapa pengawal tertawa namun Mo Yan menyadari ada percikan darah di pakaian putih Chu Yao. Apakah seseorang telah terluka sebelum majikannya tiba di ruangan ini?

Kepala pelayan menyuruh salah satu pengawal untuk memimpin Chu Yao kembali pulang.

Sambil cengengesan tertawa, pengawal tersebut menghampiri Chu Yao.

Jleb!

Pisau kembali menancap tepat di leher salah satu pengawal bertubuh gembul.

Lemparan Chu Yao Begitu cepat hingga mereka yang tertawa tadi tak menyadarinya. Pengawal itu seketika tewas.

"Aku tidak meminta untuk ketiga kalinya. "

Chu Yao menodongkan pedang kearah mereka.

"A, ampuni kami nona!!!" Raung mereka ketakutan.

Kaki mereka begitu lemah hingga berlutut tanpa sadar didepan Chu Yao.

"Ka, kami di, diperintahkan nyonya untuk menghukum pengawal Mo. " Lanjut mereka gemetaran.

"Pengawal Mo sudah teledor. Dia menyebabkan nona luka dan tidak sadarkan diri selama 2 hari. "

Chu Yao mengernyit kan alis, "aku tak butuh alasan. "

Tatapan dingin perempuan itu begitu sepadan dengan raut wajahnya yang masih pucat saat ini.

"Kalian begitu patuh pada Nyonya Xun. Bukankah jabatan Nyonya rumah masih kosong sampai saat ini?"

" Coba kalian pikir, status siapakah yang tinggi di sini? Ibuku yang dihadiahi pernikahan langsung oleh Kaisar atau nyonya Xun?"

Chu Yao kembali melangkah maju. Dia meletakkan ujung pedangnya dibawah dagu kepala pelayan aula keadilan yang berada di depannya.

Kepala pelayan itu semakin gemetar. Dia begitu tak menduga dengan tindakan nona pertama mereka.

"Te, tentu saja status selir Meng yang paling tinggi disini." Jawab kepala pelayan berhati-hati. Dia tak ingin nyawanya melayang percuma ditangan gadis dungu ini.

Chu Yao tersenyum sinis. Meski ibu nya telah lama meninggal namun posisi resmi nyonya rumah belum pindah ke nyonya Xun, istri kedua jendral Chu, ibu tiri Chu Yao.

"Aku tak ingin perhitungan dengan kalian. Kuharap kedepannya kalian bisa lebih selektif dalam menilai, mana yang harus dipatuhi dan mana yang tidak perlu digubris. Segera tinggalkan ruangan ini jika kalian ingin selamat!" Ucap Chu Yao.

"Ba, baik! Terima kasih nona!" Semua pengawal dan pelayan berhamburan keluar ruangan.

Begitu kepala pelayan ingin pergi, langkahnya ditahan oleh Chu Yao. Badan kepala pelayan kembali gemetaran

"Kau tunggu disini. "

Chu Yao menurunkan pedangnya. Dia menghampiri Mo Yan.

Mo Yan mencoba berdiri untuk memberi hormat namun kembali ambruk. Ada rasa perih terlintas di dada Chu Yao hingga tanpa sadar bergerak mendekat didepan pria pendiam yang telah pingsan itu.

Jemarinya terulur, ingin menggapai wajah pria bertopeng yang selalu menerima apapun perlakuan buruk terhadapnya dari majikan bodoh ini dimasa lalu.

Pria satu-satunya dimasa lalu yang bertahan menemani ketololan Chu Yao, yang berani pasang badan dalam kondisi apapun hingga tewas mengenaskan karena meminum racun dari tangan Chu Yao sendiri tanpa mengeluh sedikitpun.

"Mo Yan. Maafkan aku."

Mata Chu Yao memerah. Rasa sedih, marah, sesal bercampur aduk menjadi satu. Seketika itu dia kembali menarik tangannya dari wajah Mo Yan.

Dia berdiri kemudian berjalan dengan wajah datar melewati kepala pelayan aula keadilan.

"Bantu aku mengantar pengawal Mo kembali ke paviliun dingin!"

Kepala pelayan itu pun bergegas memanggil beberapa orang pelayan dan segera menyelesaikan perintah nona pertama tanpa membantah satu katapun.

***

Di paviliun musim semi.

Nyonya Xun hampir melompat penuh kemarahan mendengar berita yang dibawa bibi Wen, bibi pengasuh Chu Ling.

"Lancang! Beraninya anak bodoh itu bertindak diluar batas! " Nyonya Xun menggebrak meja dan berdiri.

"Bagaimana ini? Jika dia berani bertindak seperti itu takutnya nanti dia akan mengadu kepada ayah." Tambah Chu Ling ketakutan.

"Perempuan itu pasti kerasukan roh jahat makanya bisa berlaku kejam terhadap para penjaga. " Bibi Wen menambahkan pendapat acaknya yang semakin membuat kepala nyonya Xun berdenyut kencang.

"Sudah! Sudah! " Bentak nyonya Xun kepada Chu Ling dan bibi Wen.

"Katakan padaku, bagaimana bisa anak itu yang sudah dinyatakan bakal mati bisa hidup dan membantai pelayan kita?" Nyonya Xun memijat keningnya dan melanjutkan, "Apa kau kurang mendorong nya?"

Chu Ling mengernyit, "tidak mungkin ibu. Apa ibu tidak lihat lukanya dan juga kata tabib. "

"Berarti bibi Wen kurang memberi cairan pelicin dilantai?" nyonya Xun berasumsi curiga.

Bibi Wen ketakutan, "tidak mungkin nyonya. Satu gentong besar cairan pelicin itu saya siramkan dilantai. Bahkan ada 2 pelayan yang bisa menjadi saksi saya. "

Mereka terdiam dengan pemikiran masing-masing. Mereka tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. Berbagai asumsi serta kemungkinan negatif bermunculan silih berganti di otak mereka.

Chu Ling mengatupkan rahangnya dengan keras. Sementara bibi Wen sesekali menyeka keringat yang mengalir di wajahnya yang sudah memasuki kepala empat.

"Bibi Wen, ambilkan cambuk ku. Anak itu harus didisiplinkan dengan keras. "Ucap nyonya Xun memecah keheningan.

Bibi Wen bergegas kebelakang dan beberapa saat kemudian kembali dengan seutas cambuk ditangannya.

Tak perlu waktu lama, nyonya Xun bangkit dan berjalan keluar paviliun diiringi Chu Ling dan bibi Wen dibelakangnya.

Chu Ling kali ini yakin bahwa Chu Yao tak akan selamat dari hukuman cambuk ibunya.

Perasaannya menjadi sedikit tenang.

Setidaknya situasi ini akan segera terkontrol dibawah tangan mereka ketika jendral Chu dan kakak lelakinya, Chu Zhan, kembali dari perbatasan.

"Chu Yao. Matilah kau hari ini." Gumam Chu Ling.

***

Bibi Hui tergopoh-gopoh menghampiri paman Tong. Mereka sudah mendengar berita tentang sepak terjang Chu Yao.

Hati mereka menyangkal. Tidak mungkin nona yang lemah lembut dan lugu itu berani melukai bahkan membunuh orang lain.

Bukankah baru sebentar mereka di dapur paviliun dingin. Bahkan makanan serta obat belum sepenuhnya selesai di masak. Tidak mungkin terjadi kejadian diluar nalar secepat itu.

Mereka meletakkan semua atribut dapur dan sepakat melihat kedalam kamar paviliun.

Betapa kagetnya dua orang tua itu melihat pemandangan didepan mereka.

Gaun Chu Yao yang putih itu sangat menegaskan kejadian apa yang sudah terjadi. Tak ayal kondisi Mo Yan yang begitu miris. Mo Yan terbaring telungkup di tempat tidur nona mereka dalam kondisi tak sadarkan diri.

Chu Yao tersenyum menyambut kedatangan bibi Hui dan paman Tong. Dia menenangkan keduanya.

"Tidak apa-apa bibi, paman. Semua baik-baik saja. "

Tidak!

Sebenarnya mereka di sana sangat sadar jika situasi saat ini tidak baik-baik saja. Akan ada badai lagi yang datang akibat tindakan Chu Yao. Para wanita jahat itu pasti tak akan tinggal diam.

"Nona, apa yang sebenar nya terjadi?" Tanya paman Tong.

Chu Yao kembali tersenyum. Senyumnya begitu indah layaknya seorang gadis polos yang tidak tau apa-apa.

"Bukankah beritanya sudah menyebar." Chu Yao terkikik.

"Mereka pantas mati!" Xier geram mengingat betapa mengerikannya perlakuan manusia-manusia didalam mansion Chu terhadap mereka. Terlebih kepada nona mereka.

"Tutup mulutmu! Bagaimana kalau mereka sampai mendengar ucapanmu. Kau pikir nyawamu akan selamat? Dasar gadis bodoh. " Ucap bibi Hui gelagapan sambil menyentil kecil dahi Xier.

Xier mengaduh dan memanyunkan bibirnya. Paman Tong hanya bisa menggelengkan kepala. Xier betul-betul sembrono.

Meskipun terlihat asal bicara, namun mereka sependapat dengan pemikiran Xier. Terlalu lama mereka menahan semua penindasan.

Sudah saatnya majikan mereka melawan. Mempertahan apa yang menjadi haknya.

"Paman.." Suara lembut Chu Yao memecah keheningan,"...bisakah paman menggantikan ku menjaga Mo Yan?" Tanpa ragu Paman Tong Pun mengangguk.

"Oh ya Xier, tolong ambilkan pakaian ganti untuk Mo Yan. Sebisa mungkin carikan pakaian yang terbuat dari serat katun halus. Paling tidak cari pakaian yang bisa menyerap banyak keringat." Perintah Chu Yao.

Chu Yao melihat kearah bibi Hui.

"Nona ingin saya mempersiapkan makanan?" tebak bibi Hui. Chu Yao mengangguk dan menambahkan, "Sekalian dua porsi hidangan. Kalau bisa tambahkan sup hati."

Bibi Hui terdiam sejenak. Apakah nona nya ini mempersiapkan makanan untuk Mo Yan juga?

Ada yang berubah dengan nona pertama Chu. Dia tidak lagi acuh tak acuh terhadap mereka. Dia pun tak ragu memerintah kan apa yang diinginkan nya.

Sangat berbeda dengan nona Chu Yao yang dulu. Yang hanya menurut apa yang dikatakan serta di suguhkan orang lain terhadapnya.

"Serahkan pada bibi. " Jawab bibi Hui lembut. Bibi Hui tidak ingin banyak berfikir. Jika perubahan pada diri sang majikan membawa hal-hal yang baik dari pada sebelumnya maka itu merupakan anugerah Sang Kuasa. Berarti Tuhan mendengarkan doa yang selama ini dia panjatkan.

"Dan paman... " Chu Yao kali ini menghadapkan diri nya kearah paman Tong, "saya minta tolong periksa kondisi tubuh Mo Yan dengan seksama. Saya tau paman memiliki keahlian medis yang bisa saya andalkan."

Chu Yao menatap tegas kearah paman Tong. Paman Tong dan bibi Hui berusaha menahan keterkejutan mereka.

Dari mana Chu Yao tau jika paman Tong memiliki kemampuan medis. Padahal hanya selir Meng, bibi Hui dan paman Tong sendiri yang mengetahui.

Chu Yao memohon hingga membungkukkan setengah badannya didepan paman Tong.

Tindakan Chu Yao yang seperti ini sangat diluar dugaan mereka.

Paman Tong menghampiri Chu Yao dan membelai lembut rambut perempuan itu, "paman orang yang bodoh. Hanya bisa sedikit kemampuan saja. Tanpa nona minta pun, paman akan berusaha semampu paman untuk merawat nak Mo Yan"

"Terima kasih paman. " Ucap Chu Yao dengan senyum penuh harapan.

"Dan ini permintaan saya selanjutnya pada kalian semua. Jika kalian mendengar suara ricuh atau apapun diluar paviliun dingin, jangan keluar dari paviliun meski sejengkal pun!"

Chu Yao mengatakan dengan penuh penekanan. Dia sangat yakin ibu dan adik tirinya akan mendatangi nya. Sebelum mereka sempat menapakkan kaki mereka kedalam paviliun dingin ini, Chu Yao akan menunggu mereka di depan pintu gerbang paviliun dingin dengan sebilah belati di lengan bajunya.

Terpopuler

Comments

Risuna

Risuna

siaaapp...makasii sudah mampir yaa..

2023-03-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!