NovelToon NovelToon

Memperbaiki Masa Lalu

Bab 1

Chu yao tersedak, memuntahkan darah segar kesekian kalinya. Tubuhnya lunglai.

Terjerembab di lantai gubuknya yang sudah dipenuhi cairan berwarna merah di mana-mana.

Ya, itu adalah darahnya yang menyembur keluar dari kerongkongan nya.

Racun pelebur tulang begitu dahsyat mencabik-cabik organ dalam dan mematikan setiap persendiannya.

Air matanya menetes menyesali semua kebodohan yang telah dilakukannya.

Seandainya waktu bisa diputar, dia akan memperbaiki jalan hidupnya dan membalas dendam kepada orang-orang yang telah membuatnya menderita.

Sekali lagi Chu Yao memuntahkan darah. Kali ini darah hitam disertai hembusan nafas terakhirnya. Chu Yao meninggal. Mayatnya tergeletak begitu saja. Sendirian.

***

Hening. Perlahan tapi pasti terdengar suara sesenggukan di telinga Chu Yao. Sesekali suara perempuan itu memanggil dengan sebutan nona.

"Nona! Akhirnya nona sadar!" Ucap sang gadis berpakaian pelayan ketika mata Chu Yao terbuka.

Kepala Chu Yao begitu sakit hingga tubuhnya bergetar dan basah oleh keringat. Tangannya mengepal menahan sakit.

Dia memejamkan mata. Mengingat kembali semua ingatan yang berkeliaran  di kepalanya.

"No, nona... Saya akan panggilkan bibi Hui! " Gadis itupun segera menghilang sebelum sempat mendapat persetujuan Chu Yao.

Mata Chu Yao memandang sekeliling.

"Tunggu! Aku kenal tempat ini!

Ini adalah kamarku. Kamar di paviliun dingin dibelakang kediaman jendral Chu yang tersembunyi. " Kata Chu Yao dalam hati.

Perlahan dia bangkit dari tempat tidur dan lagi-lagi rasa sakit muncul di pelipis kiri kepalanya.

Dia meraih cermin yang terdapat di meja riasnya. Diapun tersentak kaget.

Bukankah dia tinggal di gubuk reyot di desa Liba dan meninggal di sana?

Ada apa ini?

Mengapa wajahnya nampak lebih muda dan terdapat perban melingkar di kepalanya?

Belum sempat memikirkan jawabannya, derap langkah kaki terdengar saling beradu. Chu Yao duduk melirik ke arah pintu.

"Nonaaa.. Syukurlah nona sudah siuman.. Syukur laaahh... " Raung seorang perempuan paruh baya berusia sekitar 40 tahunan.

Chu Yao terbengong-bengong melihat kedatangannya beserta sang gadis dan seorang pria tua seusia sang bibi.

"Nona.. Apakah nona baik-baik saja?" Tanya si pria paruh baya.

Chu Yao terdiam. Situasi dan kondisi ini begitu familiar di memorinya. Situasi ini sama ketika dia terluka akibat ulah Chu Ling, adik tirinya yang selama ini pura-pura baik didepannya.

Dia ingat siapa mereka.

"Bibi Hui, paman Tong, Xier. " Eja Chu Yao.

Ketiga orang itu tersenyum sumringah meski air mata masih mengalir di pipi mereka.

"Bibi dan paman akan menyiapkan makanan dan obat untuk nona. Tunggu sebentar. " Pinta Bibi Hui.

Chu Yao mengangguk kemudian siluet bibi dan paman Tong menghilang.

Chu Yao melirik Xier dan bertanya, " Tanggal berapa sekarang?"

"Tanggal 22 bulan x tahun xxxx. " Ucap Xier.

Deg!

Bukankah tahun tersebut usianya masih 17 tahun. Chu yao menepuk-nepuk pipinya. Meyakinkan diri bahwa semua ini bukanlah mimpi.

"Aduh! " Chu Yao mengernyit ketika rasa sakit akibat tepukan itu terasa nyata.

"No, nona..jangan menyakiti diri." Xier gelagapan kebingungan dengan tingkah Chu Yao. Jangan-jangan nona nya semakin tidak waras.

Chu Yao tersenyum lebar. Ternyata Tuhan tetap adil terhadap dirinya. Di kehidupan ini takkan lagi terulang dengan kisah yang sama. Chu Yao akan memperbaiki segalanya.

Tiba-tiba Chu Yao teringat seseorang.

" Mo Yan! Mo Yan dimana?!"

Xier menggigit bibir dan menjawab, "pengawal Mo di aula keadilan."

Chu Yao mengerti dengan perubahan raut wajah Xier. Aula keadilan merupakan tempat hukuman untuk orang-orang yang bersalah di kediaman jendral Chu. Bisa dipastikan keadaan Mo Yan saat ini sangat tidak baik-baik saja.

Chu Yao menyambar baju,membuka laci meja riasnya dan menyelipkan sesuatu di lengan bajunya. Dia pun bergegas keluar kamar.

"ikuti aku!" Perintah Chu Yao.

"Nona mau kemana?"tanya Xier ragu.

"Ke aula keadilan."

Xier terperanjat mendengar jawaban Chu Yao.

"Untuk apa nona?" Xier tetap kebingungan.

Biasanya meski bawahannya dihukum, sang nona tidak berani ikut campur. Sang nona bahkan mengunci diri di kamar sampai mendapat ijin keluar dari nyonya kediaman.

Kali ini apakah nona Chu Yao berniat menyelamatkan pengawal Mo.

Xier tidak berani berharap banyak dan tetap mengiringi langkah kaki sang majikan dibelakang.

Meski rasa sakit masih terasa ditubuh Chu Yao namun raut wajahnya yang pucat itu tetap terlihat tenang.

Chu Yao membuka pintu aula dan berjalan berwibawa di setiap lorong.

Para pelayan yang lewat terheran-heran melihat kedatangan Chu Yao.

"Dimana Pengawal Mo? " Tanya Chu Yao kepada 2 orang pelayan pria yang berjaga di sekitar lorong.

Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum mengejek.

"Untuk apa nona kesini? Apakah luka di dahi itu menyebabkan kerusakan di otak nona?"

Kedua pelayan itu tertawa menghina.

"Pergilah non. Disini bukan tempat untuk bermain!" Ucap mereka hendak mendorong tubuh Chu Yao.

Namun sebelum tangan mereka sampai ke tubuhnya, sayatan belati sudah menancap di perut salah satu pelayan tersebut.

Si pelayan tewas seketika. Xier memekik ketakutan. Salah satu pelayan yang hidup gemetar dan wajahnya begitu pucat. Mereka tak menyangka jika nona mereka yang bodoh dan lugu itu berani membunuh pelayan dengan muka datar.

"Dimana?" Tanya Chu Yao sekali lagi dengan dingin sambil mencabut belati yang telah menancap di perut pelayan yang tewas tadi.

Si pelayan ketakutan dan menunjuk kedalam.

"Kau tunggu disini! " Perintah Chu Yao pada Xier yang terduduk lemas, "jika ada yg mengganggumu, bilang padaku!" Xier mengangguk pelan.

Chu Yao berjalan kedalam ruang penyiksaan dan mengambil sebuah pedang yang tergantung di dinding.

Langkahnya pelan namun tegas.

Semakin dekat semakin terdengar suara tawa, ejekan dan hinaan yang didengar Chu Yao. Para penyiksa itu tidak boleh diberi ampun.

"Bodoh sekali kau, setia pada orang idiot tak berguna."

"Betul! Padahal jika kau pintar sedikit dan menerima tawaran nyonya untuk menjadi pengawal nona kedua Chu, pasti masa depanmu cerah. Dasar Dungu! "

Tawa mereka pecah sambil menyiram wajah Mo Yan. Mo Yan tetap tak bergeming. Dia berlutut tegap dengan mata terpejam. Tubuhnya penuh dengan luka.

Topeng perak yang menutupi sebagian wajahnya kini memiliki bercak merah. Darah yang sudah hampir mengering yang berasal dari luka di kepalanya.

Tangan Chu Yao mengepal gagang pedang dengan kuat. Rasa kesal dan sakit menyelimuti perasaannya.

Mengapa Mo Yan tidak melawan saja. Luka pada dirinya bukan kesalahan Mo Yan. Dirinya lah yang memerintahkan Mo Yan untuk tetap berada di paviliun dingin ketika Chu Ling memanggilnya.

Dia terlalu takut dan tidak menyukai gerak gerik Mo Yan yang dingin itu. Dia tidak memahami sifat Mo Yan. Baginya Mo Yan bertindak selalu kasar terhadap orang lain.

Pun, pengaruh Chu Ling begitu besar padanya. Dia terperdaya. Dia terlalu naif dalam mempercayai hubungan darah. Dia kira yang memiliki hubungan darah itu takkan pernah berkhianat, dan dia salah besar.

Meskipun tidak secara langsung, di kehidupan lalu dia telah membunuh semua orang yang tulus kepadanya. Akibat kebodohannya lah orang-orang itu mati. Di kehidupan kali ini dia pastikan setiap orang jahat membayar kompensasi deritanya.

Bab 2

"Lepaskan dia!"

Para pengawal dan pelayan yang menyiksa Mo Yan menoleh bersamaan ke sumber suara.

Mereka mengenali perempuan muda berpakaian putih didepan mereka.

Dia adalah putri pertama jendral Chu dari selir Meng. Selir yang sangat dicintai sang Jendral.

Mereka kebingungan. Saling melempar pandang dengan keberadaan nona pertama di ruangan itu. Tak seharusnya seorang nona berada di tempat seperti itu.

Chu Yao mengeluarkan pedang dari sabuknya. Langkah kakinya semakin mendekat kearah para pengawal dan pelayan tersebut.

"Lepaskan dia!" Ulang Chu Yao dengan intonasi yang sedikit keras hingga membangunkan Mo Yan.

Mo Yan menengadah. Meski dia terluka parah tapi dia masih sadar bahwa orang yang di lihatnya itu adalah Chu Yao, majikannya yang penakut.

"Lepaskan pedang itu, nona!"

"Nona tidak mungkin berniat membunuh kami disini, bukan?"

"Tidak mungkin, bukankah melihat darah saja nona sudah pingsan. Ahahhahaaa..."

Beberapa pengawal tertawa namun Mo Yan menyadari ada percikan darah di pakaian putih Chu Yao. Apakah seseorang telah terluka sebelum majikannya tiba di ruangan ini?

Kepala pelayan menyuruh salah satu pengawal untuk memimpin Chu Yao kembali pulang.

Sambil cengengesan tertawa, pengawal tersebut menghampiri Chu Yao.

Jleb!

Pisau kembali menancap tepat di leher salah satu pengawal bertubuh gembul.

Lemparan Chu Yao Begitu cepat hingga mereka yang tertawa tadi tak menyadarinya. Pengawal itu seketika tewas.

"Aku tidak meminta untuk ketiga kalinya. "

Chu Yao menodongkan pedang kearah mereka.

"A, ampuni kami nona!!!" Raung mereka ketakutan.

Kaki mereka begitu lemah hingga berlutut tanpa sadar didepan Chu Yao.

"Ka, kami di, diperintahkan nyonya untuk menghukum pengawal Mo. " Lanjut mereka gemetaran.

"Pengawal Mo sudah teledor. Dia menyebabkan nona luka dan tidak sadarkan diri selama 2 hari. "

Chu Yao mengernyit kan alis, "aku tak butuh alasan. "

Tatapan dingin perempuan itu begitu sepadan dengan raut wajahnya yang masih pucat saat ini.

"Kalian begitu patuh pada Nyonya Xun. Bukankah jabatan Nyonya rumah masih kosong sampai saat ini?"

" Coba kalian pikir, status siapakah yang tinggi di sini? Ibuku yang dihadiahi pernikahan langsung oleh Kaisar atau nyonya Xun?"

Chu Yao kembali melangkah maju. Dia meletakkan ujung pedangnya dibawah dagu kepala pelayan aula keadilan yang berada di depannya.

Kepala pelayan itu semakin gemetar. Dia begitu tak menduga dengan tindakan nona pertama mereka.

"Te, tentu saja status selir Meng yang paling tinggi disini." Jawab kepala pelayan berhati-hati. Dia tak ingin nyawanya melayang percuma ditangan gadis dungu ini.

Chu Yao tersenyum sinis. Meski ibu nya telah lama meninggal namun posisi resmi nyonya rumah belum pindah ke nyonya Xun, istri kedua jendral Chu, ibu tiri Chu Yao.

"Aku tak ingin perhitungan dengan kalian. Kuharap kedepannya kalian bisa lebih selektif dalam menilai, mana yang harus dipatuhi dan mana yang tidak perlu digubris. Segera tinggalkan ruangan ini jika kalian ingin selamat!" Ucap Chu Yao.

"Ba, baik! Terima kasih nona!" Semua pengawal dan pelayan berhamburan keluar ruangan.

Begitu kepala pelayan ingin pergi, langkahnya ditahan oleh Chu Yao. Badan kepala pelayan kembali gemetaran

"Kau tunggu disini. "

Chu Yao menurunkan pedangnya. Dia menghampiri Mo Yan.

Mo Yan mencoba berdiri untuk memberi hormat namun kembali ambruk. Ada rasa perih terlintas di dada Chu Yao hingga tanpa sadar bergerak mendekat didepan pria pendiam yang telah pingsan itu.

Jemarinya terulur, ingin menggapai wajah pria bertopeng yang selalu menerima apapun perlakuan buruk terhadapnya dari majikan bodoh ini dimasa lalu.

Pria satu-satunya dimasa lalu yang bertahan menemani ketololan Chu Yao, yang berani pasang badan dalam kondisi apapun hingga tewas mengenaskan karena meminum racun dari tangan Chu Yao sendiri tanpa mengeluh sedikitpun.

"Mo Yan. Maafkan aku."

Mata Chu Yao memerah. Rasa sedih, marah, sesal bercampur aduk menjadi satu. Seketika itu dia kembali menarik tangannya dari wajah Mo Yan.

Dia berdiri kemudian berjalan dengan wajah datar melewati kepala pelayan aula keadilan.

"Bantu aku mengantar pengawal Mo kembali ke paviliun dingin!"

Kepala pelayan itu pun bergegas memanggil beberapa orang pelayan dan segera menyelesaikan perintah nona pertama tanpa membantah satu katapun.

***

Di paviliun musim semi.

Nyonya Xun hampir melompat penuh kemarahan mendengar berita yang dibawa bibi Wen, bibi pengasuh Chu Ling.

"Lancang! Beraninya anak bodoh itu bertindak diluar batas! " Nyonya Xun menggebrak meja dan berdiri.

"Bagaimana ini? Jika dia berani bertindak seperti itu takutnya nanti dia akan mengadu kepada ayah." Tambah Chu Ling ketakutan.

"Perempuan itu pasti kerasukan roh jahat makanya bisa berlaku kejam terhadap para penjaga. " Bibi Wen menambahkan pendapat acaknya yang semakin membuat kepala nyonya Xun berdenyut kencang.

"Sudah! Sudah! " Bentak nyonya Xun kepada Chu Ling dan bibi Wen.

"Katakan padaku, bagaimana bisa anak itu yang sudah dinyatakan bakal mati bisa hidup dan membantai pelayan kita?" Nyonya Xun memijat keningnya dan melanjutkan, "Apa kau kurang mendorong nya?"

Chu Ling mengernyit, "tidak mungkin ibu. Apa ibu tidak lihat lukanya dan juga kata tabib. "

"Berarti bibi Wen kurang memberi cairan pelicin dilantai?" nyonya Xun berasumsi curiga.

Bibi Wen ketakutan, "tidak mungkin nyonya. Satu gentong besar cairan pelicin itu saya siramkan dilantai. Bahkan ada 2 pelayan yang bisa menjadi saksi saya. "

Mereka terdiam dengan pemikiran masing-masing. Mereka tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. Berbagai asumsi serta kemungkinan negatif bermunculan silih berganti di otak mereka.

Chu Ling mengatupkan rahangnya dengan keras. Sementara bibi Wen sesekali menyeka keringat yang mengalir di wajahnya yang sudah memasuki kepala empat.

"Bibi Wen, ambilkan cambuk ku. Anak itu harus didisiplinkan dengan keras. "Ucap nyonya Xun memecah keheningan.

Bibi Wen bergegas kebelakang dan beberapa saat kemudian kembali dengan seutas cambuk ditangannya.

Tak perlu waktu lama, nyonya Xun bangkit dan berjalan keluar paviliun diiringi Chu Ling dan bibi Wen dibelakangnya.

Chu Ling kali ini yakin bahwa Chu Yao tak akan selamat dari hukuman cambuk ibunya.

Perasaannya menjadi sedikit tenang.

Setidaknya situasi ini akan segera terkontrol dibawah tangan mereka ketika jendral Chu dan kakak lelakinya, Chu Zhan, kembali dari perbatasan.

"Chu Yao. Matilah kau hari ini." Gumam Chu Ling.

***

Bibi Hui tergopoh-gopoh menghampiri paman Tong. Mereka sudah mendengar berita tentang sepak terjang Chu Yao.

Hati mereka menyangkal. Tidak mungkin nona yang lemah lembut dan lugu itu berani melukai bahkan membunuh orang lain.

Bukankah baru sebentar mereka di dapur paviliun dingin. Bahkan makanan serta obat belum sepenuhnya selesai di masak. Tidak mungkin terjadi kejadian diluar nalar secepat itu.

Mereka meletakkan semua atribut dapur dan sepakat melihat kedalam kamar paviliun.

Betapa kagetnya dua orang tua itu melihat pemandangan didepan mereka.

Gaun Chu Yao yang putih itu sangat menegaskan kejadian apa yang sudah terjadi. Tak ayal kondisi Mo Yan yang begitu miris. Mo Yan terbaring telungkup di tempat tidur nona mereka dalam kondisi tak sadarkan diri.

Chu Yao tersenyum menyambut kedatangan bibi Hui dan paman Tong. Dia menenangkan keduanya.

"Tidak apa-apa bibi, paman. Semua baik-baik saja. "

Tidak!

Sebenarnya mereka di sana sangat sadar jika situasi saat ini tidak baik-baik saja. Akan ada badai lagi yang datang akibat tindakan Chu Yao. Para wanita jahat itu pasti tak akan tinggal diam.

"Nona, apa yang sebenar nya terjadi?" Tanya paman Tong.

Chu Yao kembali tersenyum. Senyumnya begitu indah layaknya seorang gadis polos yang tidak tau apa-apa.

"Bukankah beritanya sudah menyebar." Chu Yao terkikik.

"Mereka pantas mati!" Xier geram mengingat betapa mengerikannya perlakuan manusia-manusia didalam mansion Chu terhadap mereka. Terlebih kepada nona mereka.

"Tutup mulutmu! Bagaimana kalau mereka sampai mendengar ucapanmu. Kau pikir nyawamu akan selamat? Dasar gadis bodoh. " Ucap bibi Hui gelagapan sambil menyentil kecil dahi Xier.

Xier mengaduh dan memanyunkan bibirnya. Paman Tong hanya bisa menggelengkan kepala. Xier betul-betul sembrono.

Meskipun terlihat asal bicara, namun mereka sependapat dengan pemikiran Xier. Terlalu lama mereka menahan semua penindasan.

Sudah saatnya majikan mereka melawan. Mempertahan apa yang menjadi haknya.

"Paman.." Suara lembut Chu Yao memecah keheningan,"...bisakah paman menggantikan ku menjaga Mo Yan?" Tanpa ragu Paman Tong Pun mengangguk.

"Oh ya Xier, tolong ambilkan pakaian ganti untuk Mo Yan. Sebisa mungkin carikan pakaian yang terbuat dari serat katun halus. Paling tidak cari pakaian yang bisa menyerap banyak keringat." Perintah Chu Yao.

Chu Yao melihat kearah bibi Hui.

"Nona ingin saya mempersiapkan makanan?" tebak bibi Hui. Chu Yao mengangguk dan menambahkan, "Sekalian dua porsi hidangan. Kalau bisa tambahkan sup hati."

Bibi Hui terdiam sejenak. Apakah nona nya ini mempersiapkan makanan untuk Mo Yan juga?

Ada yang berubah dengan nona pertama Chu. Dia tidak lagi acuh tak acuh terhadap mereka. Dia pun tak ragu memerintah kan apa yang diinginkan nya.

Sangat berbeda dengan nona Chu Yao yang dulu. Yang hanya menurut apa yang dikatakan serta di suguhkan orang lain terhadapnya.

"Serahkan pada bibi. " Jawab bibi Hui lembut. Bibi Hui tidak ingin banyak berfikir. Jika perubahan pada diri sang majikan membawa hal-hal yang baik dari pada sebelumnya maka itu merupakan anugerah Sang Kuasa. Berarti Tuhan mendengarkan doa yang selama ini dia panjatkan.

"Dan paman... " Chu Yao kali ini menghadapkan diri nya kearah paman Tong, "saya minta tolong periksa kondisi tubuh Mo Yan dengan seksama. Saya tau paman memiliki keahlian medis yang bisa saya andalkan."

Chu Yao menatap tegas kearah paman Tong. Paman Tong dan bibi Hui berusaha menahan keterkejutan mereka.

Dari mana Chu Yao tau jika paman Tong memiliki kemampuan medis. Padahal hanya selir Meng, bibi Hui dan paman Tong sendiri yang mengetahui.

Chu Yao memohon hingga membungkukkan setengah badannya didepan paman Tong.

Tindakan Chu Yao yang seperti ini sangat diluar dugaan mereka.

Paman Tong menghampiri Chu Yao dan membelai lembut rambut perempuan itu, "paman orang yang bodoh. Hanya bisa sedikit kemampuan saja. Tanpa nona minta pun, paman akan berusaha semampu paman untuk merawat nak Mo Yan"

"Terima kasih paman. " Ucap Chu Yao dengan senyum penuh harapan.

"Dan ini permintaan saya selanjutnya pada kalian semua. Jika kalian mendengar suara ricuh atau apapun diluar paviliun dingin, jangan keluar dari paviliun meski sejengkal pun!"

Chu Yao mengatakan dengan penuh penekanan. Dia sangat yakin ibu dan adik tirinya akan mendatangi nya. Sebelum mereka sempat menapakkan kaki mereka kedalam paviliun dingin ini, Chu Yao akan menunggu mereka di depan pintu gerbang paviliun dingin dengan sebilah belati di lengan bajunya.

Bab 3

Tak perlu waktu lama, diujung jalan telah nampak nyonya Xun yang memakai gaun berwarna hijau. Dibelakang nya seorang perempuan muda yang diyakini Chu Yao sebagai Chu Ling memakai gaun berwarna merah muda dengan model rambut yang mencolok.

Tak jauh dari mereka nampak bibi Wen disertai beberapa pelayan pria membawa tongkat.

Chu Yao menyipitkan pandangannya. Kedua alisnya saling bertaut. Bukan karena terkejut melihat begitu banyak orang yang harus dibawa nyonya Xun untuk mendisiplinkannya, justru rasa ngilu kembali terasa pada bekas luka di kepalanya yang masih diperban.

Mungkin dia harus meminta tambahan obat pereda nyeri jika semua urusan hari ini terselesaikan dengan baik.

"Waaahh, ada peristiwa apa nih sampai-sampai ibu oh maaf, maksud saya nyonya Xun sampai harus membawa parade ke paviliun dingin?"

Chu Yao sebenarnya sangat tau maksud dari ibu tirinya tersebut. Dia hanya ingin segera menyelesaikan tanpa harus bertele-tele. Jika emosi nyonya Xun cepat tersulut maka akan mudah bagi Chu Yao membalikkan situasi tanpa harus membuang banyak waktunya.

Rombongan itu tersentak. Napas mereka sempat tertahan melihat bercak pada gaun yang dikenakan Chu Yao.

Pupil mata Chu Ling menyempit. Ketakutan melanda nya. Jantungnya berdegup kencang. Butiran keringat membasahi tubuh nya yang kaku.

Nyonya Xun mengatupkan bibir. Menahan rasa kesal akibat cuitan anak tirinya. Ini kali pertama dia menapakkan kaki di paviliun dingin. Tempat yang paling tidak disukainya.

Semua orang pun tau bahwa tempat itu merupakan tempat terakhir selir Meng beristirahat. Lebih tepatnya tempat untuk menghukum sang selir.

Dimasa lalu, Chu Yao hanya tau bahwa ibunya dihukum karena dituduh berselingkuh dengan seorang pengusaha dari Merva.

Merva merupakan negara asal ibu Chu Yao. Setelah negara Airland memenangkan peperangan, negara Merva menjadi negara dibawah kekuasaan negara Airland.

Selir Meng yang dikala itu masih sebagai putri kesayangan raja Merva, yang saat itu saling jatuh cinta dengan jendral Chu menjadi tawanan Kekaisaran.

Pada saat itu semua anggota keluarga kerajaan Merva dijatuhi hukuman mati kecuali selir Meng.

Entah bagaimana caranya sang Jendral bisa membujuk kaisar untuk mengampuni selir Meng hingga bisa membuat kaisar Menganugerahkan pernikahan untuk keduanya.

Sayang semua informasi itu Chu Yao dapatkan ketika dia berada di desa Liba. Ketika umurnya tidak bertahan lebih dari tiga bulan.

"Ku dengar kau sudah siuman. Bagaimana perasaanmu Yao'er? "

Fokus Chu Yao kembali kepada nyonya Xun dan rombongan. Sakit di kepalanya kembali terasa ngilu. Tak ada jawaban sedikitpun dari bibirnya.

"Kakak, ibu bertanya padamu." Chu Ling berkata selembut kapas, berusaha mengontrol ketakutan dalam dirinya. Dia masih berharap jika Chu Yao seperti yang dulu. Menurut apa yang dikatakannya.

"Mungkin dia masih sedikit linglung. Tak apa. Biarkan ibu melihat dirimu. Kemarilah Yao'er."

Chu Yao merasa ingin muntah seketika mendengar kepura-puraan sepasang ibu dan anak didepannya.

"Jangan bertele-tele, bukankah nyonya ingin mendisiplinkan ku. Kenapa harus pura-pura bertanya tentang keadaanku. Berhentilah! Apa kalian tidak lelah terus bersandiwara seperti ini?"

"Sungguh tidak sopan berkata seperti itu didepan nyonya!" Bibi Wen membentak Chu Yao.

Bibi Wen mundur selangkah ketika Chu Yao mulai maju," Sebagai seorang pelayan, apakah bibi Wen berbicara lebih sopan padaku selama ini?"

Bibi Wen bungkam. Bola matanya mengarah pada nyonya Xun. Nyonya Xun menegakkan dagunya. Baginya Chu Yao bukanlah orang yang perlu di takutkan. Di Mansion ini hanya dialah Satu-satunya orang yang perlu ditakuti. Dia yang berkuasa ketika jendral Chu tak ada di sini.

Chu Yao menyilangkan kedua tangan di dadanya. Tak ada yang bisa membaca air muka Chu Yao saat ini. Aura dingin menyelimuti mereka.

"Ku rasa kalian kecewa karena rencana kalian untuk membunuh ku tidak berhasil. Oh ya adik Ling, lain kali berlatih lebih intens biar dorongan mu lebih kuat. Tenagamu terlalu lemah."

Chu Ling memucat. Dia tak berkomentar apapun. Badannya semakin mengecil dibelakang nyonya Xun tanpa disadari nya.

Mereka menyadari Chu Yao sekarang bukanlah Chu Yao yang dulu. Begitu patuh, lembut dan bodoh. Mereka sadar jika taktik yang biasa mereka lakukan tak akan berpengaruh lagi untuk gadis itu.

"Lancang!"

Suara lecutan cambuk beradu di tanah seakan memperingatkan Chu Yao siapa penguasa saat ini.

Chu Yao semakin mendekat kearah nyonya Xun. Sang nyonya dengan panik memecut cambuk hingga lengan kiri Chu Yao terluka olehnya.

Chu Yao mempercepat langkah dan kini berada tepat di belakang nyonya Xun. Belatinya yang semula berada di lengan gaun kini telah berpindah dileher nyonya Xun.

"Ibu!"

"Nyonya!"

Chu Ling dan bibi Wen berteriak bersamaan. Para pelayan yang membawa tongkat memasang kuda-kuda.

"Jangan bergerak jika ingin selamat. Belatiku ini sudah mengoyak dua nyawa hari ini. Jika nyonya tidak ingin jadi yang ketiga maka kooperatif lah !" Bisik Chu Yao pelan ditelinga nyonya Xun.

Nyonya Xun yang kaget dan gemetaran itu menuruti permintaan Chu Yao tanpa penolakan sedikitpun. Ketakutan sudah menguasai dirinya.

Para pelayan mundur beberapa langkah atas instruksi nyonya Xun.

"Lepaskan aku! Kau tak kan selamat jika ayahmu pulang nanti. Jika kau menuruti ibu, ibu akan meminta ampunan kepada ayahmu."

"Apa kau sedang mencoba bertransaksi dengan ku?" Chu Yao semakin mengeratkan genggaman belati dileher nyonya Xun, "kuberi tahu kau suatu rahasia.. " Desisnya pelan, "... Jika aku katakan kalau aku tau siapa dalang dibalik kematian ibuku, atau kecelakaan ku beberapa hari yang lalu itu bukan suatu ketidaksengajaan, apa pendapatmu?"

Nyonya Xun seketika memucat. Meski berusaha tenang namun suaranya tetap bergetar hebat.

"A,apa maksudmu? Bukankah semua orang sudah tau apa yang terjadi saat itu.. "

Sebelum nyonya Xun selesai berkata, Chu Yao sudah memotong pembicaraan, "jika aku memberitahu ayah, kira-kira apa tindakan ayah selanjutnya? Haruskah semua bukti ku serahkan pada ayah?"

Napas nyonya Xun tercekat. Chu Yao tersenyum sinis dan melepaskan genggaman belati dari leher nyonya Xun, "Berpikirlah dengan tenang. Masih ada kesempatan sebelum ayah kembali." Lanjutnya ringan.

Tubuh nyonya Xun merosot ke tanah. Ucapan Chu Yao menimbulkan efek simulasi yang beragam di otaknya

"Oh iya, aku ingin aula pengobatan dan dapur utama terbuka untuk orang-orang ku... Sekalian juga semua akses didalam mansion. Anggap saja itu sebagai permintaan pertama dariku."

Chu Yao melambaikan tangan sambil berlalu meninggalkan rombongan itu ke dalam paviliun dingin.

Nyonya Xun dan rombongan terdiam menahan emosi. Bagi mereka tindakan Chu Yao saat ini diluar ekspektasi. Mereka salah membaca situasi. Seharusnya mereka tidak bertindak tanpa rencana matang. Chu Yao sekarang tidak bodoh lagi. Dia bukan lawan yang bisa dikendalikan seperti dulu.

***

Aroma terapi tercium menenangkan. Chu Yao tau dupa itu sengaja dibakar untuk merileksasikan syaraf mereka yang tegang baru-baru ini.

Lengan kiri nya kini sudah terbungkus rapi. Perban yang dililitkan paman Tong nampak kontras dengan kulit putih Chu Yao yang terluka.

Dia berjalan dengan anggun dengan pakaian baru yang diganti oleh Xier. Perempuan berusia tujuh belas tahun itu duduk menyantap hidangan dengan tenang tanpa rasa khawatir sedikitpun. Jemarinya yang kecil nan lentik meraih cawan berisi cairan obat. Dia menghabisi obat itu dalam beberapa kali teguk, tanpa drama sedikitpun.

Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, mereka tau nona pertama Chu sangat susah minum obat sepahit itu.

Bibi Hui, paman Tong dan Xier tak berani bertanya sedikitpun ketika sang majikan kembali. Mereka hanya menyelesaikan tugas masing-masing dengan berhati-hati.

"Terimakasih atas hidangannya, lezat sekali." Puji Chu Yao ketika bibi Hui mulai membereskan piring dan mangkuk di atas meja.

"Mulai sekarang, kita semua bebas keluar masuk di setiap tempat di mansion ini. Bibi bisa mengambil apapun di dapur utama. Apa yang mereka makan maka kita pun akan memakannya."

"Benarkah?" Suara Xier memecah keheningan. Rasa ketidakpercayaan timbul pada dirinya, semudah itukah nona nya mendapatkan persetujuan nyonya Xun.

Perempuan kurus dengan wajah putih pucat itu hanya mengangguk," bibi dan Xier boleh kembali beristirahat. Aku akan memanggil jika memerlukan kalian."

Bibi Hui menyikut lengan Xier ketika melihat Xier hendak bertanya untuk kedua kalinya. Xier mengurungkan niat. Ia paham bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Mereka bersama-sama mundur diri meninggalkan kamar sang majikan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!