Bab 13

Beberapa hari kemudian...

Salah satu pengawal bayangan membawa kabar yang cukup mengejutkan. Mereka menemukan Rong Li tewas mengenaskan di perbatasan. Mereka juga telah berhasil melacak keberadaan Ah Zheng berkat jepit rambut bunga persik.

"Jadi Ah Zheng sudah diamankan ke kota Nian?" Tanya Chu Yao kepada Mo Yan.

Pria itu mengangguk. Semburat kemerahan telah meliputi wajah tampan tak bertopeng itu, seakan tidak pernah ada tanda kesakitan di sana. Meski Chu Yao tau beberapa hari yang lalu, pengawal pribadinya itu terbaring dalam kondisi sakit yang lumayan parah namun vitalitasnya sekarang sudah semakin membaik. Bahkan bisa dikatakan dalam kondisi yang sangat prima.

"Apa kau tau siapa yang melenyapkan Rong Li?" Chu Yao mengetukkan jari memilah setiap orang yang ia curigai dengan berbagai pertimbangan.

"Tidak ada jejak apapun yang tertinggal disana." Jawab Mo Yan.

"Apa menurutmu mereka memang seorang yang ahli?"

"Bisa jadi. Melihat tepatnya perhitungan dan gerakan yang begitu hati-hati. Saya rasa mereka memang orang-orang yang terlatih."

"Tidak mungkin mereka orang-orang kiriman ibu tiri ataupun Chu Ling..." Gumam Chu Yao, "...meski aku tau mereka begitu membenciku, mereka bukan tipe orang yang berani membunuh seorang manusia. Bukankah semua gerak gerik mereka selalu dalam perhitungan ku selama ini..."

".. Jika mereka ingin menghilangkan semua jejak, seharusnya sejak awal mereka tidak membiarkan Ah Zheng hidup. Bukan malah membunuh Rong Li yang tidak memiliki peran yang begitu penting.."

"... Agaknya permasalahan ini tidak sesederhana yang aku pikirkan. Jangan-jangan..."

Chu Yao menatap Mo Yan dan laki-laki tersebut kembali membalas dengan tegas, " Benar yang nona duga. Tersangka yang sesungguhnya bukan nyonya Xun. Saya rasa selama ini beliau hanya di jadikan bidak oleh seseorang agar kecurigaan kita terfokus padanya."

Mo Yan membentangkan sebuah kertas yang cukup lebar. Ia menuliskan beberapa tulisan diatasnya. Wajahnya begitu serius hingga menimbulkan kerut kecil diantara kedua alisnya yang seperti pedang.

"Coba nona lihat ini. Kita mulai tarik garis dari awal kemenangan jendral Chu dan tawanan negeri Merva. Ada beberapa jeda waktu dimana beliau dan mendiang selir Meng tidak saling mengenal. Namun tiba-tiba entah karena sebab apa jendral ingin menikahi selir Meng yang saat itu merupakan salah satu tawanan yang akan dieksekusi mati oleh kaisar.."

"... "

"... Meski tau resiko yang diperoleh, namun jendral tetap memohon pada kaisar.  Dan, kaisar mengijinkan bahkan menghadiahi pernikahan itu atas dasar pengabdian dan pengorbanan jendral selama ini. Disini merupakan kejanggalan pertama yang kami temukan. Semudah itukah kaisar melepaskan tawanan eksekusi yang bisa membawa pengaruh besar jika ia membebaskannya?"

"Benar, dengan sifat keras yang dimiliki Yang Mulia, tidak mungkin ayah mendapat ijin dengan mudah untuk menikahi ibu dengan status tawanan perang paling berbahaya. Bukankah jika Yang Mulia melepaskan ibu begitu saja apa lagi sampai menikah dengan ayah yang merupakan seorang jendral. Pemilik beberapa kalaveri dan prajurit yang sudah tidak diragukan kesetiaannya, apakah tidak dikhawatirkan akan timbul masalah pemberontakan di kemudian hari?" Gumam Chu Yao.

Iris mata mereka saling beradu. Keheningan sejenak meliputi rasa penasaran mereka yang semakin menjadi. Chu Yao yang sejak awal berdiri di seberang meja kini merapatkan diri disamping Mo Yan.

" Mari kita tarik garis kedua setelah pernikahan. Ada jeda waktu di mana selir Meng belum kunjung dikaruniai anak. Selang beberapa waktu, Nyonya Xun sebagai selir kedua masuk ke kediaman Chu. Beliau hamil tuan muda dan tak berapa lama selir Meng pun mengandung nona.. Hanya dalam beberapa tahun beliau diasingkan ke paviliun dingin dengan tuduhan perselingkuhan dengan salah satu pengusaha Merva dan meninggal. Dari semua rekam jejak perjalanan kehidupan Selir Meng selama ini, bukankah ini seperti alur yang sudah diatur sedemikian rupa?"

"Maksudmu, ibu memang sengaja pasrah untuk dilenyapkan seseorang?" Tebak Chu Yao dengan degup jantung yang bergemuruh.

"Ini baru dugaan saya." Balas Mo Yan.

Chu Yao duduk dengan perlahan, mencoba tenang dan menyelami lautan pikirannya yang seperti dihantam badai. Ia memejamkan mata. Mengingat kembali potongan demi potongan kenangan bersama kedua orang tuanya.

Meski samar, namun ingatan itu masih tercetak di kepalanya. Seingatnya, ibu dan ayahnya memang memiliki hubungan yang tidak biasa. Meski sudah menjadi suami istri namun perlakuan sang ayah terhadap ibunya tidak mencerminkan perlakuan seorang suami terhadap istri yang dicintainya.

Entah cuma perasaannya atau memang karena terbatasnya ingatan Chu Yao yang masih kecil, hubungan kedua orang tuanya seperti sekedar rasa hormat yang dipoles sedemikian rupa didepan khalayak ramai.

Pun, sang ibu tidak pernah menunjukkan keberatan atas romantisme berlebihan yang ditampakkan nyonya Xun dan sang ayah. Seringkali sang ibu membawa Chu Yao pergi menjauh ketika nyonya Xun menghampiri ayah. Beliau mengajak Chu Yao melihat bintang dan mengatakan suatu hal yang berulang.

'Kelak, jangan pernah membenci, siapapun dan apapun itu. Cukup ingat bahwa ibu sangat mencintaimu.'

Chu Yao bangkit. Tangannya terkepal kuat. Wajah cantiknya memandang Mo Yan dengan penuh keyakinan,"Tidak. Menurutku itu bukan sekedar dugaan. semua ada benang merah yang saling berhubungan. Meski sekarang belum ada titik terang. Aku yakin suatu saat kita akan menemukannya."

"Kita harus menemui Ah Zheng. Aku ingin bertanya secara langsung kepadanya. Apa kau bisa membawaku kesana?" Tanya Chu Yao.

Mo Yan tak membantah. Ia bahkan mengangguk mengiyakan pertanyaan sang majikan.

"Mo Yan. Carikan aku kuda. Kita Tidak perlu menggunakan kereta. Aku ingin perjalanan kita kali ini tidak mencolok. Jangan sampai tindakan kita ini membuat musuh semakin waspada." Perintah Chu Yao.

"Baik!"

"Bersiaplah! Besok, pagi-pagi sekali kita sudah harus berada di luar kota."

Mo Yan membungkuk hormat kemudian menghilang bagai kilat. Pria bermata elang itu segera menghubungi beberapa rekannya. Ia dengan sigap mempersiapkan semua hal yang mereka perlukan untuk diperjalanan.

Sedangkan Chu Yao hanya mempersiapkan beberapa uang perak, beberapa botol obat-obatan dan sepasang belati yang selalu ia letakkan dibalik lengan bajunya.

Jam tiga dini hari, Xier telah siap dengan sebuah bungkusan kain di tangannya. Ia tak lagi terkejut dengan kebiasaan tuannya yang suka pergi keluar tanpa penjelasan. Ia sudah mulai terbiasa dengan sifat liar sang majikan. Chu Yao yang sudah berganti pakaian serba hitam dengan rambut yang terikat bebas tanpa atribut perempuan sedikitpun nampak begitu berbeda.

Perempuan itu mengambil bungkusan kain yang sudah diserahkan oleh sang pelayan dan meletakkannya dipundak.

"Ingat. Jika ada yang bertanya, katakan aku ke gunung bersama Mo Yan mencari herbal. Tidak tau kapan kembali." Terang Chu Yao.

"Baik, nona. Jangan khawatir. Saya akan tutup mulut bahkan pada bibi Hui atau paman Tong sekalipun." Jawab Xier dengan lantang.

Chu Yao tersenyum. Ia melirik kearah pemuda yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Dengan sedikit isyarat, Mo Yan menggendong Chu Yao dan seketika berayun, melompati jendela dan menghilang dalam sekejap.

Meski langit masih gelap namun langkah Mo Yan yang terlatih itu nampak mulus menapak tanpa hambatan sedikitpun. Seakan ia sudah menyatu dengan pekatnya hitam sang cakrawala.

Chu Yao mengeratkan rengkuhannya dileher Mo Yan. Meski udara terasa sedikit dingin namun tak menyurutkan semangatnya untuk membuka jalan atas kebimbangannya selama ini.

Tak jauh dari beberapa blok jalan terdapat seorang berpakaian serba hitam seperti mereka. Orang tersebut menggunakan kain penutup di wajahnya. Ia memegang tali kekang seekor kuda bersamanya. Mo Yan mendekatinya. Sembari membungkuk memberi salam, dia pun memberikan kuda tersebut pada Mo Yan. Tanpa banyak komunikasi, orang tersebut menghilang bagai asap.

Mo Yan menghampiri Chu Yao, pria kaku itu mengeratkan ikatan jubah yang membungkus tubuh Chu Yao. Ia kemudian menudungkan sebuah topi berbulu hingga sebagian wajah gadis itu tertutup olehnya. Dengan gerakan lembut ia menaikkan gadis itu di atas kuda, disusul lompatan ringan olehnya. Merekapun melaju tanpa menunda waktu. Menembus kegelapan malam dengan bercahayakan sinar bulan.

Entah berapa lama mereka berada dalam derap kaki kuda yang tengah berlari kencang. Tak nampak lagi siluet perkotaan dengan gemilang cahayanya. Sesekali Chu Yao mendongak melihat hembusan napas Mo Yan yang membentuk kepulan asap kecil di atas kepala.

Sesekali pandangan mereka bertemu namun dengan raut wajah datar, pria itu tetap melanjutkan perjalanan. Seakan hanya sekedar memastikan keadaan manusia yang ada dalam dekapannya. Tak ada pertanyaan. Tak ada keluhan.

Cukup lama hingga gerak langkah kuda hitam itu melambat. Chu Yao menarik tudung kepalanya dan melihat ke sekeliling. Ia menyipitkan mata ketika sinar matahari menampar wajahnya dari ufuk timur.

"Kita sudah jauh dari kota." Ucap Mo Yan yang sudah melompat turun. Ia menuntun jalan kuda itu dengan pelan, "sebaiknya nona istirahat sejenak disini."

Chu Yao turun dengan bantuan Mo Yan. Pria itu menarik sang kuda dan mengikatnya di sebuah pohon yang cukup rindang. Ekor matanya tetap mengawasi gerak langkah sang gadis tanpa pengecualian.

Sang gadis duduk di sebuah batu besar. Cuping hidungnya melebar menghirup udara pagi yang begitu segar. Ia membuka bungkusan kain yang dipersiapkan Xier dan mendapati beberapa roti didalamnya.

Chu Yao menyodorkan sebuah roti ketika Mo Yan kembali. Pria itu hanya mengambil tanpa memakan roti sedikitpun. Ia hanya mengamati raut wajah sang majikan. Takutnya ada muncul tanda-tanda kelelahan di sana.

Alih-alih kelelahan, senyum cerah perempuan itu justru menyampaikan kekuatan nya. Padahal ini kali pertama Mo Yan melihat sang majikan melakukan perjalanan jauh hanya menggunakan seekor kuda. Pada awalnya pria itu sedikit meragukan fisik sang majikan namun ternyata kekhawatiran nya sedikit berlebihan.

Setelah dikira cukup beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan hanya terdapat hutan rindang dengan jalan setapak. Hanya cukup dilalui oleh seekor kuda. Wajar saja, ini merupakan jalan pintas yang hanya diketahui Mo Yan dan rekan-rekannya.

Mereka harus memotong rute agar durasi perjalanan tidak terlampau panjang. Untuk rute perjalanan normal akan memakan waktu satu minggu perjalanan. Kali ini dengan semua perhitungan matang, mereka akan sampai ditempat tujuan kurang lebih tiga hari tiga malam.

Sebelum matahari terbenam, mereka tiba di sebuah desa kecil dengan jumlah penduduk yang bisa dihitung dengan jari. Mo Yan menuntun jalan dan menemukan sebuah penginapan kecil dipinggiran desa.

Setelah reservasi, pemuda itu mengantar Chu Yao untuk beristirahat dikamar sembari menunggu pelayan menyiapkan makan malam.

"Malam ini nona tidur disini. Saya akan berjaga di luar." Mo Yan menyerahkan sebuah kunci kamar kepada tuannya.

Chu Yao menerimanya tanpa banyak bertanya. Ia kemudian menutup pintu ketika pemuda berwajah simetris itu menghilang menuruni undakan anak tangga.

Entah berapa lama Chu Yao tertidur. Ia membuka mata ketika namanya dipanggil berulang kali oleh suara berat yang dikenalnya.

"Masuklah." Ucap Chu Yao sembari bangkit dari tempat tidur nya.

Mo Yan membuka pintu. Wajah datarnya menunduk dengan penuh hormat, "makan malam sudah siap."

Mereka berjalan keluar kamar menuju aula bawah penginapan. Di sudut kanan terdapat sebuah meja yang sudah terisi dengan beberapa menu makanan. Mereka saling duduk berhadapan bersiap menyantap hidangan yang sudah tersedia.

"Ada apa?" Tanya Chu Yao ketika melihat Mo Yan berhenti memegang sumpit dan beralih memegang pedang disamping meja.

Tak berapa lama muncul segerombolan pria bertubuh besar masuk memenuhi ruangan. Beberapa dari mereka menggebrak meja dan melempar beberapa perabot dalam penginapan.

Meski tamu penginapan tidak begitu banyak namun beberapa dari mereka yang Chu Yao yakin adalah pedagang nampak tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Wajah mereka memucat dan tangan mereka gemetaran.

Pengawal yang mereka sewa pun terlihat menelan ludah dengan butiran keringat mengalir di wajah mereka. Sepertinya para pengawal itu bukan seorang ahli seperti Mo Yan.

Kecuali tiga orang yang duduk disudut yang bersebrangan dengan mereka. Ketenangan yang tidak biasa itu hanya dimiliki orang-orang yang terlatih.

"Tu, tuan. Ampuni kami yang ada disini." Ucap pemilik penginapan yang kerah bajunya sudah ditarik oleh salah seorang yang memiliki parut panjang diwajahnya.

"Ampuni? Serahkan semua uang yang kalian miliki atau satu persatu dari kalian akan merasakan tajamnya golokku ini!" Laki-laki tersebut berteriak dan membelah sebuah meja dengan golok besar yang dimilikinya.

"Mereka perampok." Ucap Mo Yan dengan kewaspadaan tinggi. Ia pura-pura menyantap makanan yang masih ada setengah di mangkuknya.

Chu Yao mengangguk, "sebaiknya kita tidak berurusan dengan mereka." Bisik Chu Yao yang melanjutkan makan malamnya dengan tenang.

Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak dan memaksa pemilik penginapan mengeluarkan semua hidangan yang mereka punya. Setelah puas menyantap hidangan, para perampok itu menyisir ke setiap kamar dan mendapati beberapa perempuan muda.

Para perempuan itu dikumpulkan di tengah-tengah ruangan dengan terisak-isak ketakutan.

"Dimana lagi gadis-gadis muda itu bersembunyi? Cepat cari!!!" Pimpinan perampok itu berteriak seakan tidak puas dengan tampilan beberapa perempuan muda didepannya.

"Tundukkan wajah nona." Mo Yan menggeser posisi duduknya hingga menutupi penglihatan sang pimpinan perampok.

Namun sangat disayang kan salah seorang anak buah berkaki pincang menemukan sosok Chu Yao.

"Disini ada seorang lagi, kak!" Raungnya.

Sang pimpinan berjalan mendekat dan tertawa, "baguuusss! Baguuuuusss!! Wajahnya begitu cantik. Hampir saja aku terkecoh dengan baju yang dipakainya."

Chu Yao yang sejak awal memang memakai pakaian laki-laki merasa pujian itu seperti hinaan di telinganya. Namun ia masih berusaha tenang. Ia tak ingin tindakan gegabah menghancurkan perhitungannya dan merenggut nyawa yang tidak bersalah.

Mo Yan yang sejak tadi menahan diri nampak semakin dingin dengan bibir yang terkatup rapat.

Seakan ada telepati, Chu Yao dan Mo Yan bangkit bersamaan. Chu Yao bergerak gesit menggores leher salah satu perampok bertubuh kurus didekatnya dengan belati yang tersimpan di salah satu lengan bajunya.

Sedangkan Mo Yan, seketika mencekik leher perampok berkaki pincang hingga membuatnya patah. Kedua orang itu tewas seketika.

Begitu sepak terjang Chu Yao dan Mo Yan di mulai, seketika beberapa orang berpakaian hitam tidak dikenal membantu mereka menyerang para perampok yang tersisa. Tak terkecuali tiga orang laki-laki yang duduk diseberang meja.

Perkelahian tak bisa dihindarkan.

Chu Yao mengarahkan orang-orang yang tidak bisa beladiri untuk pergi menghindari situasi. Mo Yan dengan gesit menarik pedang dari sarungnya dan menebas tanpa ampun berapa perampok bersamaan.

Wajahnya begitu dingin menakutkan. Seakan tak memberi kesempatan kedua untuk para perampok di sana.

Teriakan histeris dan cipratan darah memenuhi ruangan itu. Chu Yao yang tidak sengaja melihat ada seorang perampok yang ingin menyerang Mo Yan seketika melemparkan belati dan mengenai tepat di jantung perampok tersebut.

Merasa posisi mereka terancam, pemimpin perampok itu geram dan dipenuhi dengan amarah. Ia segera berlari kearah Chu Yao dan menarik gadis itu. Ujung pedangnya mengunci gerak Chu Yao.

"Jangan bergerak! Atau gadis ini ku bunuh sekarang!?" Raungnya kearah Mo Yan dan tiga orang pemuda yang sejak tadi berkelahi dengan mereka.

Mo Yan tak bergeming. Ia menurunkan mata pedangnya. Tatapannya begitu tajam dengan aura membunuh yang begitu kental.

"Jika kau maju lagi, kepala perempuan ini akan menggelinding ke arahmu!" Ancam sang pimpinan perampok.

"Tuan, jangan bertindak gegabah!" Desis pemilik penginapan yang bersembunyi dibalik meja kasir kearah Mo Yan.

Salah satu dari tiga orang pemuda  berpakaian putih mendelik kearah dua temannya. Kedua orang tersebut mundur namun tetap dalam posisi siap menyerang.

Chu Yao yang sejak awal masih memiliki sebilah belati disalah satu lengan bajunya perlahan menyiapkan diri. Ia menunggu posisi sang pimpinan sedikit lengah.

Ia mengikuti tarikan tangan pria itu tanpa melawan sedikitpun.

"Tuan, jika saya ikut bersama tuan apakah nyawa saya bisa terselamatkan?" Tanya Chu Yao dengan penuh kelembutan. Ia berpura-pura lemah dan membuat gerakan pasrah di dada pria bertubuh besar itu.

Sang pimpinan perampok yang memang mudah tergoda dengan rayuan gadis manja tertawa arogan, "tentu saja! Aku bahkan akan memperistri mu! Kau bisa hidup enak, makan makanan lezat setiap waktu asal selalu siap melayaniku!"

"Kalau begitu bawalah aku, tuan! Aku tak ingin bersama muka es itu! Coba lihatlah betapa seram wajahnya tanpa senyuman. Beda dengan tuan yang begitu memukau. Bawalah aku, Tuan!"

Chu Yao tak percaya kata-kata rayuan seperti itu keluar dari bibirnya. Jika bukan karena tuntutan peran, ia tak kan berpura-pura seperti ini.

Sungguh, ia ingin muntah karenanya!

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Kan kan. Dibilang perampoknya menguji keberanian diri sendiri

2023-06-13

1

Ayano

Ayano

Aduh... mereka menguji keberuntungan sendiri

2023-06-13

1

Ayano

Ayano

Dugaan yang cukup mengesankan

2023-06-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!