Bab 20

Malam semakin larut. Chu Yao yang terlelap kini sudah terbaring nyaman di tempat tidurnya. Entah mengapa perempuan itu selalu dengan mudah tertidur didekat sang pengawal.

Terkadang hal itu menyebabkan kekhawatiran berlebih pada diri Mo Yan. Jika kebiasaan gadis itu berlaku juga kepada orang lain, bisa-bisa ia akan mudah dimanfaatkan.

Mo Yan menatap lekat-lekat wajah perempuan yang barusan berada dalam gendongannya. Sudut bibirnya melengkung membuat senyum tipis yang memiliki berjuta makna.

Tangannya yang berurat meraih pedang yang tergeletak di atas dipan. Ia berbalik dan menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati hingga tak terdengar decitan sedikitpun di setiap celah kayu.

Dengan gerak kilat Mo Yan berlari menembus kegelapan malam. Ia meninggalkan Chu Yao di tempat itu seorang diri.

Ia melompat dan mengaktifkan insting predator nya ketika menyadari beberapa orang berpakaian hitam telah bergerak mengikutinya.

Pandangannya seketika menajam. Tapak kakinya berjalan ringan melangkah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tubuhnya berputar menghindari ujung panah yang tiba-tiba sudah melesat laju kearahnya.

Sarung pedang terlempar dan menangkis dengan lincah semua anak panah yang terus melesat secara bergantian.

Seketika beberapa penyerang berpakaian hitam dengan topeng yang menutupi keseluruhan wajah menyerbu kearah Mo Yan bersamaan.

Mo Yan melompat dan melakukan gerakan memutar. Pedangnya yang tajam dengan mudah menyobek daging manusia yang menyerangnya dan membuat mereka tak bernapas seketika.

"Bunuh dia atau kita mati disini!" Ucap salah satu penyerang kepada beberapa rekannya yang tersisa.

Mereka kembali melancarkan serangan. Mo Yan berkelit ke sisi kanan ketika sebuah pedang hampir menyisir lehernya. Pria berwajah dingin itu memutar dan memberikan serangan pukulan depan dan menghujamkan ujung pedangnya tanpa ampun kepada para penyerang.

Dengan aura membunuh yang pekat, ia kembali melakukan tendangan memutar dan membuat seorang penyerang terpental dengan tulang leher yang patah.

Bibir Mo Yan terkatup rapat. Pandangan nya semakin terlihat seperti binatang liar yang kelaparan. Ia bertahan terhadap serangan tiga orang penyerang dengan teknik tangkisan.

Dengan gesit ia melakukan gerakan jungkir balik tanpa menyentuh tanah dan menghujamkan pedang secara bergantian kepada tiga penyerang tersebut. Darah segar menciprat ke wajah bengis yang tampan itu.

Tewasnya ketiga penyerang itu membuat formasi lainnya buyar. Mereka mundur dan berdiri dengan posisi siap menyerang.

Tak urung dengan Mo Yan. Pria itu bertahan dengan napas yang memburu. Pedangnya yang sudah berselimut cairan merah pekat masih terarah tegak lurus ke depan. Ia tetap diam menunggu gerakan impulsif dari orang-orang yang hendak membunuhnya.

Hanya berselang menit beberapa orang berpakaian hitam lainnya muncul mengelilingi mereka. Meski jumlahnya masih kalah dengan jumlah penyerang sebelumnya, namun keahlian beladiri yang mereka miliki bukanlah abal-abal.

Mo Yan mundur selangkah. Otaknya seketika berpikir realistis. Meski kemampuannya di atas para penyerang itu namun ia pasti akan tetap kalah. Jumlah mereka melebihi kapasitas kekuatan yang Mo Yan miliki.

Mau tidak mau ia harus memilih, melarikan diri atau mati dalam pertarungan malam ini.

Sebelum ia memutuskan untuk memilih, orang-orang berpakaian hitam justru maju menghadang para penyerang sebelumnya. Mereka saling membunuh dan membantai satu sama lain.

"Habisi mereka tanpa sisa!" Raung salah satu pria berpakaian hitam yang masih berdiri membelakangi Mo Yan.

"Para bedebah itu memang patut dilenyapkan. Beraninya mereka menyerang yang mulia!" Geram pria berpakaian hitam lainnya di sisi kanan Mo Yan.

Pertempuran itu sangat sengit. Suara pedang yang saling beradu, teriakan sakit hingga darah yang menyembur membuat situasi saat itu bagai di neraka.

Satu per satu tewas dengan sobekan besar dibeberapa area vital hingga hanya menyisakan beberapa orang berpakaian hitam di sana.

Orang-orang itu menghampiri dua orang yang sebelumnya masih berdiri tepat didepan Mo Yan. Mereka membungkuk hormat dengan pedang yang masih tergenggam erat. Kemudian semua orang itu beralih kearah Mo Yan. Mereka memberi hormat dengan menekuk salah satu lutut mereka ketanah.

"Salam hormat untuk yang mulia, maafkan kami karena terlambat datang menyelamatkan anda." Ucap pria berpakaian hitam yang tadi berdiri disisi kanannya.

Ujung pedang Mo Yan tak lagi menghunus ke depan. Perlahan benda berlumuran darah itu turun menyentuh tanah. Kebingungan menyelimuti wajah dinginnya. Ia tak serta merta memberi respon apapun. Pria itu berbalik bahkan berjalan meninggalkan orang-orang yang masih dalam posisi berlutut itu.

"Tunggu yang mulia! Kami datang untuk menjemput anda." Orang itu kembali berbicara dan mencegah langkah Mo Yan.

"Kalian salah orang!" Jawab Mo Yan dengan aura mengintimidasi.

"Tidak, kami tidak salah orang. Anda adalah orang yang selama ini kami cari. Anda adalah pangeran bungsu kerajaan kami. Andalah pangeran kerajaan Alorra yang kami tunggu selama ini. "

ujung mata Mo Yan menyipit. Ia membalik badan dan mengunuskan ujung pedangnya kearah pria bertopeng didepannya.

"Sekali lagi kau meracau, akan ku tebas lehermu!"

"Yang mulia, hamba tidak meracau." Jawab pria itu dengan suara tegas. Ia bahkan melepaskan topeng dan memperkenalkan dirinya, "hamba adalah Chen Fei Yi. Mentri pertahanan kerajaan Alorra dan beliau adalah Luo Xu An. Jendral perang tingkat satu kerajaan Alorra."

Mereka mengambil plakat pengenal yang tersimpan di dalam pakaian mereka dan menyerahkannya kepada Mo Yan.

Mo Yan mengambil plakat tersebut tanpa menurunkan tingkat kewaspadaannya. Ia meneliti keaslian benda itu kemudian beralih pada dua wajah laki-laki paruh baya didepannya.

"Bangunlah! Aku bukan pangeran kalian. Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini. " Ucap Mo Yan sembari melempar plakat-plakat itu tepat dipangkuan mentri Chen.

"Yang mulia, kami tidak mungkin salah mengenali anda. Kami bisa membuktikan bahwa anda adalah pangeran bungsu yang hilang dua puluh tahun yang lalu." Jendral Luo angkat bicara. Keyakinannya nampak jelas di matanya.

"Bukankah yang mulia memiliki sebuah liontin jade yang berwarna hijau berbentuk setetes air? Dan benda itu disimpan di dalam kantong sachet dengan motif sulaman phoniex berbenang emas?!"

Mo Yan terkesiap mendengar tebakan jendral Luo. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang tau tentang liontin itu. Sejak ia ditemukan di area peperangan dan di besarkan di kamp pelatihan hingga saat ini benda itu masih merupakan rahasia yang tidak pernah ia ungkapkan. Bahkan pada sang majikan sekalipun.

"Bagaimana kalian tau aku memiliki benda itu?" Tanya Mo Yan penuh selidik.

"Mentri Chen tidak sengaja melihat kantong sachet yang mulia terjatuh saat membeli perhiasan di pedagang kristal di tepi jalan poros kota." Jawab jendral Luo dengan melempar pandang kearah mentri Chen.

Mentri Chen menganggukkan kepala dan kembali menjelaskan, "sore tadi saya berkeliling seperti biasa dan secara tidak sengaja melihat yang mulia mengeluarkan sekantong uang yang bersamaan dengan jatuhnya kantong sachet itu."

"Sejak itu kalian membuntuti kami?" Tebak Mo Yan.

"Tidak yang mulia. Setelah saya melihat kantong sachet anda, saya segera kembali menghubungi jendral Luo. Kami berinisiatif menemui yang mulia dini hari ini. sialnya kami keduluan orang-orang brengs*k itu. "

Mo Yan menyarungkan pedang dan  menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tak jauh darinya.

"Berarti merekalah yang membuntuti kami sejak tadi pagi. Apa kau tau siapa mereka?" Gumam Mo Yan diiringi sebuah pertanyaan kepada jendral Luo.

"Kami tidak mengetahui nya dengan pasti, yang jelas mereka suruhan orang-orang yang tidak menginginkan yang mulia kembali kekaisaran."

Mo Yan berpikir sejenak dalam diam. Ia kemudian bangkit dan berkata, "meski aku memiliki liontin itu, bukan berarti aku orang yang kalian cari."

Mentri Chen mengikuti gerak langkah Mo Yan. Ia dengan tegas membantah asumsi pria tegap itu, "saya tidak mungkin salah orang. Liontin itu hanya ada satu di dunia ini. Benda itu merupakan tanda pengenal dan pemilik kekuasaan mutlak penerus kerajaan Alorra."

"Jika yang mulia masih tidak percaya, yang mulia bisa memerintahkan kami melakukan apa saja. Kami siap menyerahkan jiwa raga kami demi kesetiaan kepada penerus terakhir Kekaisaran."

Mo Yan menekan pelipisnya. Kedatangan mentri Chen dan jendral Luo ini justru membuat dirinya dalam dilema. Di satu sisi dia sangat bahagia karena telah menemukan jati dirinya yang sebenarnya.

Disisi lain ia juga khawatir jika berita ini akan menjadi cikal bakal perpisahannya dengan Chu Yao. Perempuan itu masih memerlukan dirinya. Masalah pelik yang dihadapi Chu Yao bukanlah hal yang biasa. Tak mungkin ia dengan tega meninggalkan perempuan itu berjuang sendirian.

"Sudahlah! Kalian tidak perlu membuktikan apapun kepadaku. Aku tau kalian tidak berbohong." Ucap Mo Yan.

Kedua orang tua itu tersenyum sumringah. Mereka saling bertukar pandang dan mengangguk bersamaan.

"Terima kasih, yang mulia! Apakah yang mulia bersedia kembali bersama kami secepatnya?" Balas mentri Chen dengan sikap hormat.

"Aku belum bisa kembali sekarang." Tolak Mo Yan.

"Tapi negara kita memerlukan sosok pemimpin. Meski sekarang negara kita masih stabil, namun ada beberapa hal yang tidak bisa perdana mentri lakukan tanpa persetujuan dan bimbingan dari penerus kerajaan yang sah." Jelas mentri Chen dengan sedikit memaksa.

Mo Yan semakin dilema. Ia mencengkram erat pedang ditangannya.

"Beri aku waktu. Aku akan memikirkan hal ini dengan matang sebelum mengambil keputusan. Pergilah! Temui aku tiga hari lagi." Mo Yan berlalu dan menghilang dari pandangan kedua orang tua itu.

***

Di rumah pribadi Lei Zuan...

Chu Yao yang tertidur lelap tiba-tiba terbangun karena suara langkah kaki. Matanya menyisir mencari sumber suara di kamar yang masih gelap itu. Sesosok bayangan muncul tepat di seberang dipannya.

Perawakan bayangan itu persis sama dengan pria yang dia kenal. Tidak ada gerakan. Hanya diam mematung didepan Chu Yao.

"Mo Yan." Seru Chu Yao dengan lambaian tangan. Namun bayangan itu tetap tidak bergeming.

Chu Yao bangkit dan memakai sepatunya. Ia berniat menghampiri sosok itu guna memastikan keadaannya.

"Mo Yan, kenapa kau diam saja?" Tanya Chu Yao khawatir.

Sosok itu bergerak namun justru menghilang dalam sekejap setelah meninggalkan sebuah pesan tertulis.

'Diluar'

Begitulah tulisan yang dibaca Chu Yao ketika sudah dalam penerangan yang cukup.

Raut wajah gadis itu seketika berubah. Ia baru menyadari jika sosok tersebut bukanlah pengawal pribadinya. Ia sangat mengenal ritme pengaturan Mo Yan. Pria itu selalu menyampaikan sesuatu secara langsung.

Pun, jika memiliki suatu kendala hingga dirinya tidak bisa berbicara tatap muka, pria itu selalu menyampaikan pesan lewat rekannya yang lain dan pastinya orang itu tak kan pergi sebelum pesan tersebut selesai ia baca.

Sosok itu bukan Mo Yan. Bukan pula rekan sejawat sang pengawal. Sosok itu pastilah seorang penyusup.

Tapi mengapa sosok itu tidak mencelakai dirinya? Justru meninggalkan sebuah pesan seperti itu hingga menimbulkan banyak spekulasi dibenak Chu Yao.

Dimana Mo Yan saat ini? Tak biasanya pemuda itu meninggalkan dirinya lebih dari satu jam tanpa pengawalan sedikitpun. Apakah Mo Yan dalam bahaya?

Chu Yao meremas kertas itu dan melempar nya ke sembarang tempat. Ia menarik baju luar dan memakainya sambil berlari kecil di koridor.

Langkahnya terhenti ketika sudah berada di suatu tikungan yang tidak jauh dari rumah Ye Zuan.

Suasana malam itu sangat sepi. Chu Yao melirik sekitar dengan kewaspadaan yang tinggi. Belatinya sudah terpegang erat di kedua tangannya. Sorot matanya menajam selaras dengan instingnya saat ini.

Tak ada pergerakan apapun di jalan yang lengang itu. Hanya suara desiran angin dan napasnya yang terdengar saling beradu.

Chu Yao membalikkan badan dan menghindar dengan refleks yang sangat baik ketika ada sebuah tangan menyerangnya dengan tiba-tiba.

Seseorang berpakaian hitam muncul di hadapan nya dan mencoba melakukan agresi yang bertubi-tubi pada dirinya. Sontak serangan itu membuat Chu Yao mundur beberapa langkah hingga terjatuh membentur tembok jalan.

Pukulan yang dilancarkan penyerang itu di punggungnya cukup membuat Chu Yao memuntahkan darah segar. Dilihat dari sudut manapun, orang itu bukanlah lawan yang seimbang untuknya. Ia cukup menyesal telah melewatkan kesempatan untuk berlatih beberapa metode beladiri pertahanan kepada Mo Yan.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Chu Yao dengan napas yang terengah-engah.

"Dirimu!" Jawab seseorang yang muncul tiba-tiba dari belakang.

Belum sempat menoleh, Chu Yao sudah beringsut lunglai di atas tanah. Kedua belati nya terjatuh tak jauh dari tubuhnya dan menyebabkan suara dentingan yang cukup kuat diantara atmosfer malam yang kelam.

Ia pingsan seketika dengan pukulan yang cukup kuat dileher belakangnya.

Terpopuler

Comments

خويرون

خويرون

bener kan mo Yan adalah pangeran bungsu dri kerajaan lain،،،،siapa ea yg bawah Chu you🤔

2023-03-18

1

love to read

love to read

di tunggu updatenya

2023-03-16

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!