Please, Love Me Husband
Prang
Prang
Terdengar bunyi benda-benda berjatuhan di dalam kamar megah itu. Kamar itu sekarang bak kapal pecah. Banyak barang yang berserakan tidak pada tempatnya. Bahkan ada yang rusak, pecah akibat dilempar sembarang.
"Istri macam apa kamu? Suami pulang bukannya disambut, bukannya dilayani? Alasannya kerja, kerja, kerja!" hardik pria itu.
"Tapi kan mas aku memang baru pulang kerja," ucap Salina - istrinya mencoba untuk membela diri.
"Kerja apaan? Yang ada kamu malah enak-enak sama bos kamu itu. Kamu pikir saya tidak tau?" cecar Setu tak terima jawaban istrinya itu.
Dua tahun sudah mereka sudah membangun bahtera rumah tangga. Akan tetapi mereka belum dikaruniai anak.
"Ada apa sih ribut-ribut?" ucap seorang wanita paruh baya, dengan rambut pendek sebatas telinga, bergelombang.
"Baru juga pulang kerja udah ribut aja," timpalnya lagi. Ia menatap Salina dengan tajam.
Mendengar suara ribut-ribut di kamar anak dan menantunya, membuat Sirlina - mertua dari Salina, ibu dari Setu Sandoro memutuskan untuk datang menghampiri mereka. Yang sepertinya sedang memperdebatkan sesuatu.
Bagi Sirlina itu sudah hal yang biasa. Dan ia selalu berkomentar bahwa Salina lah yang salah.
"Ini, bu. Menantu ibu ini. Seharusnya dia nggak usah kerja. Biar kalau aku pulang kerja ada yang layanin. Disediakan bajuku, disediakan air mandiku, ditanya aku gimana di kantor. Disediakan makananku. Dipijitin badanku. Ini apa? Dia malah asyik pacaran di kantor, nggak ingat kalau udah punya suami," sahut Setu cepat.
"Siapa yang pacaran sih, mas? Mas jangan suka nuduh tanpa bukti," sela Salin membela diri.
"Eh, kalau suami ngomong di dengerin. Jangan menyela. Nggak sopan," hardik Sirlina cepat. Ia sungguh tidak terima atas sikap Salin yang menurutnya tidak sopan.
Salin menunduk, menatap jari-jari kakinya yang ada di lantai keramik itu.
"Maaf, bu tapi tuduhan mas Setu tak berdasar," lirih Salin, tapi Setu dan mamanya bisa mendengarnya dengan jelas.
"Apa kamu bilang?" hardik Setu.
Plak
Sebuah tamparan keras melayang di pipi sebelah kiri yang mulus dan putih Salin di sore hari itu.
"Mas, kamu..." Salin memegang pipinya yang baru ditampar itu.
"Apa? Hah? Nggak terima?" hardik Setu.
Bahkan Setu merasa tak bersalah setelah ia memberikan tamparan keras pada istrinya itu.
Sedang ibu mertuanya, tersenyum sinis memandangi Salin. Bukannya melarang anaknya untuk tidak main kekerasan, malah membiarkan Salin disiksa. Dia malah tersenyum?
"Salah kamu sendiri lebih mentingin pekerjaan dari pada suami kamu. Itu akibatnya," ujar Sirlina enteng. Ia tak memikirkan bagaimana perasaan sang menantu.
"Kenapa? Sakit?" tanya Sirlina, mengejek. Ia tak terima saat Salin menatap iba padanya. Seperti meminta pertolongan padanya.
"Rasakan lah. Itu karena ulahmu sendiri. Nggak bisa jaga diri. Mau aja diajak kencan sama bos kamu itu," timpal ibu Sirlina.
Salin menunduk lagi. Rasanya tak ada guna ia memohon pertolongan pada mertuanya itu. Percuma. Dia malah turut mendukung perbuatan sang anak yang sama sekali tidak pantas ditiru itu.
Salin bukan sengaja pulang terlambat. Tetapi memang pekerjaan di kantor membuatnya harus menyelesaikannya segera sesuai dengan titah CEO perusahaan tempat ia bekerja.
Salin sudah berusaha sekuat yang ia mampu untuk membagi antara tugas kantor dengan tugas sebagai seorang istri di rumah. Namun, di mata ibu mertuanya dan juga suaminya itu selalu saja salah. Tak pernah mereka puas dengan hasil kerja Salin. Selalu saja ada yang salah.
Sebagai seorang sekretaris CEO, Salin harus bisa profesional. Mengerjakan semua tugasnya, mengatur jadwal CEO, mengikuti semua kegiatan CEO kemanapun ia pergi. Walau keluar kota sekalipun. Bahkan pernah ke luar negeri dan tak jarang.
Kring kring kring
Tiba-tiba ponsel Setu berbunyi. Ia menatap sekilas layar ponsel itu lalu berucap," ah sudahlah. Daripada aku makin pusing, mending aku keluar aja. Aku mau cari udara segar," pungkasnya.
Setu pun berlalu meninggalkan ibunya dan juga istrinya. Ia masuk ke dalam kamar mandi setelah ia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Tak ada yang memperhatikan apa yang diambil oleh Setu dari lemari itu.
Sementara ibu Sirlina masih memelototi Salin. Dan Salin pun hanya bisa tertunduk ditatap seperti itu.
Tak berapa lama, Setu pun keluar kamar meninggalkan ibunya dan Salin, istrinya.
"Ibu, Setu pergi. Ia berpamitan pada sang ibu dengan kalimat yang begitu singkat dan acuh kepada Salin. Dan ibunya, memberangkatkan Setu dengan senyum.
Hati Salin sangat miris melihat pemandangan itu. Sejak rasanya di dada.
"Apa yang kamu lihat?" tanya ibu mertuanya itu.
"Cepat lakukan tugasmu! Masih ingatkan?" titah sang mertua sekaligus bertanya.
"Iya, ibu," jawab Salin lirih.
Segera Salin menggantungkan tasnya lalu mengganti baju kerjanya dengan baju rumahan. Dan mertuanya menyaksikan itu semua. Tentu saja dengan tatapan sinis dan tidak suka.
Sampai saat ini, pertanyaan di benak Salin belum juga terjawab. Apa pertanyaan itu? Pertanyaannya adalah, mengapa ibu mertuanya itu tidak suka kepadanya? Mengapa ibu mertuanya itu selalu saja menganggap apa yang ia kerjakan salah dimatanya?
Entahlah, sampai saat ini Salin tak tau. Entah kenapa pula suaminya seolah bersekongkol dengan ibu mertua untuk menyudutkan dirinya. Menyalahkan semua kepadanya.
Salin merasa suaminya itu sudah berubah.
"Cepetan! Lelet banget sih jadi orang!" hardik Sirlina, ibu mertua Salin itu. Ia masih memelototi menantunya itu.
"I-iya, ibu," sahut salin terbata. Ia terkejut dengan suara sang mertua.
Salin mulai melangkah beberapa langkah. "Bu, mas Setu kemana sih?" tanya Salin pelan. Ia ingin tau kemana sang suami pergi. Sebagai seorang istri tentu ia heran, pulang kerja suaminya malah pergi entah kemana. Apalagi setelah menerima telepon dari seseorang yang Salin tak tau itu siapa.
Dan anehnya lagi, Salin melihat senyuman dari bibir sang suami usai ia memutus sambungan telepon itu. Istri mana yang tak bertanya-tanya.
"Banyak amat pertanyaannya? Kerja sana!" titah sang mertua. Ia sungguh tak mau menjawab tanya menantunya itu.
"Cepetan!" pekiknya saat Salin masih saja diam mematung. Pikirannya masih pada Setu.
Salin pun segera beranjak ke dapur. Memasak untuk makan malam, membersihkan rumah, menyiram bunga, dan terakhir adalah mencuci piring bekas ja memasak tadi.
Tibalah waktunya makan malam.
Puihh
"Apa yang kau masak ini?" hardik Setu.
"Kau mau membunuhku? Udah nggak enak, asin pula," tambahnya. Ia menyemburkan nasi dan lauk yang sudah ia masukkan ke dalam mulutnya hingga mengenai wajah Salin yang saat ini duduk bersama di meja makan di dapur yang luas itu.
"Asin, mas?" tanya Salin hati-hati. Ia merasa suaminya itu salah menilai. Seingatnya, garamnya sudah pas. Karena tadi ia mencicipinya dan rasanya sudah pas.
"Kau kira aku bohong? Hah? Dasar istri tak berguna!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments