NovelToon NovelToon

Please, Love Me Husband

Chapter 1. Istri Tak Berguna

Prang

Prang

Terdengar bunyi benda-benda berjatuhan di dalam kamar megah itu. Kamar itu sekarang bak kapal pecah. Banyak barang yang berserakan tidak pada tempatnya. Bahkan ada yang rusak, pecah akibat dilempar sembarang.

"Istri macam apa kamu? Suami pulang bukannya disambut, bukannya dilayani? Alasannya kerja, kerja, kerja!" hardik pria itu.

"Tapi kan mas aku memang baru pulang kerja," ucap Salina - istrinya mencoba untuk membela diri.

"Kerja apaan? Yang ada kamu malah enak-enak sama bos kamu itu. Kamu pikir saya tidak tau?" cecar Setu tak terima jawaban istrinya itu.

Dua tahun sudah mereka sudah membangun bahtera rumah tangga. Akan tetapi mereka belum dikaruniai anak.

"Ada apa sih ribut-ribut?" ucap seorang wanita paruh baya, dengan rambut pendek sebatas telinga, bergelombang.

"Baru juga pulang kerja udah ribut aja," timpalnya lagi. Ia menatap Salina dengan tajam.

Mendengar suara ribut-ribut di kamar anak dan menantunya, membuat Sirlina - mertua dari Salina, ibu dari Setu Sandoro memutuskan untuk datang menghampiri mereka. Yang sepertinya sedang memperdebatkan sesuatu.

Bagi Sirlina itu sudah hal yang biasa. Dan ia selalu berkomentar bahwa Salina lah yang salah.

"Ini, bu. Menantu ibu ini. Seharusnya dia nggak usah kerja. Biar kalau aku pulang kerja ada yang layanin. Disediakan bajuku, disediakan air mandiku, ditanya aku gimana di kantor. Disediakan makananku. Dipijitin badanku. Ini apa? Dia malah asyik pacaran di kantor, nggak ingat kalau udah punya suami," sahut Setu cepat.

"Siapa yang pacaran sih, mas? Mas jangan suka nuduh tanpa bukti," sela Salin membela diri.

"Eh, kalau suami ngomong di dengerin. Jangan menyela. Nggak sopan," hardik Sirlina cepat. Ia sungguh tidak terima atas sikap Salin yang menurutnya tidak sopan.

Salin menunduk, menatap jari-jari kakinya yang ada di lantai keramik itu.

"Maaf, bu tapi tuduhan mas Setu tak berdasar," lirih Salin, tapi Setu dan mamanya bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa kamu bilang?" hardik Setu.

Plak

Sebuah tamparan keras melayang di pipi sebelah kiri yang mulus dan putih Salin di sore hari itu.

"Mas, kamu..." Salin memegang pipinya yang baru ditampar itu.

"Apa? Hah? Nggak terima?" hardik Setu.

Bahkan Setu merasa tak bersalah setelah ia memberikan tamparan keras pada istrinya itu.

Sedang ibu mertuanya, tersenyum sinis memandangi Salin. Bukannya melarang anaknya untuk tidak main kekerasan, malah membiarkan Salin disiksa. Dia malah tersenyum?

"Salah kamu sendiri lebih mentingin pekerjaan dari pada suami kamu. Itu akibatnya," ujar Sirlina enteng. Ia tak memikirkan bagaimana perasaan sang menantu.

"Kenapa? Sakit?" tanya Sirlina, mengejek. Ia tak terima saat Salin menatap iba padanya. Seperti meminta pertolongan padanya.

"Rasakan lah. Itu karena ulahmu sendiri. Nggak bisa jaga diri. Mau aja diajak kencan sama bos kamu itu," timpal ibu Sirlina.

Salin menunduk lagi. Rasanya tak ada guna ia memohon pertolongan pada mertuanya itu. Percuma. Dia malah turut mendukung perbuatan sang anak yang sama sekali tidak pantas ditiru itu.

Salin bukan sengaja pulang terlambat. Tetapi memang pekerjaan di kantor membuatnya harus menyelesaikannya segera sesuai dengan titah CEO perusahaan tempat ia bekerja.

Salin sudah berusaha sekuat yang ia mampu untuk membagi antara tugas kantor dengan tugas sebagai seorang istri di rumah. Namun, di mata ibu mertuanya dan juga suaminya itu selalu saja salah. Tak pernah mereka puas dengan hasil kerja Salin. Selalu saja ada yang salah.

Sebagai seorang sekretaris CEO, Salin harus bisa profesional. Mengerjakan semua tugasnya, mengatur jadwal CEO, mengikuti semua kegiatan CEO kemanapun ia pergi. Walau keluar kota sekalipun. Bahkan pernah ke luar negeri dan tak jarang.

Kring kring kring

Tiba-tiba ponsel Setu berbunyi. Ia menatap sekilas layar ponsel itu lalu berucap," ah sudahlah. Daripada aku makin pusing, mending aku keluar aja. Aku mau cari udara segar," pungkasnya.

Setu pun berlalu meninggalkan ibunya dan juga istrinya. Ia masuk ke dalam kamar mandi setelah ia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Tak ada yang memperhatikan apa yang diambil oleh Setu dari lemari itu.

Sementara ibu Sirlina masih memelototi Salin. Dan Salin pun hanya bisa tertunduk ditatap seperti itu.

Tak berapa lama, Setu pun keluar kamar meninggalkan ibunya dan Salin, istrinya.

"Ibu, Setu pergi. Ia berpamitan pada sang ibu dengan kalimat yang begitu singkat dan acuh kepada Salin. Dan ibunya, memberangkatkan Setu dengan senyum.

Hati Salin sangat miris melihat pemandangan itu. Sejak rasanya di dada.

"Apa yang kamu lihat?" tanya ibu mertuanya itu.

"Cepat lakukan tugasmu! Masih ingatkan?" titah sang mertua sekaligus bertanya.

"Iya, ibu," jawab Salin lirih.

Segera Salin menggantungkan tasnya lalu mengganti baju kerjanya dengan baju rumahan. Dan mertuanya menyaksikan itu semua. Tentu saja dengan tatapan sinis dan tidak suka.

Sampai saat ini, pertanyaan di benak Salin belum juga terjawab. Apa pertanyaan itu? Pertanyaannya adalah, mengapa ibu mertuanya itu tidak suka kepadanya? Mengapa ibu mertuanya itu selalu saja menganggap apa yang ia kerjakan salah dimatanya?

Entahlah, sampai saat ini Salin tak tau. Entah kenapa pula suaminya seolah bersekongkol dengan ibu mertua untuk menyudutkan dirinya. Menyalahkan semua kepadanya.

Salin merasa suaminya itu sudah berubah.

"Cepetan! Lelet banget sih jadi orang!" hardik Sirlina, ibu mertua Salin itu. Ia masih memelototi menantunya itu.

"I-iya, ibu," sahut salin terbata. Ia terkejut dengan suara sang mertua.

Salin mulai melangkah beberapa langkah. "Bu, mas Setu kemana sih?" tanya Salin pelan. Ia ingin tau kemana sang suami pergi. Sebagai seorang istri tentu ia heran, pulang kerja suaminya malah pergi entah kemana. Apalagi setelah menerima telepon dari seseorang yang Salin tak tau itu siapa.

Dan anehnya lagi, Salin melihat senyuman dari bibir sang suami usai ia memutus sambungan telepon itu. Istri mana yang tak bertanya-tanya.

"Banyak amat pertanyaannya? Kerja sana!" titah sang mertua. Ia sungguh tak mau menjawab tanya menantunya itu.

"Cepetan!" pekiknya saat Salin masih saja diam mematung. Pikirannya masih pada Setu.

Salin pun segera beranjak ke dapur. Memasak untuk makan malam, membersihkan rumah, menyiram bunga, dan terakhir adalah mencuci piring bekas ja memasak tadi.

Tibalah waktunya makan malam.

Puihh

"Apa yang kau masak ini?" hardik Setu.

"Kau mau membunuhku? Udah nggak enak, asin pula," tambahnya. Ia menyemburkan nasi dan lauk yang sudah ia masukkan ke dalam mulutnya hingga mengenai wajah Salin yang saat ini duduk bersama di meja makan di dapur yang luas itu.

"Asin, mas?" tanya Salin hati-hati. Ia merasa suaminya itu salah menilai. Seingatnya, garamnya sudah pas. Karena tadi ia mencicipinya dan rasanya sudah pas.

"Kau kira aku bohong? Hah? Dasar istri tak berguna!"

Chapter 2. Menantu Tak Becus

"Mas, apa sih salahku sama kamu? Kenapa kamu suka marah-marah terus?" tanya Salin dengan hati-hati.

Akhir-akhir ini, ia mulai hati-hati bicara dengan sang suami. Sedikit - sedikit marah. Sedikit - sedikit main fisik. Tak jarang Salin mendapati luka memar di tubuhnya akibat ulang sang suami.

Dan sering bukan masalah besar. Sering sekali masalah sepele yang membuat emosi sang suami naik sampai ke ubun-ubun.

"Ada masalah di kantor, mas?" tanyanya lagi. Karena tak da reaksi atas pertanyaannya kepada suaminya itu.

"Bukan urusanmu!"

"Tapi, mas..."

"Aaah, cerewet! Diam kamu! Berisik! Urus urusanmu sendiri!" Setu bahkan berapi-api mengucap setiap kalimat beruntun itu.

"Kok gitu sih mas ngomongnya? Salah ku apa mas sama kamu?" tanya Salin lagi. Masih mencoba halus dan lembut berbicara. Walau bagaimanapun tindakan suaminya kepadanya, saling tetap menghormati suaminya itu. Ia selalu menjadikan mamanya sebagai panutan. Walaupun papanya sering menyakiti mamanya.

"Salahmu kamu bilang? Kamu pura-pura nggak tau atau memang kamu lola? Katanya master, tapi lelet. Beli ijazah ya?"

"Apa sih, mas. Tanyaku apa, jawab mas apa. Nggak nyambung."

"Iyalah. Hanya kamu yang nyambung. Mentang-mentang kamu master. Selalu saja menganggap orang remeh. Aku ini apalah."

"Apa sih kamu, mas? Nggak jelas. Siapa yang membahas master. Master chef ya, mas?"

"Garing. Nggak lucu," celetuk Setu jengkel.

"Ya, aku kan bukan pelawak, mas. Mana bisa aku bikin lucu. Kamu ada-ada saja, mas mas."

"Diam kamu!"

****

"Saliiiin…..." pekik seroang wanita paruh baya.

Salin yang sedang ada di kamar, beres-beres sungguh terkejut dengan pekikan ibu mertuanya itu. Masih pagi sekali padahal. Bahkan matahari belum juga muncul, tapi rumah besar itu sudah ribut. Dan suara keributan itu hanya berasal dari suara seorang ibu paruh baya yaitu mertua dari Salin.

Segera Salin bergegas menyelesaikan urusannya di kamar, lalu ia berlari menghampiri sang mertua.

"Ada apa, ibu?" tanyanya lembut. Napasnya masih ngos-ngosan.

"Mana bajuku?" tanyanya masih memekik.

"Ibu, maaf. Bisa dipelankan sedikit suaranya? Masih pagi lho, Bu."

"Kamu ngajarin aku? Sudah berani kamu ya?" hardik wanita itu.

"Sini kamu!" titahnya. Tak membiarkan Salin mendekat, tapi ia yang mendekati Salin lalu menjambak rambut Salin. Bagai tali kekang, ia tarik rambut Salin itu hingga salin merasa sangat kesakitan.

"Apa salahku, ibu?" tanya Salin gemetar. Ia masih tertunduk akibat tarikan rambut dari sang mertua.

Mendengar tanya Salin, ibu Sirlina pun tambah marah. Wajahnya memerah. Giginya gemeletuk.

"Masih tanya apa salahmu? Heh, tugas kamu itu membereskan semua pakaian ku, menyiapkan air mandiku, belanja, sikat WC, memasak, pokoknya semua isi rumah ini, kamu yang bertanggung jawab!"

"Tapi ibu, bukan kah ada asisten rumah tangga? Lalu kalau Salin yang ngerjain semuanya, bagaimana salin akan bekerja, ibu? Kalau Salin telat bagaimana?" Salin mencoba melepaskan rambutnya dari cengkeraman ibu mertuanya itu. Tetapi ia tak mampu.

Sebenarnya dari segi tenaga, Salin bukannya tidak mampu melawan ibu mertuanya. Ia sanggup, sangat sanggup malah. Tetapi bukan itu maunya Salin. Ia masih menghormati ibu mertuanya itu. Ia berharap semuanya bisa dibicarakan baik-baik.

"Tidak ada pelayan. Aku sudah memecatnya."

"Tapi kenapa ibu?"

"Jelas karena itu akan buang-buang uang. Kan masih ada kamu yang ngerjain semuanya. Kamu mau santai aja gitu di rumah ini? Mau jadi ratu kamu? Huh, jangan mimpi!"

Ibu Sirlina menghempaskan rambut Salin yang ia jambak tadi. Sehingga membuat salin hampir saja terjatuh kalau ia tak bisa menahan diri dengan menjaga keseimbangan tubuhnya.

Salin pun berdiri tegak lalu merapikan rambutnya yang berantakan.

"Sekarang cari bajuku!" titah Sirlina lagi. "Cepat!" hardiknya.

"Baju yang mana, bu?" tanya Salin berusaha senyum.

"Tegar sekali wanita ini. Masih bisa tersenyum walau aku sudah menyiksa dia lahir dan batin. Tetapi dia masih bisa senyum?" batin ibu Sirlina.

"Baju yang warna gold. Yang banyak bling bling nya itu. Awas kalau payetnya itu jatuh walau sebiji pun. Habis kamu," ancam sang ibu mertua.

Salin pun paham baju yang mana yang diucapkan sang ibu mertua. Ya, Salin tau. Baju itu sangat mahal. Mungkin bukan yang paling mahal diantara baju-baju sang mertua. Bahkan baju itu juga sedang viral dan diminati ibu-ibu pecinta fashion terbaru apalagi dengan viral.

Memang semua baju mertuanya mahal. Bahkan seluruh isi rumah ini dibeli dengan harga mahal dan kualitas terbaik.

Tetapi tidak dengan apa yang dipunya Salin. Tak pernah sekalipun ibu mertuanya itu mengijinkan Salin membeli barang untuk dirinya yang mahal. Semuanya standar. Bahkan suaminya sekalipun, tak pernah membeli ia barang branded sejak mereka memutuskan untuk menikah.

Sering sekali Salin diam-diam membelikan barang yang lumayan lah untuk mendukung penampilannya. Mengingat dia bekerja sebagai sekretaris CEO di perusahaan terbesar di negara itu. Perusahaan nomor satu pula dan bergengsi.

Tetapi sering juga ibu mertuanya dan suaminya protes apabila Salin memakai barang itu dan mereka tau itu mahal. Alasan Salin selalu adalah hadiah dari kantor. Hadiah dari bos. Hadiah dari teman-teman.

Alasan itulah yang membuat Setu menuduh Salin bahwa salin berselingkuh di kantor. Ia tak terima Salin bekerja dengan gaji yang lebih besar darinya. Ia tak terima bahwa Salin bekerja di perusahaan yang jauh lebih besar darinya. Ia tak terima bila Salin mendapatkan beasiswa dari perusahaan hingga ia mendapatkan gelar lebih tinggi darinya.

Alasan - alasan itulah yang menimbulkan perkara yang semakin menggunung di dalam rumah tangga Setu dan Salin. Dan Salin tak pernah tau itu. Karena ia sendiri merasa biasa saja. Tak pernah ia merasa Setu lebih rendah darinya. Tak pernah ia foya-foya atas apa yang ia punya. Tak pernah ia boros dengan apa yang ia miliki. Oleh karena itu ia merasa tidak ada masalah. Beda halnya dengan Setu dan juga ibu Sirlina, ibu mertuanya itu.

"Salin, mana bajunya?" pekik sang mertua lagi. Padahal baru beberapa menit ia menyuruh Salin untuk mencari keberadaan baju itu.

"Sebentar, bu. Belum ketemu," sahut Salin.

"Kamu ngapain aja sih? Lelet banget," cibir ibu Sirlina.

"Maaf Bu, tapi aku udah mencari dimana-mana tapi nggak ada."

"Alah, bilang saja kamu malas. Sama, cari lagi!" titahnya lagi.

"Maaf, Bu. Boleh Salin cari di lemari ibu?" tanya Salin hati-hati sekali.

"Enak saja. Nggak sopan kamu. Itu privasi saya. Enak aja kamu mau otak atik isi lemariku. Dimana etikamu? Katanya master. S2, tapi apa? Attitude aja nggak ada," cibir ibu Sirlina.

"Tapi, Bu. harus kemana lagi aku mencari? Mungkin keselip di lemari ibu. Atau...."

"Aah, dasar nggak berguna. Nggak guna aku suruh kamu nyari. Nggak becus kamu jadi menantu."

Chapter 3. Istri Durhaka

"Sudahlah! Anak-anak sudah besar. Untuk apa kamu pikirkan mereka? Mereka itu pasti menjalankan kewajibannya masing-masing," ucap Sande - papa Salin.

Sande mencoba menenangkan sang istri agar tidak khawatir kepada putrinya, Salin dan juga Stephania.

Saat ini Stephania sedang duduk di bangku kelas 3 SMA. Dia adalah anak kedua dari Sefarina, hasil pernikahannya dengan Sande Devaro. Sementara Salin dan Stephania mempunyai seorang kakak laki-laki yang bernama Ardan. Hasil pernikahan Sande Devaro dan istrinya dulu, Senti kakaknya Sefarina.

Di mata Sande Devaro, anak perempuan dan laki-laki sungguh sangat berbeda. Dimana laki-laki harus mencapai mimpinya setinggi mungkin. Sementara perempuan, bersekolah seadanya karena pada akhirnya akan kembali pada kegiatan di dapur. Tak peduli ia dengan cita-cita atau impian kedua putrinya.

Kehidupan yang dijalani Salin dan Stephania sungguh keras. Berbeda halnya dengan Ardan.

Salin, sebagai anak yang selalu mendengarkan apa kata orang tua, termasuk ayahnya, selalu menuruti apa kata sang ayah. Tak pernah ia membantah apa pun kata sang papa. Bahkan, pertemuan antara Salin dan Seru tak luput dari campur tangan papa Sande Devaro.

Mama Sefarina diam saja dengan ucapan suaminya. Selama puluhan tahun ia menyandang status sebagai istri dari Sande, tak pernah ia meremehkan sang suami. Ia selalu menghormati, menghargai suaminya. Dan menganggap semua ucapan yang keluar dari mulut suaminya adalah titah.

****

"Ibu, Salin sudah selesai semua tugas. Boleh ya Bu salin pergi?"

Salin mencoba meminta ijin untuk berangkat kerja kepada ibu mertuanya itu. Sementara Sirlina, sengaja memberikan segudang pekerjaan di pagi hari itu kepada sang menantu. Dengan tujuan Salin terlambat datang ke kantor dan akhirnya mendapatkan teguran dari bosnya. Kemungkinan terburuk adalah dia akan dipecat.

"Ngebet banget mau pergi?" cibir ibu Sirlina. "Baru jam berapa," timpalnya lagi.

"Kamu belum bisa pergi sebelum kamu beresin kamar saya."

"Tapi, Bu tadi sudah saya bereskan. Bereskan gimana lagi, Bu?"

Sirlina gegas berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju kamar pribadinya.

"Beres gimana? Buta ya mata mu? Lihat tuh!" Ia menunjuk ke arah tengah-tengah kamar dengan barang yang berserakan.

Seingat Salin, ia sudah membereskan semuanya tadi. Tetapi kenapa bisa berantakan kembali? Ada apa sebenarnya?

Tentu pertanyaan - pertanyaan itu hanya Salin ucapkan dalam hati. Karena kalau sampai ia bertanya, maka waktu akan semakin banyak terbuang. Toh belum tentu juga ibu mertuanya itu mau langsung menjawab.

Salin menunduk hormat kepada ibu mertuanya lalu, segera masuk ke dalam kamar itu. Alangkah terkejutnya ia saat mendapati kamar yang sangat berantakan itu. Baju berserakan diatas tempat tidur, selimut dan bantal berserakan diatas lantai. Ada noda bekas minuman. Entahlah, tak terungkapkan bagaimana menjelaskannya.

"Ini kok bisa seperti ini? Perasaan tadi sudah aku bereskan. Dan ini kenapa jadi berantakan begini? Ulah siapa ini?" tanya Salin dalam hati. Ia menatap kamar itu penuh makna dan penuh tanya.

"Cepetan! Malah bengong," pekik ibu Sirlina tiba-tiba. Membuyarkan lamunan Salin yang tak habis pikir dengan keadaan kamar itu.

Salin menatap jam di tangannya.

"Bu, boleh nggak kalau nanti saja Salin bereskan? Soalnya kalau sekarang kan nggak keburu. Nanti Salin terlambat ke kantor gimana, Bu?"

"Itu bukan urusan saya!" ucap ibu Sirlina. Memberi penekanan pada kalimat itu. "Sekarang yang harus kamu lakukan adalah bereskan semuanya! Tidak ada bantahan."

"Tapi, Bu...."

"Sudah kubilang tidak ada tapi-tapian. Kerjakan sekarang!" titahnya dengan tegas dan tak mau dibantah.

"Atau gimana kalau nanti Salin bereskan saat jam makan siang di kantor, Bu?" masih coba Salin menawar.

"Nanti kan ada istirahat di kantor saat jam makan siang. Kira-kira se jam-an lebih lah. Gimana, Bu?" imbuhnya lagi. Dalam hati Salin berharap tawaran yang ia berikan dikabulkan sang mama.

"Apa kamu bilang? Kamu kira saya sedang jualan apa? Pakai tawar menawar segala."

"Setelah kamu bereskan kamar ini, kamu harus membersihkan kamar mandi saya. Kamu pel sampai kinclong. Dan harus kering. Saya tidak suka basah-basah kamar mandi saya," ucapnya tegas lagi.

Salin menarik napas panjang. Ia memutar otak. Bagaimana cara dia membersihkan semua ini dalam waktu yang begitu mepet.

"Nanti saya datang. Saya akan cek. Kalau masih belum sesuai dengan yang saya sebutkan tadi, maka bersiaplah. Saya akan beri pelajaran padamu," ancam sang mertua. "Saya mau sarapan dulu."

Ibu Sirlina pun meninggalkan kamarnya dan beranjak ke dapur untuk sarapan bersama dengan anak kesayangannya itu.

"Salin...."

"Salin...."

Terdengar lagi suara bariton yang sangat menggelegar di pagi hari itu. Memanggil Salin, istrinya yang sedang berada di kamar ibunya.

"Bu, kemana Salin? Saya panggil dari tadi malah nggak jawab. Buat kepala tambah pusing saja," adu Setu pada ibunya.

"Salin ada di kamar ibu Dia saya suruh bereskan kamar ibu dan juga kamar mandi," sahut ibunya santai.

"Ibu apaan sih? Setu juga butuh tenaganya, Bu. Setu udah mau terlambat nih," gerutunya.

Segera Setu beranjak menuju kamar sang ibu dan memanggil-manggil istrinya yang belum kelihatan itu.

"Heh, kamu tuli ya? Dari tadi saya panggil, bukannya jawab," omel Setu.

"Maaf, mas. Tapi saya.. "

"Alah, banyak ngomong. Mana dasi dan sepatu ku. Ambilkan!" titahnya dengan kasar. Tak ada kelembutan dalam nada suaranya.

"Tapi, mas ini... ibu..."

"Heh, kamu dengar nggak sih? Saya sudah mau terlambat. Cepat Carikan dasi dan sepatu saya! Nanti kan bisa kamu lanjutkan pekerjaan kamu. Susah banget sih!"

"Tapi kan, mas Salin sudah menyiapkan dasi mas diatas ranjang. Salin juga sudah menyiapkan sepatu mas di dekat pintu. Memangnya mas nggak bisa ambil sendiri?" tanya Salin heran.

Biasanya Setu memang sudah disiapkan oleh salin semuanya. Dan hari ini salin. juga sudah menyiapkan nya. Tetapi entah kenapa, menurut suaminya itu semuanya tak ada Salin siapkan.

"Saya nggak suka pilihanmu hari ini. Cari yang lain!" cerocos Setu.

Dalam hati Salin hanya mendesis, mengeluh. Pagi-pagi begini, ia sudah direpotkan oleh ibu mertuanya dan juga suaminya sendiri. Bukannya ia tak sanggup. Bukan pula ia tak mengerjakan semuanya.

Salin sudah bangun subuh tadi, bahkan jam empat subuh ia sudah membereskan rumah, memasak, mencuci. Dengan harapan tidak akan telat ke kantor.

Tetapi apa ini? Pagi ini ia disibukkan dengan ulah ibu mertua dan juga suaminya. Seolah-olah Salin merasa kalau mereka berdua sekongkol untuk membuat salin terlambat ke kantor.

Mau tak mau, Salin pun menuruti titah sang suami. Ia berjalan dengan menghentakkan kakinya.

"Kenapa kamu? Nggak terima saya suruh? Mau jadi istri durhaka kamu? Mau kena azab kamu? Hah?"

Salin tertunduk.

Jujur sebagai manusia biasa ia mulai lelah. Lelah dengan semua tingkah suami dan juga ibu mertuanya. Salin merasa mereka berdua berubah. Seolah bekerja sama untuk membuat Salin repot.

"Kuatkan aku ya, Allah," batin Salin. Segera ia ke kamarnya dan suaminya untuk menyiapkan apa yang dikatakan suaminya itu tadi.

"Ini, mas," katanya. Ia menyodorkan dasi itu pada sang suami. Dan meletakkan sepatu di dekat suaminya diatas lantai.

"Pakaikan!" titah Setu.

Salin pun hanya bungkam. Tapi tangannya memasangkan dasi pada leher sang suami.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!