Pesonamu Mengalihkan Cintaku
Rumah tanggaku masih terasa hambar. Masih saja seperti ini, tidak berubah meski sudah bulan kedelapan usia pernikahanku dengan Danial. Seorang guru yang berwibawa, tampan, dan humoris di depan murid-muridnya. Tapi tidak dengan diriku.
Malam ini aku berada di rumah mertuaku. Seperti biasa, satu minggu sekali kami menginap di rumah Mama. Mama mertua yang kasih sayangnya sama dengan ibu kandungku sendiri. Maklum sejak kecil aku sudah sangat dekat dengan keluarga suamiku, bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Mereka sangat menyayangiku, tapi tidak dengan suamiku.
“Bagaimana, Vit? Sudah hamil? Itu papamu tanya mama terus.” Mama mertuaku bertanya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas. Kami sedang berada di ruang makan, untuk makan malam.
Aku menunduk sambil memberikan senyuman termanis untuk mama. Beliau tidak boleh tahu bahwa aku masih perawan sampai saat ini. Mama dan Papa tidak boleh tahu, bahwa putra tunggalnya sama sekali belum pernah sedikit pun menyentuhku, padahal usai pernikahan kami sudah delapan bulan lamanya.
Aneh tapi nyata. Mestinya bulan-bulan pertama dalam pernikahanku menjadi hari-hari yang paling indah. Penuh hasrat, gelora, desah kenikmatan, kecupan hangat, pelukan, dan peluh keringat penuh gairah. Harusnya hal itu terjadi di bulan-bulan ini, di mana kami sedang menjalani fase pengantin baru. Namun, yang terjadi padaku adalah hari-hari yang kosong, hampa, tidak ada gelora hasrat pengantin baru. Penuh dengan derai air mata yang kukemas apik dengan senyum dan tawa.
“Belum dikasih, Ma. Sabar ya, Ma, Pa? Doakan Vita dan Mas Danial supaya cepat di kasih momongan,” ucapku.
“Kalian baik-baik saja, kan? Mana Danial? Kok gak ikut turun?” tanya Papa mertuaku.
“Katanya sedang ada pekerjaan, besok harus sudah diserahkan ke Dinas katanya,” jawabku asal, padahal aku tahu, suamiku sedang membaca buku, dan sedang bertukar pesan dengan wanita yang selama ini mungkin dicintai suamiku.
“Begitu menjadi guru, urusan Dinas saja yang dipikirkan, berurusan dengan orang-orang yang ribet,” tukas papa.
“Pa, pekerjaan guru itu sangat mulia, Mas Danial juga menjadi guru teladan, Pa. Dia seorang guru yang hebat, bahkan Mas Danial ingin mendirikan sekolah gratis khusus anak-anak tidak mampu. Bukankah mulia sekali putra papa?” pujiku dengan mengulas senyuman di depan papa mertua.
“Halah ... tetap saja papa belum ikhlas dia menjadi pengajar. Dia anak satu-satunya papa. Anak laki-laki pula. Harusnya dia menjadi penerus papa untuk melanjutkan perusahaan papa. Bukan malah kamu, Vita! Kamu harusnya bisa meneruskan bisnis ayahmu, malah papa merepotkan ayahmu, meminta kamu yang benar-benar papa harapkan untuk perusahaan papa ke depannya,” ucap papa.
“Papa jangan begitu bicaranya,” ucapku.
Memang sejak dari aku SMA, aku memang sangat tertarik dengan dunia bisnis. Nilai pelajaran ekonomi dan akuntansiku paling tinggi. Aku senang berbisnis, itu mungkin karena ayahku adalah pengusaha yang tak kalah hebatnya dengan Om Barata, yang sekarang menjadi papa mertuaku. Dari SMP, aku sudah sering ikut ayah ke kantor, ikut ayah meeting, dan aku ingin seperti ayah, aku ingin memiliki banyak perusahaan seperti ayah dan Om Barata. Dan, saat keinginanku itu diketahui Om Barata, Om Barata sangat mendukung, padahal ayah terserah aku maunya apa. Aku memang sempat labil, kadang ingin sekali aku jadi guru ekonomi, mengajar anak-anak di SMA atau di SMK, kadang juga ingin jadi seorang dokter, tapi memang aku berjodoh menjadi seorang pengusaha, menjadi CEO, tapi bukan di perusahaan milikku sendiri, melainkan di perusahaan papa mertuaku.
Sejak papa mertuaku tahu jiwa bisnisku tercetak sejak aku SMA, papa langsung meminta ayah agar aku kuliah mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Aku dikuliahkan papa di London, supaya aku bisa memperdalam ilmu bisnisku. Aku menuruti semua itu, meski aku berat, karena aku tahu akan seperti ini jalannya, aku harus menikah dengan putra tunggal dari pasangan Barata Adijaya dan Tamara Angelina.
Bukan hanya urusan bisnis, aku pun sudah diminta papa dan mama mertuaku sejak SMP, untuk menjadi menantu tunggal mereka. Hidupku memang terasa terkekang saat itu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya ada satu impianku, aku ingin seperti ayah, meski kadang aku ingin begini-begitu, ingin jadi guru, jadi dokter, pengacara, dosen, dan lainnya, karena anak usia remaja masih labil pikirannya. Namun, setelah aku memperdalam ilmu bisnis, aku semakin menyukainya, tidak salah kalau kedua kakak laki-lakiku, dan kakak perempuanku juga berlomba-lomba menjadi seorang pengusaha seperti ayah.
“Vit, papa itu ingin sekali Danial seperti kedua kakak laki-lakimu, menjadi pengusaha sukses, menuruni ayahmu, tidak seperti Danial, malah dia memilih menjadi guru, susah sekali dia diatur,” ucap papa.
“Papa ... jalan hidup orang kan beda-beda, Pa? Tidak melulu papanya pengusaha, anaknya juga harus menjadi pengusaha. Seorang pengajar juga bisa berbisnis kok? Banyak teman Vita yang menjadi guru, juga memiliki usaha, memiliki bisnis?” ucapku.
“Ya memang begitu, papa hanya menyayangkan saja, punya anak satu-satunya saja, dan itu laki-laki, malah begini. Untung papa punya sahabat seperti ayahmu, yang tidak marah kalau sejak kecil papa selalu meminta kamu untuk jadi anak papa. Dan, akhirnya papa bisa menjadikan kamu menantu papa. Padahal kamu anak kesayangan ayahmu, dan ayahmu tidak pernah mengekang kamu mau menjadi apa pun setelah kamu lulus sekolah.” Ucap papa.
“Mungkin karena Vita anak terakhir, dan ketiga kakak Vita sudah bisa meneruskan usaha ayah, jadi ayah membebaskan Vita. Tapi, mungkin darah bisnis memang sudah mengalir di keturunan ayah, ya Vita sekarang seperti ini. Makasih sekali Vita sudah dipercaya mama dan papa untuk mengemban tugas dari mama dan papa,” ucapku.
“Papa juga terima kasih sekali dengan kamu, Vit. Sudah mau membantu mama dan papa mengurus semuanya, kalau bukan kamu siapa lagi? Mama dan papa usianya semakin hari semakin senja. Ayah dan ibumu sudah lega, ada tiga anaknya yang meneruskan, sedang papa dan mama? Punya Danial saja dia selalu menentang kalau sudah bicara soal kantor,” ucap papa.
“Mama juga, akhirnya mama punya anak perempuan dan mau meneruskan apa yang mama dan papa miliki. Mama titip perusahaan dengan Danial ya, Sayang?” ucap mama.
“Ma, Pa, doakan Vita, semoga Vita bisa mengemban amanah dari mama dan papa, juga menjadi istri yang terbaik untuk Mas Danial,” ucapku.
“Sudah sana, panggil anak bandel papa, suruh makan malam dulu,” titah papa.
“Iya, Pa. Vita panggil Mas Danial dulu,” jawabku, lalu berlalu ke kamar memanggil suamiku untuk makan malam bersama.
Aku ragu untuk mengajaknya makan malam, toh sehari-hari di rumah kami pun kami sama sekali tak bertegur sapa. Kecuali ada hal penting soal mama dan papa, kami baru saling bicara. Senyap, tidak ada suara di dalam rumah kami sehari-harinya, pun di kamar kami.
Aku beranikan diriku memanggil Mas Danial, karena ini perintah papa dan mama. Kalau bukan karena papa dan mama aku tidak mau bicara lebih dulu dengannya, takut aku salah, dan selalu ingat saat malam pertama kami yang begitu menyakitakan. Aku saat itu hanya duduk tertunduk dengan berderai air mata.
“Ingat, aku mau menikahi kamu, itu semua karena mama!” Itu kalimat pertama yang Mas Danial lontarkan saat malam pertama kami.
“Perjodohan itu tidak ada dalam kamus kamus hidupku! Aku sadar aku seorang guru, dan banyak di luar sana guru dijodohkan orang tuanya, tapi dengan yang sejalur, bukan yang bertolak belakang seperti ini. Seorang guru, ingin mendapatkan guru pula, bukan seorang pengusaha. Pekerjaan yang paling mulia adalah seorang guru, bukan pengusaha yang sombong pula!”
Aku hanya menunduk saat suamiku berkata dengan nada tinggi seperti itu. Aku menangis, dan bertanya-tanya, apa aku ini sombong? Apa aku mempekerjakan karyawanku dengan seenak jidatku? Memeras tenaganya tapi upahnya di bawah rata-rata? Aku tidak seperti itu, aku memprioritaskan kesejahteraan karyawanku semua, dari bagian yang paling rendah, hingga yang memiliki kedudukan tinggi di kantor. Tega sekali Mas Danial berkata seperti itu terhadapku. Berkata aku adalah orang yang sombong.
“Ya, aku tahu ini bukan salahmu. Kamu juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang papa dan mama mau. Tapi, malam ini juga kamu harus paham, aku tidak mencintaimu, atau lebih tepatnya aku belum mencintaimu, Revita Adriyana!”
Satu persatu air mataku meluncur lebih deras ke pangkuanku.
Aku Revita Adriyana, lihatlah aku mas, aku yang dari dulu diharapkan papa dan mamamu karena kamu tidak mau dan menolak keras permintaan papa dan mamamu untuk meneruskan perusahaan orang tuamu. Lihatlah aku, Mas, yang masih memakai gaun mewah yang dibuat oleh desainer ternama dan baru saja turun dari pelaminan super megah. Lihatlah aku sebagai istrimu saat ini.
“Hmm ... tapi mau bagaimana lagi, Vit. Mama dan papa sangat mengandalkan kamu untuk meneruskan perusahaannya? Aku bisa apa sih? Aku sudah terlanjur dituduh papa anak yang tidak bisa apa-apa dan tidak bisa diandalkan untuk perusahaan!”
Mas Danial duduk di sofa. Dia menatapku tajam. Aku makin menunduk. Tidak menyangka kalimat pedas itu keluar dari mulutnya di malam pertama pernikahan kami.
“Aku minta maaf, Vit. Mulai malam ini, selama kita tinggal dengan mama dan papaku, aku akan tidur di sofa ini. Nanti aku akan berusaha mencari rumah untuk tempat tinggal kita, tapi kamu jangan kaget, aku cari rumah biasa yang sederhana, aku ini seorang guru, bukan pengusaha yang banyak uang, meski papa dan mamaku pengusaha, aku tidak ingin merepotkannya lagi, kita akan tinggal di rumah biasa saja, aku akan mencari tempat yang strategis, yang tidak jauh dari sekolahanku,” ucapnya.
Aku makin menunduk. Air mataku mengucur deras karena hatiku tersayat oleh ucapannya. Aku tidak tahu, kepada siapa aku akan mengadukan semua ini? Kenapa dia tega sekali mengatakan itu? Aku tahu dia kecewa karena perjodohan ini, aku tahu dia butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Tapi, tidak bisakah dia bicara lebih halus lagi tanpa menyakiti perasaanku? Kalau dia menolakku sebagai istrinya, tidak bisakah dia menghormatiku sebagai perempuan?
“Iya, Mas. Saya memakluminya.” Jawabku, kuangkat kepalaku saat setelah kuhapus air mataku. Dia tidak melihatku saat aku bicara, tapi dia malah sibuk dengan gawainya.
Malam-malam setelahnya, perjuanganku dimulai. Tidak ada perang dunia di dalam hidupku, hanya saja perang batin yang sangat dahsyat dari perang mana pun. Kami tinggal dalam satu kamar, tapi setiap malam kami harus perang dingin. Tidak saling sapa, tidak saling bicara. Kami hanya bertukar senyum saat di luar kamar, saat bersama kedua orang tua kami, atau saat menghadiri undangan. Itulah saat kami bersandiwara, kami saling bertukar senyum, memakai baju yang senada, terlihat seperti pasangan bahagia, dan setelah semua sandiwara selesai, kami harus memulai perang dingin kami lagi. Akulah Drama Queen, dan mulai saat itu, aku mulai dramaku.
Itu semua kami lalui selama enam bulan saat aku dan suamiku masih berada di rumah orang tua suamiku. Hingga kami pindah rumah sendiri pun kami masih perang dingin, bedanya Mas Danial lebih memilih tidur di kamar tamu, tidak satu kamar lagi denganku.
Aku tercenung di depan kamar, kamar yang menjadi saksi malam pertamaku yang menyayat hati. Mengingat semua saat malam pertamaku. Aku buka pintu kamar, dan aku panggil suamiku untuk bergabung makan malam dengan kedua orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-07-23
0
Uthie
bagus ceritanya 👍👍👍
2023-08-23
2
Tetik Saputri
semangat kak
2023-06-09
0