NovelToon NovelToon

Pesonamu Mengalihkan Cintaku

Drama Queen

Rumah tanggaku masih terasa hambar. Masih saja seperti ini, tidak berubah meski sudah bulan kedelapan usia pernikahanku dengan Danial. Seorang guru yang berwibawa, tampan, dan humoris di depan murid-muridnya. Tapi tidak dengan diriku.

Malam ini aku berada di rumah mertuaku. Seperti biasa, satu minggu sekali kami menginap di rumah Mama. Mama mertua yang kasih sayangnya sama dengan ibu kandungku sendiri. Maklum sejak kecil aku sudah sangat dekat dengan keluarga suamiku, bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Mereka sangat menyayangiku, tapi tidak dengan suamiku.

“Bagaimana, Vit? Sudah hamil? Itu papamu tanya mama terus.” Mama mertuaku bertanya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas. Kami sedang berada di ruang makan, untuk makan malam.

Aku menunduk sambil memberikan senyuman termanis untuk mama. Beliau tidak boleh tahu bahwa aku masih perawan sampai saat ini. Mama dan Papa tidak boleh tahu, bahwa putra tunggalnya sama sekali belum pernah sedikit pun menyentuhku, padahal usai pernikahan kami sudah delapan bulan lamanya.

Aneh tapi nyata. Mestinya bulan-bulan pertama dalam pernikahanku menjadi hari-hari yang paling indah. Penuh hasrat, gelora, desah kenikmatan, kecupan hangat, pelukan, dan peluh keringat penuh gairah. Harusnya hal itu terjadi di bulan-bulan ini, di mana kami sedang menjalani fase pengantin baru. Namun, yang terjadi padaku adalah hari-hari yang kosong, hampa, tidak ada gelora hasrat pengantin baru. Penuh dengan derai air mata yang kukemas apik dengan senyum dan tawa.

“Belum dikasih, Ma. Sabar ya, Ma, Pa? Doakan Vita dan Mas Danial supaya cepat di kasih momongan,” ucapku.

“Kalian baik-baik saja, kan? Mana Danial? Kok gak ikut turun?” tanya Papa mertuaku.

“Katanya sedang ada pekerjaan, besok harus sudah diserahkan ke Dinas katanya,” jawabku asal, padahal aku tahu, suamiku sedang membaca buku, dan sedang bertukar pesan dengan wanita yang selama ini mungkin dicintai suamiku.

“Begitu menjadi guru, urusan Dinas saja yang dipikirkan, berurusan dengan orang-orang yang ribet,” tukas papa.

“Pa, pekerjaan guru itu sangat mulia, Mas Danial juga menjadi guru teladan, Pa. Dia seorang guru yang hebat, bahkan Mas Danial ingin mendirikan sekolah gratis khusus anak-anak tidak mampu. Bukankah mulia sekali putra papa?” pujiku dengan mengulas senyuman di depan papa mertua.

“Halah ... tetap saja papa belum ikhlas dia menjadi pengajar. Dia anak satu-satunya papa. Anak laki-laki pula. Harusnya dia menjadi penerus papa untuk melanjutkan perusahaan papa. Bukan malah kamu, Vita! Kamu harusnya bisa meneruskan bisnis ayahmu, malah papa merepotkan ayahmu, meminta kamu yang benar-benar papa harapkan untuk perusahaan papa ke depannya,” ucap papa.

“Papa jangan begitu bicaranya,” ucapku.

Memang sejak dari aku SMA, aku memang sangat tertarik dengan dunia bisnis. Nilai pelajaran ekonomi dan akuntansiku paling tinggi. Aku senang berbisnis, itu mungkin karena ayahku adalah pengusaha yang tak kalah hebatnya dengan Om Barata, yang sekarang menjadi papa mertuaku. Dari SMP, aku sudah sering ikut ayah ke kantor, ikut ayah meeting, dan aku ingin seperti ayah, aku ingin memiliki banyak perusahaan seperti ayah dan Om Barata. Dan, saat keinginanku itu diketahui Om Barata, Om Barata sangat mendukung, padahal ayah terserah aku maunya apa. Aku memang sempat labil, kadang ingin sekali aku jadi  guru ekonomi, mengajar anak-anak di SMA atau di SMK, kadang juga ingin jadi seorang dokter, tapi memang aku berjodoh menjadi seorang pengusaha, menjadi CEO, tapi bukan di perusahaan milikku sendiri, melainkan di perusahaan papa mertuaku.

Sejak papa mertuaku tahu jiwa bisnisku tercetak sejak aku SMA, papa langsung meminta ayah agar aku kuliah mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Aku dikuliahkan papa di London, supaya aku bisa memperdalam ilmu bisnisku. Aku menuruti semua itu, meski aku berat, karena aku tahu akan seperti ini jalannya, aku harus menikah dengan putra tunggal dari pasangan Barata Adijaya dan Tamara Angelina.

Bukan hanya urusan bisnis, aku pun sudah diminta papa dan mama mertuaku sejak SMP, untuk menjadi menantu tunggal mereka. Hidupku memang terasa terkekang saat itu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya ada satu impianku, aku ingin seperti ayah, meski kadang aku ingin begini-begitu, ingin jadi guru, jadi dokter, pengacara, dosen, dan lainnya, karena anak usia remaja masih labil pikirannya. Namun, setelah aku memperdalam ilmu bisnis, aku semakin menyukainya, tidak salah kalau kedua kakak laki-lakiku, dan kakak perempuanku juga berlomba-lomba menjadi seorang pengusaha seperti ayah.

“Vit, papa itu ingin sekali Danial seperti kedua kakak laki-lakimu, menjadi pengusaha sukses, menuruni ayahmu, tidak seperti Danial, malah dia memilih menjadi guru, susah sekali dia diatur,” ucap papa.

“Papa ... jalan hidup orang kan beda-beda, Pa? Tidak melulu papanya pengusaha, anaknya juga harus menjadi pengusaha. Seorang pengajar juga bisa berbisnis kok? Banyak teman Vita yang menjadi guru, juga memiliki usaha, memiliki bisnis?” ucapku.

“Ya memang begitu, papa hanya menyayangkan saja, punya anak satu-satunya saja, dan itu laki-laki, malah begini. Untung papa punya sahabat seperti ayahmu, yang tidak marah kalau sejak kecil papa selalu meminta kamu untuk jadi anak papa. Dan, akhirnya papa bisa menjadikan kamu menantu papa. Padahal kamu anak kesayangan ayahmu, dan ayahmu tidak pernah mengekang kamu mau menjadi apa pun setelah kamu lulus sekolah.” Ucap papa.

“Mungkin karena Vita anak terakhir, dan ketiga kakak Vita sudah bisa meneruskan usaha ayah, jadi ayah membebaskan Vita. Tapi, mungkin darah bisnis memang sudah mengalir di keturunan ayah, ya Vita sekarang seperti ini. Makasih sekali Vita sudah dipercaya mama dan papa untuk mengemban tugas dari mama dan papa,” ucapku.

“Papa juga terima kasih sekali dengan kamu, Vit. Sudah mau membantu mama dan papa mengurus semuanya, kalau bukan kamu siapa lagi? Mama dan papa usianya semakin hari semakin senja. Ayah dan ibumu sudah lega, ada tiga anaknya yang meneruskan, sedang papa dan mama? Punya Danial saja dia selalu menentang kalau sudah bicara soal kantor,” ucap papa.

“Mama juga, akhirnya mama punya anak perempuan dan mau meneruskan apa yang mama dan papa miliki. Mama titip perusahaan dengan Danial ya, Sayang?” ucap mama.

“Ma, Pa, doakan Vita, semoga Vita bisa mengemban amanah dari mama dan papa, juga menjadi istri yang terbaik untuk Mas Danial,” ucapku.

“Sudah sana, panggil anak bandel papa, suruh makan malam dulu,” titah papa.

“Iya, Pa. Vita panggil Mas Danial dulu,” jawabku, lalu berlalu ke kamar memanggil suamiku untuk makan malam bersama.

Aku ragu untuk mengajaknya makan malam, toh sehari-hari di rumah kami pun kami sama sekali tak bertegur sapa. Kecuali ada hal penting soal mama dan papa, kami baru saling bicara. Senyap, tidak ada suara di dalam rumah kami sehari-harinya, pun di kamar kami.

Aku beranikan diriku memanggil Mas Danial, karena ini perintah papa dan mama. Kalau bukan karena papa dan mama aku tidak mau bicara lebih dulu dengannya, takut aku salah, dan selalu ingat saat malam pertama kami yang begitu menyakitakan. Aku saat itu hanya duduk tertunduk dengan berderai air mata.

“Ingat, aku mau menikahi kamu, itu semua karena mama!” Itu kalimat pertama yang Mas Danial lontarkan saat malam pertama kami.

“Perjodohan itu tidak ada dalam kamus kamus hidupku! Aku sadar aku seorang guru, dan banyak di luar sana guru dijodohkan orang tuanya, tapi dengan yang sejalur, bukan yang bertolak belakang seperti ini. Seorang guru, ingin mendapatkan guru pula, bukan seorang pengusaha. Pekerjaan yang paling mulia adalah seorang guru, bukan pengusaha yang sombong pula!”

Aku hanya menunduk saat suamiku berkata dengan nada tinggi seperti itu. Aku menangis, dan bertanya-tanya, apa aku ini sombong? Apa aku mempekerjakan karyawanku dengan seenak jidatku? Memeras tenaganya tapi upahnya di bawah rata-rata? Aku tidak seperti itu, aku memprioritaskan kesejahteraan karyawanku semua, dari bagian yang paling rendah, hingga yang memiliki kedudukan tinggi di kantor. Tega sekali Mas Danial berkata seperti itu terhadapku. Berkata aku adalah orang yang sombong.

“Ya, aku tahu ini bukan salahmu. Kamu juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang papa dan mama mau. Tapi, malam ini juga kamu harus paham, aku tidak mencintaimu, atau lebih tepatnya aku belum mencintaimu, Revita Adriyana!”

Satu persatu air mataku meluncur lebih deras ke pangkuanku.

Aku Revita Adriyana, lihatlah aku mas, aku yang dari dulu diharapkan papa dan mamamu karena kamu tidak mau dan menolak keras permintaan papa dan mamamu untuk meneruskan perusahaan orang tuamu. Lihatlah aku, Mas, yang masih memakai gaun mewah yang dibuat oleh desainer ternama dan baru saja turun dari pelaminan super megah. Lihatlah aku sebagai istrimu saat ini.

“Hmm ... tapi mau bagaimana lagi, Vit. Mama dan papa sangat mengandalkan kamu untuk meneruskan perusahaannya? Aku bisa apa sih? Aku sudah terlanjur dituduh papa anak yang tidak bisa apa-apa dan tidak bisa diandalkan untuk perusahaan!”

Mas Danial duduk di sofa. Dia menatapku tajam. Aku makin menunduk. Tidak menyangka kalimat pedas itu keluar dari mulutnya di malam pertama pernikahan kami.

“Aku minta maaf, Vit. Mulai malam ini, selama kita tinggal dengan mama dan papaku, aku akan tidur di sofa ini. Nanti aku akan berusaha mencari rumah untuk tempat tinggal kita, tapi kamu jangan kaget, aku cari rumah biasa yang sederhana, aku ini seorang guru, bukan pengusaha yang banyak uang, meski papa dan mamaku pengusaha, aku tidak ingin merepotkannya lagi, kita akan tinggal di rumah biasa saja, aku akan mencari tempat yang strategis, yang tidak jauh dari sekolahanku,” ucapnya.

Aku makin menunduk. Air mataku mengucur deras karena hatiku tersayat oleh ucapannya. Aku tidak tahu, kepada siapa aku akan mengadukan semua ini? Kenapa dia tega sekali mengatakan itu? Aku tahu dia kecewa karena perjodohan ini, aku tahu dia butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Tapi, tidak bisakah dia bicara lebih halus lagi tanpa menyakiti perasaanku? Kalau dia menolakku sebagai istrinya, tidak bisakah dia menghormatiku sebagai perempuan?

“Iya, Mas. Saya memakluminya.” Jawabku, kuangkat kepalaku saat setelah kuhapus air mataku. Dia tidak melihatku saat aku bicara, tapi dia malah sibuk dengan gawainya.

Malam-malam setelahnya, perjuanganku dimulai. Tidak ada perang dunia di dalam hidupku, hanya saja perang batin yang sangat dahsyat dari perang mana pun. Kami tinggal dalam satu kamar, tapi setiap malam kami harus perang dingin. Tidak saling sapa,  tidak saling bicara. Kami hanya bertukar senyum saat di luar kamar, saat bersama kedua orang tua kami, atau saat menghadiri undangan. Itulah saat kami bersandiwara, kami saling bertukar senyum, memakai baju yang senada, terlihat seperti pasangan bahagia, dan setelah semua sandiwara selesai, kami harus memulai perang dingin kami lagi. Akulah Drama Queen, dan mulai saat itu, aku mulai dramaku.

Itu semua kami lalui selama enam bulan saat aku dan suamiku masih berada di rumah orang tua suamiku. Hingga kami pindah rumah sendiri pun kami masih perang dingin, bedanya Mas Danial lebih memilih tidur di kamar tamu, tidak satu kamar lagi denganku.

Aku tercenung di depan kamar, kamar yang menjadi saksi malam pertamaku yang menyayat hati. Mengingat semua saat malam pertamaku. Aku buka pintu kamar, dan aku panggil suamiku untuk bergabung makan malam dengan kedua orang tuanya.

Dia Rembulan Yang Indah

“Mas, dipanggil mama sama papa, makan malam dulu,” ajakku.

“Hmmm ... nanti nyusul,” jawabnya singkat.

Aku mengangguk, lalu meninggalkan Mas Danial di kamarnya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku kembali turun, dan makan malam bersama dengan mertuaku. Selang beberapa menit Mas Danial menyusul untuk bergabung makan malam.

Aku mengambilkan makanan untuknya. Ia menerimanya dengan tersenyum manis padaku. Senyuman pura-pura yang selalu Mas Danial kasih saat bersama mama dan papa, atau saat bersama kedua orang tuaku, juga saat kami sedang bersama menghadiri beberapa undangan.

Selesai makan malam, kami berkumpul di ruang tengah. Mama membawakan aku cemilan yang sengaja beliau bikin. Selalu saja seperti itu kalau tahu aku mau menginap di rumahnya, mama membuatkan cemilan kesukaanku, kadang mama membelikan makanan yang aku suka. Mas Danial hanya melirik mama saat mama terlalu memanjakan aku. Mungkin dia sedang kecewa, karena aku bukan wanita yang Mas Danial inginkan, tapi aku adalah pilihan mamanya.

Semua perempuan ingin seperti diriku. Punya suami yang memiliki tubuh tegap, kulit bersih,  hidung mancung, gagah, dan berwibawa. Semua perempuan juga ingin sepertiku, memiliki mertua kaya raya, rumah megah dan mewah, harta benda tumpah ruah, dan memiliki bisnis yang maju. Semua perempuan memimpikan hal seperti diriku.

Namun, mereka tidak tahu seberapa banyak tangisku tumpah. Mereka tidak tahu aku bahwa aku sudah berencana ingin pergi meninggalkan semua, tapi aku tidak sanggup karena aku terlanjur sayang dengan mama dan papa. Aku tidak bisa meninggalkan mereka yang nantinya saat aku pergi, mereka harus kelimpungan lagi mengurus perusahaan, karena anak semata wayangnya terlalu cuek dan masa bodoh dengan usaha yang dibangun mama papanya dari nol.

“Vit, besok kamu pagi-pagi gak mau langsung pulang, kan?” tanya mama.

“Tergantung Mas Dani, Ma,” jawabku. “Memang kenapa, Ma?”

“Besok mama ada arisan dengan teman mama, mama ingin kamu ikut, sekalian kita mampir dibutik langganan kita. Sudah lama sejak kamu pindah rumah mama tidak ke sana mengajak kamu,” jawab mama.

Aku tersenyum manis di depan mama. Dialah mamaku, mama mertuaku yang teramat baik denganku. Anugerah dalam hidupku memiliki mertua sebaik mama. Yang mencintaiku sedalam ibuku sendiri. Mama satu-satunya alasanku untuk bertahan di sisi Mas Danial.

“Bagaimana, Dan? Boleh aku ajak istrimu?” tanya mama pada Mas Danial.

“Terserah mama dan Vita saja, toh biasanya seperti itu, kan?” jawab Mas Dani dengan sibuk memandangi gawainya.

“Kamu diajak bicara mama kok malah fokus ke hape, Dan?” protes papa.

“Iya, maaf,” jawabnya singkat.

“Jadi besok kamu ikut mama. Kalau Dani mau pulang dulu, tidak masalah, nanti mama antar kamu pulang ke rumah,” ucap Mama.

“Dani di sini saja. Gak usah ke rumah, lagian Dani masih kangen di sini, masih pengin di sini, Ma,” ucap Mas Danial.

Aku tahu, Mas Dani pasti takut ketahuan mama kalau di rumah kami tidur terpisah. Sejak kami pindah, memang mama dan papa juga ibu dan ayahku tidak pernah ke rumah. Saat mereka ingin ke rumah, kami punya seribu alasan agar mereka tidak pernah menginap di rumah. Bukan karena rumah kami sempit dan sederhana sekali, tapi karena kami tidak ingin mereka tahu kalau selama dua bulan kami pindah rumah, kami tidur terpisah. Jadi selama kami pindah rumah, kami bergilir menginap di rumah mama atau rumah ayahku.

Kami kembali masuk ke dalam kamar, saat setelah berkumpul di ruang keluarga. Mas Danial mungkin dari tadi jenuh mendengar papanya membahas kantor denganku, jadi dia mengajak aku ke kamar. Mas Danial duduk di sofanya, tempat di mana saat di rumah mama, dia selalu menghabiskan waktunya di sofa, bahkan tidur pun di sofa.

“Besok boleh aku ikut mama?” tanyaku.

“Ya terserah kamu,” jawabnya ketus.

“Baik aku ikut mama,” ucapku.

“Hmm ... aku mandi,” ucapnya.

“Biar aku siapkan air hangat, Mas.”

“Iya.”

Seperti biasa Mas Dani pasti mandi kalau dia akan tidur. Apalagi tadi sore ia tidak mandi karena jam dua siang dia harus pergi, dan saat mau pergi dia pasti mandi terlebih dahulu. Aku siapkan air hangat untuk mandi, dan bergegas mengambilkan handuk saat air hangat sudah aku siapkan. Lalu aku menyiapkan baju tidur untuknya.

Mas Danial bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku dengar dia menyalakan shower, dan gemercik air membasahi tubuhnya. Setelah itu aku mendengar gawainya berbunyi. Terlihat nama Nadira muncul di layar gawainya. Fotonya begitu cantik. Wajahnya oval, lesung pipinya terlihat, hidungnya mancung sama seperti Mas Danial, dia memakai jilbab, dan begitu cantik sekali. Riasannya sempurna dan sederhana, seperti seorang guru pada umumnya, tidak terlalu menor, tapi begitu sedap dipandang. Sangat berlawanan denganku, aku yang seperti ini, masih belum bisa menutup auratku, dan aku langsung minder melihat Nadira yang seperti itu. Aku begitu kerdil kala aku tahu seperti apa Nadira. Mungkin dia berfoto dengan menggunakan filter di gawainya. Tapi, tetap saja dia terlihat cantik dan sempurna, meski penampilannya sederhana sekali.

Hatiku tertarik untuk membuka percakapan whatsapp mereka saat aku melihat di layar hape Mas Danial muncul percakapannya dengan Nadira. Aku ragu-ragu untuk membuka percakapan mereka. Hatiku bergetar hebat karena ini untuk pertama kalinya aku menyentuh barang milik Mas Dani.

“Selamat tidur, Nad. Terima kasih, puisimu bagus. Mas belum bisa membalas puisimu, besok senin mas tunggu di perpustakaan seperti biasanya, saat jam istirahat.”

Aku kembali meletakan hape milik suamiku ke tempat semula sambil merasakan debaran di hatiku. Rasanya aku tidak lagi berpijak di bumi, rasanya aku telah dihantam ombak yang begitu dahsyat. Terombang-ambing tidak keruan.

Aku segera meringkuk masuk ke dalam selimut. Aku matikan lampu utama kamarku, dan aku nyalakan lampu tidur yang temaram. Aku benamkan wajahku, dan tidak terasa air mataku luruh membasahi selimut dan bantalku.

Aku tahu dia butuh waktu untuk menerima pernikahan kami. Aku tahu perjodohan ini begitu berat untuk dirinya. Apalagi dia sudah ada pandangan perempuan yang mungkin sudah ia cintai dari dulu. Aku sudah memantapkan hatiku untuk bisa membuat dia menerima pernikahan ini, tapi kalau dalam hidupnya ada Nadira, ada nama perempuan lain, bagaimana mungkin aku bisa tenang, dan bisa membuat dia menerimaku sebagai istrinya?

Nadira akan terus menyita seluruh waktu dan perhatiannya. Nadira akan bertahta di kerajaan hatinya. Tidak akan mungkin ada secebis tempat di hatinya untukku. Nadira akan terus membuatnya bergelora, dan aku semakin diabaikan. Aku seperti bunga yang layu, yang mudah diterbangkan angin.

Untuk apa aku terus bertahan di sisimu, Mas? Kalau kamu sama sekali tidak pernah bisa mencoba untuk menerimaku, menerima pernikahan kita? Aku semakin sesegukkan. Dia mana peduli aku yang setiap hari menumpahkan air mata, dan tidak mau tahu seberapa banyak air mataku membanjiri hari-hari setelah pernikahan kami.

Aku menangis sampai tertidur. Hingga malam semakin hening. Aku terbangun dan melihat suamiku masih asik dengan hapenya. Aku biarkan dia yang sedang asik dengan hapenya. Mungkin sedang berlanjut bertukar pesan dengan Nadira, mungkin membalas puisi Nadira? Biar saja dia begitu. Aku lanjutkan tidurku, dan aku kembali terbangun tengah malam dengan terengah-engah karena aku bermimpi. Mimpi yang cukup indah. Mas Danial menggendong anak laki-laki yang tampan, kami berdua bahagia, dan Mas Danial mencium keningku dengan penuh kasih sayang. Sungguh indah mimpiku malam ini.

Aku terduduk di tepi ranjang, dengan mengingat mimpiku yang begitu indah. Aku sadar ini hanya sebuah mimpi, tapi mimpi malam ini membuat hatiku tentram dan damai, meski Mas Danial mesra kepadaku hanya lewat mimpi. Aku turun dari ranjang, menatap Mas Dani yang sudah tertidur pulas di sofa. Dia adalah rembulan yang indah, yang hanya bisa aku aku rasakan sinarnya, namun sulit kugapai keindahannya dalam dekat. Aku tidak yakin bisa menggapai bulan yang indah itu, tapi aku tidak akan menyerah sampai di sini. Akan aku dapatkan rembulan yang indah itu, dan aku pastikan malam pertamaku tidak akan lama lagi.

Bagai Punguk Merindukan Bulan

Malam ini kami masih menginap di rumah mama. Itu semua karena aku dan mama terlalu asik shoping dan ke salon untuk perawatan, kami sampai rumah hingga pukul delapan malam. Seperti itu mama mertuaku, satu minggu sekali pasti mengajakku shoping dan ke salon. Kata mama perempuan harus sering-sering perawatan untuk memuaskan suaminya. Hatiku menciut saat mama bicara seperti itu. Bagaimana bisa suamiku puas, melihatku saja pun tidak? Berbicara saja tidak pernah menatapku yang jadi lawan bicaranya. Aku hidup dengan seorang suami dalam satu rumah, bahkan dalam satu kamar, tapi aku seperti sendiri. Apa-apa aku sendiri, tapi tidak untuk suamiku. Meski aku tidak diinginkan olehnya, aku tetap melayani kebutuhan suamiku setiap hari, kecuali kebutuhan batinnya, yang mungkin tidak ia butuhkan. Ehm ... ralat, belum dia butuhkan. Aku yakin Mas Dani akan meminta itu suatu hari nanti, dan aku pastikan dalam waktu dekat ini Mas Dani akan memilikiku seutuhnya.

Vita ... jangan terlalu berharap, karena semua itu sangat sulit kamu gapai. Bagai punguk merindukan bulan, kamu ini apa, dan kamu ini siapa bagi Mas Dani? Aku memang istrinya, hanya sebatas istri, sebatas status, tapi aku belum menjadi istri seutuhnya. Lucu sekali kamu, Vit, kamu perempuan cantik, perempuan yang selalu diincar oleh para pengusaha sukses, perempuan yang selalu dipuja dan dipuji di depan khalayak umum atas prestasimu, atas semua pencapaianmu, perempuan hebat yang bisa memimpin perusahaan terbesar, dan saat ini di depan suamimu, kamu hanya perempuan kerdil yang tidak kasat mata. Tak pernah sedikit pun terlihat oleh suamimu. Seperti debu, yang tak kasat mata, namun selalu ada di setiap apa pun kondisinya, entah itu terbang atau jatuh, bahkan terinjak. Tapi, tenangkan hatimu. Kamu adalah perempuan hebat, perempuan yang selalu dikagumi oleh siapa pun yang tahu kerja kerasmu. Kamu perempuan yang kuat, kamu sudah biasa diterpa gelombang dan badai dalam hidupmu. Tenanglah, kau akan baik-baik saja, meski hatimu terluka.

“Di mana buku milikku, Vita?! Yang semalam aku baca, yang aku bawa dari rumah!” Ucapan bariton Mas Danial menggema di setiap sudut kamar.

Aku sedikit terjingkat mendengar ucapannya. Aku langsung bergegas mengambil buku yang semalam dibaca oleh Mas Dani, dan langsung aku berikan padanya. Buku milik Sujiwo Tejo  yang semalam ia baca, aku taruh di atas meja riasku. Semalam aku melihat buku itu tergeletak di atas tangan-tangan sofa dengan terbuka. Aku mengambilnya, karena Mas Dani sudah tertidur pulas, aku takut buku itu akan menjatuhi kepalanya. Sehingga aku membenahinya, aku taruh di atas meja riasku.

“Aku sudah bilang, tidak usah sentuh-sentuh barang milikku, apalagi sampai memindahkannya!” Ucap Mas Danial denga lantang, tanpa melirikku dan menatapku, jangankan menatap, melirik saja tidak? Aku tidak mungkin menjelaskan soal semalam saat aku takut kalau buku itu jatuh, dan rusak, karena akan sia-sia saja kalau aku panjang lebar menjelaskannya.

Mas Dani membuka lembar demi lembar buku yang aku berikan tadi dengan sedikit tergesa. Dia sepertinya jengkel, karena tidak menemukan halaman yang terakhri dia baca. Namun tak begitu lama, ia kembali terdiam, menekuri lembar demi lembar buku yang sedang ia baca.

Aku menghela napas panjang melihat dia yang selalu bersikap dingin padaku, setiap hari seperti itu. Entah sampai kapan dia akan bersikap acuh dan dingin padaku. Sampai kapan dia akan menganggapku orang asing dalam hidupnya? Dia benar-benar tidak peka, tidak tahu, tidak merasakan semerbak wangi tubuhku malam ini yang sudah bersiap untuk menunaikan kewajibanku. Dia tidak tahu kalau tadi aku menghabiskan banyak waktu di salon hanya untuk merawat tubuhku, supaya dia tertarik dengan wangi tubuhku setelah treatment, dari ujung kaki hingga ujung rambut, semua sudah wangi sempurna. Dia pun tidak memerhatikan diriku yang sudah bersolek cantik dan  memakai baju sedikit seksi, yang mengundang hasrat laki-laki dewasa. Dia sama sekali tidak menghiraukannya. Aku sudah siap menjemput pahala tapi apa yang kudapat? Dia hanya diam, tidak melirikku sama sekali, tidak merasakan harumnya tubuh dan rambutku, dia sama sekali tidak tergoda denganku.

Aku sama-sama memilih diam, daripada bicara tapi tidak dihiraukan. Lebih baik diam, lalu membuka sedikit tirai kamar. Aku melihat terangnya sinar bulan purnama.  Bulan yang indah, bulat sempurna. Harusnya malam ini adalah malam yang amat romantis bagi pasangan suami istri di saat bulan purnama. Tapi, di dalam kamar ini tidak terjadi apa-apa. Purnama atau tidak sama saja, tidak ada bedanya. Tak seorang pun yang berani bersuara, tak seorang pun berani memecah kesunyian malam ini.

Aku lihat Mas Dani sedang memandangi layar ponselnya lalu tersenyum. Aku yakin senyuman di wajahnya tercipta karena Nadira. Hanya Nadira yang bisa membuatnya tersenyum. Dadaku bergemuruh karena cemburu, ya cemburu. Aku di sini, sedang menanti dia untuk melihatku yang sudah bersolek cantik, tapi sama sekali tidak ia hiraukan. Sedangkan Nadira, dia yang di sana, tapi selalu dirindukan Mas Dani, dan menjadi sumber kebahagiaan Mas Dani.

Setiap kali aku membayangkan Nadira, aku selalu ketakutan. Aku tak punya apa pun  yang bisa membuat Mas Dani memilihku. Bahkan  meski dia tahu perusahaan terbesar milik papanya saat ini berkembang pesat karena aku, bahkan meski dia tahu kalau mama dan papanya tergantung padaku. Itu semua tidak bisa membuat Mas Dani memilihku. Hanya Nadira yang terus bertahta di dalam kerjaan hatinya.

Aku mencari hangatku sendiri dalam balutan dingin malam ini, dan balutan dingin sikap Mas Dani. Aku tidak peduli dingin terus merasuk ke sukmaku, meski aku terus mencoba menghangatkan suasana hatiku. Aku sudah terlanjur mencintai suamiku, namanya sudah mengambang di dalam sukmaku, dan selalu aku sebut dalam doaku.

Kadang sedikit terbesit dalam pikiranku, lebih baik aku pergi saja, daripada aku harus terus menerus perang batin dalam hidupku. Namun, setiap kali aku ingin pergi, ingin menyudahi semuanya, aku selalu ingat mama mertuaku, yang selalu mendambakan seorang cucu lahir dari rahimku. Aku selalu ingat papa mertuaku yang selalu mesuport aku dalam setiap hal, aku selalu ingat mereka, dua manusia yang berhati malaikat. Menyayangiku sejak dulu, seperti ibu dan ayahku yang menyayangiku.

Aku tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, aku harus bisa menaklukkan Mas Dani. Aku ini istrinya, aku yang berhak membuat Mas Dani bahagia, aku yang berhak atas Mas Dani di atas segalanya. Bukan Nadira, bukan dia. Dia hanya sebatas masa lalu yang tidak tercapai. Aku harus bisa merebut hati suamiku kembali, aku harus bisa. Jalan satu-satunya aku harus menemui Nadira. Ya Harus! Tekadku sudah bulat untuk menemui Nadira. Dia harus pergi dari hati Mas Dani. Aku tidak mau apa yang menjadi hakku akan Nadira dapatkan, meski itu tidak mungkin dilakukan Mas Dani. Aku hanya takut mereka semakin nekat, nekat karena saling mencintai. Aku harus cepat-cepat menyadarkan Mas Dani. Dia harus bisa mencintaiku.

Tapi, bagaimana caranya aku menemui Nadira supaya Mas Dani tidak tahu? Apalagi mereka sepertinya sering bersama. Aku harus cari cara untuk bisa bertemu Nadira. Aku pasti bisa! Aku Revita, apa yang tidak bisa ditaklukkan oleh Revita? Semua bisa tunduk di hadapan Revita. Aku tidak boleh lemah, aku harus memperjuangkan hakku sebagai istri Mas Dani. Aku yang berkuasa, bahkan jika aku mau, semua akan menjadi berantakan dalam sekejap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!