Different World

Different World

1. Kay Demian Holscher

"KAY DEMIAN! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN DI MATA PELAJARAN SAYA?!"

Gadis itu mendongak sebentar lalu kembali melanjutkan kegiatan menggambarnya. Dia tetap menjawab pertanyaan bernada tinggi dengan sedikit halus seperti bumbu cabai diulek pakai kasih sayang.

Karena kalau tidak dijawab pasti nanti dirinya akan disalahkan juga. Pak Angga adalah tipe pria serba salah dan lebih ribet daripada wanita.

Sebagai anak didik yang baik dan bersahaja-menurut dirinya sendiri, Kay akan tetap memberikan sebuah jawaban dari pertanyaan karena digantung itu menjengkelkan sekali.

"Menggambar, Pak."

"MENGGAMBAR-MENGGAMBAR! KAMU PIKIR INI MATA PELAJARAN PRAKARYA?!"

"Maaf, Pak. Prakarya itu kerajinan tangan!" Kay meringis.

"BERANI KAMU MENGOREKSI SAYA? KELUAR DARI PELAJARAN SAYA SEKARANG!" teriak pria itu dengan wajah berkerut menahan amarah.

Seisi kelas tertawa terbahak-bahak melihat Kay tak takut sama sekali dimarahi Pak Angga. Gadis itu memang lucu.

Tingkah apa adanya kerap membawa angin segar bagi otak mereka yang panas karena disusupi pelajaran terus menerus.

"Beneran nih, Pak? Saya boleh keluar? Bapak nggak bohong, 'kan?"

"KELUAR!"

Gadis bernama lengkap Kay Demian Holscher tersenyum sumringah mendengar perintah terakhir guru Biologi.

Dia membereskan peralatan menggambarnya. Buku gambar serta pensil dibawa serta saat kakinya melangkah ke luar.

Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, Kay melongok ke dalam kelas lalu mengedipkan sebelah mata ke Pak Angga, guru Biologi yang sedang mengajar di kelasnya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum manis.

"I skylove you, Mister Angga. Terima kasih sudah membebaskan Kay dari kebosanan yang melanda. Semangat mengajarnya, Bapak'e!" seru Kay dengan suara yang sengaja diimut-imutkan.

"KAAAYY!"

Gadis itu segera berlari pontang-panting sebelum daging dengan kulit mulusnya terpisah oleh cakaran Pak Angga. Beliau adalah guru tergarang di SMA Tunas Bangsa.

Akan tetapi, bagi Kay, tidak ada yang namanya guru garang di sekolah. Semua sama saja karena selalu menyuruhnya keluar keluar.

"Sembarangan emang Pak Angga, masa gue dikeluarin dari kelas. Enak sih, bisa bebas dan nggak perlu ngikutin mata pelajaran. Tapi kalo ketemu guru piket auto kena tendang ke ruang BK ini, mah. Aduh, gue mau ngumpet di mana, ya? Apa di UKS aja?"

Kay berjalan sembari mengetukkan telunjuk kanan ke dagu tanda sedang berpikir. Gadis ini tak mau berakhir di ruang BK. Masa seorang Kay Demian Holscher tercatat dalam buku catatan kriminalitas sekolah? Tidak elit sekali.

Jessie bisa marah mendapati keponakan tersayang masuk ruangan dengan aura suram itu.

"Eh, jangan, deh. Hari senin ada guru yang jagain UKS, kalau nanti tiba-tiba dia nanya kenapa gue ada di situ terus keceplosan jawab dikeluarin dari kelas, bisa tamat riwayat gue. Ujung-ujungnya ke BK juga. Mending ke halaman belakang aja, deh. Di sana lebih adem, nggak ada yang gangguin. Oke Kay, capcus!"

Pergulatan hati dengan pikiran akhirnya selesai. Ia tak peduli beberapa adik kelas menganggapnya aneh karena berbicara sendiri. Memangnya kenapa kalau berbicara sendiri?

Toh, tidak ada yang melarang selama tidak menjelek-jelekkan siapa pun. Daripada duduk bergerombol untuk membicarakan keburukan orang lain, nanti malah dosa.

Kaki mungil yang dibungkus sepatu Converse hitam putih itu melangkah riang menuju taman belakang. Sebuah rencana sudah tersusun rapi di kepala cantiknya itu.

Senyum manis semanis gula seember ditambah campuran tebu lima botol plus madu seribu sendok menyihir beberapa siswa lain yang nyatanya sedang berkeliaran di koridor sekolah.

"Ya Salaam, Dek Kay manis amat ya, senyumnya. Abang jadi tergoda!"

"Kak Kay, apa kabar?"

"Kay oh Kay, jangan kau tusuk hatiku dengan senyummu. Aku nggak kuat!"

"Gila, Kay selalu cakep. Nggak usah oplas juga udah cantik!"

Suara-suara itu tak dipedulikan oleh Kay. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sepertinya kelas mereka sedang free. Namun, Kay tidak mau peduli pada orang lain bila sedang bercengkerama dengan halusinasi indahnya. Mengobrol bisa nanti, halusinasi bisa saja buyar bila tak segera dinikmati.

...***...

Sesampainya di halaman belakang, Kay mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang. Dia membuka buku gambar lalu mulai melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda di kelas.

"Ngejar lo itu susah banget sih, Rel. Biasanya susah-susah gampang, lah ini susah beneran. Coba aja lo peka sedikit sama kehadiran gue, pasti nggak capek ngejarnya. Jual mahal banget jadi cowok. Nggak laku jadi perjaka tua lo!"

Bibir Kay terus mengeluarkan gerutuan yang ditujukan pada gambar yang sedang diselesaikan

"Ngapain lo?"

Kay menoleh, ada manusia lain di sini selain dirinya. Rupanya itu adalah Raka, sepupu tersayang sekaligus sahabat orang yang sedang ditaksir, si pemilik wajah yang ada dalam buku gambar.

"Kok lo di sini? Ini beneran Raka nggak, sih? Jangan-jangan hantu lagi," gumam Kay.

Ia menusuk-nusuk lengan Raka dengan pensil. Saat dirasa nyata, gadis itu manggut-manggut tanpa mengindahkan raut kesal di wajah Raka.

"Lo dikeluarin?" tanya Kay.

"Keluar sendiri, bosen."

Cowok berwajah mirip orang Belanda itu mengacak-acak rambut lurus sang sepupu. Pasti Kay menggambar di jam pelajaran lalu dikeluarkan lagi. Gadis ini memang berjiwa tengil sejak lahir.

"Gue lagi gambar wajahnya si Karel. Wajah dia gampang digambar, tapi kenapa hatinya susah ditebak? Gue sampai pengen belah dada dia terus simpan kertas berisi nama gue di sana!" Kay melanjutkan aksi mengomelnya.

"Ntar dia mati, siapa yang bakal tanggung jawab?" tanya Raka.

Kay mengendikkan bahu acuh. "Sebelum jadi suami gue dia nggak boleh mati. Nanti gue nikah sama siapa?"

Raka tak habis pikir. Ketika ada Karel, sepupu cantik rada lemot ini malah pura-pura tak peduli. Saat di belakang Karel malah mengeluh capek memperjuangkan cinta. Sejak kapan Kay berjuang? Raka menggelengkan kepala heran.

"Gue bilangin juga apa. Daripada suka secara ngumpet-ngumpet begini, mending langsung tembak aja orangnya."

"Tembak pakai pistol? Mati dong, anak orang. Nanti gue masuk penjara gimana?"

"Bukan tembak pakai pistol, Kay yang cantik tapi lemot. Maksud gue kenapa nggak lo kasih tahu aja langsung sama Karel kalau lo suka sama dia? Daripada ngebatin terus di belakang, bikin capek hati aja."

"Emang nanti gue bakalan diterima, Ka?"

"Ya mana gue tahu!"

Gadis itu mengumpat. "He make me crazy!"

Tangan Kay bergerak menarik sejumput rambut cowok di sampingnya sampai mengaduh kesakitan. Ia sebal bukan main. Kalau nanti tidak diterima yang didapat hanya rasa malu.

Kay tidak mau mempermalukan diri sendiri. Bisa hilang kecantikannya nanti.

"Lo ngapain jambak gue, sih?" protes Raka.

"Siapa suruh ngasih ide yang nggak membantu sama sekali. Orang tuh, kalau niat dari hati mau bantu sepupunya yang gerah body dan hati karena mencintai sahabat lo yang nggak peka itu bukan begitu caranya."

"Buset dah, anak biawak malah ngajarin gue yang udah berpengalaman dalam hal mencintai. Eh, dengar baik-baik, gue udah ngasih jalan termudah. Lo aja yang ribet."

Ribut lagi. Mereka terus saja berdebat sambil sesekali saling mendorong satu sama lain. Raka dan Kay tak pernah akur. Tetapi kalau soal saling menyayangi jangan ditanya, itu sudah pasti.

"Udah bel. Gue tahu lo belum sarapan dari pagi. Kali ini gue traktir, deh. Daripada lo sakit nanti ujung-ujungnya gue yang repot!" ajak Raka seolah tak ikhlas.

Kay menoyor kepala Raka sambil tertawa lebar. "Bilang aja lo khawatir gue sakit. Gengsi dipelihara, mending pelihara duit biar kaya."

"Banyak ngomong lo, Sarinem. Mau ditraktir nggak?"

"Iya!"

...***...

Seperti sekolah pada umumnya, kantin terlihat penuh sesak. Wajah Kay langsung terlihat lesu. Pasti tidak kebagian tempat duduk. Kalaupun ada, pasti makanan sudah habis. Ia balik badan hendak pergi ke kelas. Percuma saja menunggu.

"Lo mau ke mana? Nggak jadi makan?" tanya Raka sembari menahan pergelangan tangan Kay

Semua mata tertuju pada mereka. Tak banyak yang tahu hubungan Raka dengan Kay. Selama ini mereka selalu menganggap dua orang itu memiliki hubungan khusus dalam artian pacaran, bukan saudara.

Hanya teman-teman satu geng dengan Raka saja yang tahu kalau Kay adalah sepupunya.

"Gue nggak mau di sini. Percuma capek nunggu tapi nggak dapat tempat duduk terus makanan habis."

"Lo lupa gue siapa?"

"Eh?"

Mata itu menatap Raka dengan polos. Inilah yang selalu disukai olehnya. Sifat Kay masih kekanak-kanakan dan masih lugu. Terkadang ada rasa tak rela melihat mata itu berkaca-kaca karena memendam rasa cinta untuk Karel.

"Makanan sama tempat duduk udah ada. Tinggal duduk, makan terus kenyang," kata Raka santai.

Dia menarik lembut tangan Kay menuju salah satu meja yang dianggap keramat oleh seisi sekolah. Ya, meja khusus itu seolah milik geng Radius, tak pernah ada yang mengisi selain mereka selambat apapun Radius ke kantin.

"Nungguin gue, 'kan?" sapa Raka.

"Dari mana aja lo?" tanya Gibran.

"Lama banget, kita udah nungguin dari tadi," gerutu Cakka sambil menatap pantulan wajah di cermin. "Wah, lo bawa Kay? Sini duduk samping gue!" tambah Cakka terlampau semangat.

"Ebuset, ada Yayang Kay!" kata Aditya sembari tersenyum manis.

Kay cengar-cengir melihat reaksi Radius. Dia mengikuti Raka lalu duduk tepat di hadapan Raka. Di kanan ada Aditya lalu di sebelah kiri ada Cakka.

Benar kata sepupunya, sudah ada makanan tersedia buat semua penghuni meja keramat ini. Khusus untuk Kay ada bubur ayam kesukaannya.

"Lo dari mana aja, Rak?" tanya Cakka menyimpan cermin di saku celana, bibirnya mesem-mesem menatap Kay.

"Abis jemput anak biawak di taman belakang. Capek gue nyariin dia ke seluruh sekolah. Untung nggak ke WC cewek," seloroh Raka.

"Kalo lo ke WC cewek, semua celana gue buang ke tong sampah terus gue bakar!" ketus Kay.

"Eh, jangan. Celana gue mahal. Belinya di luar negeri pake duit bukan pakai daun! Jangan berani-berani buang, awas lo!" Raka histeris.

"Alay!" timpal Aditya.

"Lebay!" sambung Gibran.

"Norak!" seru Karel.

Mendengar suara terakhir, Kay menunduk dalam lalu mulai menikmati makanannya tanpa menghiraukan mereka lagi. Ia harus menetralkan jantung terlebih dahulu. Pengaruh Karel begitu besar. Kay mencintai cowok itu dengan caranya sendiri.

"Pelan-pelan makannya, Kay. Keselek tahu rasa!" Raka mengingatkan.

"Hah? Uhuk!"

Ucapan Raka ajaib sekali. Kay benar-benar tersedak karena kaget. Tanpa diminta Aditya memberikan es jeruk miliknya yang disedot sampai habis oleh gadis itu.

"Buset, minuman gue abis!" ratap Aditya.

"Huh, lega! Lo minum punya gue aja. Nanti biar Raka beliin minuman baru buat gue. Ya kan, Rak?" kata Kay seenaknya.

Yang ditatap hanya mencibir. Enak saja mengiyakan tanpa meminta persetujuan dari awal. Di sudut meja, diam-diam Karel mengulum senyum melihat tingkah gadis itu.

Sepupu Raka memang unik. Karel lupa namanya siapa. Sesekali matanya melirik cengiran khas milik Kay. Gadis unik bertingkah udik padahal berasal dari kalangan berada. Ia berbeda dari kaum hawa kebanyakan yang centil dan selalu berusaha tampil mencolok seperti yang sudah-sudah.

"Hm, menarik."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!