Kay membaca bismillah dalam hati sambil perlahan melihat ke arah kakinya. Gelap. Ia tak bisa melihat apapun. Oh iya, Kay belum membuka mata sedikitpun. Saat netranya perlahan tersingkap dari balik kelopak, Kay melihat sebuah wajah mungil nan menggemaskan dengan rambut keriting pendek.
"Gemesnya!"
Kenapa bisa ada anak kecil sini? Jangan-jangan anaknya Karel. Aduh, pupus sudah harapan Kay bersanding dengan cowok itu di pelaminan kalau ternyata sudah mempunyai anak.
"Bu-bu-na-na!" celoteh bayi perempuan itu seolah memanggil Kay, dua gigi susu yang baru tumbuh di rahang bawah terlihat saat bayi itu tertawa.
"Halo, nama kamu siapa? Kenalin, aku Kay. Kamu anaknya Karel, ya? Kok udah gede? Kapan lahir?" tanya Kay bertubi-tubi sambil menggendong bayi itu.
"Bu-bu-bu-na-na!"
"Oh, kamu mau panggil aku Buna? Ya ampun, gemesin banget, sih. Sama kayak Karel."
Bayi perempuan itu melonjak kegirangan dalam gendongan Kay saat hidung mancung gadis itu menyentuh pipinya. Menggemaskan sekali.
Saat ingin mencari keberadaan orang dewasa yang bisa membantunya mencari Karel dan Raka, bayi yang kira-kira berusia delapan bulan itu menunjuk ke sebuah ruangan.
"Kamu mau ke sana?" tanya Kay, sang bayi tertawa.
Sebenarnya, Kay tidak paham bahasa bayi. Akan tetapi, sepertinya memang benar kalau bayi ini menginginkan Kay membawanya ke ruangan yang ditunjuk. Gadis itu mengembuskan napas panjang. Ingin bertemu calon mertua malah bertemu anak Karel.
"Mau ke mana?" sebuah suara yang cukup familiar di telinga Kay terdengar dari arah belakang.
Saat gadis itu berbalik, ternyata Karel sedang menatap datar ke arah dirinya. "Mau ke mana?" ulangnya.
"Mau ke ... ke mana, ya? Tadi dia nunjuk ke situ. Jadi, gue mau bawa dia ke sana," jawab Kay.
Cowok itu mendekat lalu mengambil alih bayi perempuan dari gendongan Kay. Meskipun tampak tidak suka digendong Karel ternyata tetap tidak menangis. Ia malah menarik-narik telinga cowok itu dengan omelan bahasa burung.
"Gemes banget. Dia siapa sih, Rel? Tadi tiba-tiba nemplok ke kaki gue. Kirain ini rumah ada penunggunya, eh ternyata bayi cantik. Dia anak lo, ya? Ibunya mana?" gadis itu celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang yang masuk dalam kategori ibunya bayi.
"Ini adik gue satu-satunya. Namanya Caramel, baru sembilan bulan. Emang aktif banget, sih. Tapi, baru kali ini akrab sama orang baru. Radius aja dipelototin sama dia," ungkap Karel.
Pekik gemas keluar dari mulut Kany. Ternyata itu adalah adiknya, bukan anaknya. Catat, ADIKNYA. Gadis itu mengucap syukur berkali-kali di dalam hati karena masih memiliki kesempatan untuk terus berharap semoga Karel adalah suaminya di masa depan.
"Bu-bu-bu-na-na!" Cara mulai protes di gendongan sang kakak sambil memaju-majukan tubuhnya ke arah Kannaka. "Kenapa, Car?" Karel bingung sendiri mendengar celotehan terbaru Cara.
"Sini, biar gue gendong aja. Tadi dia manggil gue kayak gitu. So, gue anggap itu panggilan kesayangan Cara buat gue. Buna!" seru Kay mantap, tangannya merebut Cara dari Karel.
Senyuman geli terpaksa ditelan oleh cowok itu agar tak terbit di depan gadis aneh ini. Dia menyebut diri sendiri Buna? Tidak buruk. Terserah Kay saja ingin dipanggil apa oleh adiknya. Namun, ia cemburu karena Cara lebih lengket dengan Kay daripada dirinya. Menyebalkan sekali.
...***...
Saat ini, Kay sedang berada di sebuah ruangan serba putih seperti laboratorium. Ia sudah berganti pakaian dengan kaos Karel ketika SMP. Hah, tetap saja ukurannya terlihat jumbo di tubuh Kay. Andai tidak menggunakan rok abu-abu lagi rasanya tidak masalah. Toh, sama saja malah lebih panjang bajunya.
Ruangan yang terletak terpisah dari rumah gadang itu berisi rak-rak memanjang di dinding hingga mencapai loteng berisi berbagai bentuk botol kaca dengan cairan berbeda warna. Hitam, putih, merah, biru dan paling banyak berwarna ungu. Kay tidak suka warna ungu.
"Ngapain di sini?" tanya Kay pada Karel. "Aturannya habis makan gue mau main sama Cara. Bukan terjebak di ruangan putih-putih kayak di film sains begini. Kalo meledak gimana?"
"Belajar."
"Belajar apa siang-siang bolong begini? Raka ke mana? Kok cuma ada lo sama gue doang di sini?"
"Raka tidur di kamar. Gue mau ngajarin lo tentang racun. Biar nggak bego kalo seandainya makanan yang lo makan ada racunnya. Tenang, ruangan ini nggak akan meledak karena gue ahli racun. Jadi nggak akan bikin lo mati konyol karena salah campur bahan."
Kay melongo. Racun? Buat apa? Ia mulai berjalan menyusuri deretan botol kaca yang direkatkan dengan botol berwarna lebih pucat. Ooh, jadi masing-masing ada pasangannya.
Kay mengambil salah satu cairan yang berwarna merah kehitaman yang menempel dengan cairan merah terang. Lotus. Itulah nama yang tertera di sana.
Kay berbalik badan dan menunjukkan botol itu pada Karel. "Ini racun untuk apa?" tanyanya.
"Itu lotus. Gue ambil dari ekstrak bunga teratai dengan beberapa tambahan zat kimia. Efeknya bisa membunuh tikus dalam waktu beberapa detik dan membunuh manusia dalam waktu satu menit. Seseorang yang terkena racun lotus akan timbul bercak biru di leher lalu merambah ke wajah dan berakhir di seluruh tubuh. Orang itu akan mati dalam waktu satu menit dengan kondisi tubuh menghitam."
Keren. Karel bisa berbicara sepanjang rel kereta api ketika membahas tentang racun. Akan tetapi, semenarik apapun wajah serius pujaan hati saat menjelaskan Kay lebih tertarik pasal racun.
Rasanya menyenangkan apabila semua masalah cairan mematikan itu bisa dipelajari. Bahkan, bisa dibuat sendiri.
"Terus botol yang satu lagi buat apa? Setiap botol berwarna senada tapi salah satunya lebih pucat," komentar Kay penasaran.
"Itu penawarnya. Masing-masing dari racun udah gue buat penawar kecuali perpaduan arsenik dan sianida. Racun yang terkandung dalam cokelat pemberian Reno!" wajah Karel mendadak masam.
Reno memang menyebalkan. Sudah menembak secara memaksa, sekarang ingin membuat dirinya celaka. Kay tidak akan melepaskan cowok itu meskipun dia sembunyi ke gorong-gorong. Akan dia kenalkan pada sebuah penyesalan terindah karena sudah melibatkan seorang Kay Demian ke dalam lorong maut.
Wajah gadis itu perlahan kembali dingin seperti saat berada di kelas. Aura pekat menyelubungi tubuh mungilnya. Khas seorang pembunuh berdarah dingin yang ketenangannya terusik.
"Ajari gue tentang racun. Ajari semuanya sampai gue paham!" suara Kay terdengar bagai nyanyian kematian.
Karel tersenyum simpul. Rupanya darah dingin gadis itu telah bangkit. Ia tak menyangka Kay memiliki sisi gelap yang bisa bangun kapan saja. Ibarat monster menyeramkan yang sedang bersembunyi di balik wujud hamster menggemaskan.
"Tentu. Karena cuma lo yang berhak membalas perbuatan mereka, Kay!" bisik Karel.
...***...
Satu botol kaca kecil berisi cairan berwarna ungu gelap tergenggam apik di tangan Kay. Gadis itu terlihat senang karena berhasil membuat sebuah racun dari ekstrak bunga Lily dari Lembah Kematian atau sering dikenal Lily of The Death Valley.
Dalam sehari saja otak gadis itu menyerap dengan cepat ajaran dari Karel meskipun awalnya banyak mengeluh karena rumitnya rumus-rumus-rumus yang diberikan oleh cowok itu.
Jangan salah, Karel tidak membuat sembarang racun. Ia menggunakan perhitungan tepat serta tingkat kehati-hatian yang amat tinggi.
"Udah bisa?" tanya Karel sembari tersenyum tipis.
"Bisa! Woah, gue senang banget akhirnya bisa bikin racun tanpa keracunan. Huh, awas aja kalo si Reno berani ngasih cokelat beracun lagi buat gue. Bakalan gue bikin dia mati beneran. Enak aja mau bunuh gue. Alam semesta bisa menangis meronta kalo sampe kehilangan sosok secantik gue," cerocos Kay tiada henti.
Tangan Karel hinggap di kepala gadis yang tingginya hanya sebahu dirinya itu. "Anak pintar!" pujinya.
Seperti ada hawa hangat merambah dari hati menuju pipi. Kay berbalik badan menyembunyikan rona merah di wajah. Ia menepis kasar tangan cowok yang selalu dipuja di dunia nyata maupun dunia mimpi itu.
"Jangan pegang-pegang kepala gue!" sentaknya galak.
"Kenapa?"
"Pokoknya nggak boleh!"
"Iya, tapi kenapa?"
Kannaka semakin gugup. "Gue bilang nggak boleh, ya nggak boleh! Ish, gue mau keluar aja. Mau main sama Cara. Bye!" gadis itu keluar dengan kaki sengaja dihentak-hentakkan ke tanah.
Ia tak melihat senyum tipis yang menghiasi wajah tampan Karel. Kay tak peduli. Sembarangan saja menyentuh-nyentuh puncak kepala cantiknya.
Untung tadi sempat berbalik badan. Coba kalau tidak sempat, pasti Karel sudah melihat wajah merahnya. Ia jadi penasaran, sebenarnya Karel pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu tentang perasaannya?
Langkah gadis itu terhenti. "Kay bego, ya jelas tahulah. Malam pas keluar beli seblak kan ada di situ. Mana gue ngomongnya pake toa lagi kalo gue suka sama dia. Aduh, untung aja wajah gue berlapis tujuh tanpa dempul setinggi lutut. Coba kalo gue pemalu pasti bakal pingsan tiap ketemu dia!"
"Pingsan kenapa?" tanya seseorang.
Tanpa melihat siapa yang bertanya, Kay mengetuk kepala sendiri dengan telunjuk.
"Ternyata masih ada orang yang lebih bego dari gue. Ya udah jelas karena malulah, bayangin aja lo nggak sadar udah ngasih tahu perasaan ke orang yang lo cinta diam-diam tanpa sadar ternyata yang lo ajak ngomong itu dia. Bisa bayangin nggak?" dumel Kay.
"Nggak bisa."
"Kok malah nggak bisa, sih?" gadis itu mencak-mencak lalu berbalik.
Degh!
"Karena gue yang dengerin ungkapan perasaannya, bukan yang ngungkapin," jawab Karel pelan.
Padahal Karel berkata seperti itu dengan wajah datar tanpa ekspresi sedikitpun, tetapi Kay tetap diserang perasaan gugup yang hebat. Ia berkeringat dingin. Pandangan mata mulai buram. Lalu akhirnya semua gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments