17. Almira Die

Ruang musik itu kembali tersentuh oleh alunan lembut Grand Piano putih di sudut ruangan. Seorang gadis berambut panjang duduk menekan jemarinya ke tuts hitam putih sembari memejamkan mata. Akhir-akhir ini, terlalu banyak kejadian yang mengganggu ketenangan hidupnya. Ia sedikit lelah.

Bersembunyi selama tujuh belas tahun tanpa menggunakan embel-embel nama Demian Holscher, tak lantas membuat hidup Kay aman begitu saja. Jejaknya diketahui. Baunya terendus. Darahnya tercium hingga jarak bermil-mil dari tempatnya berada.

Ia sendiri tak mengetahui alasan yang membuat semua orang mengincar dirinya. Seperti ada kesalahan besar pernah diperbuat oleh kedua orang tua di masa lalu sampai membuat nyawanya dikejar hingga hari ini. Terlebih, tradisi keluarga Holscher melarang setiap perempuan belajar ilmu bela diri membuat Kay marah.

Ia baru mengetahui fakta itu setelah membaca salah satu buku di ruang perpustakaan di rumah. Buku berjudul 'The Women of Holscher' itu dicetak menggunakan bahasa Jerman dan ditulis oleh neneknya.

"Hah, capek jadi orang kayak gini. Mending gue jadi anaknya akang seblak atau akang bakso. Nggak dikejar orang. Nggak diincar psikopat gila. Nggak dicari musuh keluarga. Hufh, pala dedek pusing mikirnya!" keluh Kay.

Ia berhenti bermain piano lalu berjalan menuju jendela. Pemandangan halaman belakang cukup menyejukkan mata. Namun, hatinya masih panas. Ada berapa orang lagi di luar sana yang sedang mencari dirinya? Bagus kalau artis banyak penggemar. Lah ini, jadi incaran pembunuh.

"Coba aja gue jadi artis terus mereka yang ngejar gue adalah fans. Mungkin nggak bakalan sepusing ini. Si Reno emang udah mati, tapi dia cuma alat doang. Anggap aja itu keberuntungan gue karena berhasil lolos dari maut, ke depannya siapa tahu?" Kay bermonolog sembari menyenderkan kepalanya di jendela.

"Benar, kamu mungkin nggak akan lolos untuk kali kedua, Kay Demian Holscher!" seru seseorang.

Kay berbalik, matanya melebar melihat Kevin berada di pintu dengan sebuah belati di tangan. Ia menatap benda tajam itu dengan tatapan tertarik. Warna gagangnya biru laut, Kay suka warna biru.

"Sebuah kehormatan bagi saya ditemui secara pribadi oleh anda, Pak Kevin!" ucap Kay hormat sambil membungkukkan setengah badan.

"Saya sengaja datang ke sini untuk menemui kamu," Kevin menyunggingkan smirk.

"Bapak baik banget, saya jadi sebel lihatnya."

"Kamu nggak akan lolos lagi dari maut."

"Siapa bilang? Jangan sok tahu!"

Pria itu maju dengan tatapan membunuh. Ia sudah lama menantikan momen ini. Di mana Kay tak bisa berkutik di bawah kendali belatinya. Akan dia persembahkan kepala Kay kepada almarhum ayah dan ibu yang sudah tenang di surga. Kevin benar-benar tak akan melepas Kay kali ini.

Entah kenapa, tak ada rasa takut sedikitpun di dalam hati gadis itu. Ia mencoba memutar otak bagaimana cara kabur dari guru tampannya ini. Saat tangan Kay menyentuh jendela, ia baru ingat. Tinggal melompat saja apa susahnya? Karel sudah mengajari caranya hari itu. Ah, gadis itu mengetuk keningnya dua kali. Ternyata Karel sudah tahu tentang larangan itu. Pantas saja tak mau mengajari bela diri. Mungkin Raka sudah memberi tahu dari awal.

Jarak Kay dengan Kevin sudah dekat. Tiga meter lagi Kay akan dicincang menjadi kornet daging. Oh, tidak! Ia suka seblak. Bukan kornet daging.

Hap!

Crashh!

"Aish!"

Kay berhasil melompat keluar dan berlari sekuat tenaga. Namun, sayang betis mulusnya terkena goresan belati. Ia sempat mendengar Kevin mengumpat di belakangnya. Lihat saja nanti. Saat jam pelajaran pria itu tiba, bangkunya akan Kay tempeli permen karet!

...***...

"Pelan-pelan, dong! Sakit tahu!"

Ruang UKS mulanya hening kini mendadak berisik oleh suara omelan Kay. Ia terus mengomeli pria berwajah dingin bak es batu yang sedang membersihkan luka di betisnya. Tak tanggung-tanggung Karel menyiramkan cairan alkohol ke atas luka.

"Lo gimana, sih? Kalo nggak bisa ngobatin luka panggilin petugas UKS lain. Nggak usah sok-sokan," omelnya lagi.

"Berisik!"

Kay melongo lalu berdecak sebal. Bila tidak ingat cowok itu sudah menyelamatkan dirinya mungkin betadine itu akan berakhir di mulut Karel. Saat berlari dari Kevin, rupanya guru psikopat itu mengejarnya dari belakang. Langkah Kay sedikit terhambat karena terluka. Untung saja ia bertemu dengan Karel di tikungan.

"Udah gue bilang, jangan pergi kemana-mana sendirian!" tegas Karel sambil membalut luka dengan kasa.

"Gue cuma mau main musik doang. Lagian si Kevin katanya mau ngelayat, eh, tahu-tahu nyusulin gue ke ruang musik."

"Lo pikir ngelayat orang meninggal itu seharian? Bentar lagi jam pulang, semua guru udah balik."

Kay mengangkat bahu. Ia tidak tahu kalau sebentar lagi adalah jam pulang. Lukanya sudah dibalut dengan rapi. Karel lumayan ahli juga meski perlakuannya sedikit kasar. Tiba-tiba dirinya teringat pada buku yang dibaca semalam.

"Rel, gue batal belajar ilmu bela diri!" cetusnya.

Kedua alis cowok itu bertaut. Kenapa tiba-tiba Kay berubah pikiran sedangkan waktu itu sepertinya gadis itu bersemangat sekali?

"Semalem gue nemuin buku yang ditulis nenek, isinya perempuan di keluarga gue nggak boleh belajar ilmu bela diri sedikitpun karena katanya kekuatan otot dikhususkan untuk keturunan laki-laki sedangkan keturunan perempuan harus melawan musuh menggunakan otak, gue ngerasa sedikit nggak adil, sih!" Kay terlihat sebal, sesekali meringis karena lukanya terasa perih.

Tradisi keluarga Holscher memang agak unik. Biasanya, sebuah keluarga mengharuskan anak keturunan berlatih ilmu bela diri. Namun, keluarga ini malah melarang keras bagi setiap perempuannya.

"Tahu nggak kenapa keturunan perempuan di keluarga lo dilarang berlatih senjata dan ilmu bela diri?" tanya Karel.

"Kenapa?" tanya Kay penasaran.

Jantungnya deg-degan tanpa sebab. Pasti Karel akan menggombali dirinya seperti para buaya di luar sana. Ah, meskipun Karel mirip buaya Kay akan tetap menerima cowok itu apa adanya. Ia bahkan akan mendengar dengan senang hati gombalan receh dari sang pujaan hati setiap hari.

"Sama, gue juga nggak tahu," jawab Karel ringan.

WHAT IN THE NANI?

Kay mangap selebar-lebarnya mendengar jawaban santai dengan wajah tanpa dosa dari cowok yang baru saja ia puji di dalam hati itu. Jangankan suara buaya yang terdengar, berharap suara kambing saja tidak terwujudkan. Karel lebih menyebalkan dari apapun yang ada di dunia ini!

"Bodoamat!"

...***...

"Kok lo bisa gagal lagi, sih?" Alvin menatap sang kakak dengan kesal.

Ia sedang berada di ruangan Kevin. Pria ini memang memiliki posisi cukup penting di Holscher International High School. Staff administrasi sekolah. Makanya pria itu memiliki ruang khusus tersendiri hingga memudahkan Alvin datang dan pergi dengan bebas.

"Kay kabur lewat jendela," jawab Kevin.

Tawa kecil tersembur dari mulut Alvin. "Lo bilang gue nggak becus buat nangani burung kecil kayak dia, nyatanya lo juga kesulitan. Udah gue bilang selain punya perlindungan dari Radius, Kay juga punya otak cerdas!" cibir Alvin lalu keluar.

Pria berkemeja putih itu tidak menanggapi pernyataan sang adik. Ia kecewa karena gagal menghabisi gadis kecil itu. Padahal hanya tinggal beberapa lagi kepala Kannaka akan terpisah dari tubuhnya. Setelah itu, belati kesayangan Kevin akan menari di atas kulit mulus Kay.

Sepertinya, ia harus memancing Kay ke sebuah ruangan tanpa jendela dan ventilasi udara. Burung kecil licik itu bisa saja kabur dari lubang semut. Kevin mengeluarkan belati dengan bekas darah gadis itu. Ia menghirup baunya.

"Bau darah Holscher sangat harum. Hari ini, kaki lo masih bisa lari, Kannaka. Tapi selanjutnya, gue bakalan patahin setiap tulang yang ada di tubuh lo sampe nggak bisa kemana-mana sekalipun dengan cara merangkak!" tekad Kevin sambil tertawa sinis.

Ia merasa terhina karena kalah dengan seorang bocah ingusan. Meskipun begitu, Kevin harus tetap berhati-hati. Berada di kandang lawan membuat pria itu harus membatasi geraknya agar tidak ketahuan. Pelan tapi pasti.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk!" Kevin menyembunyikan belatinya ke dalam laci.

Seorang siswi masuk dan menutup pintu. Memang sedang waktunya membayar uang sekolah. Ia yakin gadis itu juga hendak menyelesaikan urusan administrasi. Gadis ber-nametag Almira itu berdiri di depan Kevin sembari tersenyum segan. Melihat 'mangsa baru' ada di depan mata, pria itu menyeringai. Ia butuh pelampiasan.

"Maaf, boleh saya duduk, Pak?" tanya Almira.

"Tentu."

Tidak ada Kay, Almira pun jadi!

...***...

Jam pulang sekolah kembali dihebohkan oleh seorang siswi yang menjatuhkan diri dari lantai tiga. Kepala sekolah menjelaskan kepada wartawan bahwa pemicu siswa bernama Almira bunuh diri adalah karena terlalu stress dengan kondisi hidup yang pas-pasan serta biaya obat sang ibu terlalu mahal.

Semua orang tahu Almira masuk ke sekolah ini karena beasiswa. Gadis itu termasuk orang yang sering menyumbang piala akademik bagi HIHS selama bersekolah di sini. Tahun ini adalah tahun terakhirnya.

Ambulans datang dan membawa jenazah gadis itu. Sementara beberapa orang dari perwakilan media pers terus merangsek masuk demi memperoleh berita lebih. Mereka masih belum puas dengan jawaban Antonio. Namun, pria berusia tiga puluh lima tahun itu memilih masuk ke dalam sembari mengumpati siapapun yang mengundang wartawan.

Dari bawah pohon mangga di tepi lapangan basket, Kay duduk santai sembari menggambar seorang gadis tergeletak di pelataran sebuah gedung dengan darah berkubang di sekitar tubuhnya. Ia memang sedang menggambar posisi Almira terjatuh dengan tepat dan akurat. Entah kenapa, kejadian barusan membuatnya tertarik.

Mungkin karena gadis itu pernah disuruh Alvin memberikan surat hitam itu tempo hari.

"Ayo, pulang!"

Ia mendongak. Radius berdiri berjejeran di hadapannya hingga menghalangi cahaya matahari menerpa tubuh Kay. Bibir mungil itu berdecak sebal. Lagi-lagi, waktu menggambarnya terganggu.

"Gue mau gambar, kalo mau pulang langsung aja. Nanti gue pulang pakai taksi online," jawab Kay tak acuh.

"Jangan ngeyel! Betis lo jadi bukti kalo ucapan gue bener," ujar Raka.

"Lima belas menit!"

Radius menghela napas pelan. Mereka harus menunggu selama lima belas menit sampai Kay menyelesaikan gambarnya. Karel berjongkok karena merasa familiar dengan gambar di kertas putih itu. Keningnya berkerut. Bangunan itu mirip HIHS dan gadis yang sedang tergeletak dengan posisi telungkup mirip Almira.

"Lo terlibat sama kematian Reno?" tanya Karel.

Kay menggeleng sembari terus menghitamkan bagian kubangan darah. "Gue nggak terlibat. Dia ngasih gue cokelat lagi terus gue tukar sama cokelat yang punya gue. Gue balikin cokelat beracun itu ke dia dengan alasan tanda damai. Dia makan, eh, mati!" jawab Kay santai dengan suara tak seolah tak bersalah.

"Dia nggak sadar?" tanya Karel lagi.

"Nggak, kalo sadar mana mungkin dimakan."

"Kenapa ditukar? Kenapa nggak dibuang aja?" kali Gibran yang mengajukan tanya.

Gadis itu menghela napas sebal. "Dia kelamaan bunuh gue. Jadi, biar gue aja yang bunuh dia."

Karel tersenyum tipis. Kay memang cerdik. Bisa menukar cokelat tanpa diketahui Reno saja sudah hebat. Bahkan, tadi berhasil kabur dari guru baru itu. Yah, meskipun tetap terluka setidaknya kepala Kay masih utuh.

"Soal kematian Almira, lo juga terlibat?" canda Karel sembari mengulum senyum.

Tangan mungil itu berhenti bergerak. Kay menatap horor dan memukulkan pensilnya ke kepala Karel. Meskipun wajah cowok itu tetap datar, tetapi dalam hati tetap mengaduh. Pukulan Kay lumayan kuat juga. Saat melihat Kay bersiap memukul lagi Karel segera bangkit dan berlari.

"KYAAA! BERHENTI LO, ES BATU! BERANINYA LO NUDUH GUE! DASAR PAPAN NGGAK PUNYA PERASAAN! BERHENTI NGGAK LO! AWAS YA KALO KETEMU, GUE BEJEK-BEJEK SAMPE NGGAK BERBENTUK!" teriak Kay sambil mengejar Karel.

Seisi sekolah menatap tak percaya seorang ketua Radius yang dikenal kuat sedang bermain kejar-kejaran di tengah hari dengan Kay Jangankan mereka, Raka dan yang lain saja seperti sedang bermimpi. Seorang Karel tertawa hanya karena bermain dengan Kay.

"BERHENTI NGGAK LO!"

Kay masih mengejar Karel diiringi teriakan cemprengnya. Sesekali ia berhenti untuk mengatur napas. Cowok itu lihai sekali dalam menghindari kejarannya. Dikejar begini saja susah, apalagi mengejar cintanya. Kay mengembuskan napas kuat-kuat lalu tersenyum bahagia. Dengan kondisi sedekat ini saja baginya sudah cukup.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!