Kejadian tadi cukup memalukan bagi Kay. Tersedak dengan cara yang tidak elit di depan pujaan hati. Ya Tuhan, mau dibawa kemana muka cantik Kay kalau bertemu Karel di tempat lain?
Bagus kalau ada kantong semen, jadi bisa ditutup. Nah, kalau tidak ada, masa Kay harus jungkir balik ke tanah?
"Kak Kay!" panggil seseorang.
Dengan gerakan cepat alias refleks Kay menoleh, seorang junior berpita merah jambu berlarian pontang-panting sembari menggenggam sebuah amplop berwarna hitam. Kay mengernyit heran, ia baru tahu ternyata ada juga amplop berwarna hitam.
"Iya? Lo manggil gue? Ada apa? Mau ngasih duit? Berapa? Kalo kurang dari sejuta gue nggak terima," cerocos Kay tanpa rem.
Matanya menyipit mencoba membaca nama yang tertera di nametag gadis itu. Almira. Namanya bagus juga.
Namun, lebih bagus nama Kay kemana-mana. Karena walau bagaimanapun dia adalah bintang di sini.
"Aduh, Kak. Aku capek nyariin kakak kemana-mana. Nggak tahunya ada di sini. Bukan, bukan mau ngasih duit tapi mau ngasih amplop yang isinya surat buat kakak!" seru Almira sambil berusaha menetralkan nafas yang ngos-ngosan.
"Surat? Surat apa?"
"Nggak tahu, udah terima aja. Kakak baca aja sendiri, ya? Aku mau balik ke kelas soalnya ada PR yang belum aku selesaiin. Dadah, Kak Kay!"
Gadis itu kembali berlari sekuat tenaga. Belum hilang capek yang tadi sekarang malah bertambah lagi. Kay menatap kasihan.
Aduh, dia lupa mengucapkan terima kasih karena sudah mau mengantarkan surat aneh ini sampai rela lari-lari dan mengabaikan tugasnya.
"Nanti aja deh, bilang terima kasihnya. Ini surat isinya apaan, ya?" matanya fokus pada amplop hitam itu.
Sapaan-sapaan dari teman seangkatan, senior dan junior hanya dibalas dengan gumaman tidak jelas. Mata Kay fokus melihat amplop yang dibolak-balikkan oleh kedua tangan.
Sesekali ia mencoba mengintip isinya. Siapa tahu ada uang atau emas, lumayan buat jajan.
Bruk!
"Aduh, siapa coba yang nabrak gue? Badan udah segede gini masa tetap nggak kelihatan? Apa harus gue besarin lagi sampai nggak muat buat masuk lewat pintu kelas terus nggak usah berurusan lagi sama sin, cos, tan, trigonometri, matriks, polinomial, barisan dan deret, hukum archimedes, atom-atom dan kawan-kawan, iya? Bagus kalo niatnya begitu, gue setuju!" dumel Kay tanpa melihat si penabrak.
"Berisik!"
"Udah nabrak gue sekarang ngatain gue berisik? Wah, wah, nggak bisa dibiarin ini! Lo mau gue seret ke po-"
Omelan Kay terhenti begitu saja ketika melihat dada bidang yang amat dikenali siapa pemiliknya. Menengadah sedikit, ia langsung menemukan wajah Karel sedang menatapnya dengan tatapan dingin.
Wajah Kay pucat seketika. Dia tidak tahu kalau ternyata yang menabrak dirinya adalah calon suami dalam mimpi.
"E-eh, Karel. Maaf, maaf, gue nggak sengaja. Gu-gue permisi dulu."
Langkah Kay sengaja di percepat agar bisa segera pergi dari situ. Dalam hati gerutuan panjang pendek sahut menyahut akibat kebodohannya.
Sudah menjadi kebiasaan kalau mulutnya tak bisa di rem bila sedang mengomel. Ah bukan, memang tak ada rem. Mau dicari ke seluruh dunia pun tak akan ditemui.
"Aduh, Kay! Dua kali lo bikin diri sendiri malu di depan calon suami! Hancur reputasi lo, hancur! Bunda, tolongin Kay yang bodoh ini!" rengeknya dengan suara pelan.
Ketika sampai di kelas Kay segera duduk di kursinya. Ia menelungkupkan wajahnya ke atas meja sambil tetap menggerutu. Pertanyaan dari teman-teman hanya dibalas dengan lambaian tangan saja.
"Hancur reputasi lo, Kay!" gumamnya sedih.
...***...
"Baiklah, perjumpaan kita cukup sampai di sini. Jangan lupa kerjakan tugas kalian di rumah. Tidak ada alasan lupa atau tidak bisa. Saya ada di kantor lima hari selama seminggu, sebelum pertemuan minggu depan kalian boleh menjumpai saya untuk bertanya materi mana yang tidak paham. Mengerti?!"
"Mengerti, Bu!"
"Kay, kamu mengerti?"
Dengan malas gadis itu menjawab. Bu Sima tersenyum manis, tapi bagi Kay senyum itu mengandung aura mistis.
Beliau pasti sengaja menekankan kembali padanya. Padahal Kay murid rajin dan paling cepat mengumpulkan tugas. Itu saja kalau tidak lupa.
Ketika bel pulang berbunyi satu menit kemudian, semua siswa berhamburan keluar menuju tempat parkir. Hanya Kay yang berjalan melawan arah.
Dia naik ke lantai tiga di mana siswa kelas tiga belajar. Ojeknya belum turun. Biasanya mereka berkumpul sebentar sebelum pulang.
"Rakanebo!" panggil Kay saat sampai di pintu kelas yang ditempati Radius.
Beberapa saat kemudian, sekelompok orang datang menghampirinya dari dalam kelas. Itu pasti Radius. Mereka selalu bubar bila dirinya datang karena tahu gadis ini selalu kelaparan saat pulang sekolah.
Saat orang-orang itu muncul, senyum ceria Kay memudar. Wajahnya pucat sembari melangkah mundur ke belakang. Itu bukan Radius. Kay tidak kenal mereka.
"Kalian siapa?" tanya Kay. "Ngapain di kelas ini? Mau maling lo, ya?"
"Halo, Kay. Lo udah baca surat dari gue belum? Sebenarnya, gue malas pakai surat kayak jaman Siti Nurbaya aja. Tapi, nomor lo usah banget buat gue dapatin. Gimana jawaban lo?" tanya salah satu dari mereka, namanya Alvin.
"Jawaban lo apa?"
"Jangan pura-pura bego. Lo udah terima amplop hitam itu, 'kan? Jangan bilang surat itu belum dibaca atau gue lempar lo ke bawah!" ancam Alvin.
Kay semakin pucat. Teman-teman Alvin tertawa melihat Kay yang ketakutan. Dalam hati gadis itu berdoa sepanjang mungkin agar Tuhan menyelamatkannya dari manusia-manusia sinting itu.
"Gu-gue emang belum baca. Soalnya mepet sama jam pelajaran. Lo nggak bakalan lem-lempar gue k-ke bawah, 'kan? Gue udah jujur," bujuk Kay.
Tubuhnya menabrak pagar pembatas yang hanya setinggi pinggang. Meleng sedikit saja Kannaka akan terjun bebas ke bawah lalu remuk seperti serpihan daging qurban Idul Adha.
Parahnya lagi, Kay akan memasak lalu memakan daging sendiri karena tak tahu. Eh, bagaimana bisa? Kan, Kay sudah hancur.
"Lo bikin gue marah, Kay. Itu artinya lo emang beneran harus gue lempar ke bawah biar tahu kalo gue nggak main-main!"
"Udah lempar aja, Boss! Lumayan buat hiburan!"
"Gue dukung lo sejuta persen, Vin!"
"Sebenarnya, gue kasihan sama dia, Al. Cantik-cantik masa berakhir mengenaskan. Tapi, gue penasaran apa Kay bakalan tetap cantik kalo udah mati."
'Gue jadi perkedel aja cantik, apalagi masih jadi mayat utuh. Bego lo pada!' batin Kay gemas bercampur takut.
Empat orang, Kay menghitung ada empat suara yang sedang menekan dirinya. Dia merutuki Raka yang malah menghilang di saat-saat seperti ini.
Demi apapun Kay takut dilempar ke bawah tanpa parasut. Tak lupa juga kepala sekolah ikut kena omelan dalam hati karena memelihara siswa psikopat di sekolah se-elit ini.
Sia-sia bundanya membangun sekolah mewah kalau isinya berbahaya. Sekolah macam apa ini?
"Nggak! Jangan lempar gue! Gue janji bakalan baca surat lo sekarang juga tapi jangan lempar gue ke bawah! Gue mohon!"
Kay makin takut saat tangan kekar Alvin hinggap di bahunya.
"Salah lo sendiri beraninya mengabaikan surat dari gue!" bentak Alvin sembari membalikkan posisi Kay lalu mendorong setengah badan gadis itu ke bawah.
"Gue bukannya sengaja, Bego! Tapi nyimpen dulu biar nggak diomelin Bu Sima yang galaknya luar biasa! Lepasin gue!" teriak ketakutan keluar dari mulut Kay.
Ia menangis kencang sembari memanggil maka siapapun yang dikenal. Kay benar-benar ketakutan. Jika itu hanyalah siswa siswi yang sedang mencoba mem-bully dirinya Kay akan melawan, tapi ini adalah Alvin. Preman sekolahan.
"Lo harus mati, Kay!"
"NGGAK! TOLONG! RAKA, TOLONGIN GUE! RAKANEBO! TOLONG!"
Kay berusaha berteriak sekuat mungkin. Dia tak ingin mati konyol hanya karena tidak membaca surat dari cowok sinting itu.
"Boss, ada Radius. Kabur, kabur!"
Alvin melihat ke belakang. Geng Radius sedang berlari ke arahnya. Tanpa mempedulikan gadis itu lagi, Alvin berlari sekencang mungkin bersama teman-temannya.
Mereka tak akan pernah menang melawan Radius. Sampai kapan pun tak akan pernah menang.
Kay jatuh terduduk. Dia lemas ketakutan. Raka segera memeluk Kay tanpa berbicara sepatah katapun. Sepupunya ini gampang trauma. Ia yakin kejadian barusan akan membuat jiwa Kay terguncang.
"G-gue mau dibu-nuh, R-rak-raka!"
...***...
Saat ini, Radius dan Kay sedang berada di apartemen milik Karel. Hanya pria itu yang memiliki hunian pribadi selain rumah mewah yang dihuni bersama orang tua dan sang adik. Raka terpaksa membawa Kay ke sini karena jaraknya lebih dekat.
Dia diamanahkan oleh almarhum orang tua Kay untuk menjaga gadis itu layaknya adik kandung. Belum lagi bombardir pertanyaan yang diberikan mama dan papanya.
Mereka memang tidak ada di rumah, tetapi pemantauan melalui CCTV yang terhubung langsung ke ponsel serta laptop mereka akan memperlihatkan semuanya.
"Kay, jangan takut. Kita ada di sini buat ngelindungi lo dari mereka. Tenang, ya?" bisik Raka tepat di telinga Kay.
Dari sekolah sampai sekarang Kay memeluk dirinya dengan erat. Isak kecil masih terdengar sesekali. Gadis itu masih takut. Bayangan ketika Alvin mendorong dirinya masih terbayang sampai sekarang.
Andai saja Radius tidak datang, mungkin Kay akan menjadi dendeng basah bersimbah darah lalu berubah menjadi dendeng kering ketika ditemukan keesokan harinya.
"Kay, minum dulu," bujuk Raka.
Tak ada jawaban. Raka menghela napas pasrah. Semoga sebelum malam tiba, sepupunya bisa diajak bicara lalu pulang ke rumah.
Dia menatap Aditya yang sedang memeriksa tas Kay. Tidak mungkin Alvin marah pada gadis itu tanpa sebab, pasti ada udang di balik batu.
Gibran dan Cakka sedang memasak makanan di dapur. Walaupun cowok masakan mereka patut diacungi jempol.
Karel sendiri hanya duduk diam di sofa, melipat tangan di dada dan menatap datar lurus ke depan. Ia memang tak suka banyak bicara. Tipe-tipe cool boy.
"Ini amplop apaan item-item begini?" tanya Aditya.
Tangannya membuka amplop berwarna hitam lalu menarik selembar surat yang juga berwarna hitam. Untung saja tulisannya tidak hitam juga.
Mata Aditya menyantap kata demi kata dengan kening berkerut tanda serius. Umpatan kecil keluar begitu saja.
"Dia pengen Kay nerima cinta dia!" kata Aditya. "Sejak kapan psikopat jatuh cinta? Ngibul."
"Bedebah sialan, mereka ngajak ribut rupanya. Besok gue bakalan bikin perhitungan biar tahu siapa yang lagi mereka ajak main-main!" geram Raka.
"Jangan."
"Jangan larang gue, Rel. Alvin hampir aja bikin sepupu gue mati!"
"Kay yang bakal jadi korban."
"Maksud lo? Dia bakalan terus meneror Kay kalo gue gerak?"
Karel mengangguk tanda membenarkan. "Kalo lo gerak, yang lain juga. Tapi di sini sepupu lo lagi terancam."
Raka melirik gadis di pelukannya yang sudah terlelap. Rumit. Masalah ini mulai rumit. Kay tak bisa bersekolah dengan tenang mulai besok. Alvin akan mencari kesempatan.
"Kita cukup menjaga dia aja," kata Aditya.
Lagi, Karel mengangguk. Mau tak mau, Raka harus mengikuti apa kata teman-temannya. Menang benar, salah langkah sedikit saja Kay akan celaka di tangan manusia sinting itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments