"Oy, gue bingung, nih, milih CCTV yang bagus buat mantau kelas Kay!" seru Gibran. "Ada yang bagus, tapi nggak sesuai sama keinginan gue."
"Lah, lo maunya gimana?" Kafka melirik tajam.
"Yang bisa menangkap gambar sekaligus suara sejelas mungkin."
Cowok itu sedang berbaring di balkon apartemen Karel yang luas. Radius berkumpul di sini. Sejak hari ini pula tempat itu menjadi markas tempat berkumpul mereka. Kali ini tak hanya berlima, ada tambahan personil lagi yaitu Abdul, Kafka dan Deva.
"CCTV? Emang lo mau masang CCTV di kelas gue?" tanya Abdul heran.
"Iya, buat mantau siapa yang udah neror Kay. Dia itu udah gue anggap sebagai adek kandung sendiri. Mana ada abang yang mau lihat adeknya diteror kayak gitu? Nggak bisa tinggal diem, lah! jawab Gibran.
Deva dan Kafka melongok ke ponsel yang sedang dipegang Gibran. Mereka ikut berbaring di samping cowok itu. Dengan tak tahu dirinya dua orang itu menyuruh cowok terdingin kedua setelah Karel memperbesar pencerahan layar agar lebih jelas dilihat. Penasaran adalah sifat lumrah pada manusia. Akan tetapi, terkadang rasa penasaran dapat membunuhmu.
"Itu, kok, bahasanya aneh semua. Mana ada gambar rumah segala lagi di tengah huruf. Bahasa apaan itu?" tanya Deva.
"Jepang."
"Oohh, emang lo bisa baca? Gue aja stress lihatnya."
"Bisa."
"Waduh, ngeri, buset deh!" seru Deva dan Kafka kompak.
Matahari hampir tenggelam dari balik gedung-gedung pencakar langit. Karel menatap pemandangan mahakarya Tuhan yang begitu indah. Ia terbayang pada kejadian di ruang musik. Kala hati tergerak untuk memeluk dan berusaha menenangkan hati gadis itu. Tangannya seperti digerakkan oleh tangan ghaib. Tidak, bukan seperti itu. Akan tetapi, keinginan melindungi Kay terasa begitu kuat.
Lalu terngiang lagi alunan lembut piano berpadu dengan suara serak Kannaka ketika bernyanyi. Karel tersenyum tipis. Suaranya indah juga meskipun ketika berbicara cemprengnya minta ampun. Belum lagi kalau sedang bertengkar dengan Cakka. Auto pengang telinga siapapun yang mendengar.
"Rel, lo ngapain senyam-senyum sendiri kayak orang kesambet?" tanya Cakka, ia baru selesai menggoreng kentang sebanyak dua baskom.
Ketika baskom aluminium itu dihentakkan ke lantai hingga menimbulkan suara bising, cowok berjambul itu cengar-cengir karena dipelototi Raka. Ia masuk lagi dan keluar bersama Aditya membawa minuman segar serta dua bantal yang diapit di ketiak.
"Ya Tuhan, Cakka! Lo orang kaya, tapi noraknya tingkat nasional, heran gue. Itu baskom ngapain dibawa keluar? Iya sih, bagus karena masih mengkilap tapi masa iya begitu caranya. Pindahin dulu kek, ke tempat lain!" dumel Aditya.
"Ya, mangap. Males gue nyari tempat bagus di lemari yang gedenya bisa buat sembunyi sepuluh maling. Udah, serbu aja! Apa bedanya coba di baskom sama tempat lain? Kentang, ya kentang, nggak akan berubah jadi ayam goreng!" tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Delivery ayam goreng, ah. Lumayan nambah cemilan."
Duo rempong teman sekelas Kay yang resmi menjadi teman Radius masih sibuk berdebat di telinga Gibran tentang bahasa Jepang. Mereka misuh-misuh karena cowok itu tak mau menerjemahkan arti dari setiap tulisan. Masa huruf seperti rumah? Mana paham. Begitu protes mereka.
"Gimana, Gib?" tanya Karel.
"Gue udah nemu barang bagus. Nemu di otak gue sendiri. Tapi, kata perusahaannya, sebulan lagi baru bisa dikirim. Anak buahnya yang bakalan datang langsung ke Indonesia buat nganterin pesanan gue."
"Selama itu?"
"Nggak ada barang sebagus buatan perusahaan dia. Anak buahnya juga yang bakalan bantu gue buat masang. Yang paling penting, limited edition."
Cowok dengan wajah tanpa ekspresi itu menatap salah satu sahabatnya heran. Penasaran dengan barang yang katanya bagus itu. Gibran menyeringai sembari menunjukkan ponsel berisi huruf Katakana ke arah Karel.
"Gue sendiri yang ngasih tahu, gimana bentuk barang yang gue mau."
"Good!" puji Karel.
Di sudut kanan balkon, Raka terlihat sibuk dengan ponsel. Raut wajahnya terlihat serius sekali memantengi layar yang memperlihatkan isi chat dengan seseorang. Ia mendengar semua percakapan mereka tapi tak peduli. Ia percaya pada kinerja sahabatnya. Radius tak pernah setengah-setengah kalau sudah bertindak.
Deva, Abdul dan Kafka saling bertatapan.
"Orang kaya emang beda!" kata mereka kompak.
***
"Bibi! Bibiiiii!!" panggil Kay sambil menuruni anak tangga pelan-pelan, ditangannya ada sebuah boneka besar berbentuk awan.
Ia baru bangun dari tidur siangnya dan tak mendapati keberadaan Raka. Sepupu yang sudah seperti kakak kandung itu tak ada di mana-mana. Ingin menelepon tapi tak ada pulsa. Kay lupa membeli pulsa tadi sepulang sekolah. Kuota internet juga sudah sekarat. Kalau begini caranya, Kay akan mati karena bosan.
"Bibiii!!"
Seorang wanita dewasa berlarian menghampiri Kay yang ribet sendiri dengan bonekanya. Ia menawarkan diri untuk membantu membawakan awan berisi kapas berwarna merah hati itu. Namun, dia kembali mundur dua langkah ketika Kay berkata tak usah.
"Bi."
"Iya, Nona. Saya di sini!"
"Raka ke mana? Kok, Kay nggak nemuin dia di mana-mana?" tanya Kay dengan suara bindeng, sesekali tangannya digunakan untuk menggosok-gosok hidung yang memerah.
"Tuan Muda tadi pergi buru-buru, Nona. Entah pergi ke mana saya nggak tahu. Saya kira nona tahu jadi nggak nanya lagi."
"Oh, ya udahlah. Haattchim!"
Bibi yang bernama Dini itu terkejut mendengar Kay bersin. Ia mengucapkan kata maaf lalu meletakkan punggung tangan di dahi gadis itu. Matanya melebar ketika hangat begitu terasa di kulitnya. Sekali lagi diarahkan ke leher Kay, bagian itu lebih panas.
"Nona Muda sakit? Kenapa malah turun ke sini? Ayo, saya bantu kembali ke kamar. Nona mau saya buatin bubur ayam? Susu cokelat hangat? Atau nutrisari?" cerocos Dini sembari memapah Kay.
"Kay nggak sakit, kok. Haattchim!"
"Lah, itu kenapa bersin? Ayo, ke kamar."
"Kay mau tidur di kamar ayah sama bunda aja, Bi. Nggak mau tidur di atas, seram!" cetus Kay diakhir dengan bersin tiga kali, ingusnya meluber ke mana-mana.
Tanpa rasa jijik Dini mengelap ingus Kay dengan saputangan yang selalu ada di saku seragam maid yang dikenakan. Sejak usia dirinya delapan belas tahun, Dini sudah ikut keluarga Holscher. Ia mengasuh Kay yang kala itu masih bayi. Berarti sudah tujuh belas tahun lebih dirinya mengabdi di sini.
"Ya sudah, mari bibi anterin ke kamar Tuan dan Nyonya. Kebetulan kuncinya selalu bibi bawa dan baru aja selesai bibi beresin tadi pagi."
Kay menurut ketika dipapah oleh Dini. Tubuhnya langsung terasa nyaman ketika bersentuhan dengan kasur tempat ayah dan bundanya tidur dulu. Ia bersembunyi di bawah selimut berusaha melelapkan diri agar rasa pening yang menyerang dapat segera hilang.
Dini tersenyum miris, setiap sakit Kay pasti minta tidur di sini. Sejak mendiang orang tuanya masih hidup pun Kay akan minta tidur bersama mereka bila sakit. Namun, kini sudah tak ada lagi pelukan hangat dari mereka, Dini menutup mulut menahan tangis. Serindu apapun Kay pada mereka, gadis itu tahu cara meng-cover diri dengan baik agar tak terlihat menyedihkan.
"Bi, Kay mau bubur ayam sama nutrisari. Pake sambal cabe ijo dua sendok ya, Bi? Sekalian bawain Bye-Bye Fever terus telepon Raka suruh beli pulsa dan kuota. Tolong ya, Bi?" pinta Kay dari balik selimut.
"Iya, Nona Muda. Saya ke dapur dulu."
Sepeninggal Dini, Kay menyibak selimut hingga kembali memperlihatkan wajah yang sudah bersimbah air mata. Ia memiringkan kepala ke kiri, menatap foto ayah dan bunda yang terbingkai oleh pigura besar.
"Ayah, Bunda. Kay rindu sama ayah dan bunda. Kay lagi sakit, tapi nggak ada kalian yang bakalan meluk Kay di sini."
Gadis itu terus bermonolog memberi tahu serindu apa dirinya pada mereka berdua. Lama-kelamaan mata Kay layu lalu terpejam lalu terlelap dengan sendirinya. Harapan masih tersemai, semoga bertemu orang tuanya di alam mimpi.
***
Mentari sudah menghilang kembali ke peraduan. Gelap mulai memeluk Kota Hujan yang mulai dihiasi gerimis kecil. Kafka dan Deva sudah pulang usai shalat Isya berjamaah di apartemen mewah milik Karel. Ketika mereka melaksanakan ibadah, Gibran yang memeluk agama Kristen menyiapkan makan malam.
Karel sendiri memilih tidur di apartemen ditemani Cakka dan Aditya. Tak perlu pusing ke sekolah karena esok adalah hari sabtu. Raka sendiri memilih pulang. Tadi ia mendapat telepon dari pembantu rumah tangga kalau Kay mendadak jatuh sakit. Di tengah-tengah perjalanan, ponselnya kembali berbunyi menampilkan nama Karel. Raka mengaktifkan earphone dan menyambungkan via bluetooth.
"Halo, Rel? Ada apa?"
[Lo di mana?]
"Masih di jalan, lima belas menit lagi nyampe. Tadi mampir dulu di jalan beli stok nutrisari sama pulsa dan kuota buat Kay. Kenapa, Rel?"
[Nggak. Nanya aja.]
Raka tersenyum simpul. Napas berat yang terhela berkali-kali membuktikan bahwa sahabatnya sedang khawatir dengan kondisi Kay. Sepertinya, perasaan gadis itu tak akan bertepuk sebelah tangan. Semoga Karel adalah orang yang tepat.
"Ya udah, gue nyetir dulu. Nanti gue kabarin kondisinya dia kalo udah sampai rumah."
[Take care.]
Sambungan telepon terputus. Raka menekan pedal gas lebih kencang. Hatinya resah mengetahui Kay demam secara tiba-tiba. Begitu sampai di rumah, dirinya segera berlari ke kamar yang pernah ditempati oleh mendiang orang tua Kannaka. Bingung kenapa ada kamar orang tuanya sedangkan rumah itu adalah milik orang tua Raka?
Rumah itu adalah milik Kay. Namun, orang tua Raka sengaja tinggal di sana untuk menjaga Kay.
Mata Raka menatap mangkuk bubur yang sudah kosong serta gelas berisi nutrisari. Obat demam masih utuh. Kay pasti menolak menelan pil-pil pahit itu. Bibirnya tertarik saat melihat sebuah benda menempel di dahi sang sepupu. Benda yang amat disukai Kay karena menghasilkan efek dingin.
"Kay, kenapa bisa sakit, sih? Padahal tadi lo baik-baik aja," gumam Raka sembari mengecek suhu tubuh gadis itu, panas. "Masa anak biawak bisa demam? Ada-ada aja."
Gadis itu menggeliat pelan lalu membuka mata. "Lo udah pulang?" tanyanya serak.
"Iya, gue udah pulang. Tidur lagi, biar cepet sembuh terus bisa sekolah lagi. Lo nggak mau, 'kan, kehilangan kesempatan buat natap Karel?" goda Raka.
"Hm, gue nggak mau kehilangan waktu buat natap wajah Karel. Puk-puk kepala gue ya, Raka? Tapi, jangan kencang nanti gue bisa bego."
Cowok itu terkekeh lalu mengangguk. Tangannya mulai menepuk-nepuk lembut kepala Kay hingga gadis itu kembali terlelap. Tingkahnya selalu menggemaskan sekalipun sedang sakit. Kalau besok demamnya belum turun, Raka akan membawa Kay ke rumah sakit.
Dengan langkah pelan Raka keluar dari kamar itu dan menghempaskan tubuhnya di ruang tengah. Ia memilih tidur di situ agar dekat dengan Kay. Kalau saja tiba-tiba gadis itu mengigau atau mimpi buruk Raka bisa menghampiri secepat mungkin.
Ah, dia lupa mengabari Karel. Dengan cepat tangannya mengetik nomor sang sahabat lalu menempelkan ponsel ke telinga.
"Kay masih demam. Lumayan tinggi juga, paling kalo besok belum baikan gue bawa ke rumah sakit."
[Oke.]
"Tenang aja, dia pasti baik-baik aja."
Karel berdehem lalu mematikan sambungan telepon. Raka yakin cowok itu sudah lumayan lega sekarang meskipun tidak mengutarakan secara langsung pada dirinya. Ia terkekeh geli mengingat sifat dingin yang sudah mendarah daging.
"Dasar gengsian!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments