14. Dream

"Lo datang ke sini sendiri?"

"Naik taksi, dong. Gue nggak bilang sama siapapun kalo mau pergi ke rumah lo. Pinter, 'kan?"

Karel menghela napas pasrah. Gadis ini benar-benar aneh. Katanya tidak suka menjadi agresif saat menyukai seseorang, tetapi pagi-pagi sekali sudah ada di depan pintu rumahnya dengan cengiran konyol. Sepertinya definisi agresif yang ada di pikiran Kay berbeda dengan isi Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dengan pasrah cowok itu memiringkan tubuhnya ke kiri, memberi akses masuk pada gadis aneh yang katanya jatuh cinta padanya. Ketika sampai di dalam rumah Kay duduk dan berbaring di atas sofa. Melongok sekali seolah sedang mencari seseorang, lalu kembali menenggelamkan wajah di atas bantal sofa.

"Lo lagi di rumah cowok. Jangan asal rebahan dengan rok tersingkap kayak gitu!" tegur Karel.

"Kenapa?"

"Cowok jahat bisa aja ngelakuin hal yang nggak-nggak."

"Yang nggak-nggak gimana?" bingung Kay.

"Nggak ada. Tunggu sebentar."

Sepeninggal Karel, mata gadis itu menjelajahi isi rumah terindah yang pernah dia datangi. Sebenarnya, kehadiran gadis cantik itu bukan tanpa alasan. Semalam dirinya bermimpi didatangi oleh seorang nenek tua. Ia mendapat satu nasihat penting yang benar-benar mengubah konsep pemikiran Kay.

Dulu, ada masalah sedikit saja Kay akan mengadu pada Radius. Baik dengan sesama cewek maupun cowok. Ia tak pernah berpacaran, kencan atau sengaja bertemu dengan teman lawan jenis. Teman cewek saja dia tak punya.

Ada banyak orang yang membenci Kay karena tingkahnya yang dianggap menyebalkan. Padahal gadis itu tidak bermaksud untuk membuat semua orang menjauhi dirinya. Dia hanya ingin diperhatikan oleh Radius saja.

Percayalah, saat kamu menjadi satu-satunya perempuan di antara sahabat cowok pasti mereka akan membuatmu menjadi seorang ratu.

"Minum!" seru Karel sambil meletakkan secangkir cokelat panas.

"Kenapa bukan nutrisi dingin?" Kay protes.

"Rumah gue nggak ada persediaan minuman receh kayak gitu." Dalam hati Karel berkata, 'Minum nutrisari dingin saat pagi bakalan bikin perut lo sakit.'

"Bilang saja pelit!" Kay mencebik lalu menyesap cokelat panasnya.

Tidak buruk, rasanya enak karena tidak terlalu manis. Lupakan soal hati yang berdendang lagu cinta di dalam sana. Saat ini ambisi yang sudah dikonsep dari semalam harus terwujudkan.

Namun, bagaimana cara memberitahu Karel? Kay takut keinginannya ditolak mentah-mentah. Ia tak mau merasa kecewa padahal hari masih pagi. Hah, memang tidak ada hubungannya, sih. Akan tetapi, kalau semua keinginannya musnah karena sebuah penolakan maka pupus sudah.

"Kenapa?"

"Hah?" Kay tergagap karena kaget ditanyai secara tiba-tiba oleh Karel, kebiasaan.

"Kenapa geleng-geleng?" untung Karel baik hati mau mengulang kembali pertanyaannya.

Baiklah, Kay. Dia sudah memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan yang amat penting demi memuluskan niat awal. Gadis itu mencoba menyemangati diri sendiri sebelum akhirnya tersenyum lebar selama tiga detik.

"Cara mana? Orang tua lo juga nggak kelihatan?" sebuah cengiran menyebalkan muncul dari bibir manis Kay.

"Cara tidur. Orang tua gue di Belanda buat ngurusin impor susu. Mereka lebih sering di sana daripada di negara lain. Dan gue yakin, bukan itu yang mau lo bilang ke gue." Alis Karel terangkat sebelah.

Kekeh malu terdengar begitu menggelitik. Gadis itu bisa merasakan malu juga ternyata. Karel sampai geli dibuatnya.

"Tadi malem gue mimpi didatangi seorang nenek. Dia bilang : 'ketika kamu menjadi seorang juru masak, apapun alergi kamu (baik ikan, ayam, daging, jamur, kacang dsb), kamu harus tetap memakan masakan kamu sendiri sebelum menghidangkan untuk orang lain. Ketika kamu menjadi seorang penulis, apapun genrenya tetap harus kamu coba meski takut atau tak suka. Ketika menghadapi sesuatu, kamu harus memilih akan lari karena ketakutan atau maju dengan berani tanpa gentar!' begitu katanya."

Kay menarik napas sejenak, lalu kembali mengembuskan dengan pelan. "Semalem gue nggak tidur demi mikirin keputusan yang udah gue ambil. Gue mau belajar ilmu bela diri dan cara make senjata."

Karel menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak boleh belajar ilmu bela diri, Kay!"

...***...

Di rumah, Raka kelimpungan karena tak menemukan Kay di mana-mana. Sudah Mencari sampai ke ruang yang paling dibenci Kay yakni perpustakaan, tak jua ditemukan. Gadis itu sepertinya sedang terobsesi menjadi hantu sekarang. Hilang seenaknya, pulang juga semaunya.

"Begini nih, kelakuan anak cewek yang selalu dimanjain sama semua orang. Nggak bakalan ngerti kalo bahaya bisa nerkam dia di mana aja. Dari lahir udah diincar apalagi udah gede, lama-lama soak otak gue mikirin itu bocah."

Raka mengempaskan pantatnya ke kursi. Ia menenangkan pikiran sejenak sambil mencoba memutar otak ke mana biasanya gadis itu pergi. Ke rumah Winda? Tidak mungkin, mereka baru saja akrab. Atau pergi ke rumah Cakka? Untuk apa? Perang? Mereka tidak akur.

"Haish, sebaiknya gue telepon satu persatu aja, dah. Daripada bingung sendiri!" Raka meraih ponsel lalu mencari nama kontak Radius.

Ia menelepon Aditya karena nama pria itu muncul sebagai kontak teratas. "Halo, Dit? Anak gue main ke rumah lo nggak?"

[Emang Kay tahu jalan ke rumah gue? Aw!]

Di seberang sana, Aditya malah bingung sendiri sembari mengaduh.

"Woi bocah, lagi ngapain lo pake aduh-aduh segala?"

[Berisik lo! Gue lagi goreng ikan, minyaknya muncrat ke tangan gue.]

Raka memandangi layar ponsel yang sudah berubah menjadi hitam.  Pantas saja tidak ada suara lagi. Rupanya habis baterai. Ia berdecak dan melempar ponsel tak berguna itu ke atas karpet bulu beruang tebal. Untung tebal, kalau tidak ponsel yang harganya bisa untuk membangun tujuh petak rumah akan hancur berkeping-keping.

Mata Raka mengarah pada telepon rumah. Baiklah, demi gadis tengil itu Raka harus sedikit repot menghubungi siapapun yang mengenal mereka satu persatu. Aditya sudah, sekarang giliran Cakka.

"Halo, Cak. Anak gue ada sama lo nggak? Kemarin pas dia kabur nyari lo, 'kan?" tanya Raka penuh harap.

[Gue nggak di rumah, lagi apel ke rumah pacar yang ke sembilan. Lagian hari minggu begini si Kay paling lagi ke taman nyari ide buat gambarnya.]

Cowok itu terdiam. Ada benarnya juga opini Cakka. Akan tetapi, rasanya tidak mungkin mengingat sepupunya tak suka dengan tempat ramai. Dua puluh menit kemudian, Raka sudah menelepon entah berapa orang hanya untuk menanyakan keberadaan gadis itu.

Pusing.

Ia mengacak-acak rambut frustasi. Lama-lama Raka bisa depresi karena hidup bersama sang sepupu yang amat susah diatur. Kalau sehelai saja rambut kebanggaannya beruban di saat usianya masih delapan belas tahun, Raka akan mencukur habis lalu menggantinya dengan wig.

Terakhir kali, ia mencoba menghubungi seseorang yang jauh di sana. Meski tidak mungkin Kay pergi menemui orang itu, setidaknya Raka mencoba terlebih dahulu. Gadis bar-bar itu bisa pergi sampai ke ujung dunia apabila dia ingin.

[Halo, Raka-chan? Ada apa menelepon mama?]

Kalau Raka memberi tahu sang mama, bisa dipastikan wanita itu akan pulang hari ini juga. Namun, ia sudah tak tahu harus bertanya pada siapa. Otaknya sudah buntu.

"Ma, Kay ada di sana nggak?"

[Nani? Kenapa tanya sama mama? Kan dia tinggal sama kamu. Gimana, sih?]

"Anu, Ma. Kay nggak ada di rumah."

[Kalo dia nggak ada di rumah ya, carilah. Kok malah nanya ke mama. Ya ampun, Sayangku. Kamu ini benar-benar, ya!]

"Tapi, keadaan luar lagi bahaya. Kay lagi diincar sama psikopat. Dia sendiri yang bilang kalo guru baru di sekolah itu kayak psikopat terus setiap masuk kelas selalu nanya soal dan cara membunuh sama dia."

[WHAT? KENAPA BARU BILANG SEKARANG? MAMA SAMA PAPA PULANG HARI INI JUGA! BYE!]

Tuh, kan. Raka menatap telepon di tangannya dengan pasrah. Sudah diduga kalau mereka pasti akan pulang apabila mengetahui soal ini. Akan tetapi, ada bagusnya juga, mama dan papa Raka sudah lama tak menginjakkan kaki di Indonesia.

"GUE BAKALAN DAPET OLEH-OLEH, YES!!!" Raka jingkrak-jingkrak kegirangan lalu berlari ke kamar dengan kecepatan penuh.

Sepanik apapun seorang Raka mandi tetaplah hal utama. Jika ketampanan luntur maka penggemar otomatis akan berkurang. Apabila akumulasi penggemar berkurang, Raka akan kehilangan dunia tenar yang sudah digenggam sejak lahir. Jadi, sekarang Raka memilih bersiap-siap terlebih dahulu baru berangkat mencari Kay.

...***...

"Hosh, hosh, hosh! Capek banget gue. Rasanya seperti anda menjadi Ironman. Gue nggak sanggup lagi. Lambaikan tangan pada kamera!" gumam Kay.

Ia melambai-lambai tak jelas pada sesosok pria tak jauh dari tempatnya berdiri, saat ini mereka sedang berada di tengah hutan buatan di belakang rumah Karel. Dengan langkah gontai Kay berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di dekat lapangan yang luas. Ia tak peduli pada suara cericit burung pipit di atas pohon, tak peduli pada angin yang sedang mencoba menggodanya dengan embusan pelan, tak peduli pada keteduhan yang diberikan oleh pepohonan dan Kay tak peduli pada apapun kecuali botol minum di tangan Karel.

Tanpa permisi gadis itu menghempaskan tubuhnya di dekat Karel lalu merebut botol minum. Usai menghabiskan isinya, ia mengembalikan pada sang pemilik botol lalu merebahkan kepala ke bahu Karel karena lelah. Kay melakukan itu semua tanpa disadari. Catat, tanpa disadari!

"Gue minta diajarin beladiri, Rel. Kenapa malah lo suruh gue lari sepuluh putaran? Lo kira lapangan di sini kecil?  Baru tiga putaran aja rasanya udah mau semaput. Capek!" keluh Kay.

Saat Karel hendak menjawab, gadis itu kembali berbicara.

"Aturannya, lo ajarin gue cara nendang orang, cara mukul, cara banting atau cara bunuh orang sekalian biar mantap jiwa. Lah ini, malah disuruh lari. Kalo lapangan basket nggak masalah walaupun sepuluh putaran. Tapi, ini gede banget, Coy! Kecantikan gue bakalan luntur kalo keringetan. Mana gue bau banget lagi."

"Udah?" tanya Karel.

"Hah?"

"Udah ngomongnya?"

Tanpa sadar, Kay mengangguk lalu menguap. Lelah akan membuat seseorang merasa mengantuk. Namun, karena sepertinya Karel hendak bicara Kay harus menahan kantuk sejenak.

"Cara lari lo salah. Makanya, capek. Telapak kaki jangan dihentakin ke tanah pas lari. Tapi, gunakan ujung kaki. Gue sengaja nggak ngajarin ilmu beladiri karena ada alasannya. Kalo ada apa-apa cukup hubungi Radius seperti biasa. Atau kalo udah kepepet, gunakan akal. Lari dan lompat dari jendela apabila di dalam ruangan. Nanti gue ajarin lagi. Paham?"

Gara-gara Kay, belakangan ini Karel jadi lebih banyak berbicara meski tetap dengan nada datar.

Kay mengangguk. Ia menguap lagi dan akhirnya tertidur di atas bahu Karel. Cowok itu tersenyum tipis dan membiarkan saja gadis itu bertingkah semaunya. Akan tetapi, langit sudah terlihat mendung.

Kalau tetap di sini maka hujan akan turun lalu mereka berdua akan basah. Kay sudah tidur pulas, artinya Karel harus menggendong gadis itu ke rumah.

"Sepupu lo selalu ngerepotin, Rak!"

Dengan hati-hati Karel menggendong tubuh Kay di punggungnya. Untung tubuh gadis itu seringan kapas. Saat sudah sampai di dalam rumah, Karel bingung harus membawa Kay ke mana.

Beberapa kamar kosong masih belum dibersihkan. Tidak mungkin juga bila dibawa ke kamarnya, nanti pasti gadis itu mengira yang tidak-tidak.

Karel melirik jam besar yang tergantung di dinding. Sebentar lagi jam makan siang. Ah sudahlah, Karel membaringkan Kay di sofa ruang tengah lalu pergi untuk mengambil selimut.

Saat kembali sudah ada Caramel di sana. Balita itu sedang berusaha berdiri dengan berpegangan pada sofa.

"Bu-bu-bu-na-na!" celotehnya.

Karel tersenyum tipis. Pasti adiknya berhasil kabur dari pengasuh yang ketiduran. Ia sekarang sedang mencoba membangunkan Kay

"Biarin Buna istirahat, kamu main sama abang" kata Karel sambil menggendong Caramel.

Sebelah tangannya yang bebas digunakan untuk menutupi tubuh Kannaka dengan selimut. Tadi ia menyebut gadis ini dengan sebutan Buna? Panggilan itu masih terdengar begitu menggelikan di telinganya, tapi ...

Memang cocok untuk Kay.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!