18. Falling in Love?

Raka mengendarai mobil dengan pelan. Kay tertidur pulas sebelum sampai rumah karena lelah bermain kejar-kejaran bersama Karel. Ia sedikit tidak menyangka ketua Radius bisa sehangat itu dengan sepupunya.

Akan tetapi, Raka sedikit senang karena berkat cowok itu Kay menjadi sedikit lebih lunak. Ia memang tak salah pilih. Karel akan menjadi mood-boster gadis tengil ini.

Semoga dirinya tak salah memercayakan sepupu tercinta pada cowok setangguh Karel. Walau bagaimanapun juga amat sulit menemukan cowok sekuat itu yang tahu seluk-beluk kehidupan Kay dengan amat detail.

Sekalipun ada, belum tentu Raka percaya.

"Hm, udah sampe mana?" gumam Kay dengan suara serak.

"Lo udah bangun? Masih di lampu merah. Dua puluh menit lagi nyampe rumah. Lo udah makan belum?" tanya Raka sembari menepuk kepala gadis itu.

"Udah. Tadi gue beli burger di kantin sama Winwin. Hoaamm!" Kay menguap lalu menggaruk kepalanya.

"Mampir ke rumah makan dulu, ya? Lo bisa mati karena kekurangan karbohidrat dari semalem."

Gadis itu membuka mata lalu duduk dengan benar. "Gue udah makan burger. Apa bedanya lemak sama karbohidrat? Jangan mampir lagi ke rumah makan. Gue masih pake seragam. Lo juga sama. Ntar dikira mau minta sedekah lagi."

Tanpa mempedulikan ocehan Kay, cowok itu menjalankan mobil saat lampu hijau menyala lalu berbelok ke sebuah rumah makan. Kay berdecak sebal. Ia tahu Raka khawatir dengan kesehatannya, tetapi cowok itu terlalu gengsi untuk mengatakan yang sebenarnya.

Padahal kalau Raka mengajak makan dengan alasan takut Kay sakit pasti akan diterima dengan senang hati. Tidak perlu memasang ekspresi sok tenang seperti itu. Huh, sebenarnya Kay masih kenyang. Namun, entah kenapa saat melihat deretan menu enak perutnya kembali berteriak lapar.

"Mau pesan apa?" tanya Raka sembari membolak-balik daftar menu.

Kay mengetuk-ngetuk dagu dengan tangan kanan, ciri khas saat berpikir. Ia memang lapar. Tetapi tidak ingin makan di sini. Gadis itu ingin cepat-cepat pulang dan mandi. Badannya lengket oleh keringat. Coba saja Karel tidak mengajaknya lari-larian di siang bolong, Kay pasti masih cantik.

Ah, mengingat Karel pipi gadis itu kembali bersemu. Baru kali ini ia melihat tawa Karel. Kay berani bersumpah cowok itu berjuta kali lipat lebih ganteng ketika tertawa. Akan tetapi, mulai besok Karel akan dilarang tertawa. Ia tak suka melihat cewek-cewek itu histeris karena tawanya.

"Tahu gitu mending gue tutup aja muka Karel pake plastik tadi!" gumam Kay.

Raka mengernyit heran. "Lo ngomong apa kumur-kumur? Nggak jelas banget. Cepetan pesan. Udah ditungguin dari tadi!" suruh Raka galak.

"Beli di sini, tapi makan di rumah, ya?" pinta Kay.

"Ck, iya."

Gadis itu bersorak gembira lalu menunjuk beberapa menu yang ia inginkan. Semuanya makanan pedas. Kepiting, udang pedas manis, ayam cabe ijo, mie goreng level dua, nasi goreng dan gurame bakar dengan sambal terasi. Melihat gelagat Raka ingin protes dengan cepat Kay menunjukkan wajah memohon.

"Nyesel gue bawa lo ke sini!"

...***...

Menjelang magrib, saudara senenek itu tiba di rumah. Kay berlari masuk ke dalam meninggalkan Raka dengan tiga plastik berisi makanan pesanan mereka. Lagi, cowok itu harus repot karena pilihannya sendiri. Ia menatap langit senja yang terlihat mendung, semesta seolah berkonspirasi memberikan sepupu tanpa akhlak kepadanya.

"Tiap jalan sama dia, gue kayak babu aja rasanya. Mau dibuang ke laut, sayang karena tingkah Kannaka selalu jadi penyembuh capek gue. Kalo nggak dibuang, gue bakalan jadi sepupu mental babu!" gerutu Raka.

Dari dalam rumah, Bi Dini berlari kecil menyongsong Raka. Wanita itu membantu membawakan dua plastik yang cukup berat karena berisi masing-masing empat kotak makan. Saat melihat Kay memesan banyak makanan ternyata Raka ikut-ikutan kalap.

"Nyonya udah nungguin di dalam," kata Bi Dini.

Raka melongo. Baru saja wanita itu menyebut nyonya? Artinya, Jessie sudah tiba di rumah tanpa memberi tahu dirinya? Raka segera berlari masuk ke dalam dan menemukan pemandangan menyebalkan. Kay sedang bermanja-manja dengan mamanya sedangkan Raka disuruh membawakan makanan.

"Sepupu nggak ada akhlak! Lo nyuruh gue bawain makanan kayak babu terus manja-manjaan sama mama!" semprot Raka.

"Berisik!" balas Kay galak.

Kenapa sekarang Kay menjadi lebih galak?

"Mama juga, sampe ke rumah kenapa nggak bilang-bilang? Takut banget anak nanyain bawa pulang apa. Mama nggak ada akhlak!" Raka mengecilkan suara di kalimat terakhir.

"Siapa bilang? Mama tadi sempat ke sekolah kamu buat nyapa kepala sekolah yang paling ganteng itu. Oh iya, mama ingat sesuatu!" Jessie menyibak rambut Kay lalu mencopot benda kecil di leher. "Ada yang masang penyadap di leher kamu."

Dua saudara sepersepupuan itu melongo. Ternyata penyadap ada yang seperti noda, ya? Mungkin penyebutan noda tidak tepat. Lebih terlihat seperti tahi lalat. Raka tidak pernah memperhatikan sampai sedetail itu. Ia kira memang benar tahi lalat.

"Penyadap kok kecil begitu? Terus siapa yang nempelin ke leher aku? Perasaan nggak ada yang megang," Kay heran sendiri.

Eh, berdua karena Raka juga bingung. Namun, cowok itu memilih mandi terlebih dahulu karena kulitnya sudah lengket.

"Tante nggak tahu. Tapi, ingat pesan tante. Jangan terlalu dekat dengan siapapun kecuali Radius. Kayaknya yang ngincar seorang Kay banyak. Apalagi udah ada beberapa yang tahu latar belakang kamu," pesan Jessie.

Gadis berambut panjang dicepol itu menggaruk kepala yang tak gatal. Hidupnya ribet sekali. Anak presiden saja sepertinya tidak serepot ini. Tiba-tiba Kay teringat pada luka di kakinya. Sudah tidak terlalu perih, tetapi cukup sakit apabila digunakan berlari seperti tadi.

"Tan, tadi ada yang mau bunuh aku masa? Orang lagi asyik-asyik main piano malah digangguin. Tapi, belatinya bagus, Tan. Gagangnya biru terus ada permatanya. Keren!" cerita Kay. "Dia nggak sempat nyentuh aku. Eh, sempat, sih. Kegores belati pas lompat keluar jendela."

Jessie tersenyum sembari mengelus kepala Kay. "Nanti oles salep, ya? Tante bawa salep luka dari Jepang."

"Tante tahu nggak? Tadi Karel ngobatin luka aku! Walaupun bego karena alkoholnya langsung disiram, tapi balutan dia rapi, nih lihat. Rapi, kan?" pamer Kay.

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum geli. Bukan memikirkan nyawa yang hampir melayang, keponakannya malah sibuk bercerita tentang betapa indahnya belati milik guru baru itu. Lalu berakhir dengan wajah tersipu saat tiba di bagian diobati oleh Karel dan bermain kejar-kejaran dengannya.

...***...

Jatuh cinta? Karel terkekeh sambil menatap langit-langit kamar.

Selama hidupnya tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana rasanya jatuh cinta atau sekedar tertarik pada lawan jenis. Ia sudah mengenal gadis itu sejak SMP. Setiap pergi nongkrong, gadis itu selalu nyempil di antara mereka.

Namun, entah kenapa Karel baru saja melihat sesuatu yang beda. Kay terlihat sangat cantik dengan tingkah apa adanya. Dia tertawa lepas tanpa dibuat-buat, berlari di bawah terik matahari tanpa takut gosong, berani meneriaki dirinya dan melupakan image seorang gadis di depan cowok yang disukainya.

"Gue baru sadar lo secantik itu."

Karel bangun dan mematikan lampu. Ia mengantuk karena terlalu lelah latihan bela diri bersama teman-temannya minus Raka. Saat hendak memejamkan mata, ada tangan lain yang kembali menyalakan lampu kamar. Cowok itu melirik sebentar dan terpaksa bangun lagi.

Sang bunda berdiri di pintu sambil menggendong Caramel.

"Ini baju siapa, Rel?" tanya Karina, bundanya.

Mata Karel sedikit melebar karena terkejut melihat baju Kay ada di tangan Karina. Ia lupa mengembalikan pada gadis itu. Padahal sudah dicuci bersih oleh asisten rumah tangganya.

"Bu-bu-na-na-na!" celoteh Caramel sambil berusaha menggapai baju Kay, agaknya dia masih  mengenali si pemilik baju yang dipanggil Buna.

"Baju teman Karel. Dia datang ke sini," jawab Karel jujur.

Mata Karina menyipit. "Cewek?"

Selanjutnya, dapat ditebak bagaimana reaksi seorang ibu ketika mendengar anak laki-laki yang cuek setengah mati pada kaum hawa, tetapi tiba-tiba diketahui dekat dengan seorang gadis. Karina duduk dengan antusias dan meletakkan Caramel di tengah tempat tidur.

"Ceritain dong sama bunda. Namanya siapa? Anak mana? Tinggal di mana? Sekolah di mana? Dia cantik? Pendek? Tinggi? Putih? Hitam? Pesek? Mancung?" cerocos Karina.

Inilah yang membuat Karel sedikit risih. Karina terlalu bersemangat dengan masalah seorang gadis. Bahkan wanita itu pernah berniat menjodohkan dirinya dengan beberapa gadis anak sahabatnya. Memangnya Karel tidak laku?

"Bunda, Karel mau tidur. Capek banget abis latihan sama Radius. Besok aja ceritanya. Selamat malam, Bunda!" setelah mengucapkan itu Karel menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Anak ini bener-bener, ya! Jangan tidur dulu. Kasih tahu bunda gimana ciri-ciri cewek yang lagi dekat sama kamu. Ya ampun, anak ini. Bunda nggak mau tahu, besok kamu bawa cewek itu ke rumah buat makan siang. Titik!"

Keputusan Karina sudah bulat. Karel mengintip dari balik selimut untuk memastikan sang bunda sudah benar-benar meninggalkan kamarnya. Ia menghela napas lega. Alamat bisa repot ini.

Karel menggaruk kepala dengan frustasi. "Ribet kayak ketombe!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!