"RAKANEBOOO!!! LO GIMANA, SIH? MASA NUTRISARI GUE DIABISIN SEMUA?! GUE NGGAK MAU MINUM MINUMAN YANG LAIN SELAIN ITU! LO BISA BIKIN SENDIRI, PE'A! ASTAGHFIRULLAH, KENAPA GUE PUNYA SEPUPU LAKNAT BEGITU, SIH? BIBI, TOLONGIN KAY BUAT GEBUKIN RAKANEBO!!"
Hari masih pagi, tetapi dua saudara sepersepupuan itu sudah membuat keributan.
Raka mendengkus pelan di balik pintu kamar. Tangannya memegang segelas nutrisari hangat milik Kay yang dicuri barusan. Pantas saja anak itu teriak-teriak, rupanya sudah sadar minuman kesayangan sudah hilang. Biarkan saja. Salah sendiri menghabisi keripik singkong kesukaan Raka. Sudah diawet-awetkan biar tahan sampai sebulan, dalam sehari saja tinggal bungkus kosong.
"Tenang dulu, Non. Itu bantal jangan ditendang-tendang nanti isinya keluar semua. Aduh, Nona masih belum sembuh masa udah gerak banyak begini."
Sekarang Dini sedang kerepotan mengatasi keributan yang Kay ciptakan. Gadis itu merengek, bahkan sibuk mengumpati Raka sembari menendang-nendang bantal. Semua benda itu diambil dari sofa lalu dilempar hingga memenuhi ruang tengah. Kalau sedang merajuk atau marah, ia akan melakukan apa saja untuk meredakan amarahnya.
"Bodoamat, dah. Mau nendang bantal kek, nendang bola kek, nendang pesawat kek atau nedang rumah sampe roboh sekalian. Emang gue pikirin? Kayak dia sanggup aja nendang rumah. Hihihi, ternyata walaupun lagi sakit ternyata teriakannya masih kencang aja. Emang titisan nenek lampir, sih!" bisik Raka sembari duduk dan menyesap nutrisari.
Sementara di bawah, Kay mendadak tersenyum iblis. Kalau Raka terus ngumpet di kamar artinya tak ada yang mengawasi Kay lagi. Dengan cepat gadis meraih ponsel dan berlari ke luar rumah. Untung ada taksi. Ia langsung memberi tahu supir taksi agar mengantarnya ke sebuah alamat. Masalah ongkos bisa dipikir nanti saja. Yang penting kabur dulu.
"Yah, lupa ganti baju. Masa gue jalan-jalan pake baju piyama begini? Iya kalo di Jepang, nggak masalah sekalipun pake oblong. Lah ini, gue hidup di Indonesia. Yang mana tingkat kejulidannya luar biasa!" dumel Kay sembari menatap piyama berbahan katun warna biru polos.
Lengan panjang dan celana juga panjang. Baiklah, tak terlalu masalah. Sepasang kaki dialasi sandal jepit. Rambut dicepol asal hingga menyisakan beberapa anak rambut yang tergerai bebas di tengkuk dan poni dijepit ke belakang. Satu lagi, Bye-Bye Fever masih melekat di dahi. Kay menyandarkan tubuhnya. Pepatah orang cantik mengatakan, apapun penampilannya akan tetap cantik kalau yang mengenakan adalah titisan bidadari.
"Abang Supir!" panggil Kay.
Gadis itu membenarkan cepolan rambutnya lalu duduk bersila di atas jok mobil. Ia juga membuka kaca agar udara segar bisa masuk. Yah, walaupun tidak segar-segar banget karena sudah siang setidaknya dapat mengurangi pengap.
"Iya, Non?"
"Saya lupa ganti baju. Masa mau jalan-jalan begini? Ntar dikira orang gila nyasar, dong. Abang supir punya solusi nggak?"
"Mampir ke toko baju dulu, Non. Bawa duit nggak? Kalo bawa saya mau kok, nganterin Non ke toko baju."
"Nah, itu dia masalahnya. Saya lupa bawa duit, Bang."
"Ya Allah, kalo lupa bawa duit mau bayar taksi pake apa, Non? Ada-ada aja."
Iya juga, sih. Kay manggut-manggut karena baru sadar kalau dirinya lupa membawa uang untuk membayar taksi. Telunjuk gadis itu mengetuk-ngetuk dagu tanda sedang berpikir keras. Tak mungkin menelepon Raka. Kalau cowok itu tahu dirinya sudah tak ada di rumah bisa dijewer nanti.
Tiba-tiba dirinya teringat seseorang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini. Benar, orang itu pasti mau membantu Kay. Gadis itu mengetik beberapa digit nomor dan meminta orang itu menjemputnya.
"Abang Supir, nanti kita berhenti di depan, ya? Tapi, jangan pergi dulu. Soalnya, saya lagi nunggu seseorang yang bakalan bantu saya. Kay gitu, lohh!!"
"Terserah Nona ajalah, yang penting ongkos saya bayar!"
...***...
Hening. Tak ada suara misuh-misuh dari sang sepupu lagi di bawah. Raka mengintip dari balik pintu, barangkali gadis itu sedang menyiapkan rencana serangan balik. Namun nihil, memang tak ada suara sedikitpun.
"Itu anak ke mana, ya? Nggak ada suaranya lagi nggak kayak tadi berisiknya sampe bikin kucing tetangga kena serangan jantung. Ketiduran apa, ya? Coba gue intip, deh."
Dengan hati-hati cowok jangkung ini menuruni tangga. Hanya ada Bi Dini yang sedang memunguti bantal pelampiasan kekesalan Kay. Kasihan, pasti capek karena seisi ruangan bertaburan bantal bahkan beberapa bagian sudah copot sarungnya. Ada juga yang sudah berhamburan isi kapasnya.
"Psstt, psstt!" bisik Raka.
"Pppsssttt! Bibi!"
Bi Dini menoleh. Ia terkejut melihat Raka sedang memeluk pegangan tangga sembari melirik ke sana sini seperti maling nyasar di tengah deretan ruangan di rumah mewah.
"Ada apa, Tuan Muda?"
"Kay mana, Bi? Kok suara cemprengnya nggak kedengeran lagi? Udah abis baterai apa gimana?" tanya Raka sembari terkekeh.
"Telat, Tuan."
Raka mengernyit bingung. "Telat gimana?"
"Nona Muda udah keluar, Tuan. Kabur tadi. Tapi, kayaknya nggak bawa uang deh, soalnya cuma nyamber hape doang terus langsung kabur gitu aja. Bibi nggak sempat cegah, padahal mau kasih tahu kalau penurun panasnya masih belum dilepas."
"Oh, kabur. Kirain ke mana." Ia bersiap naik tangga, tetapi keburu sadar. "Kabur, kabur, kabur. Astaghfirullah, Kay kabur?!"
"Iya, Non Key kabur."
"Maksudnya, dia pergi pakai taksi dan nggak bawa uang sama sekali?"
"Nggak, Tuan. Orang cuma bawa hape doang. Dompet Nona Muda, 'kan, ada di kamarnya di atas."
Raka menepuk jidat sendiri. Pening, oy! Cewek itu ada-ada saja. Luput dari pengawasan langsung keluar tanpa ingat sedang sakit. Bagus kalau bertemu teman atau preman yang dikenal oleh Raka, kalau ketemu preman baru yang belum sempat 'kenalan' sama Radius, 'kan, bahaya.
Belum lagi Alvin dkk, Kay bisa saja bertemu mereka di suatu tempat. Ancaman Alvin tak bisa dianggap remeh. Kemarin saja Kay hampir tinggal nama kalau Radius tidak segera mendengar teriakan gadis itu. Bersyukurlah pada Tuhan Yang Maha Esa karena menganugerahkan pita suara yang mampu memberikan gelombang suara tinggi meski cempreng luar biasa.
"Tapi, Kay bawa hape, 'kan?" tanya Raka memastikan.
Bi Dini mengangguk sembari memunguti beberapa bantal. Untung dirinya masih lumayan muda, kalau sudah tua pasti akan encok pinggangnya karena menunduk-nunduk seluruh ruangan yang luasnya minta ampun ini.
"Itu anak emang bikin gue ribet mulu, dah. Pergi tanpa pamit pulang tanpa salam. Dibilang kayak jailangkung, mana ada jailangkung secantik itu. Ya udah deh, bibi beresin aja dulu hasil ulahnya dia. Ntar saya kasih bonus, deh."
Bi Dini geleng-geleng kepala melihat Tuan Muda yang terlihat pening. Cowok itu naik ke atas dengan mulut tetap menggerutu lalu turun lagi membawa kunci motor. Tak lupa memberi pesan tak usah memasak makan siang. Kemungkinan besar mereka akan makan di luar kalau gadis tengil itu sudah ketemu.
"Gue pites lo entar!"
...***...
"Hehehe, makasih ya, udah mau nolongin gue dari kesempitan yang tiba-tiba aja menghampiri gadis secantik gue? Coba aja kalo lo nggak datang udah tamat gue sama abang taksi karena nggak bisa bayar ongkos!" Kay berseru sembari mengepalkan kedua tangan ke depan orang yang diajak bicara.
"Lo emang nyusahin gue, Kutu Kupret!"
Cakka mengacak-acak rambutnya agar terlihat berantakan. Dengan percaya dirinya cowok itu membatin, kalau dengan rambut amburadul ketampanannya bertambah. Padahal di mata Kay penampilan Cakka sudah seperti orang gila.
"Jangan ngajak ribut ya, Cicak! Gue lagi kalem mode on ini. Kepala pusing bukan main, ngantuk juga, anterin gue ke restoran!"
"Kalo pusing dan ngantuk pulang, oy! Pulang, terus bobo di kamar. Ngapain keliaran di jalan sendirian? Mana penampilan udah kayak orang gila lagi. Untung lo cakep kalo jelek udah gue buang lo ke laut. Kasih tahu gue sekarang, ngapain ke restoran?" tanya Cakka, ia memegangi kepala yang mendadak pening.
"Makanlah. Itu aja pake nanya segala. Kurang pinter lo!"
"Katanya lo nggak bawa duit? Gimana ceritanya ini?"
"Nggak ada cerita, Cicak. Yang ada, tuh, lo traktir gue sekarang nggak pake penolakan."
Cakka melongo. Gadis tengil itu benar-benar menyebalkan. Sudah mengganggu tidur siang orang tampan, memoroti dirinya dengan menyuruh bayar taksi, lalu sekarang disuruh bayari makan. Untungnya Cakka orang kaya. Mengeluarkan lembaran merah hanya dianggap recehan.
"Kalo mau nyusahin, ajakin satu geng Radius. Jangan gue doang! Anak biawak emang gini kali ya, kelakuannya? Pantesan Raka makin hari makin keliatan tua. Pusing ngadepin lo!"
Kay menatap Cakka sebal. Cowok itu tak tahu apa kalau dirinya lapar? Kalau dia pingsan karena kelaparan atau meninggal, Cakka juga yang akan kena pasal percobaan pembunuhan. Masa membiarkan cewek secantik dirinya meninggal? Dunia bidadari akan meraung karena kehilangan ratu mereka.
Tanpa babibu lagi Kay menarik kerah baju Cakka ke mobil cowok itu. Meneruskan debat sama saja membuang waktu dan dirinya tetap kelaparan. Yang ditarik pasrah saja. Toh, ia juga tak tega melihat wajah pucat Kay.
Saat tiba di sebuah rumah makan, lagi-lagi Cakka dibuat melongo melihat makanan yang tersedia di atas meja. Semua Kay yang pesan.
"Ya Allah, siapa yang bakalan abisin ini makanan?"
Kay menunjukkan diri sendiri dan Cakka.
"Perut gue nggak segede itu ya, Maemunah!"
"Tinggal makan doang apa susahnya, sih? Ribut banget."
Mie goreng, bubur ayam, sate ayam, ayam goreng dan kentang. Gadis itu menatap hidangan dengan semangat lalu mulai menyantap satu persatu. Lumayan juga rasanya. Meski tak seenak masakan Bi Dini yang penting sekarang dia lapar.
"Selamat makaaannn!" pekik Kay antusias.
"Habislah, uang gue!" ratap Cakka dramatis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments