4. Teror Papan Tulis

"Kay, Kay, sebaiknya lo jangan masuk ke kelas sekarang. Ikut gue ke kantin atau ikut pengawal lo terserah mau ke mana, pokoknya jangan masuk ke kelas dulu!"

Winda berdiri menghadang Kay di depan pintu. Gadis itu terlihat tegang dan gelisah seperti orang menahan boker sejak kemarin. Wajah itu juga pias. Pucat. Seperti mayat hidup. Bila biasanya Winda cantik bagai barbie, hari ini ia menjelma menjadi zombie.

Kay yang baru tiba di depan kelas bersama kelima pengawalnya terheran-heran melihat Winda mendorong tubuhnya menjauh dari pintu kelas.

Gadis itu nampak panik dan hampir menangis secara bersamaan. Radius saling menatap satu sama lain lalu kompak mengedikkan bahu.

"Ada apa sih, Winwin? Gue baru datang masa disuruh keluar? Nanti aja deh, pas pelajaran matematika. Ridho lahir batin gue sekalipun lo ajak pulang."

"Masalahnya sekarang tuh, keadaannya lagi genting. Lebih baik lo jangan masuk kelas. Ayo, ikut gue ke kantin!" Winda ngotot.

"Tapi, gue udah makan tadi di rumah. Masa sekarang gue makan lagi? Iya sih, gue nggak gampang gendutan kayak Raka, tapi perut gue udah penuh. Nanti meledak gue nggak punya perut lagi," tolak Kay.

Ia agak penasaran melihat Winda bersikeras melarangnya. Hanya dirinya pula. Teman-teman lain yang sekelas baru datang langsung masuk tanpa ditahan.

Karena sudah kepo maksimal, Kay dan Radius merangsek masuk setelah mendorong pelan tubuh Winda agar tidak menghalangi jalan.

Suasana kelas aman, tidak ada bom ataupun siluman menakutkan. Wajah-wajah penghuninya juga masih normal tidak berubah menjadi mayat hidup berdarah.

Namun, ketika Kay tak sengaja melihat ke papan tulis, matanya terpaku di situ. Ia hampir saja oleng kalau tidak ditahan oleh Raka. Seisi kelas menatap gadis itu dengan tatapan kasihan.

'KAY DEMIAN ITU ITU ANAK BROKEN HOME. BOKAPNYA PUNYA BANYAK ISTRI. ORANG TUANYA UDAH MATI KARENA KEDULUAN DAPET AZAB DAN SEKARANG HIDUP NUMPANG DI RUMAH RAKA. LO SEMUA HARUS HATI-HATI KARENA BISA AJA DIA JUGA MURAHAN! BUKTINYA, SEMUA COWOK RADIUS DIDEKETIN TERUTAMA RAKA DAN KAREL.'

Tulisan yang menjelekkan nama Kay terbaca dengan jelas, ditulis dengan spidol bertinta merah dan sengaja dipertebal berkali-kali.

Ada emoji tertawa sengaja digambar seolah khusus menghina Kay. Gadis itu menunduk lalu menggigit bibir kuat, ia sedang menahan tangis agar tidak pecah di sini. Di depan mereka.

"Kay, jangan peduliin tulisan itu, ya? Kita semua nggak percaya. Pasti ada orang iri yang sengaja fitnah biar nama lo jelek," kata Winda diangguki serempak oleh seisi kelas.

Mendengar itu, Kay mengangkat wajah dan melempar senyum manis. Dia bersyukur mempunyai teman-teman sebaik mereka padahal dirinya tak begitu dekat karena selalu bermain dengan Radius.

"Thanks, all. Gue nggak apa-apa, kok. Nama gue paling cakep di dunia jadi nggak mungkin jelek."

Radius menatap gadis itu dengan tatapan nanar. Lebih-lebih Raka. Dia bahkan sudah menonjok papan tulis berwarna putih itu hingga bolong.

Hatinya memanas melihat tulisan yang memojokkan sepupu tercinta. Sampai menemukan orang yang berani menuliskan tulisan laknat itu, akan dihabisi hingga mati.

"Guys, gue nggak apa-apa. Kalian masuk ke kelas aja. Udah bel!" seru Kay sembari tersenyum.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Aditya cemas.

"Jangan pendam, kalo nangis ya nangis aja," sahut Gibran.

"Kay, kalo nanti ada yang ngapa-ngapain lo. Telepon gue aja," timpal Cakka.

"Take care," Karel tersenyum tipis.

Semburat merah jambu langsung menjalari pipi Kay saat orang terakhir bersuara. Dia memalingkan wajah ke arah lain.

Tak sengaja dirinya menatap Raka yang sedang menenangkan diri di sudut kelas. Buku-buku jarinya nampak memutih saking kuatnya cowok itu mengepalkan tangan.

Dengan langkah seolah tanpa beban Kay menghampiri Raka lalu memeluk sepupunya itu.

"Raka, nggak apa-apa. Gue nggak masalah sama tulisan itu. Orang itu cuma fitnah karena iri sama kecantikan paripurna gue. Jangan emosi lagi, dong," bisik Kay diakhiri kekehan khasnya.

"Kay."

"Ntar kita cari orangnya bareng-bareng. Gue janji bakalan lebih kuat dari sekarang biar bisa ngerebus tuh, orang jelek.".

"Jangan nangis lagi."

"Gue nggak nangis, mata lo yang merah kayak orang mau nangis. Malu ah, masa anak Radius nangis."

Raka membalas pelukan Kay lebih erat lagi. Efek baper langsung menghampiri hati-hati jomblo yang sudah ngenes sejak lahir. Namun, ada hati yang memanas berkebalikan dengan hati jomblo yang lain.

Meskipun sudah tahu mereka hanya sepupu, nyatanya api cemburu tetap memanaskan hati tanpa peduli alasan itu.

"SIAPA YANG BIKIN BOLONG PAPAN TULIS, HAH?!" Pak Angga berteriak di pintu.

Raka menatap angkuh. "Saya, kenapa emangnya?" tantangnya.

"Hehe, ada Radius. Nggak apa-apa, bapak cuma nanya."

Seisi kelas menahan tawa melihat guru killer itu cengengesan. Rupanya Radius memang benar-benar terkenal kegarangannya.

...***...

Winda melangkah takut-takut mendekati sekumpulan anak Radius yang sedang mengepulkan asap tipis dari bibir mereka. Lelah dirinya mencari rupanya ada di taman belakang.

Mengetahui ada kehadiran orang lain, mereka menatap heran sekaligus menunjukkan ekspresi terganggu.

"Sorry, gue ganggu. Tapi, ada yang mau gue sampein ke kalian. Sebenarnya gue nggak berani bilang ini, tapi anak-anak sekelas maksa gue karena ini demi Kay juga."

"To the point!" perintah Raka.

Winda menarik napas terlebih dahulu lalu menghembuskan dengan kuat. Efek berada di dekat mereka rasanya seperti terbang bersama helikopter lalu dijatuhkan tanpa parasut. Ngeri, oy!

"Ada banyak yang nggak suka sama Kay dari kalangan junior dan senior. Alasannya, gue belum tahu. Bisa aja karena Kay dekat sama kalian tanpa batas. Tapi, sejauh ini mereka nggak bisa bebas buat ngapa-ngapain Kay terlepas dari teror itu. Gue juga nggak sengaja dengerin soal Alvin yang hampir jatohin Kay ke bawah dari lantai tiga. Semua udah tahu, cuma mereka diam aja karena masalah ini bersangkutan sama orang-orang yang nggak bisa disentuh sama orang biasa."

"Maksud lo bukan orang biasa?" Karel menaikkan alis kirinya.

Winda mengembuskan napas berat. "Alvin dikenal sebagai preman sekolahan. Walaupun dia masih di bawah kalian, tapi gue tahu semua juga takut sama dia termasuk gue. Gue yakin kalian nggak tahu soal itu karena ... yah, bukan hal penting juga, sih. Terus barusan Kay ngasih tahu gue kalo lo sepupuan sama dia. Artinya, kalian berdua penerus 'kerajaan' Holscher. Dan Radius, siapa yang nggak tahu?" Winda membuat tanda kutip dengan jemarinya saat mengatakan kerajaan.

"Tujuan lo ngasih tahu kita apa?" tanya Cakka, matanya menyipit curiga.

"Gue sama anak sekelas peduli sama Kay sekalipun dia cuek minta ampun kalo di kelas. Tapi, Kannaka baik, secara nggak langsung dia selalu bantuin kita di kelas. Terutama gue."

Winda menunduk saat mengingat kebaikan demi kebaikan Kay. Gadis itu selalu membantu tiap dirinya sedang dalam masalah keuangan dan juga pelajaran. Kay unik, tiap membantu gadis itu selalu bertingkah ketus agar tak ada yang berterima kasih.

Rasanya ia tak percaya pada tulisan itu. Sekalipun benar mereka tak peduli tentang baik buruk masa lalu Kay karena ikatan tak kasat sudah cukup daripada menyatakan kalau mereka semua adalah saudara.

Raka menghela napas berat. "Thanks, itu informasi berharga buat kita. Tolong temani dia di kelas. Anak gue sebenarnya kesepian."

Cowok itu selalu berkata kalau Kay adalah anaknya. Tingkah manja Kay selalu menghibur dirinya seperti anak kecil. Winda mengangguk lalu kembali ke kelas. Tadi dia minta izin ke toilet pada guru.

Sudahlah, Winda tak masalah berdosa sedikit saja demi kebaikan. Namun, Raka memanggil dirinya dan melemparkan sebotol minuman ion. Untung saja gadis itu sigap menangkapnya.

"Refleks yang baik!" pujinya. "Bicara sepanjang itu pasti bikin lo haus. Makanya gue kasih minum."

Winda mengangguk tersipu lalu pergi.

"Kay pernah dapetin perlakuan buruk nggak, sih?" cetus Aditya sembari menggaruk-garuk kepala.

"Lo nanya gue apa nanya mereka?" Cakka malah balik nanya, jemarinya digunakan untuk merapikan rambut-rambut anti badainya.

"Yee, Sambal. Gue lagi mikir terus nanya ke kalian semua. Kirain Dedek Emes gue have fun aja selama ini, nggak tahunya banyak yang benci. Kasihan amat tuh, bocah!" gerutu Aditya lagi.

"Sekalipun banyak yang benci, Kay mana tahu."

Semua mata tertuju pada Raka. Bingung apa maksud dari perkataan cowok itu barusan. Cowok itu mengepulkan asap bulat-bulat lalu meniup hingga buyar.

"Kalian sendiri tahu gimana kelakuan tuh, anak? Bodoamat sama sekitar, kalo ada sesuatu di tangan dia bakalan fokus sama benda itu. Yang lain cuma angin lalu. Gue aja sering dicuekin di rumah kalo dia lagi ngapa-ngapain. Lagian, sebatas pem-bully Kay bisa ngehadapin sendiri. Dia itu emaknya para macan."

"Yo'i, gue sering keder kalo lagi diteriakin dia!" timpal Cakka setuju.

Karel mengulum senyum. Benar, gadis itu pernah menabraknya tempo hari karena terlalu fokus pada amplop itu. Sudah salah sendiri jalan tidak pakai mata lalu marah-marah tak jelas tanpa peduli siapa yang ditabrak. Sepupu Raka memang lucu.

"Gue mau beli cemilan. Laper. Kalian tunggu di sini!" titah Karel.

Sepeninggal Karel, Gibran yang asyik memainkan ponselnya mengangkat wajah dan menggaruk tengkuk tanda ingin berbicara sesuatu, tetapi terlihat seperti tak enak hati. Melihat gelagat yang sudah dihafal oleh sahabatnya, mereka menatap Gibran seolah menyuruh cowok itu berbicara.

"Perihal tulisan itu, gue nggak tahu bener apa nggak. Sekalipun bener gue juga nggak peduli. Tapi, gue punya ide buat masang CCTV dalam kelasnya Kay," usul Gibran.

Mereka menatap cengo. Cowok dingin kedua setelah Karel itu jenius. Kenapa tidak terpikirkan sedari tadi, ya?

"Tapi, gimana sama pihak sekolah?" Raka terlihat ragu.

"Siapa pemilik yayasan sekolah ini?" tanya Gibran.

"Orang tua gue yang ngurus dan selebihnya milik Kay."

"Nah! Paham, kan?" Gibran menyeringai. "But wait. I hear the name of ... KAY?!"

...***...

Now the day bleeds

Into nightfall, and you're not here

To get me through it all

I let my guard down

And then you pull the rug

I was getting kinda used to being someone you loved

Dentingan piano berirama sendu terdengar hingga ke luar ruangan. Seorang gadis sedang bernyanyi sembari memainkan jemari dengan lembut di atas tuts-tuts hitam putih. Matanya terpejam rapat dengan mulut terus melantunkan lagu-lagu galau yang dihafal.

Berhenti lima detik lalu jemari itu kembali menekan tuts hingga menghasilkan irama berbeda. Irama Beethoven selalu menjadi penenang kala dirinya gundah. Lima menit kemudian gadis itu memasukkan nada lain dengan lihai.

Oh, I hope someday I'll make it out of here

Even if it takes all night or a hundred year

Need a place to hide

But I don't find one near

Wanna feel Alive outside

I can't fight my fear

Isn't it lonely?

All alone

Heart made of glass

My mind of stone

Tear me to pieces

Skin to born

Hello, welcome ... home

Bibir dan jemarinya mengakhiri permainan dengan sempurna. Dia mengepalkan tangan di atas paha dan menahan isak yang akan segera pecah kalau membuka mulut. Kalau dirinya mengatakan bahwa sedang baik-baik saja, tentu itu adalah kebohongan semata.

Nyatanya, tidak.

"Bunda, Kay dibilang anak broken home. Mereka juga bilang ayah banyak istrinya. Kay nggak suka mereka menjelek-jelekkan ayah sama bunda. Kay ... sakit!" gumam gadis itu.

Kay mengusap air matanya lalu memaksa segurat senyum terlukis di wajah sembab. Saat gadis itu berbalik, matanya melebar karena terkejut melihat sosok jangkung sedang berdiri menatapnya dengan tatapan tak dapat diartikan.

"Karel?" bibir Kay melafalkan nama itu dengan fasih.

"Lo semunafik itu ternyata."

"Gu-gue ... gue-"

Greb!

Matanya kembali terpejam saat merasakan hangat kala tubuh Karel mendekapnya hangat. Tangan cowok itu sengaja ditaruh di atas kepala Kay agar gadis itu merasa nyaman.

Entah setan apa yang mendorong dirinya memeluk Kay. Ia seperti tak sanggup melihat tangis gadis itu.

Sadar sedang bersama orang yang dicinta, air mata Kay kembali berebut keluar dari netra hitam kelam itu.

Ia menumpahkan semua kesedihan hingga hatinya puas. Kay mengakui kalau dirinya munafik, dia harus pura-pura bahagia agar Raka tak berbuat nekat.

"Karel, jangan bilang siapa-siapa termasuk Raka. Gue nggak mau kalau Raka sampe nyari orangnya terus matiin dia. Janji sama gue, Karel."

Rahang Karel mengetat. Gadis bodoh ini, masih sempat-sempatnya memikirkan orang yang sudah mempermalukan dia.

Apa untungnya membiarkan orang tak punya otak seperti itu bebas berkeliaran di sekitarnya? Yang ada rugi besar.

"Karel, janji dulu sama gue!" tuntut Kay, ia menatap cowok itu dengan mata sembab, hidung merah dan mata bengkak.

Hampir saja cowok itu menyemburkan tawa melihat wajah lucu Kay. Akan tetapi, ya sudahlah. Kalau gadis itu maunya begitu, ia tak punya pilihan lain.

"Iya."

"Karel ... "

"Apalagi?"

"Gue ... laper."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!