6. Teror Tikus Berdarah

Semenjak kejadian tadi pagi, wajah Kay terlihat lebih santai saat di kelas. Tidak dingin apalagi memasang wajah datar seperti biasa. Meskipun mendung masih menggelayut di mata, ia tetap tersenyum kala seisi kelas sesekali melempar canda.

"Kay, Kay. Gue senang lihat lo jadi lebih santai di kelas sekarang. Gue jadi terpesona tingkat kabupaten sama Kay. Minta nomornya, dong!" rayu Deva dari kursi depan.

"Woi, Upil Badak! Jangan ngerayu Dek Kay gue. Wajah lo nggak meyakinkan buat dia. Gue yang lebih ganteng, jadi gue yang berhak minta nomor hape Dek Kay!" Kafka mengejek Deva.

"Wah, ngajak gelut lo! Sini, sini!"

"Oke, tunggu di situ. Biar gue ke sana!"

Bel istirahat baru saja berbunyi. Kay mengintip buku absensi siswa lalu meringis pelan melihat namanya terisi hadir. Padahal dari jam kedua sampai istirahat Kay ada di ruang musik. Ah, tiba-tiba gadis itu teringat Karel. Dada cowok itu terasa nyaman untuk bersandar.

"Kan, ngapain bengong di situ? Mulai hari ini lo duduk sama gue, ya? Biar ada temannya. Masa duduk di belakang terus sendirian!" seru Winda, ia benar-benar memenuhi permintaan Raka dengan senang hati.

Gadis berkuncir satu yang di meja guru itu menoleh. "Iya, Win. Bentar gue ambil tas dulu."

Ia berjalan menuju bangku belakang untuk mengambil tas yang biasa diletakkan di dalam laci. Saat Kay menarik tasnya, sebuah kotak berukuran sedang terjatuh.

Suaranya cukup nyaring hingga menarik perhatian mereka. Kafka dan Deva yang sedang berguling-guling di lantai ikut bangun dan melupakan perkelahian barusan.

"Kotak? Warna hitam?" gumam Kay

Selintas ingatan ketika Alvin mendorongnya di pembatas lantai tiga terbayang kembali. Kay memejamkan mata berusaha mengusir ketakutan yang mulai merayap.

Mungkin dari Radius. Mereka memang biasa memberi bingkisan kecil untuknya.

"Kotak apa itu, Kay?" tanya Winda.

Kay mengangkat bahu. Usai menyampirkan tas di bahu, lalu berjongkok mengambil kotak hitam itu dan berdiri untuk membukanya.

"AAAAAA!!"

"Kenapa, Kay?"

"Kenapa? Kenapa?"

"Ada apa?"

Deva, Kafka dan beberapa siswa melompati beberapa meja dan kursi demi menghampiri Kannaka yang terlihat shock di sudut kelas. Winda dan yang lain ikut berlari ke belakang. Kay segera memeluk Winda dan menangis ketakutan.

Di lantai yang terbuat dari marmer putih gading, kotak hitam itu tergeletak mengenaskan. Bukan kotaknya yang menyeramkan, tetapi isinya.

Bangkai tikus dengan darah yang masih segar dialasi foto Kay sedang tersenyum di sebuah cafe. Winda menutup mulut menahan mual.

"Siapa yang naruh ini kotak di laci Kannaka?!" sentak Kafka emosi.

"Ngaku lo pada! Sebelum gue timpuk lo satu-satu pake sepatu mahal gue!" tambah Deva, dia benar-benar membuka sepatunya.

"Nggak tahu."

"Gue nggak lihat!"

"Lah, gue baru masuk. Ada yang lihat nggak siapa aja yang keluar masuk kelas kita?" tanya Abdul sembari menatap teman-teman satu persatu.

Semua menggeleng. Kay menangis sesunggukkan. Siapa yang meneror dirinya? Alvinkah? Atau orang lain? Namun, kenapa mereka meneror dirinya?

Kay tak pernah mencari masalah sama siapapun. Bahkan dia jarang peduli sekalipun komentar miring menghampiri telinganya.

Reno masuk ke kelas dan menatap keramaian di sudut belakang. Kafka, Abdul dan Deva sedang ribut mencari tahu siapa yang membawa kotak berwarna hitam itu ke kelas dan meletakkan di laci Kay.

Winda dan beberapa siswi lain juga sibuk menenangkan gadis berkuncir satu itu.

"Ada apa?" tanya Reno.

"Ada yang neror Kay. Sampe gue tahu siapa yang neror, gue bejek-bejek sampe wajah dia lecek!" umpat Kafka, dia menatap Kay dengan wajah iba, sudah capek-capek menghibur malah menangis lagi akibat teror dari orang tak dikenal.

...***...

Ketua Osis baru saja mengumumkan akan ada jam kosong sampai pulang sekolah, guru-guru sedang rapat untuk ujian nasional anak kelas tiga yang akan diadakan beberapa bulan lagi.

Winda menghela napas lega. Setidaknya, guru tidak akan bingung melihat wajah sembab Kay.

"Winwin, gue laper. Mau nggak temenin gue ke kantin? Pengen bubur ayam," kata Kay disela-sela isak yang masih tersisa.

"Oh, lo laper? Boleh deh, sekalian gue juga mau makan mie gorengnya Bu Eem. Yok!" Winda menyetujui.

"Woy, ciwi-ciwi! Mau kemana lo berdua? Enak aja main ngeloyor nggak ajakin kita bertiga. Haram hukumnya!" seru Abdul diangguki Kafka dan Deva.

Gadis berkuncir satu dengan poni menutupi dahi menoleh, ia masih menahan isak yang terlihat menggemaskan di mata mereka.

Tiga cowok itu memegangi dada seolah sesak napas. Pesona Kay memang tak luntur meskipun baru selesai menangis.

"Gue mau ke kantin sama Winda, laper banget, perut gue sampe bunyi krucuk-krucuk. Lo berdua mau ikut nggak? Tapi bayarin gue," jawab Kay sembari menghapus bekas air mata di pipi tembemnya.

Cowok-cowok itu mengangguk serempak. "Demi Dek Kay, Abang Kafka rela ngabisin isi dompet asalkan senyum Dek Kay balik lagi," Kafka bersiul setelah mengucapkan kata-kata dengan suara seperti buaya jantan.

"Jangan percaya si Rafika, Kay. Dia eyangnya dari para buaya. Jajan aja kadang minta traktir sama gue mana ada duit buat traktir lo lagi. Udah sama gue aja. Dompet gue tebal. Isinya warna merah sama biru, uwu!" Deva memiting leher Kafka sambil jingkrak-jingkrak.

"Nama gue Kafka, Onta! K-A-F-K-A. Bacanya, Kafka. Bukan Rafika. Dasar Demplon!" protes Kafka tak terima.

Abdul geleng-geleng kepala. Mereka berlima berjalan secara beriringan menuju kantin. Siswa siswi yang sedang berkeliaran di koridor ataupun duduk di depan kelas menatap Kay dengan tatapan heran. Mengapa mata gadis itu bengkak serta hidungnya merah?

"Kak Kay kenapa?"

"Kay, lo abis nangis, ya?"

"Kak Kay gemesin banget sih kalo abis nangis begitu."

"Gila lo semua, Kay abis nangis lo bilang gemes, kasihan tahu!"

"Ape sih, jangan ganggu Yayang Kay gue!" sentak Deva dan Kafka bersamaan, lalu keduanya saling menatap dengan sengit. "Ape lo ikutin gue?!" teriak mereka kompak.

Rusuh. Meski tak akur kedua cowok itu tetap saling merangkul. Mungkin itu yang dinamakan persahabatan.

Apalagi mereka sudah dekat sejak kecil. Sahabat itu pasti bertengkar setiap bertemu. Namun, tak bisa terpisahkan satu sama lain.

Ketika tiba di kantin, Winda berseru kesal karena tak ada bangku kosong. Semua penuh oleh siswa siswi yang sedang memanfaatkan waktu kosong untuk makan dan mengobrol di kantin. Kay mengedarkan pandangan, kalau-kalau ada Radius mungkin mereka bisa duduk bersama mereka.

Ketemu!

"Ayo, ikut gue."

Setibanya di hadapan Radius, ia tersenyum manis sambil memeluk Raka dari belakang.

"Raka, gue laper. Teman-teman gue juga laper banget, boleh kita duduk di sini?" rayu Kay.

Karel menatap rombongan itu dingin. Sedangkan yang ditatap langsung menunduk takut. Mereka sedang berhadapan dengan geng mematikan yang terkenal seluruh Kota Bandung. Aura seram terasa menusuk-nusuk kulit, menembus pori-pori lalu menyatu dalam darah.

"Eng, Kan. Kita nggak apa-apa deh, nggak ikut makan. Gue sama yang lain balik ke kelas aja, 'kan lo udah sampe di sini," kata Winda sembari menginjak kaki Kafka, cowok itu gelagapan lalu mengangguk membenarkan.

Gadis berkuncir satu itu menatap teman-teman sekelasnya dengan tatapan kecewa. Dia memajukan bibir tanda merajuk.

Raka menatap Radius lalu menahan tawa geli. Rupanya Kay sudah memiliki teman se-geng sekarang.

"Ngapain pake izin segala? Meja ini tuh gede. Kebetulan ada sisa lima bangku lagi yang kosong. Duduk gih, jangan pada berdiri di situ nanti darah rendah pingsan lo semua. Jangan takut sama kita, Radius emang kelihatan serem tapi karena kalian temannya Kannaka artinya kalian teman kita juga!" seru Cakka panjang kali lebar, hanya cowok itu yang mau berbicara sepanjang itu.

Yang lain, irit.

Bibir Kay tertarik lebar lalu duduk diikuti lima temannya. Awalnya mereka canggung tapi lama-lama akhirnya bisa akrab juga. Ada satu titik fokus Radius di sela-sela canda tawa mereka.

Wajah sembab dan mata bengkak Kay. Namun, tak ada yang berani bertanya. Raka menghela napas panjang. Ia butuh nomor Winda.

...***...

"Lo lihat mereka? Gue nggak suka lihat Kay dekat sama Radius. Centil banget jadi anak, semua dia embat. Gue nggak terima!" seru seorang siswi berbaju ketat sambil menatap kesal ke arah Kay.

"Sama. Dia ngapain sih, dekat-dekat sama Raka? Mata gue jadi pedes lihatnya. Cemburu gue!" timpal temannya.

"Gue apalagi, Aditya sama Cakka juga perhatian banget sama dia. Padahal mereka itu sepupu gue. Harusnya mereka bantuin gue buat dekat sama Radius terutama Gibran."

Gina, Dara dan Nisa menatap penuh dendam. Di mata mereka Kay adalah gadis centil dan murahan. Dekat dengan semua anak-anak Radius dan dipuji oleh semua murid.

Kembali ke meja Radius, gelak tawa terdengar begitu heboh sampai terdengar ke seluruh penjuru kantin.

Tak ada yang terlihat risih ataupun tidak suka kecuali geng Gina yang menamai diri mereka The Beauty.

"Bro, lo pada bawa cermin nggak? Gue harus ngecek wajah sama rambut gue nih, kali aja ada yang rusak. Nanti ketampanan gue bisa berkurang!" heboh Deva.

"Nggak usah di cek juga lo udah jelek, Dev. Harusnya lo contoh nih, sahabat lo yang ganteng ini. Nggak perlu ngaca karena udah yakin sama ketampanan wajah sejak lahir!" sahut Kafka bangga.

"Lo berdua ribut amat, sih? Gue yang paling ganteng di sini diam aja dari tadi," keluh Abdul yang disambut toyoran Kafka dan Deva.

Radius geleng-geleng kepala melihat kehebohan teman baru Kay. Cakka mengangsurkan cerminnya sambil tersenyum bangga.

"Wah, lo bawa, Bro?"

"Iya, dong! Takutnya beberapa helai rambut gue terjadi pergeseran dari tempatnya. Kalo ketampanan gue berkurang fans gue juga berkurang. Gue nggak mau kalo lewat nggak ada yang manggil kayak biasanya."

"Huuuu!" sorak mereka semua.

"Haish, kalian semua berisik. Gue lagi makan nggak bisa tenang. Gue colok juga mata lo pada pake garpu!" ancam Kay sembari mengangkat garpunya.

Raka mengelus pucuk kepala Kay dengan sayang. Ia senang sekarang sang sepupu banyak teman. Setidaknya, Kay tidak akan terlalu memikirkan teror yang diterima. Raka dan yang lain belum tahu tentang tikus berdarah itu.

Kay sudah mewanti-wanti mereka agar tidak memberi tahu. Dalam diam Winda mengangsurkan selembar kertas berisi nomor telepon disertai note pada Raka yang berada di sampingnya.

'+628*****

Ini nomor gue. Lo bisa tanya apapun sama gue. Dan gue juga bakalan jawab apapun asal lo nggak ngasih tahu Kay.'

Cowok itu tersenyum tipis. Winda ternyata tahu apa dibutuhkan oleh dirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!