"KAY DEMIAN! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN DI MATA PELAJARAN SAYA?!"
Gadis itu mendongak sebentar lalu kembali melanjutkan kegiatan menggambarnya. Dia tetap menjawab pertanyaan bernada tinggi dengan sedikit halus seperti bumbu cabai diulek pakai kasih sayang.
Karena kalau tidak dijawab pasti nanti dirinya akan disalahkan juga. Pak Angga adalah tipe pria serba salah dan lebih ribet daripada wanita.
Sebagai anak didik yang baik dan bersahaja-menurut dirinya sendiri, Kay akan tetap memberikan sebuah jawaban dari pertanyaan karena digantung itu menjengkelkan sekali.
"Menggambar, Pak."
"MENGGAMBAR-MENGGAMBAR! KAMU PIKIR INI MATA PELAJARAN PRAKARYA?!"
"Maaf, Pak. Prakarya itu kerajinan tangan!" Kay meringis.
"BERANI KAMU MENGOREKSI SAYA? KELUAR DARI PELAJARAN SAYA SEKARANG!" teriak pria itu dengan wajah berkerut menahan amarah.
Seisi kelas tertawa terbahak-bahak melihat Kay tak takut sama sekali dimarahi Pak Angga. Gadis itu memang lucu.
Tingkah apa adanya kerap membawa angin segar bagi otak mereka yang panas karena disusupi pelajaran terus menerus.
"Beneran nih, Pak? Saya boleh keluar? Bapak nggak bohong, 'kan?"
"KELUAR!"
Gadis bernama lengkap Kay Demian Holscher tersenyum sumringah mendengar perintah terakhir guru Biologi.
Dia membereskan peralatan menggambarnya. Buku gambar serta pensil dibawa serta saat kakinya melangkah ke luar.
Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, Kay melongok ke dalam kelas lalu mengedipkan sebelah mata ke Pak Angga, guru Biologi yang sedang mengajar di kelasnya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum manis.
"I skylove you, Mister Angga. Terima kasih sudah membebaskan Kay dari kebosanan yang melanda. Semangat mengajarnya, Bapak'e!" seru Kay dengan suara yang sengaja diimut-imutkan.
"KAAAYY!"
Gadis itu segera berlari pontang-panting sebelum daging dengan kulit mulusnya terpisah oleh cakaran Pak Angga. Beliau adalah guru tergarang di SMA Tunas Bangsa.
Akan tetapi, bagi Kay, tidak ada yang namanya guru garang di sekolah. Semua sama saja karena selalu menyuruhnya keluar keluar.
"Sembarangan emang Pak Angga, masa gue dikeluarin dari kelas. Enak sih, bisa bebas dan nggak perlu ngikutin mata pelajaran. Tapi kalo ketemu guru piket auto kena tendang ke ruang BK ini, mah. Aduh, gue mau ngumpet di mana, ya? Apa di UKS aja?"
Kay berjalan sembari mengetukkan telunjuk kanan ke dagu tanda sedang berpikir. Gadis ini tak mau berakhir di ruang BK. Masa seorang Kay Demian Holscher tercatat dalam buku catatan kriminalitas sekolah? Tidak elit sekali.
Jessie bisa marah mendapati keponakan tersayang masuk ruangan dengan aura suram itu.
"Eh, jangan, deh. Hari senin ada guru yang jagain UKS, kalau nanti tiba-tiba dia nanya kenapa gue ada di situ terus keceplosan jawab dikeluarin dari kelas, bisa tamat riwayat gue. Ujung-ujungnya ke BK juga. Mending ke halaman belakang aja, deh. Di sana lebih adem, nggak ada yang gangguin. Oke Kay, capcus!"
Pergulatan hati dengan pikiran akhirnya selesai. Ia tak peduli beberapa adik kelas menganggapnya aneh karena berbicara sendiri. Memangnya kenapa kalau berbicara sendiri?
Toh, tidak ada yang melarang selama tidak menjelek-jelekkan siapa pun. Daripada duduk bergerombol untuk membicarakan keburukan orang lain, nanti malah dosa.
Kaki mungil yang dibungkus sepatu Converse hitam putih itu melangkah riang menuju taman belakang. Sebuah rencana sudah tersusun rapi di kepala cantiknya itu.
Senyum manis semanis gula seember ditambah campuran tebu lima botol plus madu seribu sendok menyihir beberapa siswa lain yang nyatanya sedang berkeliaran di koridor sekolah.
"Ya Salaam, Dek Kay manis amat ya, senyumnya. Abang jadi tergoda!"
"Kak Kay, apa kabar?"
"Kay oh Kay, jangan kau tusuk hatiku dengan senyummu. Aku nggak kuat!"
"Gila, Kay selalu cakep. Nggak usah oplas juga udah cantik!"
Suara-suara itu tak dipedulikan oleh Kay. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sepertinya kelas mereka sedang free. Namun, Kay tidak mau peduli pada orang lain bila sedang bercengkerama dengan halusinasi indahnya. Mengobrol bisa nanti, halusinasi bisa saja buyar bila tak segera dinikmati.
...***...
Sesampainya di halaman belakang, Kay mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang. Dia membuka buku gambar lalu mulai melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda di kelas.
"Ngejar lo itu susah banget sih, Rel. Biasanya susah-susah gampang, lah ini susah beneran. Coba aja lo peka sedikit sama kehadiran gue, pasti nggak capek ngejarnya. Jual mahal banget jadi cowok. Nggak laku jadi perjaka tua lo!"
Bibir Kay terus mengeluarkan gerutuan yang ditujukan pada gambar yang sedang diselesaikan
"Ngapain lo?"
Kay menoleh, ada manusia lain di sini selain dirinya. Rupanya itu adalah Raka, sepupu tersayang sekaligus sahabat orang yang sedang ditaksir, si pemilik wajah yang ada dalam buku gambar.
"Kok lo di sini? Ini beneran Raka nggak, sih? Jangan-jangan hantu lagi," gumam Kay.
Ia menusuk-nusuk lengan Raka dengan pensil. Saat dirasa nyata, gadis itu manggut-manggut tanpa mengindahkan raut kesal di wajah Raka.
"Lo dikeluarin?" tanya Kay.
"Keluar sendiri, bosen."
Cowok berwajah mirip orang Belanda itu mengacak-acak rambut lurus sang sepupu. Pasti Kay menggambar di jam pelajaran lalu dikeluarkan lagi. Gadis ini memang berjiwa tengil sejak lahir.
"Gue lagi gambar wajahnya si Karel. Wajah dia gampang digambar, tapi kenapa hatinya susah ditebak? Gue sampai pengen belah dada dia terus simpan kertas berisi nama gue di sana!" Kay melanjutkan aksi mengomelnya.
"Ntar dia mati, siapa yang bakal tanggung jawab?" tanya Raka.
Kay mengendikkan bahu acuh. "Sebelum jadi suami gue dia nggak boleh mati. Nanti gue nikah sama siapa?"
Raka tak habis pikir. Ketika ada Karel, sepupu cantik rada lemot ini malah pura-pura tak peduli. Saat di belakang Karel malah mengeluh capek memperjuangkan cinta. Sejak kapan Kay berjuang? Raka menggelengkan kepala heran.
"Gue bilangin juga apa. Daripada suka secara ngumpet-ngumpet begini, mending langsung tembak aja orangnya."
"Tembak pakai pistol? Mati dong, anak orang. Nanti gue masuk penjara gimana?"
"Bukan tembak pakai pistol, Kay yang cantik tapi lemot. Maksud gue kenapa nggak lo kasih tahu aja langsung sama Karel kalau lo suka sama dia? Daripada ngebatin terus di belakang, bikin capek hati aja."
"Emang nanti gue bakalan diterima, Ka?"
"Ya mana gue tahu!"
Gadis itu mengumpat. "He make me crazy!"
Tangan Kay bergerak menarik sejumput rambut cowok di sampingnya sampai mengaduh kesakitan. Ia sebal bukan main. Kalau nanti tidak diterima yang didapat hanya rasa malu.
Kay tidak mau mempermalukan diri sendiri. Bisa hilang kecantikannya nanti.
"Lo ngapain jambak gue, sih?" protes Raka.
"Siapa suruh ngasih ide yang nggak membantu sama sekali. Orang tuh, kalau niat dari hati mau bantu sepupunya yang gerah body dan hati karena mencintai sahabat lo yang nggak peka itu bukan begitu caranya."
"Buset dah, anak biawak malah ngajarin gue yang udah berpengalaman dalam hal mencintai. Eh, dengar baik-baik, gue udah ngasih jalan termudah. Lo aja yang ribet."
Ribut lagi. Mereka terus saja berdebat sambil sesekali saling mendorong satu sama lain. Raka dan Kay tak pernah akur. Tetapi kalau soal saling menyayangi jangan ditanya, itu sudah pasti.
"Udah bel. Gue tahu lo belum sarapan dari pagi. Kali ini gue traktir, deh. Daripada lo sakit nanti ujung-ujungnya gue yang repot!" ajak Raka seolah tak ikhlas.
Kay menoyor kepala Raka sambil tertawa lebar. "Bilang aja lo khawatir gue sakit. Gengsi dipelihara, mending pelihara duit biar kaya."
"Banyak ngomong lo, Sarinem. Mau ditraktir nggak?"
"Iya!"
...***...
Seperti sekolah pada umumnya, kantin terlihat penuh sesak. Wajah Kay langsung terlihat lesu. Pasti tidak kebagian tempat duduk. Kalaupun ada, pasti makanan sudah habis. Ia balik badan hendak pergi ke kelas. Percuma saja menunggu.
"Lo mau ke mana? Nggak jadi makan?" tanya Raka sembari menahan pergelangan tangan Kay
Semua mata tertuju pada mereka. Tak banyak yang tahu hubungan Raka dengan Kay. Selama ini mereka selalu menganggap dua orang itu memiliki hubungan khusus dalam artian pacaran, bukan saudara.
Hanya teman-teman satu geng dengan Raka saja yang tahu kalau Kay adalah sepupunya.
"Gue nggak mau di sini. Percuma capek nunggu tapi nggak dapat tempat duduk terus makanan habis."
"Lo lupa gue siapa?"
"Eh?"
Mata itu menatap Raka dengan polos. Inilah yang selalu disukai olehnya. Sifat Kay masih kekanak-kanakan dan masih lugu. Terkadang ada rasa tak rela melihat mata itu berkaca-kaca karena memendam rasa cinta untuk Karel.
"Makanan sama tempat duduk udah ada. Tinggal duduk, makan terus kenyang," kata Raka santai.
Dia menarik lembut tangan Kay menuju salah satu meja yang dianggap keramat oleh seisi sekolah. Ya, meja khusus itu seolah milik geng Radius, tak pernah ada yang mengisi selain mereka selambat apapun Radius ke kantin.
"Nungguin gue, 'kan?" sapa Raka.
"Dari mana aja lo?" tanya Gibran.
"Lama banget, kita udah nungguin dari tadi," gerutu Cakka sambil menatap pantulan wajah di cermin. "Wah, lo bawa Kay? Sini duduk samping gue!" tambah Cakka terlampau semangat.
"Ebuset, ada Yayang Kay!" kata Aditya sembari tersenyum manis.
Kay cengar-cengir melihat reaksi Radius. Dia mengikuti Raka lalu duduk tepat di hadapan Raka. Di kanan ada Aditya lalu di sebelah kiri ada Cakka.
Benar kata sepupunya, sudah ada makanan tersedia buat semua penghuni meja keramat ini. Khusus untuk Kay ada bubur ayam kesukaannya.
"Lo dari mana aja, Rak?" tanya Cakka menyimpan cermin di saku celana, bibirnya mesem-mesem menatap Kay.
"Abis jemput anak biawak di taman belakang. Capek gue nyariin dia ke seluruh sekolah. Untung nggak ke WC cewek," seloroh Raka.
"Kalo lo ke WC cewek, semua celana gue buang ke tong sampah terus gue bakar!" ketus Kay.
"Eh, jangan. Celana gue mahal. Belinya di luar negeri pake duit bukan pakai daun! Jangan berani-berani buang, awas lo!" Raka histeris.
"Alay!" timpal Aditya.
"Lebay!" sambung Gibran.
"Norak!" seru Karel.
Mendengar suara terakhir, Kay menunduk dalam lalu mulai menikmati makanannya tanpa menghiraukan mereka lagi. Ia harus menetralkan jantung terlebih dahulu. Pengaruh Karel begitu besar. Kay mencintai cowok itu dengan caranya sendiri.
"Pelan-pelan makannya, Kay. Keselek tahu rasa!" Raka mengingatkan.
"Hah? Uhuk!"
Ucapan Raka ajaib sekali. Kay benar-benar tersedak karena kaget. Tanpa diminta Aditya memberikan es jeruk miliknya yang disedot sampai habis oleh gadis itu.
"Buset, minuman gue abis!" ratap Aditya.
"Huh, lega! Lo minum punya gue aja. Nanti biar Raka beliin minuman baru buat gue. Ya kan, Rak?" kata Kay seenaknya.
Yang ditatap hanya mencibir. Enak saja mengiyakan tanpa meminta persetujuan dari awal. Di sudut meja, diam-diam Karel mengulum senyum melihat tingkah gadis itu.
Sepupu Raka memang unik. Karel lupa namanya siapa. Sesekali matanya melirik cengiran khas milik Kay. Gadis unik bertingkah udik padahal berasal dari kalangan berada. Ia berbeda dari kaum hawa kebanyakan yang centil dan selalu berusaha tampil mencolok seperti yang sudah-sudah.
"Hm, menarik."
Kejadian tadi cukup memalukan bagi Kay. Tersedak dengan cara yang tidak elit di depan pujaan hati. Ya Tuhan, mau dibawa kemana muka cantik Kay kalau bertemu Karel di tempat lain?
Bagus kalau ada kantong semen, jadi bisa ditutup. Nah, kalau tidak ada, masa Kay harus jungkir balik ke tanah?
"Kak Kay!" panggil seseorang.
Dengan gerakan cepat alias refleks Kay menoleh, seorang junior berpita merah jambu berlarian pontang-panting sembari menggenggam sebuah amplop berwarna hitam. Kay mengernyit heran, ia baru tahu ternyata ada juga amplop berwarna hitam.
"Iya? Lo manggil gue? Ada apa? Mau ngasih duit? Berapa? Kalo kurang dari sejuta gue nggak terima," cerocos Kay tanpa rem.
Matanya menyipit mencoba membaca nama yang tertera di nametag gadis itu. Almira. Namanya bagus juga.
Namun, lebih bagus nama Kay kemana-mana. Karena walau bagaimanapun dia adalah bintang di sini.
"Aduh, Kak. Aku capek nyariin kakak kemana-mana. Nggak tahunya ada di sini. Bukan, bukan mau ngasih duit tapi mau ngasih amplop yang isinya surat buat kakak!" seru Almira sambil berusaha menetralkan nafas yang ngos-ngosan.
"Surat? Surat apa?"
"Nggak tahu, udah terima aja. Kakak baca aja sendiri, ya? Aku mau balik ke kelas soalnya ada PR yang belum aku selesaiin. Dadah, Kak Kay!"
Gadis itu kembali berlari sekuat tenaga. Belum hilang capek yang tadi sekarang malah bertambah lagi. Kay menatap kasihan.
Aduh, dia lupa mengucapkan terima kasih karena sudah mau mengantarkan surat aneh ini sampai rela lari-lari dan mengabaikan tugasnya.
"Nanti aja deh, bilang terima kasihnya. Ini surat isinya apaan, ya?" matanya fokus pada amplop hitam itu.
Sapaan-sapaan dari teman seangkatan, senior dan junior hanya dibalas dengan gumaman tidak jelas. Mata Kay fokus melihat amplop yang dibolak-balikkan oleh kedua tangan.
Sesekali ia mencoba mengintip isinya. Siapa tahu ada uang atau emas, lumayan buat jajan.
Bruk!
"Aduh, siapa coba yang nabrak gue? Badan udah segede gini masa tetap nggak kelihatan? Apa harus gue besarin lagi sampai nggak muat buat masuk lewat pintu kelas terus nggak usah berurusan lagi sama sin, cos, tan, trigonometri, matriks, polinomial, barisan dan deret, hukum archimedes, atom-atom dan kawan-kawan, iya? Bagus kalo niatnya begitu, gue setuju!" dumel Kay tanpa melihat si penabrak.
"Berisik!"
"Udah nabrak gue sekarang ngatain gue berisik? Wah, wah, nggak bisa dibiarin ini! Lo mau gue seret ke po-"
Omelan Kay terhenti begitu saja ketika melihat dada bidang yang amat dikenali siapa pemiliknya. Menengadah sedikit, ia langsung menemukan wajah Karel sedang menatapnya dengan tatapan dingin.
Wajah Kay pucat seketika. Dia tidak tahu kalau ternyata yang menabrak dirinya adalah calon suami dalam mimpi.
"E-eh, Karel. Maaf, maaf, gue nggak sengaja. Gu-gue permisi dulu."
Langkah Kay sengaja di percepat agar bisa segera pergi dari situ. Dalam hati gerutuan panjang pendek sahut menyahut akibat kebodohannya.
Sudah menjadi kebiasaan kalau mulutnya tak bisa di rem bila sedang mengomel. Ah bukan, memang tak ada rem. Mau dicari ke seluruh dunia pun tak akan ditemui.
"Aduh, Kay! Dua kali lo bikin diri sendiri malu di depan calon suami! Hancur reputasi lo, hancur! Bunda, tolongin Kay yang bodoh ini!" rengeknya dengan suara pelan.
Ketika sampai di kelas Kay segera duduk di kursinya. Ia menelungkupkan wajahnya ke atas meja sambil tetap menggerutu. Pertanyaan dari teman-teman hanya dibalas dengan lambaian tangan saja.
"Hancur reputasi lo, Kay!" gumamnya sedih.
...***...
"Baiklah, perjumpaan kita cukup sampai di sini. Jangan lupa kerjakan tugas kalian di rumah. Tidak ada alasan lupa atau tidak bisa. Saya ada di kantor lima hari selama seminggu, sebelum pertemuan minggu depan kalian boleh menjumpai saya untuk bertanya materi mana yang tidak paham. Mengerti?!"
"Mengerti, Bu!"
"Kay, kamu mengerti?"
Dengan malas gadis itu menjawab. Bu Sima tersenyum manis, tapi bagi Kay senyum itu mengandung aura mistis.
Beliau pasti sengaja menekankan kembali padanya. Padahal Kay murid rajin dan paling cepat mengumpulkan tugas. Itu saja kalau tidak lupa.
Ketika bel pulang berbunyi satu menit kemudian, semua siswa berhamburan keluar menuju tempat parkir. Hanya Kay yang berjalan melawan arah.
Dia naik ke lantai tiga di mana siswa kelas tiga belajar. Ojeknya belum turun. Biasanya mereka berkumpul sebentar sebelum pulang.
"Rakanebo!" panggil Kay saat sampai di pintu kelas yang ditempati Radius.
Beberapa saat kemudian, sekelompok orang datang menghampirinya dari dalam kelas. Itu pasti Radius. Mereka selalu bubar bila dirinya datang karena tahu gadis ini selalu kelaparan saat pulang sekolah.
Saat orang-orang itu muncul, senyum ceria Kay memudar. Wajahnya pucat sembari melangkah mundur ke belakang. Itu bukan Radius. Kay tidak kenal mereka.
"Kalian siapa?" tanya Kay. "Ngapain di kelas ini? Mau maling lo, ya?"
"Halo, Kay. Lo udah baca surat dari gue belum? Sebenarnya, gue malas pakai surat kayak jaman Siti Nurbaya aja. Tapi, nomor lo usah banget buat gue dapatin. Gimana jawaban lo?" tanya salah satu dari mereka, namanya Alvin.
"Jawaban lo apa?"
"Jangan pura-pura bego. Lo udah terima amplop hitam itu, 'kan? Jangan bilang surat itu belum dibaca atau gue lempar lo ke bawah!" ancam Alvin.
Kay semakin pucat. Teman-teman Alvin tertawa melihat Kay yang ketakutan. Dalam hati gadis itu berdoa sepanjang mungkin agar Tuhan menyelamatkannya dari manusia-manusia sinting itu.
"Gu-gue emang belum baca. Soalnya mepet sama jam pelajaran. Lo nggak bakalan lem-lempar gue k-ke bawah, 'kan? Gue udah jujur," bujuk Kay.
Tubuhnya menabrak pagar pembatas yang hanya setinggi pinggang. Meleng sedikit saja Kannaka akan terjun bebas ke bawah lalu remuk seperti serpihan daging qurban Idul Adha.
Parahnya lagi, Kay akan memasak lalu memakan daging sendiri karena tak tahu. Eh, bagaimana bisa? Kan, Kay sudah hancur.
"Lo bikin gue marah, Kay. Itu artinya lo emang beneran harus gue lempar ke bawah biar tahu kalo gue nggak main-main!"
"Udah lempar aja, Boss! Lumayan buat hiburan!"
"Gue dukung lo sejuta persen, Vin!"
"Sebenarnya, gue kasihan sama dia, Al. Cantik-cantik masa berakhir mengenaskan. Tapi, gue penasaran apa Kay bakalan tetap cantik kalo udah mati."
'Gue jadi perkedel aja cantik, apalagi masih jadi mayat utuh. Bego lo pada!' batin Kay gemas bercampur takut.
Empat orang, Kay menghitung ada empat suara yang sedang menekan dirinya. Dia merutuki Raka yang malah menghilang di saat-saat seperti ini.
Demi apapun Kay takut dilempar ke bawah tanpa parasut. Tak lupa juga kepala sekolah ikut kena omelan dalam hati karena memelihara siswa psikopat di sekolah se-elit ini.
Sia-sia bundanya membangun sekolah mewah kalau isinya berbahaya. Sekolah macam apa ini?
"Nggak! Jangan lempar gue! Gue janji bakalan baca surat lo sekarang juga tapi jangan lempar gue ke bawah! Gue mohon!"
Kay makin takut saat tangan kekar Alvin hinggap di bahunya.
"Salah lo sendiri beraninya mengabaikan surat dari gue!" bentak Alvin sembari membalikkan posisi Kay lalu mendorong setengah badan gadis itu ke bawah.
"Gue bukannya sengaja, Bego! Tapi nyimpen dulu biar nggak diomelin Bu Sima yang galaknya luar biasa! Lepasin gue!" teriak ketakutan keluar dari mulut Kay.
Ia menangis kencang sembari memanggil maka siapapun yang dikenal. Kay benar-benar ketakutan. Jika itu hanyalah siswa siswi yang sedang mencoba mem-bully dirinya Kay akan melawan, tapi ini adalah Alvin. Preman sekolahan.
"Lo harus mati, Kay!"
"NGGAK! TOLONG! RAKA, TOLONGIN GUE! RAKANEBO! TOLONG!"
Kay berusaha berteriak sekuat mungkin. Dia tak ingin mati konyol hanya karena tidak membaca surat dari cowok sinting itu.
"Boss, ada Radius. Kabur, kabur!"
Alvin melihat ke belakang. Geng Radius sedang berlari ke arahnya. Tanpa mempedulikan gadis itu lagi, Alvin berlari sekencang mungkin bersama teman-temannya.
Mereka tak akan pernah menang melawan Radius. Sampai kapan pun tak akan pernah menang.
Kay jatuh terduduk. Dia lemas ketakutan. Raka segera memeluk Kay tanpa berbicara sepatah katapun. Sepupunya ini gampang trauma. Ia yakin kejadian barusan akan membuat jiwa Kay terguncang.
"G-gue mau dibu-nuh, R-rak-raka!"
...***...
Saat ini, Radius dan Kay sedang berada di apartemen milik Karel. Hanya pria itu yang memiliki hunian pribadi selain rumah mewah yang dihuni bersama orang tua dan sang adik. Raka terpaksa membawa Kay ke sini karena jaraknya lebih dekat.
Dia diamanahkan oleh almarhum orang tua Kay untuk menjaga gadis itu layaknya adik kandung. Belum lagi bombardir pertanyaan yang diberikan mama dan papanya.
Mereka memang tidak ada di rumah, tetapi pemantauan melalui CCTV yang terhubung langsung ke ponsel serta laptop mereka akan memperlihatkan semuanya.
"Kay, jangan takut. Kita ada di sini buat ngelindungi lo dari mereka. Tenang, ya?" bisik Raka tepat di telinga Kay.
Dari sekolah sampai sekarang Kay memeluk dirinya dengan erat. Isak kecil masih terdengar sesekali. Gadis itu masih takut. Bayangan ketika Alvin mendorong dirinya masih terbayang sampai sekarang.
Andai saja Radius tidak datang, mungkin Kay akan menjadi dendeng basah bersimbah darah lalu berubah menjadi dendeng kering ketika ditemukan keesokan harinya.
"Kay, minum dulu," bujuk Raka.
Tak ada jawaban. Raka menghela napas pasrah. Semoga sebelum malam tiba, sepupunya bisa diajak bicara lalu pulang ke rumah.
Dia menatap Aditya yang sedang memeriksa tas Kay. Tidak mungkin Alvin marah pada gadis itu tanpa sebab, pasti ada udang di balik batu.
Gibran dan Cakka sedang memasak makanan di dapur. Walaupun cowok masakan mereka patut diacungi jempol.
Karel sendiri hanya duduk diam di sofa, melipat tangan di dada dan menatap datar lurus ke depan. Ia memang tak suka banyak bicara. Tipe-tipe cool boy.
"Ini amplop apaan item-item begini?" tanya Aditya.
Tangannya membuka amplop berwarna hitam lalu menarik selembar surat yang juga berwarna hitam. Untung saja tulisannya tidak hitam juga.
Mata Aditya menyantap kata demi kata dengan kening berkerut tanda serius. Umpatan kecil keluar begitu saja.
"Dia pengen Kay nerima cinta dia!" kata Aditya. "Sejak kapan psikopat jatuh cinta? Ngibul."
"Bedebah sialan, mereka ngajak ribut rupanya. Besok gue bakalan bikin perhitungan biar tahu siapa yang lagi mereka ajak main-main!" geram Raka.
"Jangan."
"Jangan larang gue, Rel. Alvin hampir aja bikin sepupu gue mati!"
"Kay yang bakal jadi korban."
"Maksud lo? Dia bakalan terus meneror Kay kalo gue gerak?"
Karel mengangguk tanda membenarkan. "Kalo lo gerak, yang lain juga. Tapi di sini sepupu lo lagi terancam."
Raka melirik gadis di pelukannya yang sudah terlelap. Rumit. Masalah ini mulai rumit. Kay tak bisa bersekolah dengan tenang mulai besok. Alvin akan mencari kesempatan.
"Kita cukup menjaga dia aja," kata Aditya.
Lagi, Karel mengangguk. Mau tak mau, Raka harus mengikuti apa kata teman-temannya. Menang benar, salah langkah sedikit saja Kay akan celaka di tangan manusia sinting itu.
Hari ini terlihat ada perbedaan menakjubkan di Tunas Bangsa. Saking fantastisnya, siswa siswi sekolah elit itu menatap tak percaya pada pemandangan yang mereka dapati di pagi hari Selasa dengan langit cerah tanpa noda.
Mata-mata dengan lensa berbeda menatap takjub ke arah koridor sekolah. Mulut seolah hendak jatuh bila tak segera ditutup.
Bukan, bukan sedang ada iring-iringan karnaval atau artis nyasar. Akan tetapi, lebih daripada itu. Kay sedang dikawal oleh Radius.
Karel berjalan di depan, Raka dan Aditya ada di samping kiri dan kanan serta Gibran dan Cakka di belakang. Pemandangan pertama Radius mengawal seorang gadis dengan begitu ketat.
"Kak Kay kenapa, ya?"
"Tumben pakai sweater? Sakit apa gimana ini?"
"Kak Kay."
"Cepet sembuh ya, Kak!"
Suara-suara itu terdengar bersahutan menyapa gendang telinga enam orang yang sedang berjalan beriringan. Cakka dan Aditya masih sempat-sempatnya tebar pesona.
Sementara Kay sendiri sedang bingung harus bersikap seperti apa. Jujur saja dia ketakutan, tapi tak enak juga jika dikawal seperti ini. Dirinya memang butuh perlindungan, tapi para gadis itu seolah siap menelan Kay hidup-hidup.
"Kay, gue tinggal dulu ke kelas. Jangan kelayapan kemana-mana sebelum gue jemput, oke? Jangan menggambar juga! Istirahat nanti gue bawain makanan ke sini," ujar Raka sembari mengacak-acak rambut Kay pelan. "Hari ini lo harus jadi manusia. Jangan kayak biawak suka keluyuran ke mana-mana."
Gadis itu hanya mengangguk. Dia mencuri pandang ke arah Karel lalu masuk ke dalam kelas. Sejak kemarin bibirnya seolah terjahit rapat.
Ia mengalami kesulitan mengeluarkan suara meskipun hanya untuk sekedar mengiyakan perkataan Raka. Tersenyum saja sulit.
Di pintu kelas, Radius menatap gadis itu dengan perasaan yang berbeda-beda, tapi tetap satu sepemikiran. Hah, seperti semboyan bhinneka tunggal ika saja.
Mereka kehilangan senyum ceria Kay gara-gara psikopat gila Alvin. Bagaimanapun caranya, cowok itu pasti akan mencari celah seketat apapun penjagaan Radius terhadap Kay.
Gadis itu harus menjadi lebih tegar dari ini agar bisa melindungi dirinya sendiri saat terjepit. Bukan mendoakan yang tidak-tidak. Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Seketat apapun penjagaan pasti akan kecolongan.
"Masuk," kata Karel.
Mereka mengangguk lalu segera naik ke lantai tiga. Tak banyak bicara, tetapi hati sedang menumpahkan banyak kata. Ketika sampai di kelas yang ternyata sepi, barulah mereka mulai menyerukan kekesalan yang dipendam di depan Kay.
"Gue nggak tega lihat Kay kayak gitu. Nggak apa-apa deh, suara cempreng dia nusuk-nusuk telinga gue tiap nyamperin si Raka. Asal jangan diam kayak boneka hidup begitu," keluh Gibran.
"Tahu, gue udah terbiasa sama ketengilan dia masa sekarang tiba-tiba hilang gitu aja. Sekarang nggak apa-apa juga sekalipun rambut gue jadi mainan Kay," sahut Cakka sembari bercermin. "Cakka, Cakka. Ganteng banget sih, lo!"
"Gue apalagi, tiap ke kantin pasti makanan sama minuman gue dicomot sama dia. Ikhlas nggak ikhlas rasanya pengen aja dia kayak gitu tiap hari. Bukan kayak begini!" seru Aditya.
"Kay itu polos. Sekalipun tengil otaknya bego alias nggak ngerti apa-apa. Gue bilang juga apa harusnya si Kay tuh di rumah aja. Nggak usah sok-sok sekolah segala. Meskipun apa adanya tingkah Kay selalu mengundang perhatian. Hadehh, anak gue sekarang jadi sasaran si Alvin!" Raka mengacak-acak rambut frustasi.
Radius mengungkapkan isi hati mereka satu persatu. Hanya Karel yang diam. Cowok berdarah Belanda ini memang tak banyak bicara. Dia lebih suka menyusun rencana dalam diam bila ada masalah.
Sementara di kelas Kay, ketua kelas sedang berbicara dengan gadis itu. Berulang kali Reno terlihat mendesak Kannaka untuk berbicara.
Namun, gadis itu lagi-lagi hanya diam. Suasana kelas begitu hening, mereka tak bersuara sedikitpun karena sedang menunggu jawaban dari Kay. Jawaban apa?
"Kay, gue mohon!" desak Reno.
Kay terlihat menunduk sembari meremas kedua tangan yang saling bertautan. Dia tak suka dipaksa, tetapi Kay sedang malas bersuara. Semoga Tuhan menyelamatkannya lagi.
"Reno, apa yang sedang kamu lakukan? Duduk!"
Kay mendongak pelan. Akhirnya guru masuk juga. Setidaknya, Kay selamat dari paksaan Reno. Raka tak pernah memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu. Jadi, orang lain pun tak berhak melakukan itu.
...***...
Bel istirahat sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Sesuai instruksi Raka, gadis berambut lurus hitam sebahu itu duduk di kelas menunggu sang sepupu tercinta membawakan makanan. Awalnya Kay hanya sendiri, tetapi kemudian Reno masuk dan menghampiri dirinya.
"Kay, tolong percaya sama gue. Gue nggak akan pernah nyakitin lo, yang ada gue bakalan selalu bikin lo bahagia selama tetap ada di samping gue. Lo mau jadi pacar gue?" tanya Reno penuh harap.
Cowok itu ganteng, pintar dan terlihat berwibawa dengan kacamata yang membingkai netra hitam legamnya. Kay dan Reno semenjak SMP sudah saling mengenal.
Akan tetapi, Raka selalu memproteksi sepupu semata wayangnya agar tak dekat dengan cowok manapun yang berpotensi menyakiti hatinya.
"Please, do you wanna be my girlfriend? I'll promise I never hurt you. I'll make you being happy anytime. Please!"
Kany tak berani menatap Reno yang sedang memohon padanya. Ia tak bisa menerima cinta dari teman sekelasnya itu. Kay sedang memupuk rasa cintanya untuk Karel.
Dia hanya mau pacaran dengan Karel. Bukan dengan yang lain. Lagipula, siapa saja bisa bertindak nekat sama seperti Alvin. Kay tidak mau dibunuh.
Saat ingin mendekati gadis itu, leher Reno terasa tercekik. Ia menoleh ke belakang lalu terkejut bukan main saat melihat Karel sedang menarik kerah bajunya.
Pemimpin Radius itu hanya sendiri. Tidak ada anggota yang lain. Meski Karel benci dibilang ketua, tetap saja auranya selalu mendominasi.
"Mau ngapain?" tanya Karel.
"Ng-nggak. Gu-gue cuma mau-"
"Mau apa?"
Mampus, masa Reno menjawab kalau dirinya mau memeluk Kay di depan pemimpin geng mematikan ini? Kalau Karel mengatakan hal tersebut pada Raka, sepupu Kay yang temperamental itu pasti akan menghajar dirinya sampai mati.
Tanpa banyak berbicara lagi, Reno segera pergi dari situ. Nyawanya harus diselamatkan terlebih dahulu masalah cinta bisa nanti saja. Untuk apa punya pacar sedangkan diri sendiri sudah tenang di alam sana? Itu bukanlah lelucon yang bagus.
"Menunggu Raka?"
Kay terkejut. Dia segera membuang muka ke arah lain. Sejak kapan Karel duduk di kursi sebelahnya? Percayalah, ada salah satu organ sedang dangdutan di dalam sana. Kalau saja Kay adalah cewek agresif, pasti sudah nyosor duluan.
"Kok diam? Gue lagi ngomong sama orang. Bukan sama tembok."
"Iya."
Karel mengulum senyum. Akhirnya suara gadis itu keluar juga. Tak sia-sia dirinya melunturkan gengsi sedikit saja ketika Raka memaksanya menemui Kay.
Kenapa harus dia? Bukannya ada tiga orang lagi yang bisa menemui gadis unik ini. Lalu, kenapa juga Karel mau disuruh-suruh? Pasti ada yang tidak beres dengan dirinya.
"Raka lagi antri beliin bubur ayam buat lo."
"Eh, beneran? Dia beli nutrisari nggak?"
"Kayaknya."
"Awas aja kalo nggak beli, masa gue makan tapi nggak minum. Nanti kalo keselek terus mati mud-"
Ucapan gadis itu terhenti. Dia kembali teringat pada kejadian kemarin saat Alvin hampir mendorongnya ke bawah. Wajah Kay kembali pucat.
Namun, sebuah tangan menepuk-nepuk kepalanya hingga gadis mungil ini berangsur tenang. Dia kira itu Raka. Ternyata Karel. Ah, Kay lupa mereka hanya berdua di sini.
Eh, Karel?!
"Jangan inget lagi."
"Jangan nepuk-nepuk kepala gue!" sentak Kay dengan pipi memerah.
"Kenapa?" tanya Karel bingung sembari menarik tangan kembali.
"Lo nggak boleh nepuk-nepuk kepala gue!"
"Kenapa?"
"Ish, pokoknya nggak boleh. Lo itu cowok!" yang gue suka, lanjut Kay dalam hati.
"Tapi Raka boleh."
Aduh, kenapa kata-kata Karel menggemaskan sekali? Kay jadi tak sabar ingin mencubit pipi calon suaminya itu. Iya, calon suami dalam mimpi.
Ia segera berbalik badan untuk membunyikan semburat rona merah di pipi. Bahaya kalau Karel melihat lalu bertanya kenapa. Cowok itu polos-polos ngeselin.
"Kenapa balik badan?"
"KAREL JANGAN TANYA KENAPA MELULU, IH!"
...***...
Raka menjinjing tas sekolah dengan merk terkenal, benda yang seharusnya dikenakan di punggung bukan di tangan. Dia sedang menuju kelas Alvin dan teman-temannya.
Meskipun Karel melarangnya memberi sedikit perhitungan pada cowok sok jagoan itu, setidaknya Raka akan memberi peringatan.
"Alvin, keluar lo!" serunya sambil menatap tajam si pemilik nama.
Seisi kelas langsung diam tak bersuara saat melihat salah satu pentolan sekolah menatap Alvin dengan tatapan tak bersahabat.
Air mukanya menunjukkan Raka sedang menahan emosi. Matanya semakin buas ketika Alvin berjalan santai keluar kelas seolah tidak bersalah.
"Ada ap-"
Bugh!
Cowok berwajah oriental itu langsung tersungkur ketika sebuah tonjokan keramat Raka mendarat di perutnya. Bukan main sakitnya. Alvin pernah berkelahi dengan banyak orang selama bersekolah, tetapi dirinya belum pernah merasakan hal sesakit ini.
Ternyata inilah kekuatan anggota Radius yang sebenarnya. Mungkin baru separuh. Ia telah salah memilih lawan. Akan tetapi, dendamnya harus dituntaskan.
Raka berjongkok di depan wajah Alvin. Ia mencengkeram wajah cowok biadab yang hampir saja membunuh sepupu tercintanya.
"Gue ke sini cuma buat ngasih peringatan sama lo. Jangan pernah main-main sama Kay apalagi nyoba buat bunuh dia. Lo tahu? Ini cuma sebagai salam kenal tubuh antar tubuh. Kalau lo berani berbuat lebih sama Kay, lo bakalan bisa ngeliat serpihan daging lo sendiri alias mati secara mengenaskan. Lo akan mati tanpa jasad, paham?!" Raka menepuk pipi Alvin lalu pergi dari situ.
Kepergian salah satu anggota Radius hanya mampu ditatap nanar oleh Alvin. Ia memanggil teman-temannya untuk membantunya berdiri. Begitu saja sudah cukup.
Meskipun Raka yakin kalau cowok itu tak akan tinggal diam, setidaknya dirinya sudah memberi gambaran seperti apa resiko yang diterima Alvin apabila kembali berulah. Mati tanpa jasad.
Dari kejauhan, matanya melihat Kay sedang menjambak rambut kesayangan Cakka. Bibir Raka tertarik membentuk senyum lebar, berkat Karel akhirnya Kay kembali seperti biasa.
Tak akan ditolak kalau suatu saat nanti Karel berkata menyukai Kay. Bersama Karel, sepupunya akan aman.
"Raka! Cicak ngeselin banget, masa dia ngambil coklat yang dikasih sama om? Itu coklat kesukaan gue, tapi dia makan sampai habis!" adu Kay sambil tetap menjambak rambut Cakka.
"Heh, Nenek Lampir! Gue juga suka kali! Lagian lo pelit amat jadi orang. Nanti pas bapaknya Raka pulang dari rumah tetangga pasti dibeliin lagi! Lepasin dulu, oy, kepala gue mau copot ini!" Cakka misuh-misuh sendiri.
"Coklat itu belinya di Swiss, wahai Cicak! Bukan di rumah tetangga. Astaghfirullah, gue telan juga lo lama-lama."
"Lepasin nggak?!"
"NGGAK!"
"Ebuset, galakan dia daripada gue," gumam Cakka pasrah.
"Salah lo sendiri ngapain abisin makanan gue!"
Radius dan siswa lain tertawa melihat penderitaan Cakka. Halaman sekolah memang sedang ramai karena bel pulang sudah berbunyi.
Mereka rela berhenti sejenak demi melihat ketidakberdayaan Cakka di tangan Kay. Sebagian lagi merasa iri. Rasanya ingin bertukar posisi dengannya agar bisa dekat-dekat dan merasakan kehangatan Radius.
"Wah, ada Bang Nawuto!" tunjuk Cakka ke langit, ia berusaha mengecoh perhatian Kay.
Berhasil!
Kay melepaskan tangan dari rambut Cakka, dia menatap antusias ke langit biru. Namun, mana Nawutonya? Yang ada hanyalah Rajawali sedang mengepak santai menunggangi udara panas.
Masa tokoh kartun dari negeri Sakura itu berubah jadi Rajawali? Kay melihat tubuh Cakka yang sudah menjauh dengan tatapan penuh nafsu menganiaya.
"WOI, CAKKA! BERHENTI LO! AWAS AJA, BAKALAN GUE KEJAR SEKALIPUN LARI KE NEGERI ABANG NAWUTO!" teriak Kay sembari mengejar Cakka yang berhasil melepaskan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!