"KAY DEMIAN! KAMU SIBUK DENGAN GAMBAR KAMU LAGI DI MATA PELAJARAN SAYA?!"
"Hadir, Bu! Iya, ini lagi saya cek takutnya ada yang hilang. Sayang kalo hilang satu, soalnya saya buat pake cinta loh, Bu."
"Cinta, cinta. Saya nggak peduli, ini jam pelajaran matematika! Capek saya mendengar keluhan dari beberapa guru. Sekalipun kamu pintar bukan berarti boleh melakukan apapun semau kamu! Ini bukan jam menggambar! Keluar kamu!"
Kay bersorak gembira. Akhirnya bisa keluar juga tanpa harus repot minta izin ke toilet lalu berakhir di kantin. Gadis itu segera membereskan barangnya dan berlari ke luar secepat cahaya sebelum Bu Sima berubah pikiran dengan menghukum dirinya membersihkan gudang.
Membayangkan sebuah ruangan gelap dan berdebu disertai penghuninya yang tak lain dan tak bukan ialah kecoa serta hewan pengerat berkembang biak dengan pesat di balik tumpukan kardus atau bangku-bangku tak terpakai, rasanya lebih baik Kay disuruh menggambar selama sepuluh jam penuh dalam sehari. Atau memandangi wajah Karel tanpa berkedip, Kay rela.
Saat di luar kelas, gadis itu bingung sendiri harus ke mana. Kalau pergi ke halaman belakang sudah jelas tidak mungkin. Alvin dan Kevin pasti akan menguber-uber dirinya ke sana karena sudah tahu tempat persembunyian Kay. Mungkin UKS adalah pilihan terbaik.
Selain mempunyai pintu otomatis yang bisa dikunci Kay juga bisa menumpang tidur sebentar selagi menunggu bel istirahat berbunyi. Biasanya, hari biasa tak ada guru piket kecuali siswa dari ekstrakurikuler PMR. Setiap hari memang ada dua orang penjaga utusan dari organisasi itu karena takut ada yang sakit.
Tiba-tiba, tak sengaja Kay menabrak seseorang hingga menyebabkan dirinya mendarat dengan tidak elit di lantai.
"Yah, nabrak lagi, jatuh lagi. Kenapa sih, setiap belok selalu aja nabrak orang? Dikira jatuh di lantai seindah jatuh cinta kali, ya. Nggak tahunya sakit. Untung jalan kaki coba kalo pake kendaraan. Mungkin penjara udah jadi rumah kedua saking seringnya bikin orang celaka. Apes banget dah, gue!" gumam Kay sembari bangun dari lantai.
"Mau kemana?"
Suara itu terdengar begitu familiar. Dingin, beku, tetapi selalu ditunggu. Saat kepalanya menoleh wajah tampan Karel menyambut netra dengan segala pesona. Ya Tuhan, kenapa Engkau menciptakan pahatan begitu sempurna tanpa perlu operasi plastik ke Korea? Tiada cacat sedikitpun di wajah putih mulus milik cowok itu.
Mungkin jerawat dan komedo sudah lelah muncul karena terus saja tergelincir akibat licinnya kulit Karel. Kannaka mengetuk kepalanya sendiri. Pemikiran macam apa itu? Konyol sekali.
"Karel, lo tahu nggak kalo gue cinta sama lo?" tanya Kay tanpa sadar.
Cowok jangkung itu mengernyit heran lalu mengulum sebuah senyum. "Tahu," jawabnya santai.
Kay merengut sedih. "Kalo tahu kenapa diam aja? Harusnya lo bales."
"Gue lagi belajar. Lo mau ke mana?"
Gadis itu mendadak kaget karena sadar dengan pembicaraan mereka barusan. Ia mengutuk mulutnya yang susah dikontrol di depan Karel. Wajah itu mulai memerah. Rasanya, Kay ingin tenggelam saja di rawa-rawa agar tidak perlu bertemu Karel lagi. Akan tetapi, itu tak akan terjadi. Dia takut rindu dengan kehadiran si manusia es itu.
"Gue mau nyari tempat persembunyian yang aman dari guru dan para 'vampir' haus darah. Mungkin, UKS lumayan aman karena bisa dikunci."
"Justru tempat yang bisa dikunci itu nggak aman."
"Kenapa?"
"Kalo tiba-tiba mereka masuk terus ngunci dari dalam, emang lo bisa keluar lagi? Jendela UKS pake jeruji."
Benar juga. Dia lupa dengan fakta sepenting itu. Kay bukanlah seorang Rambo, tokoh yang dielu-elukan sebagai manusia kuat dan hebat dari luar negeri. Ia juga bukan Si Pitung, legenda betawi yang konon kulitnya tidak bisa ditembus peluru. Lalu, dia harus pergi ke mana sekarang agar terhindar dari mereka semua?
"Terus gue harus kemana? Sekolah kenapa jadi nyebelin begini, sih?" keluh Kay sembari duduk mendelesor di lantai.
"Bangun!" perintah Karel.
Meski ogah-ogahan, gadis itu tetap bangun dan mengikuti langkah pujaan hatinya itu. Mungkin bagi kebanyakan orang yang sedang jatuh cinta, pertama kali dilakukan ketika bertemu sosok yang dicintai pasti akan berusaha menampilkan sisi terbaik walaupun terkesan dibuat-buat.
Beda dengan gadis ini, menurutnya drama adalah hal paling merepotkan. Kalau bisa bersikap apa adanya kenapa harus berpura-pura? Lagipula Kay sudah yakin kalau cowok itu adalah jodohnya. Sekalipun bukan, dia akan tetap memaksa bahwa Karel adalah jodohnya!
Tiba di atas atap gedung sekolah, Kay merinding. Bukannya di sini adalah tempat Almira bunuh diri? Ia menatap Karel. Cowok itu juga sedang menatap dirinya. Wah, tiba-tiba perasaan gugup menghampiri hati gadis kelahiran tujuh belas tahun silam itu.
"Pulang sekolah bareng sama gue, ya?" ucapan itu tidak terdengar seperti permintaan melainkan perintah.
"Gue berangkat sama Raka, pulangnya, ya, bareng Raka juga." Pura-pura menolak padahal jantung sudah kalang kabut mengatasi sirine cinta yang berbunyi nyaring.
"Bunda mau ketemu."
Tiga kata itu sontak membuat Kay diserang rasa panas dingin. Ia segera berdiri membelakangi Karel demi menyembunyikan wajah yang sudah memerah bagai tomat masak. Calon mertua mengajaknya bertemu?
Yes!
Ketika hendak berbalik, matanya menangkap sesosok gadis berambut sebahu sedang menatap ke arahnya. Tatapan wanita itu terlihat sedih seolah meminta pertolongan. Mata Kay menyipit lalu melebar. Itu adalah~
Almira!
...***...
Gibran berjalan dengan langkah pelan sambil mengawasi Abdul. Ia sudah mencurigai salah satu teman sekelas Kay itu sejak di kantin. Seperti kejadian yang sudah-sudah, barangkali Abdul adalah sekutu Kevin. Sama seperti Reno.
Kalau benar, maka Gibran akan membuat perhitungan dengan cowok itu. Menyusup ke barisan lawan tanpa memikirkan skenario yang baik adalah kesalahan fatal. Dan itu dilakukan tanpa sengaja oleh Abdul.
"Pak, buka pintunya. Ini saya, Abdul."
Cowok itu mengetuk ruang administrasi sekolah. Kalau petugas administrasi adalah guru biasa mungkin Gibran akan menyangka kalau Abdul akan membayar uang sekolah. Akan tetapi, di sini yang menghuni ruangan itu adalah Kevin. Guru baru yang sudah terlibat perang dingin dengan Kay semenjak hari pertama menginjakkan kaki di sekolah tercinta.
Untung Winda berperan sebagai pemberi informasi yang baik. Kay sudah mulai tertutup sekarang.
"Ada apa?" Kevin keluar sambil memegang belati dengan gagang berwarna biru.
"Emang bener kalo Kay yang bikin Reno mati keracunan. Dia nukar cokelat miliknya dan milik Reno."
"Burung kecil itu terlalu gesit terbang di celah sempit. Gimana kalo kita patahin sayapnya dan juga burung-burung besar di sekeliling dia? Dengan begitu, Kay akan menjadi lemah!"
"Maksudnya, Pak?"
"Kita ubah target. Serang dulu orang-orang di sekeliling dia. Kay punya hati lunak dan gampang simpati. Kalo mereka 'kena', tanpa harus memancing pun gadis itu akan menyerahkan diri secara percuma."
Abdul terlihat ragu. "Radius kuat-kuat, mana bisa ngelawan mereka?"
"Tentu saja dimulai dari yang paling lemah. Yaitu, Winda."
Bola mata Gibran terbeliak kaget. Tak hanya dia, Abdul juga ikut terkejut mendengar kalimat Kevin barusan. Bagaimana bisa dirinya mencelakai Winda, sedangkan ia menaruh hati pada gadis itu? Ingin rasanya menolak perintah Kevin, tetapi belati di tangan pria itu pasti akan menari di tubuhnya.
Rasa bimbang langsung menghantui Abdul. Kevin tersenyum jahat karena tahu apa yang menjadi beban pikiran salah satu siswa sekaligus anteknya itu. Menjadi sekutunya berarti sudah siap menanggung segala resiko termasuk melupakan soal cinta.
"Psikopat nggak mengenal cinta terhadap lawan jenis atau keluarga, saya harap kamu juga seperti itu, Abdul."
"I-iya, Pak."
Kalimat bernada mengancam menyentak kesadaran bahwa jalan yang sudah dipilih Abdul adalah kesalahan terbesar dalam hidup. Namun, apa daya menyesali apa yang sudah terjadi. Ia terjebak dalam lingkaran api. Tak mampu keluar karena tubuhnya pasti akan terbakar.
"Gue harus ngasih tahu yang lain. Si Abdul emang bego. Mau-maunya diperintah sama Kevin. Hidup aja nggak punya pendirian gimana bisa pinter?" keluh Gibran sambil memilih pergi dari tempat persembunyiannya.
...***...
Masih di tempat yang tadi, Kay dibuat bingung oleh arwah Almira. Dari tadi sosok itu terus memelototi dirinya dan tak mau bicara. Padahal Kay sudah menunggu terlalu lama. Ah, sudahlah. Mungkin Almira sedang menyampaikan rasa sakit akibat terjatuh dari atas.
Ia duduk mendelesor di lantai sembari mengeluarkan gambar dari kantong plastik. Ia melihat satu persatu sambil memasukkan ke dalam binder pemberian Karel. Gambar pertama adalah pemandangan Karel sedang bermain basket.
Gambar itu dibuat tahun lalu sebelum cowok itu memilih vakum dari dunia basket sampai detik ini. Tak ada warna. Hanya hitam putih saja. Kay tak suka gambarnya diwarnai. Menurutnya, gambar hitam putih terasa lebih hidup dibandingkan gambar berwarna.
"Ini gue?" tanya Karel, gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
Ada seratus lembar gambar berhasil disimpan rapi atas bantuan Karel. Ia cukup takjub karena kebanyakan objek dari gambar Kay adalah wajahnya. Tanpa rasa malu pula gadis itu menjelaskan semua secara detail. Tempat, waktu dan perasaan saat dia menggambar.
Terakhir adalah wajah Kevin yang digambar dengan kondisi mengerikan. Mata terlepas sebelah, bibir robek sampai telinga, lidah menjulur keluar dijepit oleh dua batang besi panas serta sebilah pisau menancap di ubun-ubun. Andai tak ada nama yang tertera di atas, mungkin Karel tak tahu siapa itu.
"Itu cuma imajinasi gue doang, sih. Abisnya kesel sama itu guru. Seenaknya aja main gores kaki gue pake belati. Dikira nggak sakit apa? Mana masih perih lagi kalo ditekan," ungkap gadis itu dengan mimik wajah cemberut.
Karel tersenyum tipis. "Pikiran lo terlalu liar kalo lagi kesel."
"Errr ... gue boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Kay.
Cowok itu mengangkat kedua alisnya seolah bertanya, 'apa?'.
"Lo lagi suka sama seseorang nggak?"
"Gue nggak tahu ini semacam perasaan suka apa bukan. Tapi, gue lagi tertarik sama cewek tengil yang tingkahnya kadang ngeselin," jawab Karel jujur.
Menelan pil pahit? Kay menyesal menanyakan hal itu pada Karel. Ia menelan ludah kasar saat mengetahui cowok itu sudah memiliki tambatan hati. Memaksakan sebuah senyum, ia memberanikan diri untuk kembali bertanya.
"Oh, iya? Siapa?"
"Anak HIHS juga. Dia udah lumayan deket juga sama gue. Anaknya terlalu energik dan menarik. Gue selalu suka ngelihat tingkahnya."
Pupus sudah. Kay tertohok oleh kalimat Karel. Mungkin benar apa kata Jessie, lebih baik tak mengetahui fakta yang sebenarnya kalau ternyata berakhir menyakitkan. Tanpa pamit Kay turun tangga dengan setengah berlari meninggalkan cowok itu begitu saja.
Dia ... sakit hati.
Karel menatap bingung. Kenapa mendadak dia pergi begitu saja? Tanpa pamit lagi. Apa ada yang salah dari ucapannya barusan? Atau Kay tahu cewek yang dimaksud Karel adalah dia? Tidak mungkin. Kay adalah tipe cewek berantena pendek. Sekalipun sedang pintar pun dia tak akan mengetahui siapa yang dimaksud Karel.
"Gawat kalo dia tahu," gumam cowok itu pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments