Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Namun, Kay sudah berdiri di depan gerbang dengan wajah mengantuk. Ia tak sendiri, ada Karel menemani.
Akan tetapi, sepertinya wajah tampan cowok itu tak mampu menghilangkan rasa kantuk si gadis tengil. Anggota Radius lainnya ada di kelas Kay. Mereka sedang memasang CCTV tanpa sepengetahuan gadis itu demi memperketat penjagaan.
"Karel!" panggil Kay. Ia menguap lalu menggaruk pipi. "Ngapain juga pergi sekolah kalo harus berdiri di luar? Dingin."
"Nanti lo juga tahu."
Sudah dua puluh pertanyaan yang sudah Kay ajukan sejak dalam perjalanan. Jawabannya itu-itu saja. Apa Karel sedang menjelma menjadi sebuah robot yang sudah diprogram untuk memberi jawaban itu setiap ada pertanyaan? Kay mendengkus.
"Ganteng, sih, tapi menyebalkan!" gerutu Kay sembari menggosok hidung.
'Untung gue sayang, coba kalo nggak udah gue tendang lo ke Titan!' lanjutnya dalam hati.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa!"
Karel mengulum senyum. Gadis itu sedang merajuk. Beberapa saat kemudian Kay bertanya lagi. Bibir tipis itu tak terbiasa diam rupanya. Ada saja yang ditanyakan. Bagus kalau Karel bisa menjawab, kalau tidak ujung-ujungnya, ya, merajuk lagi.
"Rel, gue mau nanya lagi. Tadinya, sih, mau ngambek aja sampe tahun depan. Tapi, ternyata rasa kepo gue mengalahkan rasa ingin ngambek. Lo harus jawab pertanyaan gue dengan kalimat yang berbeda. Awas kalo bilang, 'ninti li jigi tii'. Gue sumpel mulut lo pake sepatu!" ancam Kay.
Cowok itu mengangguk sekali. Berurusan dengan cewek selalu ribet.
"Kenapa Alvin suka sama gue?" tanya Kay. "Walaupun gila dia lumayan famous di kalangan cewek-cewek sekolah. Kenapa harus gue?"
Pertanyaan macam apa itu? Ada banyak pilihan pertanyaan lain yang bisa ditanyakan. "Lo mau tahu jawabannya?" Karel bertanya balik.
"Sengaja gue tanya karena pengen tahu jawabannya, duhai Abang Karel! Ya Salaam, katanya pinter, tapi kok gini amat bentukannya!" gemas Kay.
"Alvin itu psikopat. Teman-teman dia juga psikopat."
Mata gadis itu melebar. Padahal hari itu dia hanya berkata asal dalam hati karena kelakuan Alvin mirip dengan seorang pembunuh berdarah dingin. Ternyata memang tidak salah. Sekolah elit ini benar-benar mencengangkan. Tak hanya dari segi fasilitas yang mewah dan lengkap, orang-orang di dalamnya juga membuat geleng-geleng kepala.
"Jadi benar mereka psikopat?" suaranya terdengar lirih.
"Hm."
"Tapi, kenapa Alvin suka sama gue?"
"Jangan halu di pagi hari. Psikopat nggak tahu cara mencintai dengan benar. Mereka cuma cinta pada bau darah dan teriak kesakitan korban aja."
"Kata siapa?"
"Kata gue. Buruan masuk. Mereka udah nunggu di dalam!" ajak Karel tanpa peduli Kay yang berdecak sebal.
Sekolah mulai ramai dengan kehadiran siswa dan siswi. Koridor yang terbuat dari marmer putih memantulkan hawa sejuk bagi setiap orang. Namun sayang, bukan sejuk yang Kay dapat melainkan rasa dingin menusuk punggung seperti yang mengintai dari belakang.
Gadis itu berjalan lebih dekat dengan Karel sembari menunduk takut. Agaknya bukan hanya Kay yang merasakan, cowok jangkung itu sendiri sudah yakin seribu persen ada orang lain di belakang. Dia tersenyum sinis, rupanya mereka benar-benar ingin bermain dengan Radius.
Di depan kelas Kay, Radius minus Karel sudah menunggu. Wajah mereka tampak berkeringat seperti habis melakukan sesuatu yang melelahkan. Kay membisu sembari terus menunduk dalam. Seharusnya Kay tidak perlu sampai ketakutan seperti itu karena biasanya dia bersikap masa bodoh, tetapi kali ini berbeda. Kuasa dan kekuatan Alvin jauh di atas dirinya.
"Lo masuk kelas. Jangan keluar sebelum gue sama yang lain datang buat jemput. Di dalam udah ada temen-temen lo. Ingat, jangan menunjukkan sikap mencolok dengan wajah ketakutan kayak gitu. Gue bakalan lindungi lo dari tangan Alvin, nggak akan pernah gue biarin dia nyentuh lo sehelai rambut sekalipun!" titah Raka sembari mengacak-acak rambut Kay.
"Woi, Curut. Jangan nunjukin wajah tegang kayak gitu, empet gue. Mau gue cium dulu nggak biar kendor?" Cakka menaik-turunkan alisnya dan tersenyum menggoda.
"Yee, Si Bego! Nyari kesempatan dalam kesempitan aja lo bisanya!" semprot Aditya.
"Ape sih? Sirik aja kerjaannya!" balas Cakka tak mau kalah. "Gelud, nih, gelud!"
Cakka mendekati Aditya sembari mengepalkan tinju. Karel, Raka dan Gibran hanya menatap datar. Tanpa menunggu disuruh dua kali Kay masuk kelas tanpa berbicara sedikitpun. Anehnya, raut wajah gadis itu berubah dari ketakutan menjadi dingin. Bahkan~
Menyeramkan.
...***...
"KAY! KAMU MENGGAMBAR LAGI?!"
Pak Angga meneriaki Kay yang sibuk menggoreskan pensil 2B ke selembar kertas putih polos. Pria yang menjabat sebagai guru sekaligus wali kelas mendekati gadis itu dan berniat menjewer telinga salah satu murid yang selalu membuatnya naik darah setiap hari.
Namun, tangannya tak jadi hinggap di telinga Kay. Gambar hitam putih yang beberapa bagian dihitamkan menarik perhatian. Gambar itu menyerupai bentuk seorang gadis dengan wajah berekspresi dingin dan belati tergenggam di tangan.
Ada gambar pemuda terbaring di tanah, seolah sedang meringis kesakitan. Luka parah di bagian perut, beberapa bagian tubuh sengaja dihitamkan, mungkin luka berdarah. Sedangkan wajah gadis yang sedang memegang belati terlihat puas.
"Gambar apa ini?" tanya Pak Angga penuh minat, matanya berbinar karena tertarik.
"Gadis lemah yang berubah jadi kuat karena keadaan, membalas siapapun yang mengganggunya dan memberi rasa yang seribu kali lebih menyakitkan sebagai balasan. Dia bukan psikopat karena masih punya hati, tapi dia sedang menjelma menjadi seorang malaikat pencabut nyawa bagi musuhnya!" kata Kay menjelaskan detail gambar.
Suara gadis itu membungkam mulut seisi kelas serta Pak Angga. Andai sedang bercanda mungkin mereka akan tertawa. Namun, posisinya Kay baru mendapat teror beberapa waktu belakangan ini dan aura gadis itu terlihat gelap sejak pertama kali masuk kelas. Apa dia akan berubah?
"Ekhem, baiklah. Bapak akui gambar kamu cukup bagus walaupun sedikit mengerikan, tapi jangan menggambar di jam pelajaran Bapak, dong. Bapak capek negur kamu terus-terusan!" semprot Pak Angga.
"Kenapa bapak nggak ngeluarin saya lagi?" tanya Kay dingin.
Winda menyikut tulang rusuk teman sebangkunya itu. Mengingatkan kalau Kay sedang berhadapan dengan guru, bukan seorang teman sebaya. Namun, gadis itu tak peduli. Entah kenapa sikapnya aneh hari ini.
"Kay, lo bikin semua orang ngeri sama sikap lo barusan," bisik Winda.
Kay tersentak kaget. Ia seolah baru tersadarkan dari sebuah situasi. Tatapan yang tadinya dingin menyeramkan kini kembali ke tatapan polos khas seorang Kay.
"Eh, maaf. Lanjutin lagi, Pak. Jangan berhenti di tengah jalan kayak kenangan manis sama mantan pas hujan turun. Kali ini saya simpan gambarnya, deh. Kasian juga bapak udah tua tapi kerjaannya marah-marah mulu nanti kalo kena darah tinggi malah saya yang dituduh penyebabnya!" cerocos Kay.
Pria berseragam PNS itu naik pitam. "Kamu ini, ya! Selalu membuat Bapak emosi! Sudah, sekarang buka halaman seratus tujuh dan kerjakan semua soal. Dikumpulkan hari ini juga!" geram Pak Angga.
Seisi kelas kecuali Kay meringis ngilu. Selamat dari kandang macan, masuk ke rumah singa. Tak ada yang lebih baik dari dua opsi itu. Sama-sama menyeramkan.
"Sekarang ya, Pak?" tanya Kay cengengesan.
"TAHUN DEPAN!"
"Lama, dong."
"KAY DEMIAN!!"
...***...
Pergantian jam pelajaran biasanya menyediakan waktu kosong selama lima belas menit. Hal itu segera dimanfaatkan oleh si kembar tak se-orangtua alias Kafka dan Deva untuk menghampiri Kay di mejanya. Dengan senyum Pepsodent yang menimbulkan efek silau mereka duduk di sisi meja.
"Neng Kay, boleh lihat gambar yang tadi nggak? Gue penasaran soalnya Pak Angga sampe kicep begitu. Nanti gue bayar pake senyum manis tanpa oplas, deh!" rayu Deva.
"Yee, Si Belo. Senyuman lo tuh, lebih pahit daripada ditinggal mantan tersayang naik pelaminan. Empedu sama pare, mah, lewat. Mending gue, nih, ke mana-mana!" Kafka menyela, ia nyengir seperti kuda demi menunjukkan giginya yang dipagari kawat.
"Heh, gigi dipagerin aja pake acara ditunjukin segala. Nggak usah, nggak perlu dan nggak minat! Orang pagerin rumah atau kebon biar nggak kemasukan sapi, kerbau, babi hutan, sama kambing. Lah ini, gigi. Emang ada sapi yang masuk ke mulut?!" cerca Deva.
"Bukan sapi, tapi janji buaya betina!" Kafka menatap sebal. Ia mencekik leher Deva hingga cowok itu terbatuk-batuk. "Rasain lo, emang enak. Suruh siapa ngatain gue?!"
Gadis berkuncir satu yang sedang menggambar di kertas baru mengernyit lalu menggeleng karena pusing. Dua orang ini, apa tidak bisa akur sebentar saja? Selalu bertengkar karena hal sepele. Namun, kemana-mana juga selalu berdua seperti amplop dan perangko.
Lain lagi dengan Winda. Gadis itu merobek dua lembar kertas, membulatkan lalu menyumpal dua mulut bebek milik Deva dan Kafka dengan sadis. Ia tersenyum puas menatap dua cowok itu sudah diam dan saling menatap datar. Seisi kelas jangan ditanya lagi, mereka sudah ngakak hingga ada yang terjatuh dari kursi.
"Gitu, dong. Pusing gue dengerin lo berdua adu bacot mulu di depan gue. Berisik tahu. Kayak nggak ada kerjaan lain aja selain mengganggu ketenangan dan ketenteraman kediaman gue!" sembur Winda, gadis Chinese itu berkacak pinggang.
Deva mengambil kertas yang sudah basah dengan air liur. "Puih! Rasanya nggak seenak vitamin rasa jeruk punya adek gue."
Kafka mengikuti jejak Deva. Ia memandangi temannya, memberi kode dan melempar buntalan kertas secara bersamaan ke Winda. Kontan saja gadis itu berteriak jijik dan mengejar mereka hingga ke luar kelas.
Kay tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan bocah teman-temannya itu. Ia menarik napas sejenak untuk meredakan sisa tawa dan melanjutkan menggambar.
"Kay!"
Gadis itu mendongak saat ada yang memanggil dirinya. Reno, si ketua kelas, sedang berdiri sembari memegang sebuah cokelat.
"Iya, Reno? Ada apa? Mau ngasih cokelat buat gue, ya?" tanya Kay semangat.
Suasana canggung meliputi dua anak manusia itu karena sudah lama tak bertegur sapa sejak insiden Reno menembak Kannaka. Lagi lagi, seisi kelas menatap penuh minat. Siap menyimak apalagi yang akan dibicarakan sang ketua kelas pada gadis itu.
"Gue minta maaf soal hari itu. Nggak enak juga udah sebulan nggak ngobrol, padahal kita satu kelas." Reno menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Kay tersenyum riang. "Sini cokelatnya. Gue nggak pernah marah sama lo, malahan pengen ngobrol kayak biasa lagi, tapi karena canggung makanya gue juga diam aja."
Reno tersenyum kecil, malah terlihat seperti seringaian kecil. Ia menyerahkan cokelat itu dan kembali ke tempat duduk. Cokelat merk mahal sudah berpindah tangan, tapi ada rasa ragu dari hati Kay. Semacam bad feeling.
Ah sudahlah, lebih baik dirinya lanjut menggambar daripada terus berpikiran yang aneh-aneh. Akan tetapi, satu hal yang sudah pasti. Kay akan berubah mulai dari hari ini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments