19. A Naughty Girl

"GOOD MORNING EVERYONE! KAY CANTIK SEJAGAD RAYA TANPA PERLU MELANGLANG BUANA DI SOSIAL MEDIA ATAU VIRAL HINGGA MASUK BERITA IS COMING!! APA ADA MASAKAN YANG SPESIAL HARI INI UNTUK TUAN PUTRI?"

Kay menuruni tangga dengan gaya meniti gaun padahal yang dikenakan adalah seragam putih abu-abu. Ia cemberut saat melihat Jessie dan Raka menutup telinga menggunakan kedua tangan mereka. Sungguh terlalu, suara emas begini malah diabaikan.

Setelah dirasa aman, barulah ibu dan anak itu kembali menikmati sarapan usai membalas ucapan selamat pagi dari Kay. Dua lembar roti diolesi selai cokelat sudah terhidang di piring. Kay menciumi sejenak lalu makan dengan lahap.

Terkadang ia memang seperti itu. Kalau ada bau aneh sudah pasti tak akan dimakan. Padahal menciumi makanan sebelum dimakan itu tidak baik, loh. Pokoknya, jangan ditiru.

"Kebiasaan banget pagi-pagi bukannya turun terus sarapan malah teriak-teriak kayak Tarzan. Habitat lo emang di hutan kali, ya? Heran deh, gue. Punya sepupu sebiji tapi kelakuannya begini amat," ratap Raka sembari geleng-geleng.

Kay memeletkan lidahnya dan duduk dengan anteng. "Lo juga, kalo nggak ada tante biasanya juga teriak-teriak mulu bangunin gue!" balasnya tak mau kalah.

"Itu karena lo kebo, wahai Jubaedah!"

"Mana ada! Gue selalu bangun jam setengah tujuh!"

"Bangun kesiangan aja bangga. Lo bisa nggak turun tangga pake kaki?" Raka mulai mencari masalah.

"Pertanyaan macam apa itu? Gue turun tangga ya jelas pake kaki. Bukan pake kepala. Gimana ceritanya coba?" ketus Kay.

"Gue lihat barusan lo turun pake kaleng rombeng. Hampir aja ini rumah roboh, rata sama tanah gara-gara lo!"

Kening Kay mengkerut karena tidak paham. Bibir monyong, telunjuk kanan diketukkan ke dagu, gadis itu mencoba berpikir apa maksud dari kata-kata sepupunya barusan. Dua menit kemudian matanya menyipit dan melempar sendok hingga mengenai kepala Raka.

"Sembarangan lo, ya? Ngatain suara gue kayak kaleng rombeng. Ini tuh, suara emas mahakarya Tuhan yang sungguh sempurna. Nggak bisa bedain mana suara bagus sama suara jelek, sih!" omel Kay.

"Sadar diri napa, sih? Cempreng begitu dibilang suara emas."

"Ape lo?"

"Lo yang ape?"

Pertengkaran antara dua saudara sepersepupuan kembali tersulut. Lambung sudah lelah menanti karbohidrat datang bersama dayang-dayang enzim mengunjungi ruang kosong sejak isinya disetor ke pabrik alam. Namun, sepertinya penantian salah satu organ pencernaan itu akan sia-sia.

Tanpa menyentuh sarapan Kay dan Raka malah kejar-kejaran seisi rumah dan berhenti saat Jessie menegur. 

"Kalian nggak niat sekolah?" tanya wanita itu.

Keduanya mengangguk serempak.

"Ya terus, ngapain kejar-kejaran kalo niat sekolah? Buruan sarapan terus berangkat. Udah mau jam tujuh lewat ini. Nanti kalian bisa terlambat, loh!"

Baru saja kalimat itu selesai terucap dengan baik, dua bersaudara itu sudah berlari masuk ke dalam mobil setelah menyambar tas. Akan tetapi, beberapa saat kemudian mereka kembali masuk ke dalam rumah karena lupa akan satu hal. Pamit pada Jessie.

"Berangkat dulu, Mam/Tan!"

Wanita itu geleng-geleng kepala saat melihat kelakuan dua remaja itu. Tak pernah akur, tetapi juga tak pernah terpisahkan. Mereka saling menjaga satu sama lain. Menyayangi dengan cara tersendiri. Jessie tersenyum kecut.

Di dalam mobil, Kay menyunggingkan senyum yang sama. Ada yang harus diberi ucapan selamat pagi agar tak selalu merasa sendirian di dalam ruangan berbau anyir.

...***...

Seperti biasa, Kay berjalan ke kelas dengan pengawalan ketat oleh Radius. Beberapa kata bernada memuji sempat masuk ke telinga, tetapi keluar lagi tanpa menetap lama. Hanya singgah sekejab untuk merangsang saraf otak.

Sesekali komentar bernada miring ikut hadir menyemarakkan pagi. Namun, tetap saja tak ada yang meladeni. Kay sendiri sedang sibuk menimang-nimang sebuah binder berukuran besar. Sepertinya bila gambar-gambar yang ia buat di kertas HVS dimasukkan ke situ akan terlihat bagus.

"Rel, lo beli di mana binder segede ini?" tanya Kay sembari mendongak agar bisa menatap wajah Karel yang sedang berjalan di sampingnya. "Kemaren gue cariin nggak ada yang segede ini."

"Gue nggak beli," jawab Karel.

"Terus?"

"Nemu di tong sampah."

Mana ada barang masih terbungkus rapi ditemukan di tempat sampah? Karel memang memiliki tingkat ketajaman grafik gengsi menengah ke atas. Menduduki posisi puncak karena tak mau diketahui kalau dirinya perhatian. Kay memutar bola mata jengah.

"Kalo nipu yang pinter dikit, napa? Masa nemu di tong sampah masih bagus begini? Nggak usah becanda kalo garing!" sembur Kay sebal.

Diam-diam Radius menyembunyikan tawa agar tak mengudara. Mereka tahu Karel memesan khusus benda yang sedang dicari Kay, tetapi karena gengsi cowok itu tak mau mengatakan yang sebenarnya. Mana mungkin seorang Karel berkata dengan manis benda itu khusus untuk Kay.

"Eh, Anak Ayam. Coba sini gue lihat dulu bindernya bagus apa nggak. Penasaran juga gue sebagus apa, sih benda yang diambil dari TONG SAMPAH?" sindir Cakka usil.

"Gue juga pengen tahu sekeren apa benda yang ditemukan di TONG SAMPAH!" Aditya ikut-ikutan.

"TONG SAMPAHNYA limited edition kayaknya. Cakep, dah!" timpal Raka.

Hanya Gibran yang diam tak ingin menanggapi. Ia masih sibuk dengan kamera CCTV yang ada di kelas Kay. Semua masih aman. Teror papan tulis sudah tak ada, tetapi bukan berarti sudah berakhir. Sampai kapanpun Kay akan tetap menjadi incaran siapapun yang tak suka padanya.

Namun, senyum kecil terbesit dari bibirnya sambil melirik Karel yang sedang salah tingkah. Rupanya es penyelimut hati itu sudah mencair oleh hangatnya iklim cinta yang perlahan mencuat di dalam dada. Titik pertahanan Karel berakhir pada seorang gadis tengil bernama Kay.

Mereka terus menggoda Karel sampai tiba di depan kelas Kay. "Belajar yang bener. Jangan sibuk menggambar. Tunggu gue jemput pas istirahat. Jangan kemana-mana, paham?" pesan Raka.

Ia mengangguk pada Winda. Gadis itu memang sedang menunggu kedatangan Kay. Ia segera menggaet lengan Kay dan mengajak masuk ke dalam kelas. Sementara itu, Radius naik ke lantai tiga melalui tangga yang ada di dekat kelas Kay.

...***...

Di sebuah ruangan, seorang gadis belia terlihat sedang membakar beberapa file tanpa merasa bersalah. Ia memang sengaja datang ke sini untuk membuat sang pemilik ruangan marah karena ulahnya. Salah dia sendiri karena terus saja bertingkah menyebalkan.

"Semoga dia marah terus bunuh diri. Gue suka kalau dia mati. Tapi, sayangnya psikopat belum ada yang mengabarkan pernah bunuh diri," gumamnya.

Ketika semua kertas itu sudah menjadi debu, gadis itu segera keluar melalui jendela tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Boleh saja tak memiliki kemampuan beladiri, tetapi otak tetap harus berjalan mulus tanpa hambatan. Otak dan otot, siapa yang lebih kuat?

Beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke dalam ruangan dan terkesima karena debu hitam mengotori lantai. Semua map penting berserakan dan isinya sudah dibakar.

"Alvin! Alvin!" panggilnya dengan nada geram.

"Apa, sih? Gue mau balik ke kelas ini, tas lo gue simpan di depan!"

Sama seperti pria itu, Alvin juga terkejut. Ruangan sang kakak kotor bagai diterpa debu bekas kebakaran. Namun, di sini memang ada bau bekas sesuatu yang terbakar. Ia melihat map penting jatuh berserakan tanpa isi. Artinya~

"Sialan, itu map isinya penting semua. Siapa yang bakar coba?" umpat Alvin.

"Mana gue tahu. Gue juga baru sampe barusan. Ruangan udah kacau begini, semua kertas dibakar."

"Lo bego banget, sih. Udah berapa kali kecolongan mulu, hah? Udah ditipu Kay sekarang malah kemasukan orang," Alvin menatap remeh.

Kevin tak menjawab. Tak mungkin pelakunya adalah Kay karena dirinya sudah melihat dengan mata kepala sendiri kalau gadis itu baru saja tiba di kelasnya. Lantas siapa yang bisa menyusup begitu sempurna tanpa meninggalkan jejak kecuali jendela yang agak renggang?

Tiba-tiba matanya menangkap secarik kertas tertempel di belakang komputer. Saat Kevin mengambil, hanya ada dua kalimat yang ditulis dengan huruf kapital.

'JANGAN MEMBUNUH DI SINI. GUE BENCI HANTU.'

Konyol sekali, mereka merasa dipermainkan dengan perlakuan orang ini. Kevin melirik kamera CCTV yang selalu aktif. Ia segera memeriksa siapa yang sudah berani masuk ke dalam ruangannya dan menghancurkan semua file-nya.

Baru saja layar dihidupkan, Kevin dan juga Alvin terkejut karena seorang gadis melambai ke arah kamera sembari menebar kiss bye tanpa rasa takut sedikitpun. Kamera menunjukkan saat gadis itu mulai menjatuhkan beberapa map hingga isinya berceceran. Dengan wajah gembira pula ia memantik korek api dan mulai membakar kertas-kertas itu.

"Kay sialan!" keduanya mengumpat secara bersamaan.

Di dalam kelas yang hening bagai kuburan, Kay bersin sekali sampai mengejutkan semua orang. Ia tertawa lalu meminta maaf pada semua teman-temannya terutama pada Ibu Sima yang sedang memaparkan rumus matematika di papan tulis. Ia melanjutkan tawa dalam hati, pasti Kevin sedang marah-marah di ruangannya. Memang enak dikerjai Kay?

Hamster yang menggemaskan bisa saja berubah menjadi monster yang mengerikan. Jangan mengacau saat dia tidur kalau tidak mau harga diri yang selama ini diagung-agungkan runtuh tak bersisa.

...***...

Jam istirahat selalu menciptakan kesunyian di koridor sekolah. Sepi, tanpa ada suara yang mengisi. Hanya angin bertiup pelan menggoyangkan jendela-jendela yang terbuka menciptakan suasana seram. Kay bergidik pelan. Kenapa sekolahnya terlihat mengerikan sekarang?

Ia memberanikan diri berjalan dengan tenang. Tak mungkin berlari seperti orang ketakutan. Pamornya sebagai bidadari tercantik di dunia bisa jatuh kalau ketahuan takut dengan makhluk astral. Kay tidak mau hal itu sampai benar-benar terjadi.

"Kak Kay."

Mata gadis itu terpejam erat. Suara itu ... adalah suara yang sama ketika seseorang berlari mengejarnya untuk memberikan surat hitam tempo hari.

"Kak Kay, tolongin aku!" sosok itu mulai merintih.

Kay yakin sumbernya bukan dari manusia. Karena sang pemilik suara sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.

"Kak Kay, tolong!"

Setelah mengumpulkan keberanian, Kay mencoba memberanikan diri menengok ke samping. Jantungnya hampir bertukar tempat dengan paru-paru saat melihat wajah bersimbah darah serta bekas sayatan melintang dari dahi sampai dagu sedang menyorotnya dari jendela. Wajah itu buruk sekali.

"Lo ... lo Almira? Ngapain nongol dari jendela?" tanya Kay takut-takut.

"Tolongin aku, Kak. Cuma kakak yang tahu siapa Pak Kevin sebenarnya."

"Sembarangan! Gue aja lagi males ketemu dia, masa lo minta gue berhadapan sama dia? Gue nggak bisa bela diri, bisanya lari doang." Kay langsung menolak.

"Cuma kakak yang berani buat ngasih tahu kejadian ini sama orang tua aku. Mereka pasti sedih, Kak."

Geraman sebal keluar dari mulut Kay. "Lo udah jadi hantu masih aja nyusahin gue. Awas, jangan gangguin gue lagi. Lo tahu sendiri kalo gue bukan orang baik yang mau repot-repot nolongin orang. Udah dulu, ya? Bidadari sibuk."

Setelah mengatakan itu, ia memilih pergi. Bukan rasa takut lagi yang bercokol di hati melainkan rasa kesal karena dipilih untuk membantu mengusut kematian Almira. Sudah bisa lari saat dikejar saja Kay sudah bersyukur. Masa sekarang harus mau berhadapan dengan pria itu?

Benar. Kay tak pernah mau kerepotan dengan membantu hal-hal berat seperti itu. Ia sering mengakui diri sendiri bukanlah orang baik. Akan tetapi, seburuk-buruknya sifat Kay lebih buruk lagi wajah yang kini sedang memandang angkuh kepada dirinya di ujung koridor berbatasan dengan kantin.

"Saya nggak tahu ternyata kamu sudah selihai itu keluar masuk dari jendela. Apa bakat itu menurun dari ibumu?" ejek Kevin.

Senyum masam terbit dari bibir manis Kay. "Dari mana aja bakat itu turun seenggaknya anda selalu kesusahan mencelakai saya. Berapa kali berusaha menjebak, tapi selalu gagal? Ck, menyedihkan sekali!" cemooh Kay tanpa ragu.

"Bibir kamu terlalu mudah mengeluarkan kata-kata berbisa. Apa setelah berkenalan dengan belati masih bisa berbicara seperti itu?!" suara Kevin terdengar pelan, tetapi sarat dengan emosi.

Ekspresi menantang dari wajah gadis bertubuh mungil itu semakin menguatkan keinginan Kevin memainkan ketajaman sebilah belati kesayangan di wajah itu. Kay harus berakhir mengenaskan sama seperti Almira. Harus!

"Anda tahu apa yang membuat manusia sering patah tanpa sebab? Harapan. Jangan terlalu banyak berharap. Selalu ada celah untuk menggagalkan rencana itu. Ngomong-ngomong, memulai pagi dengan menyapu ruangan hitam karena bekas abu pasti membuat anda menjadi semarah ini. Semoga harimu menyenangkan," ejekan Kay semakin menjadi.

Ia segera masuk ke kantin mengabaikan orang itu. Perutnya lapar. Selama berada di sekolah, Kevin tak akan bisa melakukan apapun. Kecuali ... beradu mulut seperti perempuan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!