9. A Moment

Cakka sibuk memainkan ponsel keluaran terbaru dengan logo apel digigit sebelah di belakangnya. Ia membiarkan saja tangan Kay bermain di kepalanya, merusak rambut anti-jelek yang sudah capek-capek diatur sedemikian rupa. Ia tak bisa marah pada Kay.

Jemarinya aktif mengetik pesan di grup chat Radius yang ada di aplikasi berwarna hijau dengan gambar telepon. Ia meminta mereka datang ke sini sekaligus ngumpul bareng. Lumayanlah, hari Sabtu dimanfaatkan hangout bareng sahabat di restoran.

"Cak, cicak!" panggil Kay.

"Benerin dulu nama gue, baru gue jawab!" Cakka menatap jengkel.

Kay cengar-cengir sendiri menatap salah satu sahabatnya terlihat kesal. Sebenarnya, Kay pusing sekali. Ia butuh tidur tapi posisinya sekarang mereka berdua sedang ada di restoran. Masa tidur di sini, jangankan Cakka dirinya saja bisa malu.

"Siniin dahi lo," suruh Cakka.

Gadis itu menurut. Cakka meletakkan punggung tangannya di dahi Kay untuk mengecek suhu tubuhnya. Sudah tidak terlalu panas. Mungkin beberapa saat lagi akan sembuh. Ia tersenyum kecil lalu mengacak-acak rambut gadis yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu.

"Yaelah, Cicak! Jangan ngacak-ngacak rambut gue mulu kenapa, sih? Gue tenggelamin juga lo di selat Sunda."

"Kayak lo bisa aja. Badan segitu mau tenggelamin gue? Mana bisa ikan teri nabrak paus. Semesta aja bakalan ngetawain lo, Kay."

Kany menatap penuh dendam. Tangannya langsung menarik sejumput rambut pendek milik Cakka sampai cowok itu berteriak kesakitan. Ia baru melepasnya ketika Cakka minta ampun. "Mati lo!" ketusnya.

"Lo tengil banget, sih!" Cakka berseru gemas sambil menarik pipi tembem Kay.

Beberapa gadis di meja sebelah terpekik kecil melihat perlakuan manis Cakka pada Kay. Mereka berseru dengan nada iri lalu mencemooh gadis yang sedang bersama Cakka. Menurut mereka, cowok seganteng itu tak pantas duduk bersama orang yang malu-maluin seperti Kay.

Memangnya kenapa? Suka-suka Kay duduk dengan siapa. Mau dengan Cakka, Justin Bieber, Iko Uwais, Verrel Bramasta atau Karel tercinta. Prinsip Kay hanya satu. Biarkan saja yang iri semakin iri. Tugas Kay hanya menjalani dan membuat mereka semakin panas sesekali.

"Hai."

Sebuah sapaan mengalihkan perhatian Kay. Matanya melebar kala melihat sosok pujaan hati atau yang lebih sering disebut calon suami ada di sini. Matilah, apa dia melihat adegan mereka barusan? Bagaimana kalau Karel menilainya murahan?

"Kenapa? Gue ganggu?" tanya Karel saat melihat wajah Kay yang makin memucat.

"Apaan pertanyaan begitu ditanya di sini? Ya jelas nggaklah, kayak sama siapa aja lo. Nggak pantes, oy! Biasanya juga langsung ngeloyor!" cemooh Cakka.

Karel tak menanggapi kata-kata Cakka. Ia langsung mengambil tempat duduk di samping sahabatnya itu, lebih tepatnya di depan Kay. Ia melihat kegelisahan yang sedang diredam oleh gadis itu.

"Kay, kenapa malah jadi patung nunduk begitu?" tegur Cakka.

Ah, dasar cowok tak peka. Apa dia tidak tahu kalau Kay sedang meredam detak jantung yang berpacu lebih kencang dari sebelumnya? Kalau jantungnya sampai copot terus menggelinding di lantai lalu terinjak oleh orang yang berlalu lalang, dirinya akan hidup tanpa organ pemompa darah seperti vampir.

"Gue nggak diam tahu. Ini lagi mikir gimana caranya nistain lo selanjutnya, gue bosen pake cara jambak melulu," kata Kay pelan.

"Bujubuset, gue doang gitu yang mau lo nistain? Astaghfirullah, kamu berdosa banget! Kamu jangan solimi!" histeris Cakka dengan suara yang sedikit diredam oleh tangannya sendiri, dramatis.

Kay menatap garang. "Solimi, solimi. Sholeha!"

Mereka menirukan sebuah video yang baru-baru ini viral di jagat maya. Tiga puluh detik saling menatap tajam, gelak tawa akhirnya menghiasi meja ini. Karel tersenyum tipis melihat tawa indah Kay. Gadis itu jadi sejuta kali lebih cantik ketika sedang tertawa.

Mata Kay tak sengaja melihat sebuah grand piano berwarna putih di atas panggung kecil. Biasanya ada band yang meramaikan suasana restoran. Akan tetapi, kali ini tak ada. Gadis itu tersenyum lebar. Kesempatan emas!

...***...

Denting piano tiba-tiba membungkam keriuhan yang menyisakan hening disusupi nada. Di atas panggung kecil itu ada seorang gadis berpiyama katun sedang memejamkan mata sembari memainkan jemari di atas deretan tuts piano.

Ia mengawali dengan musik Beethoven tanpa nyanyian sebagai pemanas. Cakka dan Karel menatap terpana. Kapan gadis itu naik ke atas panggung? Mereka tak menyadarinya sama sekali. Tadi Kay memang sempat menghilang sebentar, eh tahu-tahu sudah ada di sana.

Sekitar dua menit kemudian, sebuah nada lain masuk dengan begitu apik bahkan hampir tak disadari kalau gadis itu sudah berganti lagu. Karel lagi-lagi tersenyum tipis. Mungkin itu adalah keahlian Kay. Dia pernah menyaksikan kepiawaian gadis itu di ruang musik sekolah.

Here, where the sky's falling

I'm covered in blue

I'm running and I'm crawling

Fighting for you

When the rain stops

Then, darling, what will I do

And I know I go all in

But why do I

"Kay, kamu baik-baik sama om dan tante. Ayah sama bunda harus pergi ke Eropa hari ini juga. Ada masalah di sana."

"Nanti jangan lupa bawa pulang boneka Doraemon ya, Ayah?"

"Iya, Sayang. Main sama Raka, ya? Jangan cuek."

You give me a reason

Something to believe in

I know, I know, I know

You give me a meaning

Something I can breathe in

I know, I know, I know

It's a bittersweet feeling

Longing and I'm leaving

I go, I go, I go

But I wish I was there with you

Oh, I wish I was there with you

"Bunda sayang sekali sama Kay. Jangan suka main sendirian di luar ya, Sayang? Bahaya. Nanti diculik. Bunda janji akan segera kembali."

"Iya, Bunda. Kay nggak akan main di luar sendirian. Dedek bayi kapan lahir, Bunda?"

"Surprise, dong!"

There's a crack in my window

A bird in my room

Angels all over

That watch over you

When I'm walking on water

All my dreams have come true

Still, nothing means nothing

Without you, you

"Kay, mulai hari ini kamu tinggal sama om dan tante, ya?"

"Nggak. Kay punya ayah dan bunda. Kay lagi nungguin mereka pulang."

"Dengar, Sayang. Tante akan menyayangi Kay seperti menyayangi Raka juga."

"Ayah sama bunda gimana?"

"Mereka udah tenang di alam sana, Sayang."

"Maksud tante, ayah sama bunda Kay udah meninggal?"

You give me a reason

Something to believe in

I know, I know, I know

You give me a meaning

Something I can breathe in

I know, I know, I know

It's a bittersweet feeling

Longing and I'm leaving

I go, I go, I go

Tell my heart to lie

But I know deep inside it's true

That I wish I was there with you

That I wish I was there with you

Oh, I wish I was there with you

"Mana ayah kamu?! Seenaknya aja dia mati ninggalin anak dan istri. Aku nggak mau tau, warisan dia milik aku dan anak kandungnya setengah!"

"Tante siapa?"

"Saya istrinya!"

You give me a reason

Something to believe in

I know, I know, I know

You give me a meaning

Something I can breathe in

I know, I know, I know

It's a bittersweet feeling

Longing and I'm leaving

I go, I go, I go

Tell my heart to lie

But I know deep inside it's true

That I wish I was there with you

That I wish I was there with you

Oh, I wish I was there with you

Kay menghela napas panjang nan berat lalu mengakhiri permainan pianonya. Ia tak sadar wajahnya sudah bersimbah air mata ketika bayangan-bayangan masa kecilnya muncul begitu saja. Terlebih saat kabar orang tuanya meninggal dan seorang wanita bersama anak laki-laki setahun lebih tua darinya datang.

Ia menyelesaikan lagunya dengan sempurna. Semua yang menyaksikan ikut berurai air mata. Lagu Homesick yang dibawakan oleh Kay begitu menyayat hati. Gadis itu bukan merindukan rumah. Akan tetapi, merindukan keluarga. Ya, dia merindukan masa ketika keluarganya yang masih lengkap.

Kay berdiri lalu mengucapkan terima kasih. Ia turun dan menghampiri meja tempat dirinya duduk tadi. Ternyata sudah ada Raka, Aditya dan Gibran.

"Woah, udah nambah aja personilnya? Kapan datang lo semua? Lengkap amat sekali ngumpul!" seru Kay.

"Lo nanya gue? Apa nanya dia? Atau nanya Maemunah yang sedang sedang mencari cinta?" cerocos Cakka.

"Sakit, Jubaedah!" ringis Cakka kala tangan Kay mendarat dengan mulus di dahinya.

"Salah lo sendiri, Paijo. Gue nanya bukannya dijawab malah nanya balik. Nggak sopan banget lo, sama gue. Mau gue timpuk pake meja?" omel Kay.

'Drama,' batin mereka kompak.

Kay sekarang lihai sekali menyembunyikan luka. Dulu ada masalah kecil saja gadis itu akan mengadu. Sekarang jangankan mengadu, mengaku sedang sedih saja Kay tak mau.

...***...

Gelak tawa Kay bersama Radius benar-benar mengundang perhatian pengunjung restoran. Gadis itu terlihat seperti Cinderella di tengah para pria tampan. Kostum yang Kay pakai ekstrim sekali. Yakni, piyama berbahan katun. Meskipun terlihat mahal, masa digunakan untuk pergi ke restoran?

Masih ingat pepatah orang cantik ala Kay? Jadi, jangan pertanyakan lagi keberadaan urat malu gadis itu. Orang cantik mah, bebas.

"Eh, Nenek Lampir. Suara lo bagus bener, lembut nggak cempreng, beda banget kalo lagi ngomong atau teriak di kuping gue!" kata Cakka sembari menyedot jus jeruknya.

"Makasih, Cakka. Tapi, tolong, jangan bilang gue cempreng. Suara emas begini lo bilang cempreng, telinga lo tuh yang bermasalah!" gerutu Kay sebal.

"Tuh! Gue ngomong kenyataan, wahai Maemunah. Muka ganteng kayak gue mana ada bohong apalagi soal cewek cakep. Jujur lillahi ta'ala gue, mah!" Cakka ngotot.

"Lo nggak bisa bedain mana suara ala Selena Gomez dan mana suara jelek kayak Wewe Gombel?"

"Bisa. Suara Selena merdu, suara Wewe Gombel kayak suara lo." Cakka tertawa puas.

Kay mengangkat garpu siap menusuk-nusuk wajah cowok menyebalkan yang sedang duduk di samping Karel itu. Mulut Cakka memang terlalu lancar saat berbicara. Seperti seorang cewek saja. Mungkin harus ditusuk dulu biar kaku.

"Eits, jangan main garpu. Nanti kalo kena wajah gue ketampanan yang udah sempurna sejak lahir bisa rusak."

"Gantilah!"

"Lo kata wajah gue cat mobil bisa diganti kalo lecet?"

"Bukan, wajah lo mirip bemper mobil. Jelek!"

"Sembarangan!"

"Apa lo?!" sentak Kay galak.

Cakka langsung ciut dan berlindung di balik ketiak Karel. Gadis itu galak sekali. Kalau garpunya benar-benar menancap di wajahnya, alamat harus terbang ke Korea buat operasi plastik. Makanya, jangan buang-buang plastik. Di negeri orang bisa digunakan untuk memperbaiki wajah, begitu pesan Bang Cakka.

Bicara soal plastik, memang benar pencemaran yang paling merepotkan itu datang dari limbah plastik. Benda itu membutuhkan waktu kurang lebih 500 tahun untuk terurai di dalam tanah. Ia tak seperti kertas atau kulit buah-buahan yang gampang terurai. Plastik juga tidak mengenal pembusukan seperti pupuk kompos.

Jadi, sebaiknya kurangi pemakaian plastik dan bawa kantong dari rumah ketika hendak berbelanja. Boleh juga memakai tas dari pandan yang dianyam atau menyediakan paper bag di toko-toko. Kalau bisa mengurangi limbah, kenapa tidak melakukannya sesegera mungkin?

Begitulah kuliah singkat dari Bang Cakka. Sekian terima gaji.

"Kay."

Jantung Kay langsung menabuh gendang kala suara itu memasuki indera pendengarannya. Alarm bahaya juga langsung berbunyi nyaring tanda bahaya. Ia menoleh dengan gerakan slowmo lalu menampilkan cengiran lebar.

"Eh, ada sepupu tercinta. Gimana kabarnya? Udah makan? Udah minum?" tanya Kay sok manis.

"Lo tahu nggak tindakan lo tadi mengundang bahaya?" tanya Raka dingin.

"Gleg."

Siapa itu yang menelan ludah? Kay meringis saat menyadari ternyata pelakunya adalah dia. Kali ini Raka terlihat seram sekali. Apa karena dirinya menyebar bantal lalu menendang ke seluruh rumah sampai membuat Bi Dini encok gara-gara membereskan itu? Atau karena masih memakai piyama di luar rumah lalu dia malu?

"Bahaya kenapa?" tanya Kay kelewat polos.

Aditya dan Cakka menepuk jidat mereka sendiri. Gibran yang sibuk dengan ponsel mengintip sekilas. Hanya Karel yang sibuk dengan makanan. Acuh tak acuh meski sesekali tetap melirik Kay. Sepertinya gadis itu masih menyangka Radius belum mengetahui teror tikus berdarah kemarin.

Baiklah Raka, sepupu cantik itu rada lemot kalau disuruh berpikir. Daripada buang-buang untuk menjelaskan secara detail, lebih baik langsung to the point.

"Alvin dan gengnya bisa aja nyamar jadi supir taksi terus bikin lo celaka. Jangan keluar sendirian apalagi dengan cara kabur kayak gitu. Untung gue turun buat nanya sama bibi, kalo gue nggak tahu lo keluar sampai malam, lo bisa aja tinggal nama!"

"Tapi, itu cuma ada di novel doang, nggak mungkinlah Alvin sampai nyamar begitu."

'Bebal!' begitulah isi pikiran Radius. Mereka mengurut kening karena pusing. Gadis itu benar-benar susah diberitahu. Bagaimana cara mengatakan pada Kay kalau Alvin itu berbahaya?

Raka menggeram sebal. "Ayo, pulang! Gue jelasin semuanya di rumah!"

"Okey, ayo!"

...***...

Ruang keluarga kembali rapi seperti semula. Kedatangan Radius plus Kay disambut ramah oleh Bi Dini. Namun, entah karena tenaganya sudah terkuras habis Kay langsung limbung dan hampir menimpa guci kesayangan mamanya Raka. Untung sepupu gantengnya itu lumayan sigap menahan tubuh mungil gadis itu.

"Tuh, kan! Gue bilang juga apa, Anak Biawak! Kalo gue suruh istirahat ya istirahat, bukannya buat ulah pake acara kabur-kaburan begitu. Punya sepupu sebiji tapi bikin puyeng seumur hidup. Heran, deh, gue!" omel Raka.

"Jiwa emak-emaknya keluar, dah. Pusing ini. Gendongin gue, Rak!" pinta Kay.

"Ya, ini lagi gendong, lo kira dari tadi gue ngapain? Jungkir balik nanem kentang?"

"Berisik, gue mau tidur di kamar ayah sama bunda lagi. Ogah tidur di kamar sendiri, pengap!"

"Heh, lo gimana, sih? Gue udah capek naik tangga masa turun lagi? Lagi sakit aja banyak bacotnya. Untung gue sabar!" ketus Raka.

Terpaksa Raka turun lagi ke lantai dasar sambil tetap menggendong Kay ala bridal style. Sepanjang perjalanan dari atas menuju bawah mulut cowok itu mencong ke kiri dan ke kanan mengomeli Kay sekaligus memberi nasihat. Tidak mirip seperti nasihat, sih, lebih ke seorang emak yang memarahi anak gadis nakal.

"Lo juga banyak bacot, Paijo. Daritadi berisik ngoceh mulu kayak emak-emak belum dikasih uang bulanan. Cepetan dikit napa jalannya gue pusing ini!"

Ting! Nong!

Suara bel rumah yang berbunyi mengundang decak sebal dari dua anak manusia itu. Dengan posisi masih menggendong Kay cowok itu membuka pintu dan terkejut hingga langsung menjatuhkan Kay tanpa sadar. Empat sahabatnya sedang berdiri di depan pintu dengan pose yang sama. Memegang parsel buah plus wajah datar.

"Kampret! Gue kira hantu!" umpat Raka. "Lo pada ngapain ke sini malem-malem? Mana ekspresi wajah pelit banget lagi. Sekalian aja pake mukena biar mirip valak."

Kay masih terduduk di lantai dengan ekspresi melongo. Kenapa ada pujaan hatinya di kala penampilan sedang amat sangat berantakan? Yah, nilai minusnya pasti bertambah lagi di mata Karel. Ia tak mampu berkata-kata sampai lupa kalau dirinya baru saja dijatuhkan oleh sang sepupu.

"Masuk aja kayak rumah sendiri ya, kan?" Cakka berlalu tanpa menggubris Raka, tetapi baru dua langkah berjalan cowok itu cengo lalu terbahak.

"Woi, Nenek Lampir! ngapain lo ngemper di situ? Mau jadi suster ngesot?" ejek Cakka tanpa ampun.

"Wah, sialan emang si Cicak. Cakep begini dibilang nenek lampir, mana dituduh ngemper, tambah lagi dibilang mau jadi suster ngesot. Awas aja ntar nggak bakalan gue kasih minum lo!"

Ia bangun dengan bergantung di tangan Raka. Tanpa tedeng aling-aling Kay menumpuk kepala Raka dan Cakka dengan kedua sendal jepitnya.

"Sembarangan aja lo jatuhin gue ke lantai. Lo juga ngatain gue barusan. Nah, sekarang kalian semua boleh masuk. Jangan lupa tutup pintu!" perintah gadis itu seenaknya.

Kelima cowok itu mengurut dada. Tahan, sabar, dia cewek. Tidak boleh dipukul. Kalau dipukul nanti dosa. Lebih baik masuk terlebih dahulu sebelum diteriaki oleh suara cempreng bak kaleng rombeng milik gadis itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!