11. Cokelat Beracun

Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Kelas XI MIPA 2 terlihat sepi. Koridor pun lengang dari lalu lalang siswa dan siswi. Mereka masih di kantin untuk menunaikan kewajiban mengisi perut setelah dua jam lebih meronta-ronta minta makan.

Hanya ada Kay di sana. Dia sibuk menimang-nimang cokelat di tangan. Ragu antara dimakan atau tidak. Kalau dimakan takut ada sesuatu. Kalau dibuang mubazir. Di sela-sela kebingungan yang hampir membuatnya stress tiba-tiba dua orang cowok masuk ke dalam kelas tanpa suara..

"A ... eh, nggak jadi. Kirain siapa barusan!" gadis itu mendengkus.

Hampir saja Kay berteriak karena mengira itu adalah gengnya Alvin. Cowok itu masih meneror dirinya dengan tulisan bernada ancaman setiap pagi. Namun, pagi ini Kannaka tak melihat apapun di papan tulis. Mungkin Alvin lelah karena harus menulis lalu menebalkan ulang tulisannya hingga terlihat tebal. Padahal Radius diam-diam sudah membereskan dia.

Gadis itu tidak tahu setiap pagi ada orang yang menghapus semua tulisan berwarna merah sampai bersih sebelum kedatangan dirinya. Ia menatap Raka dan Karel sampai mereka mendaratkan bokongnya di kursi.

"Kenapa lo pengen teriak barusan? Kayak ngelihat hantu aja," kata Raka sambil meletakkan kotak makan yang terbuat dari styrofoam.

"Ya emang hantu," ejek Kay.

"Mana ada hantu seganteng gue? Dalam mimpi pun nggak ada apalagi dunia nyata."

"Ada, nih di depan gue!" Kay menunjuk Raka lalu tergelak.

Cowok itu manyun. "Nih, gue beliin bubur ayam. Rencananya mau gue biarin aja lo kelaperan di kelas. Tapi kalo mati nanti gue nggak punya peliharaan lagi."

Gantian bibir gadis itu mencebik karena sebal. "Sadis banget jadi sepupu. Bilang aja lo khawatir sama gue. Gitu aja, kok, repot! Gengsi lo kegedean, Rakanebo. Jangan tinggi-tinggi nanti yang ada malah lo yang mati ketiban gengsi!"

Tangan Kay membuka bungkus cokelat pemberian Reno. Lumayan buat cemilan sambil menunggu buburnya agak dingin. Sepertinya Raka membeli di luar sekolah, kalau di kantin tak mungkin uapnya masih mengepul begini. Ibu kantin sudah memasak sejak subuh, makanya ketika jam istirahat buburnya agak dingin.

Saat cokelat itu hampir masuk ke mulut Kay, Karel menatap seperti ada warna putih kebiru-biruan di beberapa bagian. Memang tidak terlalu jelas di mata orang biasa kecuali memiliki mata setajam dan sejeli Karel. Tanpa mengucapkan sepatah katapun cowok itu merebut cokelatnya dan mengamati dari jarak dekat.

"Kenapa lo ambil, sih? Mulut gue udah mangap tinggal gigit malah lo ambil. Kalau mau minta dulu napa? Asal narik aja!" omel Kay dengan hati yang sedang bergemuruh karena salting.

"Makan, tuh, bubur!" suruh Karel.

Merasa ada yang tidak beres, Raka mendekat. Ia ikut mengamati cokelat itu. Tak mungkin wajah Karel sampai seserius itu kalau hanya untuk mengamati sebatang cokelat.

"Ada apaan, Rel?"

"Racun."

Pyurr!

Kay menyemburkan minuman saat mendengar kata racun. Cokelat seenak dan semahal itu mengandung racun? Tidak mungkin, pasti ada yang berniat menghabisi dirinya dengan cara halus. Tentu saja pelakunya adalah si pemberi cokelat itu, Reno sang ketua kelas. Kenapa cowok itu juga ingin melenyapkan gadis secantik dirinya? Tidak waras.

"Jenis apa?" tanya Raka dengan rahang mengetat menahan amarah.

"Gue kurang tahu. Mungkin campuran sianida dan arsenik. Di rumah gue belum ada penawar untuk perpaduan dua racun ini."

"Lo punya racun dan penawarnya?" tanya Kay takjub.

"Itu salah satu keahlian gue."

Pusing. Kay mengurut kening. Dirinya sudah terlibat dalam dunia ala novel dan tak pernah disangka ada di dunia nyata. Sebenarnya bukan tak ada melainkan Kay yang tak mengetahui adanya garis kekejaman di luar zona nyaman.

...***...

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Kay berjalan santai menghampiri Reno di bangkunya. Cowok itu sedang membereskan buku dan alat tulis untuk dimasukkan ke dalam tas. Begitu menyadari kehadiran Kay, Reno tersenyum kecil. Harus tetap terlihat biasa walau hati berdebar karena takut ketahuan.

"Reno, tadi gue nggak sempat makan cokelat dari lo. Soalnya, pas gue buka nggak sengaja jatuh ke tanah." Wajahnya pura-pura menyesal. "Kucingnya makan cokelat tanpa seizin gue, eh, tiba-tiba dia mati, mungkin itu karma akibat makan punya gue tanpa izin kali, ya?"

Dapat dia lihat wajah cowok itu menegang. Beberapa teman sekelas yang mendengar menatap mereka penuh minat. Terutama pada Reno. Sang ketua kelas terlihat gugup sekali seperti terdakwa korban pembunuhan.

"Iya, nggak apa-apa. Besok gue bisa beliin lagi yang banyak buat lo." '

'Dengan racun yang lebih banyak pula,' sambung Reno dalam hati.

Kay mengangguk dengan wajah menampakkan ekspresi senang. "Iya, beliin yang banyak, ya, Reno! Nanti gue abisin semuanya!"

"Tapi, kenapa kucingnya mati, ya?" pancing Kay.

"Mungkin cokelatnya udah kadaluarsa. Maaf ya, gue janji bakalan lebih hati-hati lagi."

Cowok itu segera pergi dengan langkah tenang setelah pamit pada Kay. Ia berjalan ke arah taman belakang lalu mengedarkan pandangan ke sana. Tak ada kucing mati seperti yang dikatakan oleh Kay. Sial, ternyata dia dibohongi oleh gadis itu.

"Kayaknya lo cukup pintar buat ngehindar dari maut. Gue kira lo cuma bisa berlindung dibalik ketiak Radius. Cewek sialan!" geram Reno sembari tersenyum kecut.

Tanpa disadari dari balik pohon berjarak tiga meter dari tempat Reno berdiri, seorang cowok jangkung berwajah Indo-Belanda menampilkan seringaian mengerikan. Ia bisa saja menghabisi cowok itu sekarang juga, tetapi rasanya bukan dia yang pantas memberi pelajaran dan rasa sakit untuk Reno dan juga siapapun yang melakukan kejahatan pada Kay. Karena~

"Kay yang akan nunjukin arti rasa sakit sebenarnya pada kalian, tunggu tanggal mainnya!" bisik cowok itu pelan.

Awalnya ia ingin beranjak dari situ. Namun, langkahnya urung berayun saat melihat Alvin dan gengnya menghampiri Reno. Wajah mereka terlihat gembira dan penuh harap akan mendengar berita gembira. Karel memasang telinganya baik-baik.

"Gimana? Cewek itu mati nggak?" tanya Alvin.

Reno menggeleng. "Cewek itu ternyata nggak sebodoh yang kita, Al. Kayaknya dia tahu cokelat yang gue kasih beracun. Lo tahu kenapa gue ada di sini?"

"Kenapa?"

"Gue ditipu sama Kay. Dia bilang, cokelat itu nggak sengaja jatuh terus dimakan kucing, abis itu kucingnya mati di sini. Dan pas gue datang, nggak ada tanda-tanda kucing mati atau bekasnya sedikitpun."

Alvin menatap Reno tajam. "Gue pengen dia mati karena udah nolak gue. Dan lo harus bantuin gue, bukannya Kay pernah nolak lo?" Reno mengangguk tanda membenarkan.

Sementara Karel tersenyum tipis dari balik pepohonan. Ternyata ini alasan Kay meminta kembali cokelat itu darinya. Pintar juga gadis itu menyerang balik dengan apik. Ia yakin pasti ada rencana baru lagi.

...***...

Kay dan Raka pulang dengan berjalan kaki. Karel tak diketahui di mana rimbanya, sedangkan mobil Raka sedang berada di bengkel untuk diservis. Sudah lama besi beroda empat itu tidak mendapat perawatan, alhasil mogok saat digunakan. Terpaksa sekarang menyusuri jalan pintas yang sepi demi mempersingkat jarak.

"Raka, ini udah benar nggak jalannya? Udah satu jam kita jalan, tapi nggak ada tanda-tanda mau sampai ke rumah atau minimal gerbang kompleks gitu. Gue udah capek tahu!" gerutu Kay.

"Berisik lo, Anak Biawak. Gue juga capek. Salahin, tuh, mobil kenapa pake acara mogok segala kemaren? Jadinya harus pulang jalan kaki begini."

"Yang salah itu lo, wahai Abdul Raka! Lo beli mobil langsung dari pabrik pake duit, tapi nggak pernah diservis, gimana nggak mogok? Nggak heran sih, lo aja jarang mandi!"

"Nama gue berubah lagi jadi Abdul Raka," keluh cowok itu pasrah.

Tin! Tin!

Suara klakson mobil menghentikan pertengkaran mereka. Saat dilihat ternyata itu adalah mobil milik Karel. Cowok itu menurunkan kaca dan mengode untuk naik ke jok belakang.

Hanya Raka yang antusias karena tak jadi pulang jalan kaki. Sedangkan Kay sedang berusaha keras menormalkan detak jantungnya yang mendadak kencang menggedor dada.

"Kenapa?" maksudnya kenapa tidak menunggu Karel di parkiran.

"Udah. Lo menghilang lama banget. Anak gue kelaperan," jawab Raka.

"Ikut ke rumah gue dulu!" suara itu terdengar seperti perintah.

Tak ada respon yang berarti. Di benak Karel, artinya mereka sudah menyetujui keputusannya. Mungkin bagi Raka sudah terbiasa, tetapi bagi Kay diajak ke rumah calon suami dalam mimpi adalah hal paling luar biasa selama hidupnya.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah. Dari gerbang otomatis yang terbuat dari kayu jati berukiran khas Jepara sampai ke dalam rumah yang bagusnya Subhanallah, Kay tak henti-henti dibuat terpesona. Ternyata Karel tinggal di sebuah kawasan elit.

Bentuk rumahnya bukan semi-eropa atau mediteranian house, tetapi rumah Gadang. Kay pernah membaca di sebuah buku kalau rumah itu adalah rumah adat dari provinsi Sumatera Barat. Halaman rumah tidak dipasangi paving beton atau keramik melainkan ditanami rumput hijau.

Mobil Karel terus bergerak ke belakang rumah. Ternyata garasi ada di belakang. Hebatnya lagi, ada hutan buatan yang luasnya tidak bisa Kay perkirakan. Begitu turun kaki gadis itu seolah menginjak karpet. Ia termangu. Ternyata rumput sintetis

"Rel, gue jatuh cinta di pandangan pertama sama rumah ini!" pekik Kay antusias.

Karel mengulum senyum. Ia masuk diikuti Raka serta gadis yang sedang tersenyum lebar itu. Hatinya berteriak senang karena sebentar lagi akan bertemu calon mertua. Eh, tunggu. Langkah Kay berhenti menaiki undakan tangga karena baru menyadari sesuatu.

"Buset, dah. Gue baru sadar kalo bentar lagi bakalan ketemu calon emak sama bapak mertua. Mana penampilan bulukan begini lagi. Ya Salaam, kata Raka kalo lagi pake seragam gue mirip anak SMP, 'kan? Aduh, gimana kalo ditolak di kesempatan pertama karena dikira bocah nyamar?!" Kay menggigiti kuku karena khawatir.

Ah sudahlah, apa adanya saja. Mau terlihat seperti anak kecil, anak balita atau anak bayi dirinya tetap cantik dan mempesona. Gadis itu mengangguk mantap dan kembali mengayunkan langkah kaki ke tangga keempat. Ada dua pasang sepatu serta sendal wanita di rak. Berarti masuk rumah Karel harus melepas sepatu terlebih dahulu.

"Ini rumah Gadang bagus banget, sih? Gue terpesona banget padahal baru pertama lihatnya. Mana catnya bukan warna warni, di pelitur. Rasanya kayak adem gitu!" gumam Kay sambil melepas sepatu dan kaos kaki.

Ketika masuk dalam, matanya berbinar-binar karena di dalam lebih terasa ademnya. Ada beberapa guci berukuran sedang. Kay tahu guci itu adalah barang import dari China. Lalu ada beberapa lukisan yang menunjukkan aktivitas orang Padang. Tombak berbeda ukuran sengaja di gantung di dinding, mungkin sebagai hiasan juga.

Kay terus menyusuri ruangan demi ruangan dengan langkah pelan. Ia terlalu terpesona hingga dirinya melupakan sesuatu, di mana Karel dan Raka?!

"Mampus, dah. Gue nyasar di rumah calon suami dalam mimpi. Mana rumahnya luas banget. Gue harus ke mana ini?!"

Tiba-tiba ada sesuatu yang memeluk kakinya. Sontak saja tubuh Kay tegang dan mengeluarkan keringat dingin. Ia membenci pikirannya kali ini. Akan tetapi, dirinya tak bisa membantah lagi kalau~

Rumah Karel berhantu!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!