16. Reno Die

Hari Senin kembali menyapa. Kay sudah siap dengan seragam putih abu-abu serta topi sekolahnya. Ia memeriksa semua atribut sekolah sudah lengkap atau belum. Topi, ikat pinggang dan juga sepatu berwarna hitam. Sudah. Semua lengkap.

Ia segera turun ke bawah dengan wajah ditekuk. Semalam Raka menjemput paksa di rumah Karel. Alhasil, sekarang dirinya berada di rumah. Kay berencana tak akan mengeluarkan suara sedikitpun. Ia akan merajuk sehari penuh. Oh tidak, selama berhari-hari sampai Raka kapok untuk memarahinya lagi.

Dari sarapan sampai sekolah mereka benar-benar saling diam. Saat tiba di parkiran pun Kay langsung keluar dan berlari menuju kelas. Gadis itu tak sadar sudah menabrak bahu Kevin hingga pria itu hampir terjungkal ke belakang.

"Gadis itu benar-benar membuatku sebal!" geram Kevin.

Upacara berlangsung dengan khidmat. Pembina upacara hari ini kebetulan adalah si guru psikopat, yakni Kevin. Kay sampai misuh-misuh sendiri karena menurutnya Kevin berbicara terlalu lama. Memangnya apa yang dia sampaikan? Cara membunuh orang?

"Sstt, Kay! Diem dulu jangan gerak-gerak. Pak Kevin kayaknya melototin lo terus dari tadi!" bisik Winda.

"Biarin!"

Saat tak sengaja melirik Kevin, memang benar pria itu sedang menatap dirinya dengan tajam seperti elang mengintai mangsa dari kejauhan. Sebenarnya, Kay sedikit merasa ngeri juga. Kalau pria itu tiba-tiba mengeluarkan pistol lalu menembak dirinya bisa mati muda tanpa persiapan apapun.

Hei, bukan tidak mungkin Kevin memiliki senjata api. Racun saja sudah beredar luas di antara kalangan orang yang tak menyukainya. Terutama Reno. Eh, apa mayat cowok itu sudah ditemukan?

"Hari ini, bapak akan mengumumkan sebuah kabar duka. Salah satu anak didik paling cerdas dan berwibawa ditemukan sudah meregang nyawa dengan kondisi tubuh menghitam seperti keracunan. Pak satpam menemukannya dekat dengan toilet khusus siswa perempuan. Sekarang, almarhum sudah dibawa ke kediamannya. Mari, sama-sama kita kirimkan seuntai doa menurut keyakinan masing-masing untuk teman kita, Reno Andara."

'Baru ditemukan sekarang? Lama amat. Gue yakin pasti udah dibawa dari kemaren! Reno, maaf gue harus bikin lo mati. Itu kesalahan lo sendiri yang mau lenyapin gue!' batin Kay sambil ikut menunduk.

Dari barisan kelas tiga, Alvin menatap Kay dengan tatapan membunuh. Ia yakin gadis itulah penyebab Reno meninggal. Kalau saja tidak Radius yang memproteksi Kay pasti sekarang kepala berambut panjang itu sudah menjadi salah satu koleksi di gudang rumahnya.

Ia juga menyesali kebodohan Reno yang mampu diperdaya oleh Kay. Masa melenyapkan seorang gadis lemah saja tidak bisa? Ia akan meminta Kevin untuk segera menuntaskan hasrat membunuh mereka berdua. Karena Kay memang pantas untuk mati.

"Tunggu aja kematian lo, Cewek Sialan!" desis Alvin tajam.

🕊🕊🕊

"Kasihan Reno, padahal dia ketua kelas terbaik yang pernah ada di SMA ini. Gue jadi sedih," ujar Winda sembari berjalan beriringan dengan Kay.

'Ngapain dikasihani segala? Dia mati karena ulah sendiri. Bukan dibunuh orang!' cibir Kay dalam hati.

Mereka berjalan menuju kantin karena jam kosong sampai istirahat. Guru-guru akan pergi melayat ke rumah Reno. Beberapa perwakilan siswa dari anggota osis ikut serta. Namun, di tengah perjalanan Kay melihat Kevin seperti sedang menunggu mereka.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Winda.

"Pagi. Sayang sekali, ya? Reno harus meninggal dengan kondisi yang menyedihkan. Seharusnya, siswa berbakat seperti dia memiliki umur panjang," ucap Kevin sembari tersenyum sedih, tepatnya pura-pura sedih.

Kay memutar bola mata sebal. Pemeran drama terbaik tahun ini harus jatuh pada Kevin. Pria itu memainkan peran dengan sempurna. Hampir tanpa cacat sedikitpun.

"Saya dengar, dia pernah menyatakan cintanya pada kamu. Apa sekarang kamu menyesal?" pertanyaan itu ditujukan pada Kay.

"Menyesal? Sebenarnya, nggak ada kata menyesal dalam hidup saya. Kalo udah kejadian, ya berarti itu emang udah seharusnya terjadi. Tapi, saya setuju dengan pendapat anda. Dia meninggal dalam kondisi menyedihkan. Sayang sekali," wajah gadis itu terlihat amat menyebalkan di mata Kevin.

"Apa alasan kamu menolak dia?"

"Masa bapak kepo sama alasan saya nolak Reno? Emang bapak siapanya? Ayah? Paman? Kakak? Atau boss?"

"Saya hanya bertanya."

Winda menatap Kay dan pria itu secara bergantian. Setiap bertemu, dua orang ini selalu saja bertingkah aneh. Seperti saling mengancam melalui kata-kata dan sorotan mata. Atau mungkinkah dirinya sedang berhalusinasi? Dengan gerakan santai Kay mencepol rambut panjangnya sembari tersenyum manis pada Kevin. Senyum yang mengatakan, gadis Demian Holscher tak akan pernah kalah oleh otot besi mereka.

"Kami akan pergi ke kantin. Apa bapak ingin ke sana juga? Mungkin kita bisa pergi bersama," tawar Kay.

"Ah, terima kasih tawarannya. Saya akan ikut dengan para guru untuk melayat ke rumah Reno."

Gadis itu tersenyum kecil. "Tentu saja bapak harus ke sana. Dia anak didik bapak, 'kan? Hati-hati di jalan, Pak. Kami permisi,"

Kalimat Kay barusan seolah menyindir Kevin. Reno adalah sekutunya dalam melenyapkan Kay. Pria itu tertawa kecil. "Ternyata, otak kamu memang secerdas ayah dan ibumu, Kay Demian Holscher! Sehebat apapun mereka menyembunyikan jejak keturunan dengan menghapus nama marga, tentu saja saya tetap bisa mengendus baunya. Dendam adalah utang dan utang harus dibayar!" ucap Kevin.

Ia dan Alvin mengincar darah serta kepala Kay bukan semata-mata karena cinta sang adik ditolak oleh Kay. Namun, ada dendam masa lalu yang harus dituntaskan. Pernyataan cinta hanyalah pancingan belaka agar mereka lebih mudah menggenggam nyawa gadis itu.

"Sayangnya, Kay begitu lihai berkelit dari maut seperti seekor burung kecil yang lolos dari cengkeraman harimau!"

...***...

Sebuah mobil sport hitam memasuki pelataran sekolah elit dan berhenti di parkiran khusus para petinggi. Sedetik kemudian, seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan turun dari mobil dengan gaya santai meski sedang ditatap oleh ratusan pasang mata. Ia segera berjalan menuju ruang kepala sekolah dan duduk tanpa dipersilahkan.

"Wah, saya cukup terkejut dengan kedatangan pemilik yayasan Holscher. Eh, maksud saya pengelola sementara yayasan tempat saya bernaung sekarang ini," ujar Antonio, kepala sekolah.

Wanita itu melepas tawa angkuh hingga terdengar ke seluruh ruangan. "Mulutmu pedas juga meskipun tidak pakai boncabe. Bagaimana kondisi sekolah ini, Antonio? Sudah cukup lama aku mengabaikan bangunan kesayangan kakakku ini."

'Sampai-sampai penyusup berkeliaran bebas seperti di rumah sendiri saja!'

"Tentu saja semua masih dibawah kendali, Jessie. Kau tenang saja," jawab Antonio dengan wajah santai.

Jessie bangkit dan mengambil laptop milik pria itu di atas meja. Ia mengutak-atik sebentar lalu mendengar suara Kay sedang bercanda dengan temannya. Wanita itu tertawa lebar. Pria di depannya memang penuh dengan kejutan.

"Kau sangat perhatian pada keponakan semata wayangku itu sampai memasang penyadap di tubuhnya. Uh, jadi terharu!" sindir Jessie sembari menghapus penyambung suara dengan penyadap di tubuh Kay.

Antonio terkejut. Wajahnya mendadak pucat. Ia lupa seluruh perempuan Holscher dikaruniai otak cerdas dan jenius. Dasar bodoh!

"Kuharap kau tidak lupa keponakanku tidak bisa berkelahi, Antonio. Sudah menjadi tradisi keluarga Holscher kalau perempuan dilarang belajar ilmu bela diri. Jaga dia baik-baik dan tutup kasus kematian salah satu murid di sini. Dia mati karena kebodohannya sendiri!" tegas Jessie sambil keluar dari ruangan itu.

Namun, baru saja kakinya mendekati pintu lehernya terasa disentuh oleh benda tajam dan dingin. Ia tahu itu adalah belati. Jessie menghela napas. Ketika kedok sudah terbuka, sekarang pria itu hendak membunuhnya.

Baiklah. Jessie memang tak bisa berkelahi, tetapi dia bisa membuat Antonio kehilangan kesempatan untuk memiliki keturunan. Dengan cepat wanita itu berputar dan menendang ************ Antonio sekuat tenaga. Sontak saja pria itu tersungkur ke lantai dengan wajah memerah.

"Sakit, ya? Semoga kau masih bisa menikah dan punya anak, Antonio!" seru Jessie sambil tertawa geli.

...***...

Radius menatap Kay dari kejauhan. Gadis itu terlihat sesekali menimpali candaan Winda. Namun, wajah cemberutnya masih terlihat jelas. Geng terkenal seantero Bandung itu tersenyum geli. Rupanya, Kay benar-benar marah kali ini.

Kalau dihampiri, pasti gadis itu akan pergi seperti cerita Raka tadi pagi. Mungkin memang sebaiknya dibiarkan dulu sampai rasa marahnya reda. Lagipula penjagaan akan tetap dilakukan selama Kay masih berada di lingkungan sekolah. Kay masih aman.

"Eh, gue masih nggak percaya sama kematian si Reno. Kayak ada yang aneh gitu," ujar Cakka sembari bercermin.

"Aneh gimana? Wajar aja, sih. Udah takdirnya!" sanggah Aditya diangguki oleh Abdul, Kafka dan Deva.

"Kalo ngomongin masalah takdir sih, gue nggak bakalan ngebantah. Semua kejadian kan, emang sesuai takdir!" Cakka meletakkan cermin dan menyedot es jeruknya.

Raka dan Karel memilih mendengarkan saja. Dua orang itu sedang malas mengeluarkan suara. Biarkan saja mereka beropini sesuka hati. Asal Kay tidak lepas dari pandangan mata. Gibran sendiri asyik dengan layar tablet yang menampilkan suasana kelas Kay. Tak ada orang di sana.

Ia sudah memasang CCTV yang dipesan dari Jepang bersama yang lain saat Karel diminta untuk menjemput Kay. Pelaku teror itu sudah ditemukan yaitu Reno sendiri. Akan tetapi, setidaknya apabila ada masalah baru semua sudah dibawah kendali layar tabletnya.

"Masa Reno mati keracunan, yang benar aja? Deket sama toilet cewek lagi. Lo nggak akan bilang dia mati karena azab ngintipin cewek-cewek pipis, 'kan?" mereka tertawa kecil mendengar pernyataan Cakka.

"Si cicak ngomongnya asal jeplak aja lo. Kata nenek gue, nggak baik ngomongin orang yang udah nggak ada!"

"Lo juga dari tadi nyahutin gue ngomong, Badron!" Cakka memiting leher Aditya.

Kafka dan Deva saling berpandangan lalu tertawa karena melihat tingkah dua orang yang sering bertengkar itu. Tiba-tiba saja, Abdul bangkit dan pergi tanpa sepatah kata. Semua menatap heran.

"Tapi, gue serius. Si Reno kan, mau ngeracunin Kay pake cokelat. Masa dia makan sendiri cokelatnya karena frustasi akibat gagal ngebunuh tuh anak biawak. Nggak mungkin!" Cakka kembali mengeluarkan opininya.

"Abdul kenapa?" tanya Raka pada Deva, cowok itu mengangkat bahu.

Karel tiba-tiba sadar akan sesuatu. "Kay!" serunya.

Semua penghuni meja keramat menatap heran. Karel kerasukan apa bagaimana? Tiba-tiba menyebut nama Kay tanpa sebab. Namun, beberapa saat kemudian seolah saling bertelepati mereka mengangguk paham. Semua ada kaitan dengan Kay.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!