Hari ini terlihat ada perbedaan menakjubkan di Tunas Bangsa. Saking fantastisnya, siswa siswi sekolah elit itu menatap tak percaya pada pemandangan yang mereka dapati di pagi hari Selasa dengan langit cerah tanpa noda.
Mata-mata dengan lensa berbeda menatap takjub ke arah koridor sekolah. Mulut seolah hendak jatuh bila tak segera ditutup.
Bukan, bukan sedang ada iring-iringan karnaval atau artis nyasar. Akan tetapi, lebih daripada itu. Kay sedang dikawal oleh Radius.
Karel berjalan di depan, Raka dan Aditya ada di samping kiri dan kanan serta Gibran dan Cakka di belakang. Pemandangan pertama Radius mengawal seorang gadis dengan begitu ketat.
"Kak Kay kenapa, ya?"
"Tumben pakai sweater? Sakit apa gimana ini?"
"Kak Kay."
"Cepet sembuh ya, Kak!"
Suara-suara itu terdengar bersahutan menyapa gendang telinga enam orang yang sedang berjalan beriringan. Cakka dan Aditya masih sempat-sempatnya tebar pesona.
Sementara Kay sendiri sedang bingung harus bersikap seperti apa. Jujur saja dia ketakutan, tapi tak enak juga jika dikawal seperti ini. Dirinya memang butuh perlindungan, tapi para gadis itu seolah siap menelan Kay hidup-hidup.
"Kay, gue tinggal dulu ke kelas. Jangan kelayapan kemana-mana sebelum gue jemput, oke? Jangan menggambar juga! Istirahat nanti gue bawain makanan ke sini," ujar Raka sembari mengacak-acak rambut Kay pelan. "Hari ini lo harus jadi manusia. Jangan kayak biawak suka keluyuran ke mana-mana."
Gadis itu hanya mengangguk. Dia mencuri pandang ke arah Karel lalu masuk ke dalam kelas. Sejak kemarin bibirnya seolah terjahit rapat.
Ia mengalami kesulitan mengeluarkan suara meskipun hanya untuk sekedar mengiyakan perkataan Raka. Tersenyum saja sulit.
Di pintu kelas, Radius menatap gadis itu dengan perasaan yang berbeda-beda, tapi tetap satu sepemikiran. Hah, seperti semboyan bhinneka tunggal ika saja.
Mereka kehilangan senyum ceria Kay gara-gara psikopat gila Alvin. Bagaimanapun caranya, cowok itu pasti akan mencari celah seketat apapun penjagaan Radius terhadap Kay.
Gadis itu harus menjadi lebih tegar dari ini agar bisa melindungi dirinya sendiri saat terjepit. Bukan mendoakan yang tidak-tidak. Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Seketat apapun penjagaan pasti akan kecolongan.
"Masuk," kata Karel.
Mereka mengangguk lalu segera naik ke lantai tiga. Tak banyak bicara, tetapi hati sedang menumpahkan banyak kata. Ketika sampai di kelas yang ternyata sepi, barulah mereka mulai menyerukan kekesalan yang dipendam di depan Kay.
"Gue nggak tega lihat Kay kayak gitu. Nggak apa-apa deh, suara cempreng dia nusuk-nusuk telinga gue tiap nyamperin si Raka. Asal jangan diam kayak boneka hidup begitu," keluh Gibran.
"Tahu, gue udah terbiasa sama ketengilan dia masa sekarang tiba-tiba hilang gitu aja. Sekarang nggak apa-apa juga sekalipun rambut gue jadi mainan Kay," sahut Cakka sembari bercermin. "Cakka, Cakka. Ganteng banget sih, lo!"
"Gue apalagi, tiap ke kantin pasti makanan sama minuman gue dicomot sama dia. Ikhlas nggak ikhlas rasanya pengen aja dia kayak gitu tiap hari. Bukan kayak begini!" seru Aditya.
"Kay itu polos. Sekalipun tengil otaknya bego alias nggak ngerti apa-apa. Gue bilang juga apa harusnya si Kay tuh di rumah aja. Nggak usah sok-sok sekolah segala. Meskipun apa adanya tingkah Kay selalu mengundang perhatian. Hadehh, anak gue sekarang jadi sasaran si Alvin!" Raka mengacak-acak rambut frustasi.
Radius mengungkapkan isi hati mereka satu persatu. Hanya Karel yang diam. Cowok berdarah Belanda ini memang tak banyak bicara. Dia lebih suka menyusun rencana dalam diam bila ada masalah.
Sementara di kelas Kay, ketua kelas sedang berbicara dengan gadis itu. Berulang kali Reno terlihat mendesak Kannaka untuk berbicara.
Namun, gadis itu lagi-lagi hanya diam. Suasana kelas begitu hening, mereka tak bersuara sedikitpun karena sedang menunggu jawaban dari Kay. Jawaban apa?
"Kay, gue mohon!" desak Reno.
Kay terlihat menunduk sembari meremas kedua tangan yang saling bertautan. Dia tak suka dipaksa, tetapi Kay sedang malas bersuara. Semoga Tuhan menyelamatkannya lagi.
"Reno, apa yang sedang kamu lakukan? Duduk!"
Kay mendongak pelan. Akhirnya guru masuk juga. Setidaknya, Kay selamat dari paksaan Reno. Raka tak pernah memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu. Jadi, orang lain pun tak berhak melakukan itu.
...***...
Bel istirahat sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Sesuai instruksi Raka, gadis berambut lurus hitam sebahu itu duduk di kelas menunggu sang sepupu tercinta membawakan makanan. Awalnya Kay hanya sendiri, tetapi kemudian Reno masuk dan menghampiri dirinya.
"Kay, tolong percaya sama gue. Gue nggak akan pernah nyakitin lo, yang ada gue bakalan selalu bikin lo bahagia selama tetap ada di samping gue. Lo mau jadi pacar gue?" tanya Reno penuh harap.
Cowok itu ganteng, pintar dan terlihat berwibawa dengan kacamata yang membingkai netra hitam legamnya. Kay dan Reno semenjak SMP sudah saling mengenal.
Akan tetapi, Raka selalu memproteksi sepupu semata wayangnya agar tak dekat dengan cowok manapun yang berpotensi menyakiti hatinya.
"Please, do you wanna be my girlfriend? I'll promise I never hurt you. I'll make you being happy anytime. Please!"
Kany tak berani menatap Reno yang sedang memohon padanya. Ia tak bisa menerima cinta dari teman sekelasnya itu. Kay sedang memupuk rasa cintanya untuk Karel.
Dia hanya mau pacaran dengan Karel. Bukan dengan yang lain. Lagipula, siapa saja bisa bertindak nekat sama seperti Alvin. Kay tidak mau dibunuh.
Saat ingin mendekati gadis itu, leher Reno terasa tercekik. Ia menoleh ke belakang lalu terkejut bukan main saat melihat Karel sedang menarik kerah bajunya.
Pemimpin Radius itu hanya sendiri. Tidak ada anggota yang lain. Meski Karel benci dibilang ketua, tetap saja auranya selalu mendominasi.
"Mau ngapain?" tanya Karel.
"Ng-nggak. Gu-gue cuma mau-"
"Mau apa?"
Mampus, masa Reno menjawab kalau dirinya mau memeluk Kay di depan pemimpin geng mematikan ini? Kalau Karel mengatakan hal tersebut pada Raka, sepupu Kay yang temperamental itu pasti akan menghajar dirinya sampai mati.
Tanpa banyak berbicara lagi, Reno segera pergi dari situ. Nyawanya harus diselamatkan terlebih dahulu masalah cinta bisa nanti saja. Untuk apa punya pacar sedangkan diri sendiri sudah tenang di alam sana? Itu bukanlah lelucon yang bagus.
"Menunggu Raka?"
Kay terkejut. Dia segera membuang muka ke arah lain. Sejak kapan Karel duduk di kursi sebelahnya? Percayalah, ada salah satu organ sedang dangdutan di dalam sana. Kalau saja Kay adalah cewek agresif, pasti sudah nyosor duluan.
"Kok diam? Gue lagi ngomong sama orang. Bukan sama tembok."
"Iya."
Karel mengulum senyum. Akhirnya suara gadis itu keluar juga. Tak sia-sia dirinya melunturkan gengsi sedikit saja ketika Raka memaksanya menemui Kay.
Kenapa harus dia? Bukannya ada tiga orang lagi yang bisa menemui gadis unik ini. Lalu, kenapa juga Karel mau disuruh-suruh? Pasti ada yang tidak beres dengan dirinya.
"Raka lagi antri beliin bubur ayam buat lo."
"Eh, beneran? Dia beli nutrisari nggak?"
"Kayaknya."
"Awas aja kalo nggak beli, masa gue makan tapi nggak minum. Nanti kalo keselek terus mati mud-"
Ucapan gadis itu terhenti. Dia kembali teringat pada kejadian kemarin saat Alvin hampir mendorongnya ke bawah. Wajah Kay kembali pucat.
Namun, sebuah tangan menepuk-nepuk kepalanya hingga gadis mungil ini berangsur tenang. Dia kira itu Raka. Ternyata Karel. Ah, Kay lupa mereka hanya berdua di sini.
Eh, Karel?!
"Jangan inget lagi."
"Jangan nepuk-nepuk kepala gue!" sentak Kay dengan pipi memerah.
"Kenapa?" tanya Karel bingung sembari menarik tangan kembali.
"Lo nggak boleh nepuk-nepuk kepala gue!"
"Kenapa?"
"Ish, pokoknya nggak boleh. Lo itu cowok!" yang gue suka, lanjut Kay dalam hati.
"Tapi Raka boleh."
Aduh, kenapa kata-kata Karel menggemaskan sekali? Kay jadi tak sabar ingin mencubit pipi calon suaminya itu. Iya, calon suami dalam mimpi.
Ia segera berbalik badan untuk membunyikan semburat rona merah di pipi. Bahaya kalau Karel melihat lalu bertanya kenapa. Cowok itu polos-polos ngeselin.
"Kenapa balik badan?"
"KAREL JANGAN TANYA KENAPA MELULU, IH!"
...***...
Raka menjinjing tas sekolah dengan merk terkenal, benda yang seharusnya dikenakan di punggung bukan di tangan. Dia sedang menuju kelas Alvin dan teman-temannya.
Meskipun Karel melarangnya memberi sedikit perhitungan pada cowok sok jagoan itu, setidaknya Raka akan memberi peringatan.
"Alvin, keluar lo!" serunya sambil menatap tajam si pemilik nama.
Seisi kelas langsung diam tak bersuara saat melihat salah satu pentolan sekolah menatap Alvin dengan tatapan tak bersahabat.
Air mukanya menunjukkan Raka sedang menahan emosi. Matanya semakin buas ketika Alvin berjalan santai keluar kelas seolah tidak bersalah.
"Ada ap-"
Bugh!
Cowok berwajah oriental itu langsung tersungkur ketika sebuah tonjokan keramat Raka mendarat di perutnya. Bukan main sakitnya. Alvin pernah berkelahi dengan banyak orang selama bersekolah, tetapi dirinya belum pernah merasakan hal sesakit ini.
Ternyata inilah kekuatan anggota Radius yang sebenarnya. Mungkin baru separuh. Ia telah salah memilih lawan. Akan tetapi, dendamnya harus dituntaskan.
Raka berjongkok di depan wajah Alvin. Ia mencengkeram wajah cowok biadab yang hampir saja membunuh sepupu tercintanya.
"Gue ke sini cuma buat ngasih peringatan sama lo. Jangan pernah main-main sama Kay apalagi nyoba buat bunuh dia. Lo tahu? Ini cuma sebagai salam kenal tubuh antar tubuh. Kalau lo berani berbuat lebih sama Kay, lo bakalan bisa ngeliat serpihan daging lo sendiri alias mati secara mengenaskan. Lo akan mati tanpa jasad, paham?!" Raka menepuk pipi Alvin lalu pergi dari situ.
Kepergian salah satu anggota Radius hanya mampu ditatap nanar oleh Alvin. Ia memanggil teman-temannya untuk membantunya berdiri. Begitu saja sudah cukup.
Meskipun Raka yakin kalau cowok itu tak akan tinggal diam, setidaknya dirinya sudah memberi gambaran seperti apa resiko yang diterima Alvin apabila kembali berulah. Mati tanpa jasad.
Dari kejauhan, matanya melihat Kay sedang menjambak rambut kesayangan Cakka. Bibir Raka tertarik membentuk senyum lebar, berkat Karel akhirnya Kay kembali seperti biasa.
Tak akan ditolak kalau suatu saat nanti Karel berkata menyukai Kay. Bersama Karel, sepupunya akan aman.
"Raka! Cicak ngeselin banget, masa dia ngambil coklat yang dikasih sama om? Itu coklat kesukaan gue, tapi dia makan sampai habis!" adu Kay sambil tetap menjambak rambut Cakka.
"Heh, Nenek Lampir! Gue juga suka kali! Lagian lo pelit amat jadi orang. Nanti pas bapaknya Raka pulang dari rumah tetangga pasti dibeliin lagi! Lepasin dulu, oy, kepala gue mau copot ini!" Cakka misuh-misuh sendiri.
"Coklat itu belinya di Swiss, wahai Cicak! Bukan di rumah tetangga. Astaghfirullah, gue telan juga lo lama-lama."
"Lepasin nggak?!"
"NGGAK!"
"Ebuset, galakan dia daripada gue," gumam Cakka pasrah.
"Salah lo sendiri ngapain abisin makanan gue!"
Radius dan siswa lain tertawa melihat penderitaan Cakka. Halaman sekolah memang sedang ramai karena bel pulang sudah berbunyi.
Mereka rela berhenti sejenak demi melihat ketidakberdayaan Cakka di tangan Kay. Sebagian lagi merasa iri. Rasanya ingin bertukar posisi dengannya agar bisa dekat-dekat dan merasakan kehangatan Radius.
"Wah, ada Bang Nawuto!" tunjuk Cakka ke langit, ia berusaha mengecoh perhatian Kay.
Berhasil!
Kay melepaskan tangan dari rambut Cakka, dia menatap antusias ke langit biru. Namun, mana Nawutonya? Yang ada hanyalah Rajawali sedang mengepak santai menunggangi udara panas.
Masa tokoh kartun dari negeri Sakura itu berubah jadi Rajawali? Kay melihat tubuh Cakka yang sudah menjauh dengan tatapan penuh nafsu menganiaya.
"WOI, CAKKA! BERHENTI LO! AWAS AJA, BAKALAN GUE KEJAR SEKALIPUN LARI KE NEGERI ABANG NAWUTO!" teriak Kay sembari mengejar Cakka yang berhasil melepaskan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments