Sang Pemimpi Menghalalkan Segala Cara

Sang Pemimpi Menghalalkan Segala Cara

Kabur Dari Rumah

Isakan tangis terdengar kala senja menyapa. Wajah cantik dan tubuh yang cukup ideal tampak berbaring di atas tempat tidunya. Tubuhnya gemetar usai menahan sakit yang ia dapatkan dari pukulan sang ayah. Tak mampu lagi berkata apa pun, Melisa hanya bisa menangis di dalam kamarnya. Di sisinya bahkan ada sang ibu yang duduk mengusap lengannya yang memerah. Keduanya sama-sama menangis saat ini. Baru saja terjadi pertengkaran hebat antara ayah, anak, dan ibu. Melisa yang mendapatkan serangan dari sang ayah tentu saja membuat ibunya tidak bisa tinggal diam.

Ia melindungi sang anak hingga terjadilah keduanya mendapatkan pukulan dari sang ayah.

"Melisa, sini ibu obati tanganmu, Nak." ujar sang ibu yang menarik pelan lengan sang anak.

Melisa menggelengkan kepala. "Tidak, bu. Ini tidak sakit sama sekali." tuturnya.

Yang lebih menyakitkan bagi Melisa adalah hatinya. Impiannya yang sedari kecil ingin menjadi seorang arsitek harus kandas akibat keputusan sang ayah yang sangat tidak masuk akal.  Yah, Ayah Melisa memiliki keyakinan tersendiri untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya perempuan ke jenjang lebih tinggi. Ia ingin anaknya berbisnis lebih cepat tanpa mengeluarkan biaya banyak.

"Kamu yakin ingin sekolah di kota?" pertanyaan dari sang ibu membuat tangis Melisa terhenti. Ia begitu gigih untuk keluar dari zona tak nyaman itu. Ia ingin berjuang di kota mewujudkan impiannya.

Sontak Melisa pun menganggukkan kepala. "Aku yakin, Bu. Aku harus lanjut SMA dan kedepannya aku akan kuliah, Bu. Aku janji akan sungguh-sungguh sekolah. Tidak apa-apa jika ibu dan ayah tidak memberi uang, Melisa akan bekerja sepulang sekolah." ujarnya dudu di hadapan sang ibu.

Weni, sebagai istri dari pria yang sangat keras kepala itu sangat tahu bagaimana keputusan sang suami jika sudah berkeras maka tidak ada yang bisa mengubah keputusannya. Lama ia terdiam memikirkan berbagai kemungkinan hingga akhirnya Weni bersuara seraya menggenggam tangan sang anak.

"Pergilah dari rumah malam ini, Mel. Lari dari ayahmu. Jangan sampai dia melihat kamu lagi. Ibu akan hubungi pamanmu untuk menjemput kamu di pertengahan kota nanti. Tapi kamu harus cari tumpangan sendiri untuk ke sana. Kalau ibu keluar, ayahmu bisa curiga, Nak. Kamu bisa di kurung di rumah ini." Weni meneteskan air mata saat mengatakan hal itu.

Ia sungguh tidak tega melihat anaknya seperti ini. Namun, sebagai wanita yang tidak tahu apa-apa hanya menggantungkan hidup dengan sang suami membuat Weni tak bisa membantu anaknya. Ia tidak ingin membuat Melisa justru semakin di sakiti sang suami.

Melisa menangis terisak pilu memeluk sang ibu. Tak pernah terbayangkan jika jalan hidupnya sesedih ini. Malam ini pun ia bersiap mengemasi pakaian yang sekiranya sangat di butuhkan nantinya.

"Bawa pakaian penting saja, nak. Ibu akan kirimkan nanti semuanya." ujar Weni sebelum akhirnya ia keluar untuk mengambil uang yang ia punya. Kemudian wanita itu datang dan menyerahkan uang pada sang anak.

Melisa bergegas bersiap hingga menunggu waktu jam sepuluh malam. Dimana sang ayah akan keluar untuk memeriksa toko sang kakak dan salon kakak Melisa.

Yah kedua kakak Melisa adalah seorang gadis. Dan mereka semua hanya lulusan sekolah SMP di desa itu. Tak ada yang boleh meneruskan ke jenjang SMA. Sama seperti tuntutannya pada Melisa. Sepanjang bersiap, Melisa masih saja meneteskan air matanya. Bayangan akan sehari-hari ia sering membawakan makan siang sang ayah di bengkel, menyuapi sang ayah ketika tangan pria paruh baya itu kotor. Membuatkan kopi di bengkel.

Semuanya begitu indah ia bayangkan saat ini. Sakit sekali merasakan untuk pertama kalinya sang ayah begitu tega memukul tubuhnya demi meminta untuk tidak melanjutkan sekolah.

"Melisa sayang ayah." ujarnya.

Hingga jarum jam pun bergerak dimana sudah saatnya Melisa harus menarik kopernya keluar dari rumah. Tak perduli bagaimana gelapnya malam di desa itu. Yang utama adalah ia keluar dari desa dan mencari tumpangan untuk menuju ke pertengahan kota. Berbekal ponsel sederhana yang akan ia gunakan untuk bertemu keluarga.

Weni di kamarnya terus menangis mendoakan sang anak yang dalam perjalanan bertaruh nyawa saat ini. Sungguh rasanya ia begitu merutuki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin sebagai ibu ia sangat tak berguna untuk anaknya.

"Melisa, maafkan ibu. Maafkan ibu, Nak." ujarnya menangis memeluk bantal guling.

Jika di katakan orang Weni adalah istri yang bodoh. Yah mungkin begitulah tepatnya. Tak memiliki pergaulan dengan siapa pun membuatnya sangat patuh pada sang suami. Ia hanya anak yang berasal dari keluarga keras juga. Kehidupan Weni begitu di kekang oleh ayahnya dan ibunya hingga ia di nikahi oleh Fery dan ternyata kehidupannya tak berubah sama sekali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!