Mengurus Sekolah

Keesokan harinya tibalah Melisa di kota yang tidak begitu besar, namun dalam segi pendidikan memang sangat cukup maju di bandingkan dengan keadaan di desa. Haidar dan sang istri turut mengantar Melisa ke sebuah sekolah SMA di mana menyediakan fasilitas asrama. Tampak ketiganya di sambut dengan pengurus asrama tersebut.  Beberapa teman yang baru bergabung juga antusias menyambut Melisa.

"Melisa namanya? Nama yang bagus. Ayo mari saya antar ke ruangan pendaftaran. Semua berkas ada di bawa kan, Pak Haidar?" tanya seorang wanita yang juga merupakan staf di sekolah itu.

Kebetulan Haidar sang paman juga memiliki kenalan baik di sana. Berkat sang paman Melisa mendapatkan bantuan yang begitu mudah. Dan saat penyerahan berkas pun ia tidak memiliki kesulitan. Semua sudah lengkap di bawa Melisa.

"Nilai Melisa sudah begitu bagus. Dan prestasinya juga luar biasa. Jadi sesuai dengan ketetapan sekolah di sini jika Melisa tidak perlu mengikuti tes untuk masuk sekolah." Haidar dan sang istri begitu senang mendengar kabar baik ini. Begitu pula dengan Melisa yang sangat bahagia.

Ia sampai mengucapkan terimakasih berkali-kali pada sang paman dan tante atas bantuannya.

"Kamu tidak perlu berterima kasih seperti itu, Mel. Ini sudah tugas kami. Sekarang ayo kita jalan-jalan dulu..." Ina mengajak Melisa untuk keluar setelah mereka mengurus segala keperluan di sekolah dan asrama itu. Melisa mengerutkan kening mendengar ucapan sang tante.

"Jalan-jalan? tidak usah, Tante." ujar Melisa menolak secara halus.

Bagaimana mungkin ia menerima ajakan untuk  jalan-jalan sedangkan sampai detik ini rasanya Melisa merasa sangat bersalah dengan sang ibu. Di sana ia tidak tahu apa yang terjadi saat ini pada ibunya. Ingin menghubungi Melisa sangat takut. Takut jika sang ayah tahu akan menjadi masalah yang lebih besar lagi.

"Bukan jalan-jalan untuk yang lain. Kita akan beli kebutuhan sekolah kamu dan lainnya. Ayo tidak boleh menolak." titah Ina menarik lembut tangan sang keponakan.

Namun, lagi-lagi Melisa justru menolak. Ia menahan langkah kakinya saat itu juga. "Tante...Semua sudah Melisa bawa. Seragam sekolah ada buku-buku juga masih ada. Semua sudah Melisa persiapkan." tuturnya kekeuh.

Sebab Melisa malu jika sampai keluar bahkan ia hanya membawa uang sedikit dari sang ibu. Dan itu tentu saja akan ia pergunakan untuk hal yang sangat mendesak.

"Rejeki tidak boleh di tolak. Tantemu yang akan membelikan. Ayo."Haidar yang sangat tahu beban di pikiran Melisa saat ini sontak bersuara dan mereka pun segera pergi saat itu juga.

Hari itu Haidar dan sang istri membawa Melisa berbelanja. Mereka bahkan memperlakukan Melisa sudah seperti anak mereka sendi. Segala seragam Ina cocokkan dengan tubuh Melisa. Ia juga membelikan semua kebutuhan makan untuk Melisa. Hingga teringat dengan sang kakak, Haidar pun memotret Melisa bersama istrinya dan ia kirim pada Weni.

Sungguh semakin menetes air mata wanita paruh baya itu melihat anaknya bersama orang yang tepat saat ini. Segera ia pun mengetikkan balasan pesan atas gambar yang ia terima barusan.

"Dar, kakak hutang dulu yah? Nanti kakak akan cicil semua pengeluaran Melisa hari ini. Kakak janji. Sekarang uang kakak belum ada buat bekal Melisa kemarin." Pesan terkirim dan Weni terisak pilu. Rasanya ia begitu tak berguna  untuk sang anak.

Bukannya menjawab iya, Haidar justru menggelengkan kepalanya. Ia acuh dengan pesan sang kakak sebab menurutnya itu bukanlah hal yang ia harapkan. Satu hari pun berlalu begitu cepat, kini sudah saatnya mereka harus berpisah. Haidar meninggalkan Melisa di asrama dengan perasaan tak tega. Ia beberapa kali mengatakan untuk Melisa menjaga diri.

"Mel, kamu dengar ucapan paman?" tanya Haidar sekali lagi.

"Iya, Paman. Melisa dengar dan tahu itu kok. Melisa akan giat belajar dan segera selesai sekolah untuk kuliah." tuturnya dengan penuh semangat.

Haidar dan Ina yang mendengar saling pandang sejenak lalu tersenyum. Kuliah bukanlah hal yang mudah apalagi mengenai biaya yang sangat banyak di butuhkan. Namun, melihat semangat gadis remaja ini rasanya mereka tidak tega jika harus mematahkan semangat Melisa.

"Yasudah yang penting sekolah ini kamu harus selesai dulu. Soal ke depannya kita akan pikirkan lagi. Tante dan Paman pergi dulu yah."

Melisa pun masuk usai menyaksikan kepergian sang paman dan tantenya. Ia melangkah lemas memasuki kamar. Bukan lemas karena sendiri, namun pikirannya pada sang ibu masih terlalu besar rasa khawatirnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!