Isakan tangis terdengar kala senja menyapa. Wajah cantik dan tubuh yang cukup ideal tampak berbaring di atas tempat tidunya. Tubuhnya gemetar usai menahan sakit yang ia dapatkan dari pukulan sang ayah. Tak mampu lagi berkata apa pun, Melisa hanya bisa menangis di dalam kamarnya. Di sisinya bahkan ada sang ibu yang duduk mengusap lengannya yang memerah. Keduanya sama-sama menangis saat ini. Baru saja terjadi pertengkaran hebat antara ayah, anak, dan ibu. Melisa yang mendapatkan serangan dari sang ayah tentu saja membuat ibunya tidak bisa tinggal diam.
Ia melindungi sang anak hingga terjadilah keduanya mendapatkan pukulan dari sang ayah.
"Melisa, sini ibu obati tanganmu, Nak." ujar sang ibu yang menarik pelan lengan sang anak.
Melisa menggelengkan kepala. "Tidak, bu. Ini tidak sakit sama sekali." tuturnya.
Yang lebih menyakitkan bagi Melisa adalah hatinya. Impiannya yang sedari kecil ingin menjadi seorang arsitek harus kandas akibat keputusan sang ayah yang sangat tidak masuk akal. Yah, Ayah Melisa memiliki keyakinan tersendiri untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya perempuan ke jenjang lebih tinggi. Ia ingin anaknya berbisnis lebih cepat tanpa mengeluarkan biaya banyak.
"Kamu yakin ingin sekolah di kota?" pertanyaan dari sang ibu membuat tangis Melisa terhenti. Ia begitu gigih untuk keluar dari zona tak nyaman itu. Ia ingin berjuang di kota mewujudkan impiannya.
Sontak Melisa pun menganggukkan kepala. "Aku yakin, Bu. Aku harus lanjut SMA dan kedepannya aku akan kuliah, Bu. Aku janji akan sungguh-sungguh sekolah. Tidak apa-apa jika ibu dan ayah tidak memberi uang, Melisa akan bekerja sepulang sekolah." ujarnya dudu di hadapan sang ibu.
Weni, sebagai istri dari pria yang sangat keras kepala itu sangat tahu bagaimana keputusan sang suami jika sudah berkeras maka tidak ada yang bisa mengubah keputusannya. Lama ia terdiam memikirkan berbagai kemungkinan hingga akhirnya Weni bersuara seraya menggenggam tangan sang anak.
"Pergilah dari rumah malam ini, Mel. Lari dari ayahmu. Jangan sampai dia melihat kamu lagi. Ibu akan hubungi pamanmu untuk menjemput kamu di pertengahan kota nanti. Tapi kamu harus cari tumpangan sendiri untuk ke sana. Kalau ibu keluar, ayahmu bisa curiga, Nak. Kamu bisa di kurung di rumah ini." Weni meneteskan air mata saat mengatakan hal itu.
Ia sungguh tidak tega melihat anaknya seperti ini. Namun, sebagai wanita yang tidak tahu apa-apa hanya menggantungkan hidup dengan sang suami membuat Weni tak bisa membantu anaknya. Ia tidak ingin membuat Melisa justru semakin di sakiti sang suami.
Melisa menangis terisak pilu memeluk sang ibu. Tak pernah terbayangkan jika jalan hidupnya sesedih ini. Malam ini pun ia bersiap mengemasi pakaian yang sekiranya sangat di butuhkan nantinya.
"Bawa pakaian penting saja, nak. Ibu akan kirimkan nanti semuanya." ujar Weni sebelum akhirnya ia keluar untuk mengambil uang yang ia punya. Kemudian wanita itu datang dan menyerahkan uang pada sang anak.
Melisa bergegas bersiap hingga menunggu waktu jam sepuluh malam. Dimana sang ayah akan keluar untuk memeriksa toko sang kakak dan salon kakak Melisa.
Yah kedua kakak Melisa adalah seorang gadis. Dan mereka semua hanya lulusan sekolah SMP di desa itu. Tak ada yang boleh meneruskan ke jenjang SMA. Sama seperti tuntutannya pada Melisa. Sepanjang bersiap, Melisa masih saja meneteskan air matanya. Bayangan akan sehari-hari ia sering membawakan makan siang sang ayah di bengkel, menyuapi sang ayah ketika tangan pria paruh baya itu kotor. Membuatkan kopi di bengkel.
Semuanya begitu indah ia bayangkan saat ini. Sakit sekali merasakan untuk pertama kalinya sang ayah begitu tega memukul tubuhnya demi meminta untuk tidak melanjutkan sekolah.
"Melisa sayang ayah." ujarnya.
Hingga jarum jam pun bergerak dimana sudah saatnya Melisa harus menarik kopernya keluar dari rumah. Tak perduli bagaimana gelapnya malam di desa itu. Yang utama adalah ia keluar dari desa dan mencari tumpangan untuk menuju ke pertengahan kota. Berbekal ponsel sederhana yang akan ia gunakan untuk bertemu keluarga.
Weni di kamarnya terus menangis mendoakan sang anak yang dalam perjalanan bertaruh nyawa saat ini. Sungguh rasanya ia begitu merutuki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin sebagai ibu ia sangat tak berguna untuk anaknya.
"Melisa, maafkan ibu. Maafkan ibu, Nak." ujarnya menangis memeluk bantal guling.
Jika di katakan orang Weni adalah istri yang bodoh. Yah mungkin begitulah tepatnya. Tak memiliki pergaulan dengan siapa pun membuatnya sangat patuh pada sang suami. Ia hanya anak yang berasal dari keluarga keras juga. Kehidupan Weni begitu di kekang oleh ayahnya dan ibunya hingga ia di nikahi oleh Fery dan ternyata kehidupannya tak berubah sama sekali.
Di tengah kegelapan yang begitu mencekam, sosok Melisa berdiri di sisi jalan sembari beberapa kali melihat dari kejauhan. Memastikan jika ia aman dari pantauan sang ayah. Air matanya berjatuhan saat tangan mungil gadis itu menggenggam koper mini miliknya. Dingin, takut, bercampur menjadi satu saat itu. Hanya doa yang bisa gadis itu terus lontarkan.
Pada akhirnya Melisa melambaikan tangan kala melihat sebuah mobil pickup melintas.
"Pak, saya mau numpang. Ibu saya mau numpak ke kota bisa kan?" tanyanya pada suami istri yang duduk di depan.
Melihat gadis lugu dengan barang di tangannya, pasangan suami istri itu saling menatap dan kemudian mengijinkan Melisa untuk segera naik bersama mereka di depan.
Mereka pun berbicara sepanjang jalan. Bersyukur di saat sangat menakutkan Melisa justru di pertemukan dengan orang yang baik. Hingga mereka tiba di pertengahan kota, Melisa beberapa kali tampak mengucapkan terimakasih pada mereka.
"Paman, aku sudah di jalan yang paman suruh tunggu." ujar Melisa menelpon keluarga dari ibunya.
Panggilan pun segera di matikan usai keduanya saling berbicara. Melisa tak lama menunggu akhirnya sang paman datang dengan motor. Mereka menuju rumah untuk membawa Melisa serta barangnya. Perjalanan yang tidak begitu jauh akhirnya tiba di halaman rumah sederhana sang paman.
"Kamu kabari ibumu kalau sudah sampai. Jangan sampai ibumu cemas, Mel." pintah Haidar sang paman.
Melisa patuh. Ia masuk ke dalam rumah dengan di sambut istri dari Haidar. Namanya adalah Ina. Ia begitu ramah dengan Melisa bahkan melayani layaknya adiknya sendiri.
"Melisa, hati-hati di sana, Nak." Suara yang pertama kali Melisa dengar dengan isakan di seberang sana kala panggilan terhubung. Sontak gadis itu tampak terkejut. "Bu, ibu menangis? Melisa baik-baik saja. Ibu jangan sedih. Melisa sudah sampai di rumah Paman." Melisa sungguh tak tega mendengar ibunya begitu sedih. Ia pun sampai ikut menangis juga.
Weni tak lagi sanggup menjelaskan hingga ponsel pun di ambil alih oleh sang kakak. Yuyun adalah kakak pertama Melisa yang saat ini mengambil ponsel itu.
"Mel, ibu nggak bisa bicara apa-apa. Ibu kesakitan habis di pukul Ayah. Kamu hati-hati jaga diri kamu di sana. Ayah pasti akan marah kalau kamu pulang nanti. Jadi jangan pulang dulu kalau bisa dalam waktu dekat." Melisa yang mendengar sangat kaget. Tak menyangka jika sang ayah sampai senekat itu memukul sang ibu. Selama ini Fery tak pernah bermain tangan pada sang istri.
Setelah mendengar penjelasan sang kakak, panggilan pun terputus saat itu juga. Barulah Melisa tertunduk meneteskan air mata. Jauh di dalam hatinya ada perasaan ingin menyerah untuk tidak sekolah. Namun, Melisa merasa sulit untuk mengundurkan niatnya kali ini.
"Pilihan kamu sudah tepat, Mel. Suatu saat semua akan menerima sisi baiknya. Hanya menunggu waktu saja. Pendidikan akan sangat penting kemudian hari nanti. Tidak selamanya uang bisa berjalan beriringan tanpa adanya pendidikan jika bukan karena rejeki tuhan." tutur Ina menasihati Melisa yang terisak di kursi.
Pelan di raihnya tubuh Melisa untuk ia peluk. Keduanya begitu membuat Haidar tersentuh. Tak menyangka jika ia memiliki seorang istri yang begitu lembut hatinya. Mereka bertiga pun duduk. Haidar juga mengusap bahu Melisa untuk memberikan dukungan.
"Ibu mu sudah sepantasnya memperjuangkan ini semua, Mel. Kakakmu dua orang sudah tidak bisa di perjuangkan ibumu. Sekarang kamu orang yang tepat. Gunakan kesempatan ini baik-baik. Kejarlah mimpimu."
Setelah banyak waktu mereka gunakan untuk bercerita bertukar pengalaman, akhirnya Melisa pun di persilahkan tidur. Beristirahat sebab esok mereka akan mengantar Melisa ke kota.
Berbeda halnya dengan keadaan Fery yang tampak murka di rumah. Semua barang-barang di atas meja makan sudah hancur berserakan ia lempar. Piring-piring yang berisi makanan pun juga hancur berkeping-keping. Ia begitu marah saat mendengar ucapan sang istri yang untuk pertama kalinya menjawab ucapan sang suami.
"Lihat saja kalau butuh uang. Aku tidak akan mau mengirimkannya. Biar saja anak itu tahu sulitnya mencari uang." ujar Fery mengingat sosok Melisa yang berani menentang keputusannya.
Keesokan harinya tibalah Melisa di kota yang tidak begitu besar, namun dalam segi pendidikan memang sangat cukup maju di bandingkan dengan keadaan di desa. Haidar dan sang istri turut mengantar Melisa ke sebuah sekolah SMA di mana menyediakan fasilitas asrama. Tampak ketiganya di sambut dengan pengurus asrama tersebut. Beberapa teman yang baru bergabung juga antusias menyambut Melisa.
"Melisa namanya? Nama yang bagus. Ayo mari saya antar ke ruangan pendaftaran. Semua berkas ada di bawa kan, Pak Haidar?" tanya seorang wanita yang juga merupakan staf di sekolah itu.
Kebetulan Haidar sang paman juga memiliki kenalan baik di sana. Berkat sang paman Melisa mendapatkan bantuan yang begitu mudah. Dan saat penyerahan berkas pun ia tidak memiliki kesulitan. Semua sudah lengkap di bawa Melisa.
"Nilai Melisa sudah begitu bagus. Dan prestasinya juga luar biasa. Jadi sesuai dengan ketetapan sekolah di sini jika Melisa tidak perlu mengikuti tes untuk masuk sekolah." Haidar dan sang istri begitu senang mendengar kabar baik ini. Begitu pula dengan Melisa yang sangat bahagia.
Ia sampai mengucapkan terimakasih berkali-kali pada sang paman dan tante atas bantuannya.
"Kamu tidak perlu berterima kasih seperti itu, Mel. Ini sudah tugas kami. Sekarang ayo kita jalan-jalan dulu..." Ina mengajak Melisa untuk keluar setelah mereka mengurus segala keperluan di sekolah dan asrama itu. Melisa mengerutkan kening mendengar ucapan sang tante.
"Jalan-jalan? tidak usah, Tante." ujar Melisa menolak secara halus.
Bagaimana mungkin ia menerima ajakan untuk jalan-jalan sedangkan sampai detik ini rasanya Melisa merasa sangat bersalah dengan sang ibu. Di sana ia tidak tahu apa yang terjadi saat ini pada ibunya. Ingin menghubungi Melisa sangat takut. Takut jika sang ayah tahu akan menjadi masalah yang lebih besar lagi.
"Bukan jalan-jalan untuk yang lain. Kita akan beli kebutuhan sekolah kamu dan lainnya. Ayo tidak boleh menolak." titah Ina menarik lembut tangan sang keponakan.
Namun, lagi-lagi Melisa justru menolak. Ia menahan langkah kakinya saat itu juga. "Tante...Semua sudah Melisa bawa. Seragam sekolah ada buku-buku juga masih ada. Semua sudah Melisa persiapkan." tuturnya kekeuh.
Sebab Melisa malu jika sampai keluar bahkan ia hanya membawa uang sedikit dari sang ibu. Dan itu tentu saja akan ia pergunakan untuk hal yang sangat mendesak.
"Rejeki tidak boleh di tolak. Tantemu yang akan membelikan. Ayo."Haidar yang sangat tahu beban di pikiran Melisa saat ini sontak bersuara dan mereka pun segera pergi saat itu juga.
Hari itu Haidar dan sang istri membawa Melisa berbelanja. Mereka bahkan memperlakukan Melisa sudah seperti anak mereka sendi. Segala seragam Ina cocokkan dengan tubuh Melisa. Ia juga membelikan semua kebutuhan makan untuk Melisa. Hingga teringat dengan sang kakak, Haidar pun memotret Melisa bersama istrinya dan ia kirim pada Weni.
Sungguh semakin menetes air mata wanita paruh baya itu melihat anaknya bersama orang yang tepat saat ini. Segera ia pun mengetikkan balasan pesan atas gambar yang ia terima barusan.
"Dar, kakak hutang dulu yah? Nanti kakak akan cicil semua pengeluaran Melisa hari ini. Kakak janji. Sekarang uang kakak belum ada buat bekal Melisa kemarin." Pesan terkirim dan Weni terisak pilu. Rasanya ia begitu tak berguna untuk sang anak.
Bukannya menjawab iya, Haidar justru menggelengkan kepalanya. Ia acuh dengan pesan sang kakak sebab menurutnya itu bukanlah hal yang ia harapkan. Satu hari pun berlalu begitu cepat, kini sudah saatnya mereka harus berpisah. Haidar meninggalkan Melisa di asrama dengan perasaan tak tega. Ia beberapa kali mengatakan untuk Melisa menjaga diri.
"Mel, kamu dengar ucapan paman?" tanya Haidar sekali lagi.
"Iya, Paman. Melisa dengar dan tahu itu kok. Melisa akan giat belajar dan segera selesai sekolah untuk kuliah." tuturnya dengan penuh semangat.
Haidar dan Ina yang mendengar saling pandang sejenak lalu tersenyum. Kuliah bukanlah hal yang mudah apalagi mengenai biaya yang sangat banyak di butuhkan. Namun, melihat semangat gadis remaja ini rasanya mereka tidak tega jika harus mematahkan semangat Melisa.
"Yasudah yang penting sekolah ini kamu harus selesai dulu. Soal ke depannya kita akan pikirkan lagi. Tante dan Paman pergi dulu yah."
Melisa pun masuk usai menyaksikan kepergian sang paman dan tantenya. Ia melangkah lemas memasuki kamar. Bukan lemas karena sendiri, namun pikirannya pada sang ibu masih terlalu besar rasa khawatirnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!