Terjerat Cinta Gadis Muda
"Kalian harus menikah bulan ini juga!" perintah Arya—ayah Delima.
"Tapi, saya sungguh, bukan yang menghamili anak Bapak," sahut Ardan memberi penolakan.
"Dasar laki-laki brengsek. Laki-laki dan perempuan seatap di malam hari, memangnya apa yang akan mereka lakukan, hah!?" bentak Arya.
Ardan menatap ke arah Delima meminta penjelasan. Namun, Delima hanya menangis sambil menutupi wajahnya. Tidak ada tanda-tanda dia akan membantu untuk menjelaskan.
Ardan meremas rambutnya kasar. Embusan napas terdengar kencang dari mulutnya. Dia menyesali kejadian yang terjadi semalam. Harusnya, dia biarkan saja Delima mati kedinginan di luar rumahnya.
Pada malam itu, saat Ardan baru selesai mandi, terdengar suara ketukan dari luar rumah. Segera, Ardan membuka pintu. Didapatinya Delima tengah basah kuyup di teras rumahnya.
"Delima, ngapain kamu ke sini hujan-hujan begini?" tanya Ardan terkejut.
Delima tak menjawab pertanyaan Ardan. Dia hanya diam sambil memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan.
"Huh, ya udah, masuk sini," kata Ardan seraya mengembuskan napas kencang.
Mereka pun kini telah berada di ruang tamu. Delima tampak menggigil di sofa, segera Ardan mengambilkan handuk untuk Delima.
"Kenapa kamu ke sini? Kamu habis kabur dari rumah apa gimana?" tanya Ardan, seraya menyerahkan handuk yang ada di tangannya pada Delima.
Delima masih saja bungkam. Dia malah menangis sesenggukan di hadapan Ardan. Ardan akhirnya memilih untuk diam. Kalau mau cerita pasti akan buka mulut sendiri, pikir Ardan.
"Kak, biarin aku nginap di sini, ya," pinta Delima pelan.
"Nginap? Kamu udah gila, apa gimana? Mending kamu pulang sekarang. Ayo, aku antar," kata Ardan.
Delima menggelengkan kepala, lalu berkata, "Engga mau. Aku takut."
"Kamu takut pulang ke rumah, tapi engga takut sama aku, lelaki yang kamu kenal lewat dunia maya? Fix, sengklek otakmu," ujar Ardan.
"Umur kita cuma beda 10 tahun, kok. Terus, Kak Ardan juga baik orangnya, jadi aku engga takut," jawab Delima polos.
"Kalo cuma beda 10 tahun emang kenapa?"
"Artinya Kak Ardan masih muda. Bukan om-om mesum gendut. Beda sama yang di televisi," sahut Delima.
"Hah, terserahlah." Ardan mengusap dahinya yang terasa tiba-tiba pusing.
Ardan berjalan ke kamar, dia ingin mengambilkan baju ganti untuk Delima. Baju Delima basah karena hujan, membuat ********** terlihat. Lekuk tubuh gadis 17 tahun itu cukup menggoda bagi Ardan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dia akan tergiur dengan suguhan yang ada di hadapannya.
"Cepat ganti baju sana," perintah Ardan sambil melemparkan baju yang longgar ke arah Delima.
"Ih, Kak Ardan kasar banget, deh."
"Biarin. Sapa suruh bikin sofaku basah," sahut Ardan. "Kalo ganti baju, kamar dikunci!" kata Ardan lagi.
Delima segera mengayunkan langkah menuju kamar Ardan. Tak lupa dia mengunci pintu sesuai dengan perintah Ardan. Setelah selesai berganti pakaian, dia kembali ke ruang tamu, menemui Ardan yang tengah menonton televisi.
"Jadi, kamu udah siap cerita?" tanya Ardan saat Delima duduk di sampingnya.
"Belum." Delima menggeleng, setetes air mata jatuh ke pipinya.
"Harusnya kamu tahu, Del. Nginap di rumah laki-laki itu berbahaya. Apalagi kalau baru kenal seperti kita ini," kata Ardan sambil memijit dahinya.
Delima menundukkan kepalanya. Dia mulai sesenggukan lagi. Seakan baru saja mengalami sebuah musibah yang begitu menyakitkan.
"Kalo kamu emang mau nginap di sini, silakan masuk ke kamarku. Biar aku tidur di sini. Jangan lupa kunci pintu."
"Kenapa?" tanya Delima setelah mengelap air matanya.
"Ya Tuhan. Kamu tanya kenapa? Kalau kamu engga kunci itu pintu, terus aku masuk ke kamar dan apa-apain kamu gimana? Kok yang begitu aja engga paham, sih."
Delima segera masuk ke kamar setelah mendengar penjelasan dari Ardan. Sedangkan Ardan memilih untuk menyalakan sebatang rokok. Dia tak menyangka, tiba-tiba ada anak gadis yang datang ke rumahnya. Semoga saja tidak ada kejadian buruk ke depannya, harap Ardan.
Suara rinai hujan terus mengiringi malam. Ardan pun mematikan rokok miliknya, dan merebahkan badan ke sofa yang panjang. Setelah mematikan televisi dengan remote, segera Ardan memejamkan mata. Untungnya besok hari sabtu, dia bisa bangun siang karena libur kerja.
***
Suara gedoran di pintu membuat Ardan terbangun dari tidur. Segera dia melangkah menuju pintu, supaya tahu apa penyebab suara keributan di depan rumahnya.
Baru saja Ardan membuka pintu, tiba-tiba pintu didorong dengan kencang. Ardan yang dalam posisi tak siap itu pun terjatuh, akibat dorongan pintu tersebut.
"Bangsat, jadi elu yang bawa kabur adik gue!" kata laki-laki berbadan besar, serayu mengayunkan tinju ke wajah Ardan.
Ardan berusaha melawan, tetapi usahanya tak membuahkan hasil. Laki-laki di hadapannya, menyerang dengan begitu membabi buta. Jika saja, beberapa orang yang datang bersama lelaki itu tak menolong, sudah barang tentu Ardan akan mati konyol.
Delima keluar dari kamar karena mendengar suara ribut. Dia berteriak histeris, kala melihat Ardan telah terkulai lemah di lantai. Segera dia berlari menghampiri Ardan yang mulai kehilangan kesadaran.
"Berhenti, Bang. Jangan sakiti Kak Ardan," kata Delima seraya memeluk tubuh Ardan yang penuh dengan luka.
"Kak? Delima, laki-laki ini jauh lebih tua dari kamu. Harusnya kamu manggil dia itu om bukan kakak!" geram Radian—Kakak Delima.
Delima tak menjawab perkataan Radian. Dia terus saja memeluk Ardan sambil menangis sesenggukan. Tak menyangka, kejadiannya akan seperti ini.
"Sudah. Ayo kita pulang. Delima cepat masuk ke mobil," perintah Arya—ayah Delima.
"Ta ... tapi, Yah, gimana sama Kak Ardan?" tanya Delima khawatir.
"Kamu engga usah khawatir. Laki-laki ini akan kita bawa ke rumah. Sebelumnya, akan dibawa ke klinik dulu untuk mengobati lukanya," sahut Arya.
Delima menghela napas dalam, lalu mengembuskannya kencang. Dia tak bisa melawan perintah sang ayah. Segera dia mengayunkan langkah keluar rumah. Saat di teras rumah, Delima menoleh dan menatap Ardan yang masih tergeletak di lantai. Merasa bersalah, karena dia yang menyebabkan Ardan jadi kena amukan kakaknya.
"Maafin aku, Kak Ardan," lirih Delima.
****
Ardan membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat sakit sampai ke tulang. Dipandanginya ruangan yang tampak asing baginya. Juga, wajah-wajah asing yang terlihat marah kepadanya.
"Akhirnya bangun juga cecunguk ini," kata Radian ketus.
"Jaga ucapanmu, Radian," tegur Arya.
Radian terdiam saat mendengar ucapan Arya. Dia segera duduk ke sofa, setelah dari tadi hanya mondar mandir menunggu Ardan sadar.
"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang dan memukuliku? Sekarang kalian juga membawaku ke tempat yang tidak kuketahui," tanya Ardan beruntun.
Arya tak menjawab pertanyaan Ardan. Dia malah meletakkan sebuah tespack ke meja, tepat di hadapan Ardan.
"Apa maksudnya ini?" tanya Ardan bingung saat melihat tespack yang ditunjukkan bapak Delima.
"Delima hamil," kata Arya seraya mengembuskan napas kuat-kuat.
"Apa!?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments