Delima baru saja selesai mengemas baju-baju miliknya ke koper. Beberapa buku bacaan pun tak lupa dia bawa. Jaga-jaga, kalau bosan saat seharian di rumah dan tak tahu harus berbuat apa.
"Sudah semuanya?" tanya Ardan.
"Sudah," sahut Delima seraya menyerahkan koper miliknya pada Ardan.
"Yah, Ma, kami pamit, ya," Pamit Ardan.
Ardan mencium tangan Pak Arya dan Bu Reni, diikutipula oleh Delima. Dilanjutkan dengan drama pelukan ibu dan anak. Bu Reni serasa enggan melepaskan anak perempuan semata wayangnya.
"Udahlah, Ma. Anak kita juga perginya ngikut suami. Kalo kangen, bisa kita jenguk sesekali nanti," ucap Pak Arya.
"Tapi, Yah, Delima kan engga bisa apa-apa," sahut Bu Reni sambil menyeka air matanya.
"Nanti juga bisa, kok. Biarin aja anak kita mandiri. Jangan serba dipikirin. Kapan bisanya nanti," celetuk Pak Arya.
Ardan tersenyum melihat keluarga Delima. "Seandainya keluargaku seperti itu juga," batin Ardan.
"Yuk, Del, nanti kita sampai rumah terlalu siang. Biar ada waktu buat istirahat," ajak Ardan.
Delima mengangguk, lalu sekali lagi memeluk ibu dan ayahnya. Duduk di kursi depan, seraya melambaikan tangan pada orang tuanya.
"Ma, bilangin sama Kak Radi, jangan lupa ngasih makan kucing aku," pesan Delima.
Deru mobil terdengar meninggalkan area rumah keluarga Wijaya. Meninggalkan dua sosok orang tua Delima yang terus melambaikan tangan.
Delima mengusap kedua pipinya yang basah. Tak percaya, hari ini harus berpisah dengan orang tuanya.
"Sedih banget, ya?" tanya Ardan.
"Engga, kok. Cuma terharu dan sedikit sedih aja. Ternyata ninggalin ayah sama mama tu berat banget. Padahal dulu, aku minta ngekost biar bisa mandiri, sekarang saat diharuskan mandiri, akunya malah gini," ungkap Delima.
"Ya, begitulah, Del. Semua kadang engga sesuai rencana kita. Apa kamu nyesel udah milih jalan ini?"
Delima diam menerawang. Mengingat kejadian yang lalu, seandainya dia tak ke rumah Ardan, mungkin tak begini jadinya. Tapi, kalau tak begitu, apa lagi yang harus dilakukannya?
"Entah, Kak. Menurutku malah seharusnya Kakak yang harusnya menyesal. Menikahi anak bau kencur yang sudah hamil duluan, dijebak dan dipaksa pula," ucap Delima lirih.
"Del, aku sudah bersedia untuk menikahimu. Makanya aku engga akan menyesal sudah menjalaninya. Yah, tentu niatan untuk kabur itu ada. Tapi, lebih takut mati konyol di tangan Bang Radi," sahut Ardan sambil terkekeh.
"Banyak waktu untuk berpikir waktu itu, tapi melihat keadaanmu, aku sadar. Kamu butuh pelindung. Setidaknya, bayi dalam kandunganmu perlu status dan figur ayah," sambung Ardan.
Delima tersenyum mendengar jawaban Ardan. Lelaki yang menjadi suaminya kini, sangat baik, terlalu baik bahkan.
"Apa kamu siap untuk mengatakan, siapa ayah kandung dari bayi ini?" tanya Ardan sambil meletakkan tangan kirinya di perut Delima.
Delima menggeleng pelan. "Belum, Kak. Aku takut."
Ardan menganggukkan kepalanya, tanda dia paham maksud Delima. Meraba-raba, mungkinkah Delima adalah korban pemerkosaan?
Mobil berhenti tepat di halaman rumah Ardan. Segera, Ardan mengeluarkan koper dari bagasi lalu membawanya ke dalam rumah. Delima mengekor di belakangnya.
"Del, ini kamar kamu." Tunjuk Ardan.
Delima melihat kamar yang ditunjukkan Ardan. Tepat bersebelahan dengan kamar Ardan.
"Bukannya, pas aku nginap semalam, engga ada kamar ini, ya?" tanya Delima heran.
"Iya. Sebenarnya ini kamar tamu, tapi pas kamu nginap itu, ruangannya kupakai buat gudang. Jadi, sekarang udah dibersihin, udah bisa dipake," jelas Ardan.
"Kamu capek? Istirahat dulu aja. Nanti kita belanja bareng buat keperluan kamu di rumah," sambung Ardan lagi.
Delima mengangguk. Segera dia merebahkan diri ke atas kasur. Tak berapa lama, dia pun terlelap.
Ardan menutup pintu kamar Delima. Walaupun sudah berstatus suami istri, Ardan tak mau mengganggu privacy Delima. Bagaimana pun, mereka menikah karena terpaksa.
Dia pun beranjak dari kamar Delima, lalu melangkah ke arah dapur. Memeriksa apa saja yang habis. Agar saat berbelanja nanti, tak ada yang tertinggal.
Sampai Ardan tersadar, bahwa dia harus membawa Delima periksa kehamilan nantinya. Selagi masih cuti, dia harus menentukan di mana memeriksakan kandungan istrinya.
Kalau harus ke Dokter Revan terlalu jauh rasanya. Ardan tak mau, saat ada hal genting, harus menempuh jarak yang terlalu jauh, takut kalau terjadi hal yang tak mengenakkan.
"Huh, nanti malam ajalah bahas soal dokter kandungan ama Delima. Hari ini khusus belanja dapur sama keperluan Delima aja," guman Ardan.
Tak berselang lama, Ardan pun bergelut dengan kompor dan wajan. Jadilah beberapa hidangan untuk makan siang. Suara berisik dari arah dapur rupanya membangunkan Delima dari tidurnya.
"Kak Ardan lagi ngapain?" tanya Delima seraya duduk di kursi meja makan.
"Masak nih. Buat makan siang kita," sahut Ardan seraya melepas apron dari tubuhnya.
"Emang Kakak pinter masak?"
"Iya lah, kan tinggal sendiri, jadi harus pinter masak. Beli mulu mah boros," sahut Ardan lagi.
"Oh gitu." Delima mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mending kamu mandi dulu deh. Baru deh, kira makan bareng. Setelah itu, kita langsung belanja," perintah Ardan.
"Kak Ardan kayak mama. Suka merintah," cicit Delima.
"Apa?"
"Engga, engga, hehe." Delima segera berlari menuju kamarnya. Tak mau disemprot oleh Ardan.
***
"Masakan Kakak enak," puji Delima.
"Pastinya. Dulu pernah diajarin sama nenek," jelas Ardan.
"Wah, Kak Ardan punya nenek? Nanti aku boleh ketemu neneknya Kak Ardan?" pinta Delima penuh harap.
Ardan terdiam, sebelum menjawab, "Boleh, tapi nanti waktu pulang kampung, ya," sahut Ardan.
"Oke."
Ardan yang telah selesai makan, langsung meletakkan piring bekasnya ke wastafel. Delima yang melihat itu, segera mengikuti langkah Ardan.
"Udah, kamu duduk di situ aja. Biar aku yang nyuci. Nanti kamu kecapekan," ujar Ardan.
"Ih, segini doang mah mana bikin capek, Kak. Aku bisa kok, gini-gini juga tau cara cuci piring kali." Delima merebut piring yang tengah dicuci oleh Ardan.
Ardan pun mengalah, dan lebih memilih untuk duduk. Menatap Delima yang tengah asik mencuci gelas dan piring.
Delima yang telah selesai mencuci piring, lalu duduk di sebelah Ardan. Ardan pun menyuruh Delima agar bersiap, karena sebentar lagi mereka akan pergi berbelanja.
"Kalau udah siap, langsung ke depan, ya," pesan Ardan saat di depan kamar Delima.
"Iya. Kak Ardan mau ke mana?"
"Mau ambil dompet di ruang kerja," sahut Ardan seraya beranjak menjauh.
Delima segera mengganti bajunya. Tak lupa, menyapukan bedak ke wajah. Juga, mengoleskan liptint ke bibir ranumnya. Setelah selesai, dia menyampirkan tas kecil ke bahu. Lalu, meninggalkan kamar menuju ke depan rumah.
"Loh, Kak Ardan udah di sini? Kirain masih di ruang kerja," celetuk Delima.
"Kamunya dandan kelamaan, sih," sahut Ardan sambil membukakan pintu mobil untuk Delima.
Delima menghentakkan kaki sambil mengerucutkan bibirnya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Hahaha, maaf, ya. Udah yuk cepet masuk mobil. Biar kita cepet sampai ke tempat perbelanjaannya," kata Ardan merayu Delima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments