Jadi Pengantin Melelahkan

"Kalau kamu sedari awal sadar semua ini salah, kenapa kamu engga jelasin semuanya ke keluarga kamu, Del?" tanya Ardan sambil memegang bahu Delima.

Delima hanya menggeleng sambil menangis sesenggukan. Seakan ada sesuatu yang berat yang tak bisa dia ucapkan.

Ardan hanya bisa mengembuskan napas kasar dengan sikap Delima. Bagaimana dia akan menjalani hidup ke depannya nanti? Sedangkan berbicara saja tak membuahkan hasil apa-apa.

"Sudahlah. Kita bicarakan ini nanti lagi," kata Ardan berusah menurunkan egonya.

Tak lama, ibu Delima datang dengan membawa nampan berisi makanan. Berjalan menuju Ardan dan Delima yang tengah diam membisu.

"Delima, ayo makan dulu, Nak. Nak Ardan, kamu sudah makan?" tanya Bu Reni.

"Saya sudah, Bu," sahut Ardan.

"Jangan panggil ibu, sekarang kamu menantu Mama. Jadi, panggil dengan sebutan mama," kata Bu Reni lagi.

"Baik, Ma."

Delima disuapi oleh Bu Reni. Dia hanya mau makan sedikit. Mual katanya, mungkin bawaan dari kehamilannya.

Radian datang, lalu berkata, "Ayo cepat keluar. Tamu undangan udah lama menunggu. Sekarang sudah waktunya sesi foto keluarga."

Setelah itu, Radian langsung beranjak menuju ke depan. Segera Delima dirapikan makeupnya oleh perias pengantin. Tak mungkin keluar dan menemui tamu undangan dengan tampilan yang kusut masai.

"Waaah, pengantinnya udah keluar itu." Tunjuk seorang wanita yang tengah duduk di kursi dekat area pelaminan.

"Aduh, aduh, mesra kali lah pengantin kita ini," kata salah satu tamu undangan.

Melihat Ardan dan Delima yang datang dari belakang sambil bergandengan, membuat para undangan riuh. Ramai mereka memuji dan membercandai si pengantin baru.

"Nah, untuk tamu undangan, silakan yang mau berfoto dan bersalaman," kata fotografer.

Segera, antrian mengular untuk mendapat bagian untuk bersalaman dan berfoto dengan pengantin. Tak hanya berfoto, bahkan ada yang mengajak untuk membuat video konten pula di sana.

Waktu telah menunjukkan jam 2 siang, para tamu undangan pun telah pulang. Ardan dan Delima akhirnya bisa beristirahat. Menyandarkan diri di kursi sofa yang empuk.

"Ternyata jadi pengantin itu melelahkan. Harus selalu tersenyum sampai gigi jadi kering," keluh Ardan.

"Pinggangku rasanya mau patah. Duduk, berdiri, duduk berdiri, gitu aja terus sampai tamu undangan habis," keluh Delima pula tak mau kalah.

"Tapi, capeknya cuma sehari aja 'kan," sela Radian.

Ardan dan Delima mengangguk bersamaan. Tak menyangka dengan sikap Radian yang cukup hangat. Berbanding terbalik dengan pertemuannya yang pertama kali bertemu Ardan.

"Jadi, Ardan, sekarang elu jadi adik ipar gue. Yah, walau gue masih engga nerima elu sepenuhnya, sih. Tolong jaga adik kesayangan gue, sekarang dia udah jadi istri lu. Jangan sakiti dia," pinta Radian tulus.

"Baik, Bang. Gue akan jaga Delima baik-baik, beserta bayi yang ada dalam kandungannya," sahut Ardan bersungguh-sungguh.

"Dan juga, tolong pahami, kalau rasa makanannya nanti engga enak. Dia engga bisa masak soalnya. Biasa serba dilayanin," sambung Radian.

"Ih, Kak Radi, jangan bilang gitu dong. Kan malu," rengek Delima, tampak wajahnya memerah karena malu.

"Kalian nanti tidur di kamar depan, ya," perintah Bu Reni.

"Loh, kenapa engga di kamar Delima, Ma?" tanya Delima heran.

"Kamarku kan kecil, Del. Mana cukup ranjangmu buat tidur berdua," sahut Bu Reni.

"Ih, kan aku tidur sendiri di kamarku. Kak Ardan tidur di kamar tamu," sanggah Delima.

"Heh, bocah labil. Mana ada, pengantin baru tidurnya misah. Udah sah jadi suami istri juga," ujar Radian gemas dengan Delima.

Pak Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala karena melihat sikap putrinya. Putrinya yang telah menikah, tapi masih terlalu polos dengan dunia rumah tangga.

"Kamu nurut aja, apa kata mama. Toh, kamar kamu kan banyak bonekanya. Kasian Ardan harus tidur di kamar yang warnanya serba pink semua," ujar Pak Arya pula, membuat Delima jadi mati kutu merasa kalah.

"Lalu, besok kalian coba bertamu ke rumah beberapa keluarga, ya. Mereka pengen ketemu katanya," ucap Bu Reni.

"Besok kan hari senin. Kak Ardan harus pergi ke kantor, Ma," kelit Delima.

"Haduh, haduh. Mana ada yang habis nikah langsung masuk kerja. Ya pasti ambil cuti dulu lah, Del. Paling bentar 3 hari," jelas Pak Arya.

"Oh, gitu ya? Emang bener Kak Ardan?" tanya Delima.

"Iya. Aku ambil cuti seminggu. Jadi, senin depan baru masuk kerja," sahut Ardan.

Setelah selesai berdiskusi, Ardan pun membawa masuk kopernya ke kamar depan. Lebih tepatnya, kamar untuk tamu yang sering tak dipakai. Delima pun mengantarkan beberapa camilan untuk Ardan.

"Kakak cuma bawa baju segini? Dikit banget," tanya Delima seraya membantu memasukkan baju ke dalam lemar.

"Udah cukuplah itu, Del. Kan cuma buat beberapa hari," sahut Ardan.

"Lebih baik, kamu dari sekarang siapin baju-baju yang mau kamu bawa nanti. Biar engga keteteran," sambung Ardan.

Delima terdiam heran mendengar perkataan Ardan. Sampai dia sadar, kalau telah menjadi seorang istri. Tentu harus mengikuti di mana suaminya tinggal.

"Tapi ... kita engga langsung pindah ke rumah Kakak 'kan?" tanya Delima lirih.

Ardan tersenyum. " Engga kok. Kita beberapa hari di sini dulu. Jadi engga keburu-buru," sahut Ardan menenangkan.

Delima mengangguk sambil tersenyum. Paling tidak, dia ada waktu untuk mempersiapkan diri. Delima merasa beruntung, memiliki Ardan sebagai suami. Dia paham betul dengan perasaannya.

"Yaudah, Delima keluar dulu, ya. Kalau udah selesai urusannya, langsung ke ruang keluarga aja. Katanya, Ayah mau ngobrol-ngobrol," ujar Delima.

"Iya."

Setelah semua baju dan beberapa barang lainnya sudah diletakkan di lemari. Segera Ardan membersihkan diri di kamar mandi. Tak lama, dia pun keluar menuju ruang keluar. Tak ingin membuat sang mertua menunggu terlalu lama.

"Jadi, apa yang mau ayah bicarakan?" tanya Ardan seraya duduk di sofa.

"Ini soal pekerjaanmu. Kamu mau tetap kerja di sana atau ikut kerja di tempat Ayah aja?" tanya Arya.

"Untuk sekarang, saya tetap di pekerjaan lama saja. Tak enak rasanya tiba-tiba ikut kerja dengan Ayah. Takut dikira nepotisme. Lagi, gaji Ardan insyaAllah cukup untuk menafkahi Delima," jawab Ardan pasti.

Arya mengangguk. Bersyukur dengan sikap menantunya. Terpikir olehnya, apakah benar Ardan benar yang menghamili Delima? Apakah jalan yang dia pilih sudah benar?

"Mungkin, ini sedikit terlambat. Tapi, sejak kapan kamu saling kenal dengan Delima?" tanya Arya penasaran.

"Kami kenal 1 bulan yang lalu. Atau lebih tepatnya desember kemarin, Yah. Saat acara perpisahan di SMA Hadeka. Kebetulan saya diundang sebagai alumni," sahut Ardan.

"1 bulan yang lalu? Tapi, kehamilan Delima sepertinya sudah 1 bulan lebih karena biasanya testpack baru bisa mendeteksi kehamilan setelah usia kandungan lebih dari 4 minggu," batin Arya.

"Ardan, seandainya yang kamu katakan dulu benar, tentang bukan kamu yang menghamili Delima. Apakah setelah Delima melahirkan nanti, kamu akan meninggalkannya?" tanya Pak Arya serius.

"Saya ...."

"Yah, tolong, Delima pingsan lagi," teriak Bu Reni dari arah dapur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!