Ketakutan

Jam menunjukkan pukul 8 malam, Ardan mengetuk pintu kamar Delima.

"Del, yuk, makan," ajak Ardan.

Delima keluar dengan wajah cemberut.

"Ih, masih ngambek aja, nih. Udah dong marahnya. Yuk, makan bareng," ajak Ardan sekali lagi.

Delima berjalan lebih dulu ke arah meja makan. Ardan tersenyum mengikuti dari belakang.

"Aku engga suka makan sayur ini, Kak," gerutu Delima.

"Coba dulu. Enak loh itu. Bagus buat kandungan kamu," jelas Ardan seraya mengambilkan beberapa sendok tumis sayur katuk.

Sedikit enggan Delima memasukkan sayur tersebut ke mulutnya. Raut wajahnya berubah, saat merasakan sayur masakan suaminya ini.

"Eh, kok, ini enak?" puji Delima.

"Enaklah. Kan aku yang masak," sahut Ardan bangga.

"Biasanya kalo masakan Bi Tuti tuh sayurnya dimasak kuah gitu, hambar," tutur Delima.

"Makanya, jangan asal bilang engga enak. Kamu cuma belum nemu yang rasanya pas aja," ucap Ardan lalu menyendokkan nasi dan ikan nila ke mulutnya.

"Ehehehe, iya iya."

"Jadi, gimana? Mau engga besok kita jalan ke kota Garena. Nginap 2 hari 1 malam, mumpung masih ada waktu. Senin aku udah masuk kerja, loh?" tanya Ardan.

"Boleh, deh. Tapi, di sana nanti jangan macam-macam, ya." Delima mengancam Ardan.

"Ih, kepedean. Kalo nunggu macam-macam sih sekarang juga bisa," sahut Ardan tertawa lepas.

"Kok bisa?"

"Ya namanya juga suami istri, kalo macam-macam ya engga papa," cetus Ardan.

"Ih, Kak Ardan mesum."

"Apaan. Kan aku cuma ngomong soal fakta. Lagian, kalau aku mau aneh-aneh, harusnya dari dulu-dulu. Pas kamu tiba-tiba datang ke rumah dengan badan kuyup, itu ada kesempatan 'kan? Tapi, aku engga lakuin hal aneh. Karena apa? Itu karena aku lelaki sejati," ucap Ardan.

"Iya deh percaya akunya," sahut Delima.

Setelah selesai makan malam, Ardan dan Delima bersantai di depan televisi. Tengah asik menonton film barat yang sedang ditayangkan.

Adegan aksi membius perhatian Ardan dan Delima. Hingga tiba-tiba lampu mati mendadak.

"Kyaaa," teriak Delima histeris.

Delima meraba-raba mencari tubuh Ardan. Setelah didapatinya, segera Delima memeluk Ardan dengan erat. Dia begitu ketakutan.

"Del, engga papa. Cuma lampu padam. Aku mau ambil senter dulu, ya," kata Ardan menenangkan.

"Engga! Kakak di sini aja. Aku takut," pekik Delima.

Ardan pun menuruti keinginan Delima. Sepertinya, Delima begitu takut dengan kegelapan. Untungnya, tak berapa lama listrik kembali menyala.

Delima mengendurkan pelukannya. Segera, dia menyeka air mata yang membasahi pipi.

"Kamu engga papa? Aku ambilin air dulu, ya." Ardan lalu melangkah ke dapur untuk mengambil air.

Secepat kilat, air yang dibawakan Ardan tandas diminum Delima. Tampak sekali, kalau dia masih ketakutan.

"Ada apa, Del? Ayo cerita ke Kakak," pinta Ardan.

"Aku takut, Kak. A—aku diperkosa saat mati lampu," ucap Delima terisak.

Delima menangis keras sambil memeluk tubuh Ardan. Tubuhnya bergetar keras, pertanda dia masih trauma akan kejadian yang pernah menimpanya.

"Kenapa kamu engga cerita ke ayah, Del? Harusnya kamu seret laki-laki itu ke penjara," geram Ardan.

"Engga, Kak. Aku engga mau ketemu orang itu lagi. Aku takut, aku benci, bahkan aku jijik sama diri aku sendiri," ungkap Delima.

"Aku engga mau dinikahin sama lelaki bejat itu. Gara-gara dia, hidup aku hancur. Bahkan, aku jadi ikut ngehancurin hidup Kakak." Delima kembali menangis pilu.

Ardan terdiam mendapati respon Delima. Dibalik sikapnya yang terlihat baik-baik saja. Rupanya menyimpan trauma yang begitu besar.

Sebenarnya dia masih ingin bertanya. Namun, diurungkan karena rasa iba mendominasi hatinya kini. Biarlah, perlahan-lahan saja, sampai Delima siap menceritakan semuanya.

Ardan pun meraih kepala Delima, lalu mendekapnya erat, mencoba memberi ketenangan. Delima pun menyambut dekapan Ardan dengan erat, cengkraman tangannya kuat memeluk punggung Ardan.

"Udah larut, ayo tidur," ajak Ardan.

Delima mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya. Sedang Ardan masih duduk terpaku di depan televisi.

"Sial. Gara-gara satu bajingan, hidup dua orang hancur sekaligus," ucap Ardan emosi.

***

Keesokan harinya, Delima tengah berkutat di dapur. Memasak nasi goreng untuk sarapan dirinya dan Ardan.

Meski tak terlalu pandai memasak, dia bisa memasak beberapa menu. Merebus mie dan memasak nasi goreng salah satunya.

Setelah dua piring nasi goreng tersedia, segera Delima mengetuk pintu kamar Ardan. Mengajak Ardan untuk makan bersama.

"Wah, ternyata kami bisa masak juga, toh. Enak rasanya," puji Ardan.

"Bisa kalo cuma segini. Soalnya paling gampang, tinggal cemplung dan aduk," balas Delima.

"Jadi, gimana? Jadi engga pergi ke kota Garena-nya?" tanya Ardan memastikan.

"Jadi, Kak. Biar kita healing juga sekalian," sahut Delima.

Ardan mengangguk. Dia dengan lahap memakan masakan Delima. Tak lupa, meminta Delima membawa bekal untuk di perjalanan nanti.

"Kita bawa banyak baju engga?" tanya Delima.

"Dikit aja. Cukup beberapa lembar. Toh, lebih banyak jalan dan cari makannya nanti," jawab Ardan.

Delima pun memasukkan baju miliknya dan milik Ardan ke dalam satu koper. Biar lebih ringkas dan mudah membawanya. Toh, mereka hanya bermalam selama 2 hari 1 malam. Jadi, tak perlu menggunakan 2 koper.

"Sekalian bawa cemilan, Del. Biar ada yang dikunyah pas lagi di mobil," ucap Ardan seraya membawa koper yang telah dikemas oleh Delima.

Delima melangkah ke dapur, mengambil beberapa camilan yang mereka simpan di kulkas. Lalu membawanya keluar dan meletakkannya di kursi belakang mobil.

"Oke, udah semua kan ya? Engga ada yang ketinggalan, 'kan?" Ardan memastikan tidak ada barang yang terlupa.

"Oh, aku belum ngasih tau ayah sama mama kalo kita mau ke Garena," seru Delima.

"Aku udah ngasih tau mereka tadi di telepon. Katanya, Radi kesel pengen ikutan juga, tapi engga bisa karena lagi ada kerjaan."

"Ngajak Kak Radi tu ngerepotin tau. Dia yang paling ribet kalo mau pergi," kata Delima.

Ardan terkekeh mendengar perkataan Delima. Seorang Radian yang temperamen, ternyata begitu heboh kalau akan berpergian.

"Kalo gitu, udah siap berangkat, Del?" tanya Ardan seraya membukakan pintu mobil.

"Pastinya." Delima langsung masuk ke dalam mobil.

Tak lama berselang, mobil mereka telah melaju di jalan tol. Sesekali mereka singgah di beberapa taman. Sambil memakan bekal yang tadi dibuat Delima.

"Akhirnya kita sampai juga," kata Delima saat mobil berhenti tepat di depan hotel Angkira.

Ardan mengambil kunci kamar di tempat resepsionis hotel. Setelahnya, dia langsung menuju kamar milik mereka berdua. Koper sengaja dibawa sendiri agar lebih cepat.

"Wah, pemandangannya bagus," pekik Delima.

Tampak pemandangan pantai dari kamar hotel mereka. Warna biru mendominasi dari langit hingga air laut.

"Kita istirahat dulu ya, tanganku masih pegal sehabis nyetir lama," ujar Ardan.

"Kak, kok kasurnya begini?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!