"Delima kabur tadi malam karena saya menemukan testpack ini di kamarnya," papar Arya.
"Setelah kami berusaha mencari semalaman. Akhirnya kami tahu, bahwa Delima bersembunyi di tempatmu. Kalian harus menikah bulan ini juga!" perintah Arya—ayah Delima.
"Tapi, saya sungguh, bukan yang menghamili anak Bapak," sahut Ardan memberi penolakan.
"Dasar laki-laki brengsek. Laki-laki dan perempuan seatap di malam hari, memangnya apa yang akan mereka lakukan, hah!?" bentak Arya.
Ardan menatap ke arah Delima meminta penjelasan. Namun, Delima hanya menangis sambil menutupi wajahnya. Tidak ada tanda-tanda dia akan membantu untuk menjelaskan.
Ardan meremas rambutnya kasar. Embusan napas terdengar kencang dari mulutnya. Dia menyesali kejadian yang terjadi semalam. Harusnya, dia biarkan saja Delima mati kedinginan di luar rumahnya.
"Kami tidak melakukan apa pun semalam. Delima tidur di kamar. Sedangkan, saya tidur di sofa." Ardan berusaha menjelaskan.
"Apa buktinya?" sahut Radian sambil menatap tajam Ardan.
"Tanya saja Delima. Memang begitulah kenyataannya," jawab Ardan.
Delima hanya menunduk saat dipandangi oleh Radian dan keluarganya. Rasa mual yang datang mendadak, membuat Delima berlari ke arah kamar mandi. Suara Delima muntah, terdengar oleh telinga orang-orang yang sedang berkumpul.
"Delima tidak menjawab. Artinya kamu berbohong. Lagi pula, seandainya yang kamu katakan benar. Harusnya kamu mengantarkan Delima untuk pulang ke rumahnya. Ke rumah ini! Bukannya membiarkannya menginap di tempatmu." Arya menekan suaranya.
Ardan tak bisa menjawab perkataan ayah Delima yang menyudutkannya. Dia memang tak mempunyai bukti otentik, untuk membuktikan perkataannya. Akhirnya, dia hanya bisa pasrah dengan segala tuduhan dan makian yang diarahkan padanya.
"Kami akan mengurus semuanya. Jangan berpikir untuk kabur. Karena kami tidak akan membiarkanmu untuk lolos." Ancam Radian.
Delima kembali dari kamar mandi bersama ibunya. Dia tampak begitu lemas setelah muntah beberapa kali. Sorot mata Delima bertemu dengan Ardan, seakan berkata 'Maafkan aku'."
Setelah pembicaraan usai, Ardan diantar pulang ke rumahnya. Tentu saja diantar oleh Radian, agar Ardan tidak bisa pergi kabur. Tanggal dan tempat telah ditentukan, tinggal menunggu hari-H saja. Keputusan yang sebenarnya sangat ingin Ardan tentang.
Ardan memhempaskan badannya di sofa, seraya memijit dahi. Siapa yang menyangka, bahwa membiarkan Delima menginap semalam, harus berbuntut panjang seperti ini? Dunianya serasa runtuh tiba-tiba.
Mau tak mau, akhirnya Ardan bergerak menuju kamarnya. Dia terpaksa mengambil beberapa dokumen untuk diberikan pada Radian. Dokumen untuk pernikahannya nanti.
"Jangan berpikir untuk kabur. Elu bakal mati kalo nyoba ngelakuinnya," ucap Radian, saat mengantar Ardan pulang tadi siang.
Ancaman Radian masih terngiang di telinga Ardan. Begitu pula dengan rasa sakit akibat tinjuannya. Ardan tak ingin mengambil resiko, dia tak ingin mati konyol dengan berusaha kabur.
Lagi pula, keluarga Delima terkenal kaya. Tentu tak sulit untuk menemukan persembunyiannya saat kabur. Yah, barang tentu dengan bantuan uang dan kekuasaan yang mereka miliki.
***
Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan. Meski, sama sekali tak diharapkan oleh Ardan. Namun, tetap jua harus dia jalani.
Pesta digelar dengan sangat meriah. Untuk ukuran juragan tanah, tentu itu adalah hal biasa. Apalagi, ini adalah pernikahan si anak bungsu. Anak kesayangan seluruh keluarga Arya Wijaya.
Delima tampak cantik dengan balutan gaun putih. Dia terus tersenyum meski terlihat lelah, juga tampak ada sisa bengkak di mata akibat menangis.
Ardan terus berusaha memasang wajah senang, meski sebenarnya ada rasa canggung duduk bersisian dengan Delima. Apalagi, Delima sama sekali tak berbicara dengannya sedari kejadian waktu itu. Bahkan, saat ijab kabul, Delima hanya menunggu di dalam kamar.
Setelah, ikrar sah telah disenandungkan, barulah Delima keluar dan bertemu dengan Ardan. Itu pun, mereka tak sempat berbicara, karena langsung disuruh untuk bersalaman dengan para saksi dan keluarga.
"Wah, udah laku aja nih," sapa Aden—teman sekantor Ardan.
"Iya, nih. Mana tau-tau nikahin gadis muda pula," ucap Serlan seraya menepuk bahu Ardan.
Ardan tersenyum sambil menyalami kawan sekantor yang datang ke pernikahannya. Tak menyangka mereka benar-benar mau datang.
Terlihat di belakang Aden dan Serlan masih ada teman yang lain. Sampai pada pandangan Ardan tertuju pada Alena. Gadis yang selama ini dekat dengannya di kantor.
"Selamat, ya," kata Alena lirih.
"Terima kasih," sahut Ardan sambil tersenyum canggung.
Meski tak memiliki status yang resmi. Hampir semua anak kantor tahu dengan hubungan Ardan dan Alena. Bahkan, banyak yang mengira mereka akan bersama nantinya. Ah, siapa yang bisa mengira memangnya?
"Selamat ya. Kamu pengantin yang sangat cantik," kata Alena memuji Delima.
"Terima kasih. Silakan dimakan jamuannya," jawab Delima.
Pandangan Ardan tak lepas, saat Alena menjauh dari pelaminan. Delima yang melihat itu pun tampak merasa sangat bersalah.
"Maafin aku ya, Kak. Aku udah hancurin hubungan kalian," bisik Delima pada Ardan saat sesi foto.
Ardan menatap wajah Delima. Bagaimana pun juga, kini Delima adalah istrinya. Dia tak mau menyakitinya, apalagi di tengah kehamilan Delima yang masih muda.
"Tidak apa-apa. Toh, kami memang tidak memiliki hubungan yang terjalin resmi. Hanya kedekatan tanpa status," sahut Ardan seraya menggenggam tangan Delima.
"Maaf, Delima. Sebenarnya ada rasa marah dan kecewaku padamu. Tapi, kebenarannya memang hubunganku dan Alena memang hanya sebatas teman dekat. Rasa suka kami tak pernah saling diucapkan," batin Ardan.
Suasana semakin meriah saat hari menjelang siang. Ditambah lagi, dengan diramaikan oleh para penyanyi papan atas yang diundang. Mungkin karena itulah, Delima merasa keadaan serasa panas dan pengap.
BRUK
"Delima," teriak Ardan seraya menangkap tubuh Delima yang terjatuh.
"Cepat bawa ke belakang," perintah Reni—Ibu Delima.
Suasana sedikit riuh karena tamu undangan melihat Delima pingsan. Segera, Radian beserta Pak Arya mencoba menenangkan. Memberi penjelasan bahwa Delima pingsan karena kelelahan, lagi karena makan terlalu sedikit.
"Lu makan dulu aja. Biar gue yang nungguin Delima," kata Radian pada Ardan.
"Tapi ...."
"Udah makan aja sana. Pasti elu juga capek 'kan ngadepin segitu banyak tamu undangan. Meski kemarin gue marah besar ama lu. Gue engga bakalan tega biarin lu kelaparan, demi jagain adek gue yang lagi pingsan," kata Radian lagi.
Ardan mengangguk mengerti. Dia lalu pergi keluar kamar. Dia pun makan sambil beristirahat sejenak. Tak disangka, menjadi pengantin ternyata sangat melelahkan.
Setelah selesai makan, segera Ardan kembali mendatangi Delima. Takut kalau-kalau terjadi apa-apa. Dia tahu benar, kalau penyebab utama Delima pingsan karena sedang hamil muda.
Tampak Radian tak ada lagi di kamar. Sedangkan, Delima yang telah sadar dari pingsannya, tengah tersandar di ujung ranjang. Begitu melihat Ardan, segera dia memeluk Ardan.
"Maafin aku, ya, Kak. Harusnya aku engga libatin Kakak dalam masalahku," sesal Delima sambil menangis pilu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments