"Kalian harus menikah bulan ini juga!" perintah Arya—ayah Delima.
"Tapi, saya sungguh, bukan yang menghamili anak Bapak," sahut Ardan memberi penolakan.
"Dasar laki-laki brengsek. Laki-laki dan perempuan seatap di malam hari, memangnya apa yang akan mereka lakukan, hah!?" bentak Arya.
Ardan menatap ke arah Delima meminta penjelasan. Namun, Delima hanya menangis sambil menutupi wajahnya. Tidak ada tanda-tanda dia akan membantu untuk menjelaskan.
Ardan meremas rambutnya kasar. Embusan napas terdengar kencang dari mulutnya. Dia menyesali kejadian yang terjadi semalam. Harusnya, dia biarkan saja Delima mati kedinginan di luar rumahnya.
Pada malam itu, saat Ardan baru selesai mandi, terdengar suara ketukan dari luar rumah. Segera, Ardan membuka pintu. Didapatinya Delima tengah basah kuyup di teras rumahnya.
"Delima, ngapain kamu ke sini hujan-hujan begini?" tanya Ardan terkejut.
Delima tak menjawab pertanyaan Ardan. Dia hanya diam sambil memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan.
"Huh, ya udah, masuk sini," kata Ardan seraya mengembuskan napas kencang.
Mereka pun kini telah berada di ruang tamu. Delima tampak menggigil di sofa, segera Ardan mengambilkan handuk untuk Delima.
"Kenapa kamu ke sini? Kamu habis kabur dari rumah apa gimana?" tanya Ardan, seraya menyerahkan handuk yang ada di tangannya pada Delima.
Delima masih saja bungkam. Dia malah menangis sesenggukan di hadapan Ardan. Ardan akhirnya memilih untuk diam. Kalau mau cerita pasti akan buka mulut sendiri, pikir Ardan.
"Kak, biarin aku nginap di sini, ya," pinta Delima pelan.
"Nginap? Kamu udah gila, apa gimana? Mending kamu pulang sekarang. Ayo, aku antar," kata Ardan.
Delima menggelengkan kepala, lalu berkata, "Engga mau. Aku takut."
"Kamu takut pulang ke rumah, tapi engga takut sama aku, lelaki yang kamu kenal lewat dunia maya? Fix, sengklek otakmu," ujar Ardan.
"Umur kita cuma beda 10 tahun, kok. Terus, Kak Ardan juga baik orangnya, jadi aku engga takut," jawab Delima polos.
"Kalo cuma beda 10 tahun emang kenapa?"
"Artinya Kak Ardan masih muda. Bukan om-om mesum gendut. Beda sama yang di televisi," sahut Delima.
"Hah, terserahlah." Ardan mengusap dahinya yang terasa tiba-tiba pusing.
Ardan berjalan ke kamar, dia ingin mengambilkan baju ganti untuk Delima. Baju Delima basah karena hujan, membuat ********** terlihat. Lekuk tubuh gadis 17 tahun itu cukup menggoda bagi Ardan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dia akan tergiur dengan suguhan yang ada di hadapannya.
"Cepat ganti baju sana," perintah Ardan sambil melemparkan baju yang longgar ke arah Delima.
"Ih, Kak Ardan kasar banget, deh."
"Biarin. Sapa suruh bikin sofaku basah," sahut Ardan. "Kalo ganti baju, kamar dikunci!" kata Ardan lagi.
Delima segera mengayunkan langkah menuju kamar Ardan. Tak lupa dia mengunci pintu sesuai dengan perintah Ardan. Setelah selesai berganti pakaian, dia kembali ke ruang tamu, menemui Ardan yang tengah menonton televisi.
"Jadi, kamu udah siap cerita?" tanya Ardan saat Delima duduk di sampingnya.
"Belum." Delima menggeleng, setetes air mata jatuh ke pipinya.
"Harusnya kamu tahu, Del. Nginap di rumah laki-laki itu berbahaya. Apalagi kalau baru kenal seperti kita ini," kata Ardan sambil memijit dahinya.
Delima menundukkan kepalanya. Dia mulai sesenggukan lagi. Seakan baru saja mengalami sebuah musibah yang begitu menyakitkan.
"Kalo kamu emang mau nginap di sini, silakan masuk ke kamarku. Biar aku tidur di sini. Jangan lupa kunci pintu."
"Kenapa?" tanya Delima setelah mengelap air matanya.
"Ya Tuhan. Kamu tanya kenapa? Kalau kamu engga kunci itu pintu, terus aku masuk ke kamar dan apa-apain kamu gimana? Kok yang begitu aja engga paham, sih."
Delima segera masuk ke kamar setelah mendengar penjelasan dari Ardan. Sedangkan Ardan memilih untuk menyalakan sebatang rokok. Dia tak menyangka, tiba-tiba ada anak gadis yang datang ke rumahnya. Semoga saja tidak ada kejadian buruk ke depannya, harap Ardan.
Suara rinai hujan terus mengiringi malam. Ardan pun mematikan rokok miliknya, dan merebahkan badan ke sofa yang panjang. Setelah mematikan televisi dengan remote, segera Ardan memejamkan mata. Untungnya besok hari sabtu, dia bisa bangun siang karena libur kerja.
***
Suara gedoran di pintu membuat Ardan terbangun dari tidur. Segera dia melangkah menuju pintu, supaya tahu apa penyebab suara keributan di depan rumahnya.
Baru saja Ardan membuka pintu, tiba-tiba pintu didorong dengan kencang. Ardan yang dalam posisi tak siap itu pun terjatuh, akibat dorongan pintu tersebut.
"Bangsat, jadi elu yang bawa kabur adik gue!" kata laki-laki berbadan besar, serayu mengayunkan tinju ke wajah Ardan.
Ardan berusaha melawan, tetapi usahanya tak membuahkan hasil. Laki-laki di hadapannya, menyerang dengan begitu membabi buta. Jika saja, beberapa orang yang datang bersama lelaki itu tak menolong, sudah barang tentu Ardan akan mati konyol.
Delima keluar dari kamar karena mendengar suara ribut. Dia berteriak histeris, kala melihat Ardan telah terkulai lemah di lantai. Segera dia berlari menghampiri Ardan yang mulai kehilangan kesadaran.
"Berhenti, Bang. Jangan sakiti Kak Ardan," kata Delima seraya memeluk tubuh Ardan yang penuh dengan luka.
"Kak? Delima, laki-laki ini jauh lebih tua dari kamu. Harusnya kamu manggil dia itu om bukan kakak!" geram Radian—Kakak Delima.
Delima tak menjawab perkataan Radian. Dia terus saja memeluk Ardan sambil menangis sesenggukan. Tak menyangka, kejadiannya akan seperti ini.
"Sudah. Ayo kita pulang. Delima cepat masuk ke mobil," perintah Arya—ayah Delima.
"Ta ... tapi, Yah, gimana sama Kak Ardan?" tanya Delima khawatir.
"Kamu engga usah khawatir. Laki-laki ini akan kita bawa ke rumah. Sebelumnya, akan dibawa ke klinik dulu untuk mengobati lukanya," sahut Arya.
Delima menghela napas dalam, lalu mengembuskannya kencang. Dia tak bisa melawan perintah sang ayah. Segera dia mengayunkan langkah keluar rumah. Saat di teras rumah, Delima menoleh dan menatap Ardan yang masih tergeletak di lantai. Merasa bersalah, karena dia yang menyebabkan Ardan jadi kena amukan kakaknya.
"Maafin aku, Kak Ardan," lirih Delima.
****
Ardan membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat sakit sampai ke tulang. Dipandanginya ruangan yang tampak asing baginya. Juga, wajah-wajah asing yang terlihat marah kepadanya.
"Akhirnya bangun juga cecunguk ini," kata Radian ketus.
"Jaga ucapanmu, Radian," tegur Arya.
Radian terdiam saat mendengar ucapan Arya. Dia segera duduk ke sofa, setelah dari tadi hanya mondar mandir menunggu Ardan sadar.
"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang dan memukuliku? Sekarang kalian juga membawaku ke tempat yang tidak kuketahui," tanya Ardan beruntun.
Arya tak menjawab pertanyaan Ardan. Dia malah meletakkan sebuah tespack ke meja, tepat di hadapan Ardan.
"Apa maksudnya ini?" tanya Ardan bingung saat melihat tespack yang ditunjukkan bapak Delima.
"Delima hamil," kata Arya seraya mengembuskan napas kuat-kuat.
"Apa!?"
"Delima kabur tadi malam karena saya menemukan testpack ini di kamarnya," papar Arya.
"Setelah kami berusaha mencari semalaman. Akhirnya kami tahu, bahwa Delima bersembunyi di tempatmu. Kalian harus menikah bulan ini juga!" perintah Arya—ayah Delima.
"Tapi, saya sungguh, bukan yang menghamili anak Bapak," sahut Ardan memberi penolakan.
"Dasar laki-laki brengsek. Laki-laki dan perempuan seatap di malam hari, memangnya apa yang akan mereka lakukan, hah!?" bentak Arya.
Ardan menatap ke arah Delima meminta penjelasan. Namun, Delima hanya menangis sambil menutupi wajahnya. Tidak ada tanda-tanda dia akan membantu untuk menjelaskan.
Ardan meremas rambutnya kasar. Embusan napas terdengar kencang dari mulutnya. Dia menyesali kejadian yang terjadi semalam. Harusnya, dia biarkan saja Delima mati kedinginan di luar rumahnya.
"Kami tidak melakukan apa pun semalam. Delima tidur di kamar. Sedangkan, saya tidur di sofa." Ardan berusaha menjelaskan.
"Apa buktinya?" sahut Radian sambil menatap tajam Ardan.
"Tanya saja Delima. Memang begitulah kenyataannya," jawab Ardan.
Delima hanya menunduk saat dipandangi oleh Radian dan keluarganya. Rasa mual yang datang mendadak, membuat Delima berlari ke arah kamar mandi. Suara Delima muntah, terdengar oleh telinga orang-orang yang sedang berkumpul.
"Delima tidak menjawab. Artinya kamu berbohong. Lagi pula, seandainya yang kamu katakan benar. Harusnya kamu mengantarkan Delima untuk pulang ke rumahnya. Ke rumah ini! Bukannya membiarkannya menginap di tempatmu." Arya menekan suaranya.
Ardan tak bisa menjawab perkataan ayah Delima yang menyudutkannya. Dia memang tak mempunyai bukti otentik, untuk membuktikan perkataannya. Akhirnya, dia hanya bisa pasrah dengan segala tuduhan dan makian yang diarahkan padanya.
"Kami akan mengurus semuanya. Jangan berpikir untuk kabur. Karena kami tidak akan membiarkanmu untuk lolos." Ancam Radian.
Delima kembali dari kamar mandi bersama ibunya. Dia tampak begitu lemas setelah muntah beberapa kali. Sorot mata Delima bertemu dengan Ardan, seakan berkata 'Maafkan aku'."
Setelah pembicaraan usai, Ardan diantar pulang ke rumahnya. Tentu saja diantar oleh Radian, agar Ardan tidak bisa pergi kabur. Tanggal dan tempat telah ditentukan, tinggal menunggu hari-H saja. Keputusan yang sebenarnya sangat ingin Ardan tentang.
Ardan memhempaskan badannya di sofa, seraya memijit dahi. Siapa yang menyangka, bahwa membiarkan Delima menginap semalam, harus berbuntut panjang seperti ini? Dunianya serasa runtuh tiba-tiba.
Mau tak mau, akhirnya Ardan bergerak menuju kamarnya. Dia terpaksa mengambil beberapa dokumen untuk diberikan pada Radian. Dokumen untuk pernikahannya nanti.
"Jangan berpikir untuk kabur. Elu bakal mati kalo nyoba ngelakuinnya," ucap Radian, saat mengantar Ardan pulang tadi siang.
Ancaman Radian masih terngiang di telinga Ardan. Begitu pula dengan rasa sakit akibat tinjuannya. Ardan tak ingin mengambil resiko, dia tak ingin mati konyol dengan berusaha kabur.
Lagi pula, keluarga Delima terkenal kaya. Tentu tak sulit untuk menemukan persembunyiannya saat kabur. Yah, barang tentu dengan bantuan uang dan kekuasaan yang mereka miliki.
***
Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan. Meski, sama sekali tak diharapkan oleh Ardan. Namun, tetap jua harus dia jalani.
Pesta digelar dengan sangat meriah. Untuk ukuran juragan tanah, tentu itu adalah hal biasa. Apalagi, ini adalah pernikahan si anak bungsu. Anak kesayangan seluruh keluarga Arya Wijaya.
Delima tampak cantik dengan balutan gaun putih. Dia terus tersenyum meski terlihat lelah, juga tampak ada sisa bengkak di mata akibat menangis.
Ardan terus berusaha memasang wajah senang, meski sebenarnya ada rasa canggung duduk bersisian dengan Delima. Apalagi, Delima sama sekali tak berbicara dengannya sedari kejadian waktu itu. Bahkan, saat ijab kabul, Delima hanya menunggu di dalam kamar.
Setelah, ikrar sah telah disenandungkan, barulah Delima keluar dan bertemu dengan Ardan. Itu pun, mereka tak sempat berbicara, karena langsung disuruh untuk bersalaman dengan para saksi dan keluarga.
"Wah, udah laku aja nih," sapa Aden—teman sekantor Ardan.
"Iya, nih. Mana tau-tau nikahin gadis muda pula," ucap Serlan seraya menepuk bahu Ardan.
Ardan tersenyum sambil menyalami kawan sekantor yang datang ke pernikahannya. Tak menyangka mereka benar-benar mau datang.
Terlihat di belakang Aden dan Serlan masih ada teman yang lain. Sampai pada pandangan Ardan tertuju pada Alena. Gadis yang selama ini dekat dengannya di kantor.
"Selamat, ya," kata Alena lirih.
"Terima kasih," sahut Ardan sambil tersenyum canggung.
Meski tak memiliki status yang resmi. Hampir semua anak kantor tahu dengan hubungan Ardan dan Alena. Bahkan, banyak yang mengira mereka akan bersama nantinya. Ah, siapa yang bisa mengira memangnya?
"Selamat ya. Kamu pengantin yang sangat cantik," kata Alena memuji Delima.
"Terima kasih. Silakan dimakan jamuannya," jawab Delima.
Pandangan Ardan tak lepas, saat Alena menjauh dari pelaminan. Delima yang melihat itu pun tampak merasa sangat bersalah.
"Maafin aku ya, Kak. Aku udah hancurin hubungan kalian," bisik Delima pada Ardan saat sesi foto.
Ardan menatap wajah Delima. Bagaimana pun juga, kini Delima adalah istrinya. Dia tak mau menyakitinya, apalagi di tengah kehamilan Delima yang masih muda.
"Tidak apa-apa. Toh, kami memang tidak memiliki hubungan yang terjalin resmi. Hanya kedekatan tanpa status," sahut Ardan seraya menggenggam tangan Delima.
"Maaf, Delima. Sebenarnya ada rasa marah dan kecewaku padamu. Tapi, kebenarannya memang hubunganku dan Alena memang hanya sebatas teman dekat. Rasa suka kami tak pernah saling diucapkan," batin Ardan.
Suasana semakin meriah saat hari menjelang siang. Ditambah lagi, dengan diramaikan oleh para penyanyi papan atas yang diundang. Mungkin karena itulah, Delima merasa keadaan serasa panas dan pengap.
BRUK
"Delima," teriak Ardan seraya menangkap tubuh Delima yang terjatuh.
"Cepat bawa ke belakang," perintah Reni—Ibu Delima.
Suasana sedikit riuh karena tamu undangan melihat Delima pingsan. Segera, Radian beserta Pak Arya mencoba menenangkan. Memberi penjelasan bahwa Delima pingsan karena kelelahan, lagi karena makan terlalu sedikit.
"Lu makan dulu aja. Biar gue yang nungguin Delima," kata Radian pada Ardan.
"Tapi ...."
"Udah makan aja sana. Pasti elu juga capek 'kan ngadepin segitu banyak tamu undangan. Meski kemarin gue marah besar ama lu. Gue engga bakalan tega biarin lu kelaparan, demi jagain adek gue yang lagi pingsan," kata Radian lagi.
Ardan mengangguk mengerti. Dia lalu pergi keluar kamar. Dia pun makan sambil beristirahat sejenak. Tak disangka, menjadi pengantin ternyata sangat melelahkan.
Setelah selesai makan, segera Ardan kembali mendatangi Delima. Takut kalau-kalau terjadi apa-apa. Dia tahu benar, kalau penyebab utama Delima pingsan karena sedang hamil muda.
Tampak Radian tak ada lagi di kamar. Sedangkan, Delima yang telah sadar dari pingsannya, tengah tersandar di ujung ranjang. Begitu melihat Ardan, segera dia memeluk Ardan.
"Maafin aku, ya, Kak. Harusnya aku engga libatin Kakak dalam masalahku," sesal Delima sambil menangis pilu.
"Kalau kamu sedari awal sadar semua ini salah, kenapa kamu engga jelasin semuanya ke keluarga kamu, Del?" tanya Ardan sambil memegang bahu Delima.
Delima hanya menggeleng sambil menangis sesenggukan. Seakan ada sesuatu yang berat yang tak bisa dia ucapkan.
Ardan hanya bisa mengembuskan napas kasar dengan sikap Delima. Bagaimana dia akan menjalani hidup ke depannya nanti? Sedangkan berbicara saja tak membuahkan hasil apa-apa.
"Sudahlah. Kita bicarakan ini nanti lagi," kata Ardan berusah menurunkan egonya.
Tak lama, ibu Delima datang dengan membawa nampan berisi makanan. Berjalan menuju Ardan dan Delima yang tengah diam membisu.
"Delima, ayo makan dulu, Nak. Nak Ardan, kamu sudah makan?" tanya Bu Reni.
"Saya sudah, Bu," sahut Ardan.
"Jangan panggil ibu, sekarang kamu menantu Mama. Jadi, panggil dengan sebutan mama," kata Bu Reni lagi.
"Baik, Ma."
Delima disuapi oleh Bu Reni. Dia hanya mau makan sedikit. Mual katanya, mungkin bawaan dari kehamilannya.
Radian datang, lalu berkata, "Ayo cepat keluar. Tamu undangan udah lama menunggu. Sekarang sudah waktunya sesi foto keluarga."
Setelah itu, Radian langsung beranjak menuju ke depan. Segera Delima dirapikan makeupnya oleh perias pengantin. Tak mungkin keluar dan menemui tamu undangan dengan tampilan yang kusut masai.
"Waaah, pengantinnya udah keluar itu." Tunjuk seorang wanita yang tengah duduk di kursi dekat area pelaminan.
"Aduh, aduh, mesra kali lah pengantin kita ini," kata salah satu tamu undangan.
Melihat Ardan dan Delima yang datang dari belakang sambil bergandengan, membuat para undangan riuh. Ramai mereka memuji dan membercandai si pengantin baru.
"Nah, untuk tamu undangan, silakan yang mau berfoto dan bersalaman," kata fotografer.
Segera, antrian mengular untuk mendapat bagian untuk bersalaman dan berfoto dengan pengantin. Tak hanya berfoto, bahkan ada yang mengajak untuk membuat video konten pula di sana.
Waktu telah menunjukkan jam 2 siang, para tamu undangan pun telah pulang. Ardan dan Delima akhirnya bisa beristirahat. Menyandarkan diri di kursi sofa yang empuk.
"Ternyata jadi pengantin itu melelahkan. Harus selalu tersenyum sampai gigi jadi kering," keluh Ardan.
"Pinggangku rasanya mau patah. Duduk, berdiri, duduk berdiri, gitu aja terus sampai tamu undangan habis," keluh Delima pula tak mau kalah.
"Tapi, capeknya cuma sehari aja 'kan," sela Radian.
Ardan dan Delima mengangguk bersamaan. Tak menyangka dengan sikap Radian yang cukup hangat. Berbanding terbalik dengan pertemuannya yang pertama kali bertemu Ardan.
"Jadi, Ardan, sekarang elu jadi adik ipar gue. Yah, walau gue masih engga nerima elu sepenuhnya, sih. Tolong jaga adik kesayangan gue, sekarang dia udah jadi istri lu. Jangan sakiti dia," pinta Radian tulus.
"Baik, Bang. Gue akan jaga Delima baik-baik, beserta bayi yang ada dalam kandungannya," sahut Ardan bersungguh-sungguh.
"Dan juga, tolong pahami, kalau rasa makanannya nanti engga enak. Dia engga bisa masak soalnya. Biasa serba dilayanin," sambung Radian.
"Ih, Kak Radi, jangan bilang gitu dong. Kan malu," rengek Delima, tampak wajahnya memerah karena malu.
"Kalian nanti tidur di kamar depan, ya," perintah Bu Reni.
"Loh, kenapa engga di kamar Delima, Ma?" tanya Delima heran.
"Kamarku kan kecil, Del. Mana cukup ranjangmu buat tidur berdua," sahut Bu Reni.
"Ih, kan aku tidur sendiri di kamarku. Kak Ardan tidur di kamar tamu," sanggah Delima.
"Heh, bocah labil. Mana ada, pengantin baru tidurnya misah. Udah sah jadi suami istri juga," ujar Radian gemas dengan Delima.
Pak Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala karena melihat sikap putrinya. Putrinya yang telah menikah, tapi masih terlalu polos dengan dunia rumah tangga.
"Kamu nurut aja, apa kata mama. Toh, kamar kamu kan banyak bonekanya. Kasian Ardan harus tidur di kamar yang warnanya serba pink semua," ujar Pak Arya pula, membuat Delima jadi mati kutu merasa kalah.
"Lalu, besok kalian coba bertamu ke rumah beberapa keluarga, ya. Mereka pengen ketemu katanya," ucap Bu Reni.
"Besok kan hari senin. Kak Ardan harus pergi ke kantor, Ma," kelit Delima.
"Haduh, haduh. Mana ada yang habis nikah langsung masuk kerja. Ya pasti ambil cuti dulu lah, Del. Paling bentar 3 hari," jelas Pak Arya.
"Oh, gitu ya? Emang bener Kak Ardan?" tanya Delima.
"Iya. Aku ambil cuti seminggu. Jadi, senin depan baru masuk kerja," sahut Ardan.
Setelah selesai berdiskusi, Ardan pun membawa masuk kopernya ke kamar depan. Lebih tepatnya, kamar untuk tamu yang sering tak dipakai. Delima pun mengantarkan beberapa camilan untuk Ardan.
"Kakak cuma bawa baju segini? Dikit banget," tanya Delima seraya membantu memasukkan baju ke dalam lemar.
"Udah cukuplah itu, Del. Kan cuma buat beberapa hari," sahut Ardan.
"Lebih baik, kamu dari sekarang siapin baju-baju yang mau kamu bawa nanti. Biar engga keteteran," sambung Ardan.
Delima terdiam heran mendengar perkataan Ardan. Sampai dia sadar, kalau telah menjadi seorang istri. Tentu harus mengikuti di mana suaminya tinggal.
"Tapi ... kita engga langsung pindah ke rumah Kakak 'kan?" tanya Delima lirih.
Ardan tersenyum. " Engga kok. Kita beberapa hari di sini dulu. Jadi engga keburu-buru," sahut Ardan menenangkan.
Delima mengangguk sambil tersenyum. Paling tidak, dia ada waktu untuk mempersiapkan diri. Delima merasa beruntung, memiliki Ardan sebagai suami. Dia paham betul dengan perasaannya.
"Yaudah, Delima keluar dulu, ya. Kalau udah selesai urusannya, langsung ke ruang keluarga aja. Katanya, Ayah mau ngobrol-ngobrol," ujar Delima.
"Iya."
Setelah semua baju dan beberapa barang lainnya sudah diletakkan di lemari. Segera Ardan membersihkan diri di kamar mandi. Tak lama, dia pun keluar menuju ruang keluar. Tak ingin membuat sang mertua menunggu terlalu lama.
"Jadi, apa yang mau ayah bicarakan?" tanya Ardan seraya duduk di sofa.
"Ini soal pekerjaanmu. Kamu mau tetap kerja di sana atau ikut kerja di tempat Ayah aja?" tanya Arya.
"Untuk sekarang, saya tetap di pekerjaan lama saja. Tak enak rasanya tiba-tiba ikut kerja dengan Ayah. Takut dikira nepotisme. Lagi, gaji Ardan insyaAllah cukup untuk menafkahi Delima," jawab Ardan pasti.
Arya mengangguk. Bersyukur dengan sikap menantunya. Terpikir olehnya, apakah benar Ardan benar yang menghamili Delima? Apakah jalan yang dia pilih sudah benar?
"Mungkin, ini sedikit terlambat. Tapi, sejak kapan kamu saling kenal dengan Delima?" tanya Arya penasaran.
"Kami kenal 1 bulan yang lalu. Atau lebih tepatnya desember kemarin, Yah. Saat acara perpisahan di SMA Hadeka. Kebetulan saya diundang sebagai alumni," sahut Ardan.
"1 bulan yang lalu? Tapi, kehamilan Delima sepertinya sudah 1 bulan lebih karena biasanya testpack baru bisa mendeteksi kehamilan setelah usia kandungan lebih dari 4 minggu," batin Arya.
"Ardan, seandainya yang kamu katakan dulu benar, tentang bukan kamu yang menghamili Delima. Apakah setelah Delima melahirkan nanti, kamu akan meninggalkannya?" tanya Pak Arya serius.
"Saya ...."
"Yah, tolong, Delima pingsan lagi," teriak Bu Reni dari arah dapur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!