Luluh

Delima terbangun dari tidur. Dia melihat sekeliling, tak ada Ardan di sana. Perasaan takut tiba-tiba melanda.

"Kak Ardan, Kakak di mana?" teriak Delima.

"Kak, jangan tinggalin aku di sini sendirian. Aku takut."

"Kak, tolong datang."

Delima menangis memeluk lututnya. Semua barang di kasur dilempar ke sembarang arah. Keadaan kamar telah berantak tak beraturan.

Ardan yang baru saja tiba, terkejut melihat keadaan kamar yang begitu berantakan. Ditambah, Delima yang menangis keras tersandar di dekat ranjang.

"Del, kamu kenapa?" tanya Ardan seraya membawa Delima ke dalam dekapannya.

"Aku takut. Aku kira Kakak ninggalin aku di sini. Aku kira Kakak akan pergi ninggalin aku gitu aja," isak Delima.

"Aku cuma keluar sebentar. Aku beliin oleh-oleh buat orang rumah. Sekalian, beliin kamu makanan buat nanti malam," jelas Ardan.

"Aku kira Kakak bakalan ninggalin aku kaya bajingan itu. Dia ninggalin aku setelah dapat apa yang dia mau. Aku takut, Kak."

Ardan mendekap Delima lebih erat. Berharap pelukannya bisa membuat Delima lebih tenang.

"Udah, ya. Jangan nangis lagi. Kasian dede bayi, nanti dia stres," bujuk Ardan.

"Seandainya bayi ini engga ada. Aku engga akan sehancur ini!"

"Jangan salahin bayi dalam kandungan kamu, Del. Dia engga salah. Bukan dia yang mau." Ardan berusaha memberi pengertian.

"Tapi, bener kan, Kak. Seandainya bayi ini engga ada, hidup aku engga akan hancur. Kakak engga akan terjebak dalam pernikahan ini," tampik Delima.

"Udah, udah. Semua yang udah terjadi, biarlah terjadi. Aku engga menyesal udah menikahi kamu, oke? Berhenti nyalahin diri kamu," ucap Ardan.

"Jangan pernah mikir kayak gitu lagi, ya. Mulai sekarang, aku ayah dari bayi dalam kandungan kamu. Engga usah bahas soal yang lain lagi," sambung Ardan.

Delima menatap wajah Ardan. Bulir air mata masih membasahi pipinya. Dilepaskannya pelukan Ardan, berusaha mengendalikan diri.

Setelah menyeka air matanya, Delima mengangguk. "Terima kasih, Kak. Kalau bukan Kakak, aku engga tau gimana hidup aku ke depannya," ujar Delima.

Ardan membawa Delima untuk duduk di atas kasur. Bertanya kenapa ruangan sampai berantakan seperti itu.

"Bukannya tadi aku udah bilang, kalau aku mau keluar. Terus kenapa kamu sampai berantakin kamar begini?"

"Aku lupa soal pesan Kakak. Soalnya tadi pas lagi ngantuk. Terus pas bangun, aku engga liat Kakak. Aku kira Kakak sengaja pergi, supaya bisa lepas dari aku. Aku ketakutan, aku engga bisa ngendaliin diri."

Ardan menghela napas dalam, lalu mengembuskannya kencang.

"Del, kamu udah jadi istri aku sekarang. Engga mungkin aku ninggalin kamu. Persetan dengan terpaksa nikah atau apa pun itu, aku engga bakal kabur. Kamu udah jadi tanggung jawabku, sampai nanti pun akan terus begitu," ungkap Ardan.

Delima tampak diam meresapi ucapan Ardan. Sebegitu besar pengertian Ardan, meski telah terpaksa menikah dengannya. Tak sedikit pun, Ardan berniat untuk pergi dari hidupnya.

"Udah, ya. Sekarang lebih baik kamu makan dulu. Tenaga kamu pasti abis buat nangis kaya gini. Kasian dede bayi dalam perut kamu."

Ardan memasukkan bakso yang dibeli tadi siang ke dalam mangkuk. Dua mangkok bakso pun tersedia di atas meja.

Delima pun segera duduk mendekati mangkuk bakso miliknya.

"Tadi belinya berapa porsi?"

"5 porsi," sahut Ardan.

"Kok banyak banget, sih?" ujar Delima terkejut.

"Yah, sapa tau kamu pengen nambah. Kayak di warung tenda tadi, kan," jawab Ardan sambil menyuap sesendok bakso ke mulut.

"Ih, engga gitu juga kali, Kak."

"Habis ini mau keluar atau di sini aja?" tanya Ardan.

"Aku mau istirahat dulu, Kak. Rasanya badanku masih capek abis nangis tadi."

"Yaudah kalo gitu. Habisin baksonya, kalau mau nambah ambil aja di kulkas, ya. Aku mau mandi dulu."

Delima menatap Ardan yang beranjak ke kamar mandi. Dipikir-pikir, betapa memalukannya sikapnya tadi. Menangis meraung hanya karena tak ada Ardan bersamanya.

Suara air bergemericik terdengar dari kamar mandi. Pasti dari pancuran, pikir Delima. Segera Delima menyiapkan pakaian ganti untuk Ardan. Seingatnya, tadi Ardan hanya membawa handuk.

"Tok tok tok."

Delima mengetuk pintu kamar mandi. Ardan membuka pintu sedikit untuk mengintip keluar.

"Ada apa, Del?"

"Anu, ini baju gantinya. Tadi Kak Ardan cuma bawa handuk," balas Delima.

"Oh, iya. Terima kasih."

Delima segera menyerahkan baju Ardan sambil menutup matanya. Takut kalau-kalau melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilihat.

Ardan tersenyum melihat kelakuan Delima. Dia pun mengambil baju yang diulurkan Delima secepat kilat. Lalu menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.

"Del, Del, kalo kayak gini, siapa yang engga luluh. Pergi ditangisin, baju disiapin, makan bareng-bareng. Kalau gini terus, siapa juga yang bisa pergi," gumam Ardan.

Tak berapa lama, Ardan pun keluar dari kamar mandi. Terlihat Delima sudah membersihkan meja sehabis mereka makan tadi.

"Loh, udah selesai makannya?"

"Udah. Engga bisa nambah, perut masih kenyang," sahut Delima.

Delima mengambil handuk miliknya. Sepertinya berniat untuk mandi.

"Mau mandi?"

"Iya. Biar badan segeran," sahut Delima.

"Bawa baju ganti engga?" tanya Ardan sambil tersenyum nakal.

"Bawalah. Emangnya Kak Ardan." Delima pun masuk ke kamar mandi.

Ardan terkekeh, merasa lucu dengan reaksi Delima. Wajah kecil itu tampak memerah karena digoda.

Televisi di dinding dihidupkan Ardan. Berusaha menemukan siaran yang menarik, agar dia tak bosan. Sesekali mengganti channel, hingga menemukan berita tentang destinasi wisata lagi.

Delima yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, langsung duduk di samping Ardan. Aroma vanilla menguar dari badannya. Ardan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Berusaha mengalihkan pikirannya.

"Kak, oleh-oleh yang Kakak beli tadi apa aja?" tanya Delima sambil mengeringkan rambutnya.

"Baju sama makanan kering. Maunya beli kue gitu, tapi besok aja. Takutnya jamuran kalo belinya sekarang. Soalnya pasti lembab kalo dimasukkin dalam kotaknya," tutur Ardan.

"Iya, sih. Soalnya kan kue tu masa kadaluarsanya bentar banget. Paling lama cuma semingguan, nantinya langsung jamuran," sahut Delima menyetujui Ardan.

"Del, kalo aku kerja nanti, kamu gimana?" tanya Ardan.

"Engga gimana-gimana. Ya nungguin Kak Ardan sampai pulang ke rumah."

"Emang engga bosen? Boleh loh kalo mau jalan ama temen-temen."

Delima terdiam, sebelum menjawab, "Engga usahlah, Kak. Temen-temen pasti pada sibuk ngurus masuk kuliah. Malu juga akunya, lagi hamil malah main."

Ardan terpaku memandangi Delima. Dia paham, sebenarnya Delima ingin bertemu teman-temannya. Namun, rasa malu lebih mendominasi. Delima tengah hamil, sedangkan temannya melanjutkan pendidikan. Sebuah cita-cita yang harus kandas karena satu kejadian fatal.

"Hmm, oke kalau gitu. Tapi, kalo nanti tiba-tiba mau main sama temen, bilang aja, ya. Juga, kalo kangen ayah mama, langsung bilang juga," kata Ardan.

"Iya. Terima kasih udah berusaha ngertiin aku, Kak."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!