Untold Story Of Tiberias
Di era saat manusia dan segala jenis makhluk sihir hidup berdampingan dalam damai, tersebutlah sebuah kerajaan makmur bernama Tiberias. Kerajaan Tiberias merupakan salah satu dari lima kerajaan besar yang tinggal di dunia kala itu. Kerajaan Tiberias merupakan kerajaan bangsa manusia yang diperintah secara turun-temurun oleh Raja Tiberias I hingga kini telah mencapai keturunannya yang keempat, yaitu Tiberias IV.
Lima bangsa besar di zaman itu antara lain kerajaan bangsa elf yang disebut Edelor, kerajaan kaum dwarf bernama Karaz-Ankor, kerajaan manusia Tiberias, kerajaan kaum naga yang terkuat bernama Freljord, dan terakhir bangsa kaum terbuang yang hidup dalam kegelapan, kerajaan orc Bhigvoz. Keempat bangsa lainnya selain kaum orc hidup dalam damai dan harmoni.
Raja Tiberias IV yang kini memerintah memiliki seorang putra dari Ratu Celestia yang diberi nama Nicodemus Tiberias, sang putra mahkota yang begitu dikasihi oleh kedua orang tuanya. Kelahiran Nicodemus pun medapat berkat dari para elf. Para dwarf bahkan menghadiahkan sebuah pedang legendaries yang ditempa dengan mithril langka. Segala puja puji mewarnai kelahiran sang putra mahkota.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Saat itu seluruh istana sedang merayakan ulang tahun Pangeran Nicodemus yang kedua di balairung istana Tiberias yang megah. Seluruh keluarga kerajaan, bangsawan, bahkan makhluk sihir seperti elf, driad, kurcaci dan centaur berpesta bersama merayakan hari kelahiran sang pangeran. Semuanya dimabukkan oleh kebahagiaan yang berlebih. Karena suasana damai di kerajaan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya, tidak ada satu pun makhluk yang waspada atau curiga akan terjadi malapetaka hari itu.
Tiba-tiba, tanpa diduga oleh siapa pun, ratusan orc menyerang istana. Kepanikan menyebar di seluruh istana. Peperangan pecah tanpa bisa dihindari. Puluhan orang terluka dan lebih banyak lagi yang tewas terbunuh. Istana segera dikuasai oleh pihak musuh. Raja Tiberias IV menghunus pedangnya dan berhasil menghancurka puluhan orc. Namun kawanan itu terus bertambah seakan tidak ada habisnya. Sampai akhirnya seorang pria muncul di antara para orc yang mengamuk. Pria itu mengenakan jubah kerajaan yang mewah, tetapi tanpa mahkota. Dengan seringai jahat ia menghunuskan pedangnya pada Raja Tiberias IV.
“Tadeus … ,” geram sang raja menyadari bahwa dalang dibalik penyerangan tersebut adalah adiknya sendiri.
“Halo, kakak. Maaf aku datang membawa keributan di hari ulang tahun putramu,” kata Tadeus.
“Kenapa kau melakukan ini, Tadeus. Apa kesalahanku padamu?”
“Semuanya sudah pada tempatnya, Kakak. Putra pertama yang mewarisi tahta, dan putra kedua hanya sebagai figuran yang tidak berarti. Terlihat sempurna kalau dari sudut pandangmu, bukan? Tapi tidak untukku. Kenapa aku harus mengalah padamu hanya karena kau lahir lebih dulu?” sergah Tadeus dan wajah bengis. Kilatan kebencian terpancar kuat dari kedua matanya.
“Kau … bukan orang yang seperti ini. Makhluk gelap itu sudah memengaruhimu. Sadarlah, Tadeus. Kau tidak seharusnya menghancurkan kerajaan ini dengan hatimu yang gelap,” desak Raja Tiberias dengan tubuh berlumur darah musuh-musuhnya.
Tadeus tertawa keras mendengar nasehat kakaknya. “Omong kosong. Aku sudah muak berada di balik bayang-bayangmu, Kak. Sudah waktunya bagiku untuk bersinar. Aku bukan kegelapan, akulah cahaya bagi kerajaan ini.”
“Kau … . Aku harus menghentikanmu.” Raja Tiberias mengayunkan pedangnya untuk melawan sang adik.
Tadeus menahan serangan kakaknya dengan mudah. Pedang mereka beradu di udara dan menimbulkan tubrukan energi yang kuat. Keduanya sama-sama bertahan tanpa goyah sedikit pun.
“Tenang saja, aku tidak akan menghancurkan kerajaan ini. Justru aku akan membuatnya lebih kuat,” gumam Tadeus sembari menyeringai bengis.
Detik berikutnya, seluruh tubuh Tadeus dilingkupi aura hiam yang pekat hingga ke mata pedangnya. Kekuatan Raja Tiberias diserap begitu saja oleh aura hitam itu. Dengan satu dorongan kuat, Tadeus menghempaskan tubuh Raja Tiberias hingga terlempar ke belakang sejauh lima meter. Sang raja berhasil menyeimbangkan diri dan tetap berdiri dengan pedang teracung ke depan.
“Kau mempelajari sihir hitam terlarang. Tadeus, sadarlah sebelum terlambat. Jiwamu bisa ditelan oleh kegelapan itu,” pinta Raja Tiberias untuk terakhir kalinya.
Tadeus sama sekali tidak mendengarkan kakaknya dan kembali melesatkan serangannya ke arah sang raja. Tiberias menahan kibasan pedang Tadeus. Desing suara besi beradu terdengar di medan pertempuran itu. Kedua mata Tadeus sudah berubah menjadi hitam legam karena mengerahkan seluruh kekuatan gelapnya untuk membunuh sang kakak. Tiberias terus berusaha bertahan selama mungkin. Akan tetapi, kemampuan Tadeus yang menggunakan sihir terlarang begitu kuatnya.
“Suatu saat nanti, kau akan menyesali perbuatanmu, Tadeus. Aku akan menunggumu di dunia sana,” desah Raja Tiberias penuh kepiluan.
Akhirnya aura hitam Tadeus itu pun mulai melingkupi tubuh sang raja. Perlahan tapi pasti, tubuh sang raja mulai terbakar oleh energi hitam itu dan berubah menjadi serpihan. Seakan tidak puas melihat kakaknya menderita termakan aura hitam, Tadeus terus mendorong pedangnya hingga akhirnya berhasil menebas dada Raja Tiberias. Tubuh sang raja pun roboh bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Tiberias yang Agung.
Tadeus meraung keras merayakan kemenangannya. Istana sudah berada dalam genggamannya dan sang raja telah mati di tangannya. Seluruh kawanan orc yang berada di bawah komando Tadeus turut berseru merayakan kejatuhan bangsa manusia. Sementara itu sisa-sisa pengikut Raja Tiberias IV yang mengetahui pemimpinnya telah gugur, memilih untuk melarikan diri dan menyelamatkan sisa keluarga kerajaan yang masih hidup, Ratu Celestia dan Putra Mahkota Nicodemus.
Sayangnya, Tadeus menyadari upaya pelarian diri tersebut dan segera menghadang rombongan yang mengawal ratu serta putra mahkota.
“Betapa piciknya. Kalian berusaha menyelamatkan diri setelah raja kalian mati? Dimana kesetiaan kalian,” sergah Tadeus berdiri pongah di hadapan sang Ratu yang menggendong putranya.
“Kau makhluk busuk, Tadeus! Kau membunuh kakakmu sendiri dan sekarang kau bermaksud melenyapkan keponakanmu? “ sahut Ratu Celestia dengan berani.
Tawa Tadeus kembali meledak, menertawakan makhluk lemah di hadapannya. Para ksatria pelindung ratu pun tidak ada yang berani menyerangnya lebih dulu. Aura gelap yang menyelubungi tubuh Tadeus terlihat begitu mengintimidasi dan berbahaya.
“Baiklah, akan kukabulkan permintaan terakhirmu, Celestia. Aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku sudah cukup puas membunuh suamimu hari ini. sebagai gantinya, anak buahku akan membawamu ke tempat semestinya kalian berada,” geram Tadeus dengan nada penuh kelicikan.
Pria itu lantas memanggil orc terdekat untuk menangkap rombongan ratu. Para ksatria pelindung ratu berusaha melawan tetapi mereka semua dibunuh dengan brutal oleh para orc yang sudah diperkuat dengan kekuatan gelap.
“Buang mantan ratu dan putranya ini ke dataran jauh. Biarkan mereka mengais kehidupan di tengah para monster. Ini adalah kebaikan hatiku yang terakhir untuk kalian,” perintah Tadeus pada orc-orc yang mengikutinya.
Para orc itu pun mematuhi perintah Tadeus lantas menyeret Ratu Celestia dan putra yang ada dalam pelukannya pergi menuju dataran jauh yang dipenuhi monster kejam. Sang ratu menatap Tadeus dengan sangat tajam dan penuh amarah. Kedua matanya memerah karena menahan air mata. Kepedihan dan kemarahan sudah bercampur di hati sang ratu. Namun ia harus bertahan demi putranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Aspia Roza
Selalu suka dengan bagian orientasi yang tiap kali Kak Peroa sampaikan. Sangat detail dan bahasanya ringan😊
2023-03-30
0
Lucky Bagaskara
awal yang menarik untuk sebuah cerita..
aku suka
2023-03-23
0