Pilihan

Tak lama setelahnya, rupanya Calada muncul kembali dengan membawa sebuah kalung emas. Sebuah liontin berbentuk bunga mawar dengan dua pedang bersilang di belakangnya, menggantung indah berlapiskan emas dan permata. Sekilas melihat saja, Nick sudah tahu bahwa permata yang tersemat di kalung tersebut bukanlah sembarang Kristal.

Sejak kecil Nick sudah sering menjelajahi ruang harta karun naga. Ia juga menempa berbagai jenis material dan permata. Kilauan merah jambu pada permata di liontin kalung itu sangatlah berharga dan langka. Rose Quartz. Sudah pasti pemiliknya bukanlah orang sembarangan.

Calada mengulurkan kalung berliontin itu pada Nick. “Ini adalah benda yang kutemukan bersamamu. Ibu kandungmu menggenggam erat kalung ini sambil memelukmu yang tengah menangis. Kalung ini akan menjadi jawaban dari pertanyaanmu,” ujar sang naga itu kemudian.

Nick langsung mengenali simbol tersebut. Bentuk liontin itu sama persis seperti umbul-umbul yang terpampang meriah di seluruh kota Linden, lambang yang menurut Neil merupakan simbol Kerajaan Tiberias. Bila ibu kandungnya yang telah tiada memiliki kalung tersebut, sejak berpuluh tahun yang lalu, itu artinya Nick memang bukanlah orang biasa. Ucapan Neil memang benar. Nick adalah pewaris sah kerajaan Tiberias. Putra Mahkota, Nick Tiberias.

“Apa … yang harus kulakukan, Ibu?” tanya Nick sembari menerima kalung emas itu dengan tangan bergetar.

Memori masa kecil yang tidak bisa dia ingat mendadak membawa rasa pedih tanpa sebab. Membayangkan bahwa ibu kandungnya, sang ratu di masa lalu, harus menderita hingga meninggal sambil berusaha melindunginya, membuat perasaan Nick yang biasanya tenang menjadi sentimental.

“Tidak perlu terburu-buru, Nick. Ini bukanlah keputusan yang mudah. Pikirkanlah baik-baik, kemana hatimu ingin membawamu pergi. Percayalah pada hatimu,” ucap Calada sembari mengusap pipi Nick sekali lagi.

Nick dan kawan-kawannya menghabiskan waktu selama beberapa hari di gua naga. Mereka secara mengejutkan justru sangat menikmati kehidupan di tempat yang jauh dari peradaban. Berlatih berburu monster, sambil bersenang-senang di hutan bebas menjadi keseharian mereka.

Meski begitu, Nick tahu bahwa mereka tidak bisa terus bersenang-senang saja seperti itu. Di sudut hatinya yang terdalam, Nick selalu memendam kegelisahan tentang bagaimana orang-orang hidup di luar sana. Bangsanya sendiri, kaum manusia yang sama dengannya, tengah berjuang untuk bertahan hidup di bawah penderitaan. Mampukah Ia mengabaikan hal itu dan tetap hidup dengan nyaman bersama Calada?

“Di sini menyenangkan. Dari sudut pandang orang yang selalu tinggal di kota, dataran jauh tampak menyeramkan dan berbahaya. Tapi setelah menjalaninya sendiri, tempat ini justru lebih aman dibanding tempat-tempat lain di seluruh pelosok benua. Mungkin karena wilayah ini dilindungi oleh Lady Calada,” ujar Neil sembari duduk di samping Nick di bawah pohon gaharu yang rindang.

Mereka berdua, serta Aerin, baru saja selesai menangkap monster ikan raksasa yang memiliki gigi tajam dan tubuh sepanjang lima kaki. Kini setelah tubuhnya selesai dibersihkan, Aerin mulai memotong-motong ikan itu dengan kemampuan sihir telekinesisnya. Sihir benar-benar membuat segalanya menjadi efisien.

“Sejak kapan kau memanggil ibuku dengan sapaan sesopan itu?” tanya Nick sambil tertawa kecil.

“Dengan kemampuannya, aku justru ingin memanggil beliau dengan gelar ‘Yang Mulia’. Tapi tentu itu akan terlalu berlebihan. Jadi untuk menhormati beliau, aku memutuskan memanggilnya dengan gelar Lady,” jawab Neil penuh penghayatan.

Aerin mendengkus pelan mendengarnya. “Itu kan gelar untuk kaum manusia, dasar bodoh. Para naga tidak menggunakan sebutan konyol seperti itu,” komentarnya sarkastik.

“Kau sendiri memanggilnya dengan nama aneh dari bahasa kaummu,” balas Neil tak mau kalah.

“Sudah, sudah. Ibuku akan senang dengan apa pun cara kalian memanggilnya,” ujar Nick melerai.

Neil dan Aerin pun akhirnya berhenti bertengkar.

“Berapa lama kau berniat tinggal di sini, Nick? Bukankah kita sudah terlalu lama ada di sini. Apa kau benar-benar akan melupakan Tiberias?” tanya Neil kemudian, memantik rasa bersalah di dalam hati Nick.

Neil benar. Tidak seharusnya ia menyerah pada takdirnya sebagai putra mahkota. Meski begitu, keraguan masih saja membayangi Nick. Ia tahu bahwa melawan sesama manusia tidak sama seperti melawan para monster. Tidak mungkin Nick berakhir dengan membantai mereka begitu saja. Akan ada terlalu banyak orang yang mati di tangannya kalau Nick semata-mata menggunakan kekuatan. Itulah yang membuat pemuda itu bimbang. Ia harus bisa menggunakan kecerdasan dan strategi untuk mengklaim kembali tahtanya.

“Kalau saja Lady Calada bersedia membantu kita, Raja lalim, pengkhianat Tiberias itu pasti bisa langsung ditaklukkan,” gumam Neil sambil menerawang menatap awan yang berarak di langit biru.

“Naga tidak akan pernah ikut campur dengan kehidupan ras lainnya, dasar otak udang,” celetuk Aerin menanggapi.

“Aku hanya bilang misalnya. Kalau misalnya. Aku juga tahu kalau bangsa naga adalah ras suci yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dunia,” sergah Neil berkilah.

“Aku akan bicara pada Ibu,” potong Nick tiba-tiba, tepat sebelum Aerin sempat membuka mulut untuk membalas ucapan Neil.

Pemuda itu lantas beranjak dari tempat duduknya di tanah.

“Bicara tentang apa? Jangan bilang kau terpengaruh ucapanku lalu berniat meminta Lady Calada untuk membantu kita. Sebaiknya kau urungkan niatmu itu,” ujar Neil yang kini tampak sedikit khawatir.

Bahkan Aerin pun sampai menghentikan sihirnya yang mengeluarkan sulur cahaya berwarna hijau. Seketika belati-belati yang dia gunakan untuk memotong-motong tubuh ikan pun jatuh begitu saja dari udara.

“Itu hanya akan menyulitkan ibumu, Nick. Kudengar kaum naga sudah terikat sumpah untuk tidak ikut campur dalam kehidupan ras lain di dunia ini. Karena itulah mereka mulai pergi ke tempat cahaya. Jika melanggar sumpah itu, kejadian buruk mungkin bisa menimpa ibumu,” cegah Aerin tak kalah cemas.

Nick tersenyum pada dua temannya itu. “Terima kasih karena kalian sudah mengkhawatirkan ibuku seperti itu. Sikap kalian membuatku yakin bahwa di luar sana masih ada banyak orang-orang baik yang patut diselamatkan,” ungkap pemuda itu tulus.

“Kalian tenang saja. Bukan hal itu yang akan kubicarakan dengan Ibu. Ini hanya percakapan sederhana antara keluarga,” lanjut Nick lantas melangkah pergi meninggalkan dua temannya dalam rasa penasaran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!