Di era saat manusia dan segala jenis makhluk sihir hidup berdampingan dalam damai, tersebutlah sebuah kerajaan makmur bernama Tiberias. Kerajaan Tiberias merupakan salah satu dari lima kerajaan besar yang tinggal di dunia kala itu. Kerajaan Tiberias merupakan kerajaan bangsa manusia yang diperintah secara turun-temurun oleh Raja Tiberias I hingga kini telah mencapai keturunannya yang keempat, yaitu Tiberias IV.
Lima bangsa besar di zaman itu antara lain kerajaan bangsa elf yang disebut Edelor, kerajaan kaum dwarf bernama Karaz-Ankor, kerajaan manusia Tiberias, kerajaan kaum naga yang terkuat bernama Freljord, dan terakhir bangsa kaum terbuang yang hidup dalam kegelapan, kerajaan orc Bhigvoz. Keempat bangsa lainnya selain kaum orc hidup dalam damai dan harmoni.
Raja Tiberias IV yang kini memerintah memiliki seorang putra dari Ratu Celestia yang diberi nama Nicodemus Tiberias, sang putra mahkota yang begitu dikasihi oleh kedua orang tuanya. Kelahiran Nicodemus pun medapat berkat dari para elf. Para dwarf bahkan menghadiahkan sebuah pedang legendaries yang ditempa dengan mithril langka. Segala puja puji mewarnai kelahiran sang putra mahkota.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Saat itu seluruh istana sedang merayakan ulang tahun Pangeran Nicodemus yang kedua di balairung istana Tiberias yang megah. Seluruh keluarga kerajaan, bangsawan, bahkan makhluk sihir seperti elf, driad, kurcaci dan centaur berpesta bersama merayakan hari kelahiran sang pangeran. Semuanya dimabukkan oleh kebahagiaan yang berlebih. Karena suasana damai di kerajaan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya, tidak ada satu pun makhluk yang waspada atau curiga akan terjadi malapetaka hari itu.
Tiba-tiba, tanpa diduga oleh siapa pun, ratusan orc menyerang istana. Kepanikan menyebar di seluruh istana. Peperangan pecah tanpa bisa dihindari. Puluhan orang terluka dan lebih banyak lagi yang tewas terbunuh. Istana segera dikuasai oleh pihak musuh. Raja Tiberias IV menghunus pedangnya dan berhasil menghancurka puluhan orc. Namun kawanan itu terus bertambah seakan tidak ada habisnya. Sampai akhirnya seorang pria muncul di antara para orc yang mengamuk. Pria itu mengenakan jubah kerajaan yang mewah, tetapi tanpa mahkota. Dengan seringai jahat ia menghunuskan pedangnya pada Raja Tiberias IV.
“Tadeus … ,” geram sang raja menyadari bahwa dalang dibalik penyerangan tersebut adalah adiknya sendiri.
“Halo, kakak. Maaf aku datang membawa keributan di hari ulang tahun putramu,” kata Tadeus.
“Kenapa kau melakukan ini, Tadeus. Apa kesalahanku padamu?”
“Semuanya sudah pada tempatnya, Kakak. Putra pertama yang mewarisi tahta, dan putra kedua hanya sebagai figuran yang tidak berarti. Terlihat sempurna kalau dari sudut pandangmu, bukan? Tapi tidak untukku. Kenapa aku harus mengalah padamu hanya karena kau lahir lebih dulu?” sergah Tadeus dan wajah bengis. Kilatan kebencian terpancar kuat dari kedua matanya.
“Kau … bukan orang yang seperti ini. Makhluk gelap itu sudah memengaruhimu. Sadarlah, Tadeus. Kau tidak seharusnya menghancurkan kerajaan ini dengan hatimu yang gelap,” desak Raja Tiberias dengan tubuh berlumur darah musuh-musuhnya.
Tadeus tertawa keras mendengar nasehat kakaknya. “Omong kosong. Aku sudah muak berada di balik bayang-bayangmu, Kak. Sudah waktunya bagiku untuk bersinar. Aku bukan kegelapan, akulah cahaya bagi kerajaan ini.”
“Kau … . Aku harus menghentikanmu.” Raja Tiberias mengayunkan pedangnya untuk melawan sang adik.
Tadeus menahan serangan kakaknya dengan mudah. Pedang mereka beradu di udara dan menimbulkan tubrukan energi yang kuat. Keduanya sama-sama bertahan tanpa goyah sedikit pun.
“Tenang saja, aku tidak akan menghancurkan kerajaan ini. Justru aku akan membuatnya lebih kuat,” gumam Tadeus sembari menyeringai bengis.
Detik berikutnya, seluruh tubuh Tadeus dilingkupi aura hiam yang pekat hingga ke mata pedangnya. Kekuatan Raja Tiberias diserap begitu saja oleh aura hitam itu. Dengan satu dorongan kuat, Tadeus menghempaskan tubuh Raja Tiberias hingga terlempar ke belakang sejauh lima meter. Sang raja berhasil menyeimbangkan diri dan tetap berdiri dengan pedang teracung ke depan.
“Kau mempelajari sihir hitam terlarang. Tadeus, sadarlah sebelum terlambat. Jiwamu bisa ditelan oleh kegelapan itu,” pinta Raja Tiberias untuk terakhir kalinya.
Tadeus sama sekali tidak mendengarkan kakaknya dan kembali melesatkan serangannya ke arah sang raja. Tiberias menahan kibasan pedang Tadeus. Desing suara besi beradu terdengar di medan pertempuran itu. Kedua mata Tadeus sudah berubah menjadi hitam legam karena mengerahkan seluruh kekuatan gelapnya untuk membunuh sang kakak. Tiberias terus berusaha bertahan selama mungkin. Akan tetapi, kemampuan Tadeus yang menggunakan sihir terlarang begitu kuatnya.
“Suatu saat nanti, kau akan menyesali perbuatanmu, Tadeus. Aku akan menunggumu di dunia sana,” desah Raja Tiberias penuh kepiluan.
Akhirnya aura hitam Tadeus itu pun mulai melingkupi tubuh sang raja. Perlahan tapi pasti, tubuh sang raja mulai terbakar oleh energi hitam itu dan berubah menjadi serpihan. Seakan tidak puas melihat kakaknya menderita termakan aura hitam, Tadeus terus mendorong pedangnya hingga akhirnya berhasil menebas dada Raja Tiberias. Tubuh sang raja pun roboh bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Tiberias yang Agung.
Tadeus meraung keras merayakan kemenangannya. Istana sudah berada dalam genggamannya dan sang raja telah mati di tangannya. Seluruh kawanan orc yang berada di bawah komando Tadeus turut berseru merayakan kejatuhan bangsa manusia. Sementara itu sisa-sisa pengikut Raja Tiberias IV yang mengetahui pemimpinnya telah gugur, memilih untuk melarikan diri dan menyelamatkan sisa keluarga kerajaan yang masih hidup, Ratu Celestia dan Putra Mahkota Nicodemus.
Sayangnya, Tadeus menyadari upaya pelarian diri tersebut dan segera menghadang rombongan yang mengawal ratu serta putra mahkota.
“Betapa piciknya. Kalian berusaha menyelamatkan diri setelah raja kalian mati? Dimana kesetiaan kalian,” sergah Tadeus berdiri pongah di hadapan sang Ratu yang menggendong putranya.
“Kau makhluk busuk, Tadeus! Kau membunuh kakakmu sendiri dan sekarang kau bermaksud melenyapkan keponakanmu? “ sahut Ratu Celestia dengan berani.
Tawa Tadeus kembali meledak, menertawakan makhluk lemah di hadapannya. Para ksatria pelindung ratu pun tidak ada yang berani menyerangnya lebih dulu. Aura gelap yang menyelubungi tubuh Tadeus terlihat begitu mengintimidasi dan berbahaya.
“Baiklah, akan kukabulkan permintaan terakhirmu, Celestia. Aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku sudah cukup puas membunuh suamimu hari ini. sebagai gantinya, anak buahku akan membawamu ke tempat semestinya kalian berada,” geram Tadeus dengan nada penuh kelicikan.
Pria itu lantas memanggil orc terdekat untuk menangkap rombongan ratu. Para ksatria pelindung ratu berusaha melawan tetapi mereka semua dibunuh dengan brutal oleh para orc yang sudah diperkuat dengan kekuatan gelap.
“Buang mantan ratu dan putranya ini ke dataran jauh. Biarkan mereka mengais kehidupan di tengah para monster. Ini adalah kebaikan hatiku yang terakhir untuk kalian,” perintah Tadeus pada orc-orc yang mengikutinya.
Para orc itu pun mematuhi perintah Tadeus lantas menyeret Ratu Celestia dan putra yang ada dalam pelukannya pergi menuju dataran jauh yang dipenuhi monster kejam. Sang ratu menatap Tadeus dengan sangat tajam dan penuh amarah. Kedua matanya memerah karena menahan air mata. Kepedihan dan kemarahan sudah bercampur di hati sang ratu. Namun ia harus bertahan demi putranya.
Setidaknya ada empat ekor orc yang membawa Ratu Celestia dan putranya ke dataran jauh. Mereka menggunakan sihir hitam untuk membuka portal sihir dari istana kerajaan Tiberias ke sebuah dataran gersang yang sangat panas. Empat orc itu melemparkan sang ratu begitu saja hingga jatuh tersungkur memeluk putranya Nicodemus. Setelah itu keempatnya kembali memasuki portal ke istana dan menghilang begitu saja.
Ratu Celestia yang sedari tadi menahan air matanya demi menjaga martabat, akhirnya menangis. Ia memeluk Nicodemus yang masih kecil itu tanpa suara. Namun sang putra mahkota yang sedari tadi hanya diam menonton pun turut meledak tangisannya.
“Sstt … putraku. Tidak apa-apa. Jangan menangis,” bisik sang ratu sembari menimang Nicodemus kecil. Suara tangisan anak itu bisa memancing kedatangan monster buas.
Ratu Celestia lantas bangkit berdiri dan mencoba mencari tempat berlindung. Mereka pun tiba di sebuah gua dangkal yang ada di tepi hutan. Di sanalah Ratu Celestia mulai merawat putranya dengan penuh penderitaan.
Hari-hari berlalu. Sang ratu bertahan dengan memakan buah-buahan yang dia petik di hutan lalu minum air dari sungai yang mengalir tak jauh dari sana. Ancaman monster membuatnya selalu waspada. Setiap malam ia harus bersembunyi dengan gemetaran karena suara raungan monster yang mengerikan, atau jejak langkah hewan buas. Tak jarang sang ratu dan putranya nyaris terbunuh karena berpapasan dengan seekor monster buas. Akan tetapi secara ajaib mereka berhasil selamat.
Sayangnya, kondisi yang menyedihkan itu lambat laun menyedot semangat hidup Ratu Celestia. Ia semakin kurus dan tak terawat. Rasa putus asa mendera sang ratu dan meskipun ia tahu bahwa ia harus bertahan demi putranya, tetapi takdir tidak bisa dilawan.
Tepat dua bulan setelah dibuang di dataran jauh, Ratu Celestia pun jatuh sakit. Nicodemus kecil menjadi rewel karena kelaparan dan kesepian. Sang ratu tetap berusaha mencari makan dengan sisa-sisa energinya. Namun hari itu, beliau sungguh tidak bisa bangun dari tempatnya berbaring.
Sang ratu menangis sambil mengelus pipi putranya yang juga dipenuhi air mata. Nicodemus kecil sudah berubah kurus dan dekil. Meski begitu kasih sang ratu tidak pernah berkurang. Dengan pedih sang ratu mengusap air mata putranya.
“Putraku, Nicodemus. Maafkan ibumu karena tidak bisa melindungimu. Ibu sangat menyayangimu, Nak. Tapi … ibu mungkin tidak bisa menjagamu lagi … . Tolong … siapa pun … lindungi putraku,” isak sang ratu lemah. Air matanya terus berlinang menyadari bahwa waktunya sudah tidak lama lagi.
Sang ratu terbatuk dan darah segar keluar dari mulutnya. Nicodemus kecil yang belum mengerti kondisi ibunya hanya terus menangis dan menangis hingga memancing datangnya para monster. Di detik detik terakhir hidupnya, sang ratu hanya bisa memeluk putranya dan meninggal karena penyakit aneh yang dia derita.
Nicodemus menangis semalaman di dalam gua. Beragam monster mendekati gua tersebut dan mulai mencium bau darah. Mereka berbondong-bondong merangsek masuk untuk berusaha memangsa dua manusia yang ada di sana. Namun karena banyaknya monster yang mendekat, mereka justru saling berkelahi karena berebut masuk ke dalam gua.
Nicodemus gemetar ketakutan di dalam pelukan ibunya yang sudah tiada. Anak kecil itu menyaksika bagaimana para monster saling bunuh di luar sana. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Bau anyir darah dan geraman serta raungan para monster mewarnai malam itu.
Sekonyong-konyong, sebuah kepakan sayap kuat terdengar mendekat, disusul oleh semburan napas api dari langit. Para monster yang berkelahi di mulut gua sontak menghentikan pertarungan mereka dan menyadari adanya ancaman yang lebih berbahaya. Mereka yang masih selamat lari terbirit-birit ke dalam gua, sementara sisanya sudah hangus terbakar oleh semburan api.
Tak lama kemudian seekor naga raksasa setinggi dua belas meter mendarat di mulut gua. Kepalanya yang besar melongok ke dalam dan mendapati seorang anak laki-laki kecil yang gemetar ketakutan dalam pelukan jasad seorang wanita. Naga itu pun mengubah wujudnya menjadi sesosok manusia perempuan berambut gelap. Kulitnya seputih mutiara dengan bola mata emas yang berkilat-kilat.
Dengan hati-hati naga yang sudah berwujud seperti manusia itu pun masuk ke dalam gua. Rambut hitamnya yang sepanjang punggung tergerai lembut dan berkilau tertimpa sinar bulan. Nicodemus sudah berhenti menangis sejak tadi. Ia hanya meringkuk gemetaran di dalam pelukan tubuh ibunya yang sudah kaku.
“Kenapa ada anak manusia di sini?” gumam sang naga.
Nicodemus tidak menjawab dan hanya mengintip sedikit dari sela-sela pelukan ibunya. Naga itu berjongkok dan mengamati Nicodemus dengan seksama. Ia tengah mempertimbangkan untuk membawa anak itu atau membiarkannya saja. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan manusia. Mungkin seribu atau dua ribu tahun yang lalu. Kaumnya sudah lama meninggalkan tanah ini. Dan dia sendiri masih melanjutkan kultivasi untuk bisa bergabung dengan kaum naga yang lain di dimensi yang lebih tinggi.
Akan tetapi kultivasinya terusik oleh energi monster yang berkumpul di satu titik. Saat ia mencoba melihat apa yang terjadi, kini ia justru menemukan seorang anak manusia dan ibunya yang sudah meninggal.
“Apa kau mau kubawa ke desa manusia terdekat?” tanya naga itu sembari mengulurkan tangannya.
Nicodemus gemetar semakin hebat. Rasa takutnya sudah mencapai batas toleransi. Saat sang naga mencoba menyentuh tubuhnya, Nicodemus justru jatuh pingsan.
Bunyi keretak kayu terbakar membangunkan Nicodemus. Ia merasa tubuhnya begitu hangat dan nyaman. Nicodemus membuka matanya dan mengerjap beberapa kali. Dilihatnya ia berada di sebuah ruangan berdinding batu yang remang-remang. Ia tengah berbaring di sebuah tempat tidur beralaskan kasur empuk yang lembut, tetapi sedikit berbau jamur. Beruntung aroma kaldu yang nikmat membuat bau kasur itu tidak terlalu mengganggu. Nicodemus yang terangsang oleh aroma sedap itu pun bangun dari tidurnya.
“Itu kasur bulu angsa. Sudah lama aku tidak memakainya karena sudah jarang memakai wujud ini. Jadi mungkin sedikit berbau apak,” suara seorang perempuan terdengar di sisi ruangan, membuat Nicodemus terlonjak kaget.
Ia mendapati seorang perempuan cantik berambut hitam dengan mata emas tengah membawa semangkuk sup untuknya. Nicodemus kembali meringkuk ketakutan.
“Jangan takut. Apa kau tidak lapar? Aku mungkin sudah lama tidak memasak. Tapi makanan buatanku tetap layak untuk dimakan. Ini cobalah dulu,” ujar perempuan itu sembari duduk di sebelah Nicodemus.
Anak kecil itu tetap meringkuk ketakutan sambil bersembunyi di balik selimut. Sang perempuan naga itu dengan sabar mengusap kepala Nicodemus yang gemetaran. Aroma kaldu tercium semakin kuat dan membuat perut Nicodemus berbunyi karena lapar. Naga itu mendengkus pendek lalu bangkit dari tempat tidur.
“Baiklah. Aku akan meletakkan makanannya di meja. Kau bisa makan setelah aku pergi,” kata naga itu lantas bersiap untuk pergi.
Akan tetapi tangan kecil Nicodemus mencengkeram ujung gaun biru sang naga. Ia berbalik dan melihat Nicodemus sudah mengintip dari balik selimut.
“Apa kau mau kusuapi?” tanya naga itu ramah. Nicodemus mengangguk pelan.
Sang naga tersenyum lalu kembali duduk di sebelah Nicodemus. “Namaku Calada. Siapa namamu?” tanya Naga itu kemudian.
“Ni … Nick,” sahut Nicodemus dengan suara cedal yang menggemaskan.
Sejak saat itu, Calada membesarkan Nick seperti anaknya sendiri.
Dua puluh tahun berlalu. Nick sudah tumbuh menjadi pemuda yang kuat baik secara fisik maupun mental. Calada mengajarkan berbagai hal kepada putra angkatnya tersebut. Mulai dari pekerjaan remeh seperti membersihkan rumah hingga yang paling berbahaya seperti memburu monster.
Pagi itu Nick bangun seorang diri. Calada tidak terlihat di mana pun meski Nick sudah mencari ke setiap sudut rumah mereka. Gua tempat tinggal Calada sangat nyaman. Tempat itu dibangun di perut bukit besar dengan banyak ruangan bercabang yang dihubungkan oleh lorong-lorong berdinding batu.
Selama hidup bersama Calada, Nick sudah menjelajahi seluruh isi di dalamnya. Meski disebut gua, tetapi seluruh ruangannya sangat nyaman ditinggali. Ada kamar Nick yang berada di sisi terluar, memliki sepasang jendela bulat kecil yang melubangi dinding bukit. Lalu masuk ke dalam, ada bermacam ruangan lainnya seperti dapur dan perapian, ruangan tempat menyimpan bahan makanan. Ada juga ruang belajar dengan perpustakaan yang penuh buku dengan rak-rak setinggi hampir sepuluh meter.
Sebagian besar ruangan berupa gudang yang berisi berbagai macam senjata manusia, elf bahkan dwarf. Tak lupa terdapat sebuah ruangan yang paling besar tepat di tengah semua cabang: ruang harta karun. Kabarnya kaum naga menyukai segala hal yang berkilau seperti emas dan permata. Ruangan harta karun milik Calada menjadi buktinya.
Ruangan tersebut sangat besar dengan berbukit-bukit tumpukan harta. Mahkota, perhiasan. Permata segala macam Kristal dan benda berharga teronggok di dalam sana tanpa berkurang satu pun. Calada sesekali berubah menjadi wujud naganya lantas bergelung nyaman di atas tumpukan harta tersebut. Katanya benda-benda berkilau itu adalah tempat tidur ternyaman bagi naga. Sungguh selera yang mahal.
Bagian yang paling disukai Nick adalah ruangan menempa senjata. Sebuah tungku besar dibangun di ruangan tersebut, berikut seluruh peralatan untuk membuat senjata. Meja tempa atau yang sering disebut paron, palu tempa dan berbagai bahan-bahan material berkualitas tersedia di tempat itu.
Meskipun sebagai manusia Nick tidak memiliki kualitas sihir yang besar untuk membuat senjata berelemen, tapi Calada membiarkannya untuk membuat mainan-mainan kecilnya sendiri. Hingga suatu ketika, karena Nick memperlihatkan kemampuan berpedang yang di atas rata-raa, Calada mulai serius untuk membuatkan Nick pedang dengan energi sihir naga.
Calada memberikan sebuah permata sihirnya yang paling berharga dari ruang harta sebagai materi utama pembuatan pedang. Sesekali sang naga juga menyalurkan esensinya untuk memperkuat pedang yang ditempa sendiri oleh anak angkatnya. Setelah bekerja selama sembilan bulan lamanya, pedang besar itu pun jadi. Nick memberinya nama Turpin.
Pedang besar dari mithril, logam ringan yang sangat kuat berwarna perak, lebih keras dari baja atau besi manapun. Mithril disebut juga logam langit karena kekuatannya yang tidak tertandingi. Ditambah dengan esensi naga dan permata sihir, Turpin pun nantinya akan menjadi pedang terkuat di seluruh benua.
“Sebenarnya ibu pergi kemana? Dia tidak meninggalkan sarapan untukku,” gumam Nick setelah selesai membasuh diri di danau dekat gua mereka.
Pemuda itu mengenakan lagi pakaiannya yang dia tanggalkan di tepi danau. Tubuhnya yang bertelanjang dada memperlihatkan otot-otot liat dan kekar. Nick bukan lagi anak kecil penakut yang gemetaran setiap mendengar suara monster. Kini ia telah menjadi pemuda gagah yang sangat kuat. Rambutnya yang berwarna keperakan sudah tumbuh hingga sepanjang punggung. Tatapannya tajam, dengan bola mata abu-abu yang berkilat waspada.
Hutan hari itu cukup sunyi. Tidak ada suara burung yang biasanya berkicau riuh saat pagi menjelang. Nick menangkap kegajilan tersebut lantas meraih pedang besarnya yang tergeletak di atas batu besar.
Sebuah suara keresak memancing perhatiannya. Nick memutar tubuhnya dengan waspada sembari menghunus Turpin. Pedang itu berkilat keemasan karena ditimpa cahaya matahari pagi. Tak berselang lama, bunyi keresak daun kering yang tergilas itu terdengar semakin keras dan dekat. Semak-semak di hadapan Nick pun terbelah dan memunculkan seekor monster ular berkepala dua.
Kepala ular itu berdiri tegak setinggi lima meter dan mendesis ganas sambil berusaha untuk menyerang Nick. Pemuda tersebut menghindar dengan lincah sehingga salah satu kepala ular itu hanya berhasil mematuk tanah kosong. Serangan sang ular menghasilkan lubang di sebesar kawah.
“Kenapa monster ini rajin sekali sampai berburu saat hari masih pagi,” gerutu Nick setelah mendarat di atas batu besar.
Ia mengamati ular raksasa itu. Panjangnya mungkin sekitar lima puluh meter dengan tubuh selebar batang pohon. Nick berdecak kesal karena harus membuang energi di pagi hari padahal ia tengah kelaparan.
“Kau pikir cuma kau yang keparan, dasar ular busuk!” serunya sembari menyongsong sang monster dengan pedang terhunus.
Ular itu mendesis marah dan mencoba mematuk Nick sekali lagi. Namun pedang besar Nick memiliki kekuatan tak terbatas. Dalam satu kibasan, pemuda itu berhasil memenggal salah satu kepala sang monster ular. Darah berwarna hijau terciprat ke segala arah. Monster ular itu menggeliat kesakitan dan melata menjauhi Nick.
“Aku baru selesai mandi, Monster Sialan,” kecam Nick yang tubuhnya turut terkena cipratan cairan hijau.
Sang monster ular yang ketakutan kembali mendesis. Ia mencoba melata kabur, tetapi Nick yang sudah kepalang emosi mengejarnya dan kembali menghunuskan Turpin. Monster tersebut lantas menyemburkan bisa berupa cairan asam yang langsung membakar rumput dan pepohonan di sekitarnya. Nick berhasil menghindar di saat yang tepat.
“Aku akan membuatmu menjadi menu sarapan hari ini,” geram Nick sembari menggenggam erat gagang pedangnya.
Detik berikutnya pemuda tersebut melompat secepat kilat ke arah monster ular yang terluka. Gerakannya begitu cepat hingga tidak dapat diikuti oleh mata sang monster. Tanpa disadari, Nick sudah berada di atas kepala monster ular itu dengan pedang terangkat.
Sambil meraung keras, Nick menghujamkan Turpin tepat di tengah kepala monster tersebut, hingga membelahnya menjadi dua. Lagi-lagi darah hijau yang lengket menyembur keluar dan mengenai seluruh tubuh Nick. Monster itu terguling jatuh dan tewas hanya dalam dua serangan.
“Jadi hari ini kita akan makan daging ular? Sejujurnya ular dan naga adalah kerabat jauh. Tapi aku tidak keberatan kalau kau yang memasak sarapan.” Sebuah suara perempuan muncul dari balik punggung Nick.
Pemuda itu menarik napas panjang sambil menyeka wajahnya yang terciprat darah monster. “Kenapa kau mengirim monster jelek ini? Dia bahkan cuma punya dua kepala. Hydra seharusnya berkepala tiga. Sepertinya dia tidak sehat. Apa dagingnya enak dimakan?” tanyanya masih sedikit kesal.
“Akhir-akhir ini jarang ada monster yang mau berkeliaran di sekitar sini. Semua karena ulahmu yang berburu terlalu sering. Sejak memiliki Turpin kau jadi punya hobi yang aneh. Seharusnya kau menyisakan beberapa ekor untuk berkembang biak. Aku bahkan tidak bisa makan giant boar lagi karenamu,” keluh perempuan itu sembari melipat tangan dan berjalan mendekati bangkai ular raksasa.
Nick tampak menyesal. Akhir-akhir ini dia bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain berburu. Semua buku di perpustakaan naga sudah habis dia baca. Ia juga tidak lagi berminat untuk menempa senjata sejak memiliki Turpin.
“Maafkan aku, Ibu. Kalau begitu, biar aku yang memasak sarapan.” Nick menyarungkan lagi pedangnya yang sudah dia cuci dengan air danau. Pemuda itu lantas mendekati bangkai ular raksasa lalu mengangkatnya dengan satu tangan. Makanan ini mungkin hanya bertahan sampai siang. Para naga punya nafsu makan yang besar, terutama setelah membawa seekor hydra dari padang gersang kemari.
“Itu ide yang bagus, Nick,” sahut perempuan yang ternyata adalah Calada, ibu angkat Nick. Sang naga yang tengah berwujud manusia itu tersenyum hangat menatap anak angkatnya. “Kurasa sebentar lagi kita akan berpisah,” ujarnya sembari berjalan di sebelah Nick.
Pemuda itu menoleh menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu? Ibu mau pergi ke mana?” tanyanya.
Calada tersenyum tipis. Anak yang dia besarkan dua puluh tahun ini memang sudah dewasa, tetapi karena masa kecilnya dipenuhi trauma, Nick menjadi begitu bergantung padanya. Nick kecil menyaksikan kematian kedua orang tuanya yang begitu tragis. Karena itu sekarang, setelah dewasa, Nick menjadi begitu protektif pada Calada. Padahal seekor naga jelas jauh lebih kuat dari makhluk mana pun.
“Bukan aku yang akan pergi. Tapi kau, Nick,” ucap Calada lembut.
Nick mengernyit bingung. “Aku?”
Calada mengangguk menanggapi. “Sudah saatnya kau kembali pada kaummu, Nick. Kau harus tetap ingat bahwa kau adalah seorang anak manusia.” Calada tidak ingin Nick berakhir seperti dirinya. Kesepian dan sendirian. “Kembalilah ke dunia manusia,” lanjutnya tegas.
Nick nyaris menjatuhkan tubuh ular yang dipanggulnya. Namun pemuda itu berhasil menguasai diri. Meski begitu, ia tidak menjawab lagi kata-kata Calada. Nick berjalan dalam diam sambil menyeret tubuh sang ular raksasa hingga meninggalkan jejak panjang di tanah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!