Bocah Itu Istriku!
"Aowsssstttt ... Sakit Om!"
"Pelan-pelan dong, kalo Jiya jadi nggak bisa jalan gimana?"
"Iih, sakit! Om bisa lebih lembut nggak, sih? Jiya kan masih bocah, hiks!"
"Udah?" tanyaku akhirnya.
Jujur kupingku sudah panas sejak tadi mendengar rintihannya yang lebay itu. Apalagi tangannya seenak jidat menjambak rambutku tanpa permisi. Aish, ingin sekali kumaki tapi sadar bocah itu istriku.
Tapi Jiya tetaplah Jiya, si bocah ajaib yang suka seenaknya. Bukannya meminta maaf akan perbuatannya, dia malah terkikik seperti orang tanpa dosa di depanku.
"Eheheh, lagian Om ngobatinnya kasar, sih. Jiya kan jadi takut kalo lukanya tambah infeksi nanti."
Menghela napas berat, aku cuma bisa melihat Jiya dengan ekspresi pasrah. "Terserah apa katamu saja deh, lagi pula mana bisa luka diobatin malah tambah infeksi. Curiga, selama sebelas tahun sekolah kamu cuma tidur aja dikelas."
"Enak aja! Gini-gini Jiya pinter dan banyak yang suka tahu," jawabnya membanggakan diri sendiri.
Aku hanya manggut-manggut saja.
"Eh tapi ..."
"Apa?"
Jiya tiba-tiba mendekatkan mukanya ke arahku, membuat napasnya menyapu permukaan kulit wajahku ini.
"Kalo dilihat-lihat Om ganteng juga yah, tapi sayang ..."
"Sayang kenapa?" tanyaku spontan.
Kulihat, seutas senyum tipis kembali muncul disudut bibir bocah tengik itu. Tentunya, senyuman tengil yang biasanya ia layangkan jika menemukan bahan candaan baru.
"Bangkotan, pantes aja nggak laku-laku ckckckck ..."
Ya Tuhan!
Tolong tenangkan jiwa hamba yang rapuh ini. Terlebih dari ucapan pedas istri kecil hamba.
TAHAN, FER! TAHAN!
AGAHAJJAKAUATDSGJKK....
Pletak!
"Ih, Om kok jitak Jiya sih? Curang, Jiya kan nggak main tangan!" semprot Jiya mirip cacing kepanasan.
Aku cuma geleng-geleng kepala. "Lagian itu mulut lancar banget ngehinanya? Kek suami pula, mau dikutuk jadi istri durhaka terus nggak masuk surga?"
Damn!
Setelah mendengar kalimat itu mulut Jiya berhenti mengoceh. Untuk menatap mataku saja dia tak berani dan lebih memilih membuang pandangannya ke arah lain.
Awalnya, kupikir gadis itu akan menangis rupanya Jiya hanya mengulun-ulun ujung baju tidurnya yang bergambar Doraemon itu. Seperti menyesali perbuatannya tadi, mungkin?
"Sudahlah lupakan saja hal tadi. Lebih baik kamu tidur, besok masuk sekolah, kan?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Jiya mendongakkan kepalanya dengan hati-hati. "Iya. Ta-tapi, Om tidak akan melakukan i-itu sekarang kan?"
Astaga Jiya! Kenapa kamu polos banget sih. Kalo aku nafsu udah dari tadi kali main bolanya. Terus, apa untungnya aku nyuruh kamu tidur duluan, heh? Tentunya, ini cuma curhatan batinku saja.
Karena di realita, aku cuma diam seraya mengamati Jiya dari ujung rambut sampai kaki.
"Om, jangan liatin Jiya begitu dong, serem ta-"
"Nggak minat, apalagi sama bocah tengik kayak kamu. Dada sama pantat aja tepos, udah gitu nggak ada bagian yang bisa dipegang?" kataku sengaja frontal.
Jiya melotot. Secepatnya gadis itu menjauh dariku, kemudian menaiki kasur dengan tergesa. Jangan lupakan tangannya yang begitu cekatan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya layaknya kepompong.
"Dasar mesum! Om mati aja sana ke laut biar dimakan hiu!" teriaknya histeris.
Kali ini aku yang dibuat terbahak-bahak. Habisnya, gimana yah? Melihat raut wajah ketakutannya itu bukannya membuatku iba malahan geli sendiri. Sudah begitu, Jiya memang ekpresif sekali orangnya.
"Kan kamu yang bahas duluan, kenapa sekarang jadi takut sendiri?" jawabku tak mau kalah. Jiya bergidik.
"Pergi! Om jelek kayak monyet!" usirnya mengejek. Aku masa bodo.
"Dih, ngamookkk! Awas tuh dipojokan nanti ada yang nongol."
"Om rese banget sih, udah pergi sana! Pergi!" teriak Jiya sembari melempar barang-barang yang ada di dekatnya ke arahku.
Mau tak mau aku langsung pura-pura mengambil langkah seribu keluar kamar. Lalu tak lama setelah aku menutup pintu, kudengar dia berteriak-teriak histeris dari dalam kamar memaki diriku yang biadab ini.
Ya ampun, apa aku seburuk itu buatnya?
Di luar kamar, kulihat kondisi rumah begitu hening. Mungkin karena orang-orang kelelahan setelah acara resepsi dan pesta tadi siang.
Aku lantas memilih mengasingkan diri ke arah balkon, tak lupa aku juga membawa secangkir kopi dan sebungkus rokok batangan untuk menemani gadangku malam ini.
Kunikmati semilir angin yang berhembus ke permukaan wajah. Yang memainkan anak-anak rambutku, menari-nari ke sana kemari.
Heuh ...
Rokok dan kopi hitam memang the best untuk menenangkan diri begini. Meskipun, aku lebih suka racikan kopi hitam yang pekat dan pahit tanpa gula sih. Tapi, cita rasanya mengingatkankanku akan kehidupan yang lebih pahit untuk dijalani.
Ya, mungkin jika Momi tidak menelponku dengan skenario gilanya waktu itu aku pasti masih berada di Jepang hari ini. Berkutat di depan laptop, menyelesaikan semua pekerjaanku di sana.
Hanya saja, aku sempat berpikir jika ini bukanlah takdir semata atau mungkin saja, si bocah tengik itu Tuhan sengaja ciptakan untukku?
Ah, sial. Memikirkan dirinya saja yang masih terlihat imut-imut dibalik baju tidur kebesarannya membuatku terlihat seperti pedofil saja.
Jiyaning Admaja, bolehkah aku berharap jika ini hanya mimpi belaka?
***
Paginya, saat kurasakan terik sinar matahari mulai menyengat kulit. Aku segera membuka mata. Mengamati sekeliling berharap jika semalam aku sedang berhalusinasi saja.
Ya, sepertinya begitu. Buktinya pagi ini aku masih sama. Bertemankan putung rokok dan setengah cangkir kopi yang sepertinya tidak kubahabiskan semalam. Jangan lupakan, sebuah map merah berisi berkas-berkas penting yang sudah aku utak-atik semalam suntuk.
Ah, nikmat Tuhan manakah lagi yang aku dustai selain hidup melajang begini. Aku bahkan tidak perlu ....
"Om, ngapain masih di situ? Katanya mau nganter Jiya, buruan ini udah mau jam tujuh!" teriak seorang gadis yang tiba-tiba muncul dengan seragam SMA dari balik pintu balkon.
Tentunya, itu cukup membuat otakku berhenti berfikir mendadak.
"Kamu siapa?" tanyaku kaget.
Kulihat, bocah imut berkuncir dua itu menatap diriku jengah. "Dasar orang tua pikun, masa sama Jiya lupaa."
"Kamu Jiya? Jiyaning Admaja si bocah tengik yang kemarin nikah sama aku?!"
"Iyalah, kalo nggak terpaksa Jiya juga nggak mau ni-"
"ANJIRRR! GUE KIRA SEMALAM ITU MIMPI! NYATA ASYUUU!"
"Ih, masih pagi nggak boleh ngomong kasar. Om ternyata toxic yah," celetuk Jiya.
"Aku bilangin Tante Clara nih, biar Om disentil. Lumayan pagi-pagi dapat hiburan wkwk..." katanya lagi.
Aku hanya menatap Jiya horor. Bukannya takut, hanya saja gimana yah mau jelasinnya? Susah asli. Kalo boleh jujur, aku belum siap nikah walaupun mau menginjak kepala tiga. Apalagi sama bocah yang body-nya isi triplek semua. Ah, mana bisa nafsu.
Sekretarisku aja yang bodygoals tak pernah kulirik. Apalagi Jiya yang masih SMA? Bisa tekanan batin, lama-lama.
"Cih, dasar pengadu. Aku cium bibirmu, kicep nanti!" ancamku, Jiya tertawa setan.
"Emang Om berani, semalam aja Om bilang nggak nafsu sama aku!"
"Oh, jadi kamu nantangin? Mana-mana? Bagian bawah apa atas dulu yang mau aku serang?"
"Tante! Om Ferdian cabul!" teriak Jiya langsung ngibrit entah kemana. Meninggalkan diriku yang masih berdiri kebingungan melihat tingkahnya.
"Dasar bocah, beraninya nantangin doang. Giliran dimajuin beneran langsung lari bubar pasar, untung aja aku bisa tahan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
MAYZATUN 🥰🥰🥰al rizal
😁
2024-08-05
0
Mbak anee
keren
2024-07-30
0
Ig nr.lynaaa20
hai kak aku mampir nih, jangan lupa mampir juga yuk di karya aku single Dad siapa tau tertarik dan jangan lupa tinggal kan jejak
2024-03-15
1