Semenjak kejadian saat weekend itu, aku pun diam-diam mulai mencari tahu tentang latar belakang Om Lukman. Seperti saat ini misalnya, sesaat setelah aku memasuki lobi kantor. Aku langsung menemui Aaron.
Selain bekerja di bagian tim IT kami. Sahabatku itu juga seorang mantan hacker yang cukup handal.
"Ron, bisa nggak lo cari semua data-data tentang orang ini?" tanyaku seraya menyodorkan foto Om Lukman.
Kulihat, Aaron yang tadinya sedang membuat web tentang periklanan produk kami. Langsung mengganti dengan website pribadinya yang hanya Aaron yang tahu.
"Siapa?" tanyanya, dengan raut wajah yang langsung serius. Berbeda dengan Aaron yang suka haha-hehe dan mengeluh seperti anak kecil.
"Lukman Salim."
Kulihat muka Aaron sedikit terkejut. "Ngapain lo nyari data-data tentang orang itu?" tanyanya kepo.
Aku mengangkat bahu cuek seketika. "Entah, pengin aja."
"Fer!" teriaknya ngegas.
"Hm?"
"Dia itu berbahaya. Kalau bisa lo nggak usah penasaran dan nyari tahu tentang dia," jelas Aaron khawatir.
Jujur, aku baru pertama kali melihat sosoknya yang begini.
"Ron, bukannya lo yang paling tahu karakter gue? Bahkan sisi gelap gue sendiri, yang nggak Momi sama Daddy tahu."
Tersentak sesaat, Aaron lantas menganggukkan kepalanya. Pasrah. "Oke."
Aku hanya tersenyum tipis. Terlebih lagi saat melihat jari-jemari Aaron yang lincah mulai menekan satu persatu tombol-tombol keyboard dengan cepat. Seperti seorang profesional.
"Ketemu," ujarnya.
"Baca."
Aaron tak menolak. Dia langsung menatap layar komputer dihadapannya kemudian membaca satu-persatu informasi yang tertera di sana dengan cermat.
"Lukman Salim, anak bungsu keluarga Salim yang kayak raya. Umur, hampir 30 tahun dan menjadi seorang mahasiswi abadi di kampus xxx. Pekerjaan, nggak ada keterangannya. Terkenal sebagai player alias Casanova. Hobi, main cewek? Anjir! Dia bahkan lebih gila dari gue, Fer!" kata Aaron ngegas.
Aku jadi ngakak dalam hati. Nggak nyangka sama reaksi Aaron yang notebene seorang playboy, pas ketemu sosok player yang levelnya lebih tinggi dari dia.
"Ada lagi?" tanyaku.
Aaron tampak menyipitkan matanya saat menatap layar komputer. "Dia ... Ternyata terjerat hutang sama mafia."
Ternyata dugaannya tak meleset. Apalagi dengan gaya hidup Om Lukman yang selama ini seperti kelas jetset. Tapi kerjaannya cuma rebahan dan nyusahin keluarga. Pria itu pasti diam-diam berurusan sama Mafia.
"Yah, nggak heran."
"Maksud lo?"
"Lukman Salim, Om gue."
Muka Aaron detik itu juga melongo. Dia bahkan menatap wajahku bergantian dengan foto si brengsek itu.
"Serius?! Pantes aja, pas gue ngeliat fotonya kayak keinget sesuatu."
"Gue sama dia beda," potongku cepat. Aaron cuma manggut-manggut.
"Terus mau lo apa Fer?"
"Mau gue?" Simpel sih. Ngebuat dia nggak betah tinggal di dunia. Tambahku dalam hati. "Nanti lo, juga tahu Ron. Btw, thanks yah."
Setelah itu, aku segera pergi menuju ruanganku. Mendudukkan diriku di atas kursi kerja, sembari mengetikkan sesuatu lewat layar benda pintar itu, dengan seutas senyum yang misterius.
Sorenya aku pulang seperti biasa. Tapi, kulihat keadaan rumah tak kondusif.
Momi juga terlihat uring-uringan dan berjalan mondar-mandir sedari tadi di ruang tamu. Lalu, Daddy? Kalau tidak salah, dia sedang melakukan perjalanan bisnis selama tiga hari di luar negeri.
"Assalamualaikum, Jiya mana mah?" tanyaku sambil berjalan masuk.
Momi yang tadi masih mondar-mandir seperti setrikaan baju. Langsung mengalihkan perhatiannya ke arahku.
"Ada tuh di atas. Ngomong-ngomong, kamu kapan pulang, Fer?"
"Baru aja," jawabku sambil meraih tangannya untuk salim.
"Kalau begitu Ferdi, pergi ke atas dulu yah."
Baru beberapa saja aku melangkah, untuk menaiki tangga. Momi tiba-tiba mencegahku.
"Sebentar, kamu bisa tolong Momi dulu?" katanya, yang dipenuhi guratan-guratan kecemasan.
"Soal apa, Mom?"
Mengembuskan napas berat, Momi tiba-tiba melihat ke arahku dengan pandangan cemas bercampur sendu.
"Om Lukman, Momi khawatir sama dia. Masa udah hampir dua hari ini belum ada kabar. Selain itu, Daddy juga nitipin dia ke Momi selama pergi ke luar negeri. Jadi, Fer. Tolong kamu cari Om kamu itu, yah. Momi takut, dia kenapa-kenapa."
Aku tertawa sinis di dalam hati. Tak menyangka, kalau masih ada saja yang begitu perhatian dengan si benalu.
Tapi mau bagaimana juga, aku tak mungkin menolaknya. Apalagi, saat ini Momi benar-benar panik. Itu membuatku jadi tidak tega. Jadilah, dengan terpaksa aku mengiyakan perkataanya itu.
"Oke, Ferdi pergi dulu buat cari dia."
Kulihat senyuman Momi merekah. Dengan wajah yang kini dipenuhi binar, wanita yang melahirkanku itu memeluk tubuhku erat, meskipun hanya sebentar. "Makasih, kamu emang anak Momi yang paling bisa diandalkan."
***
Bunyi musik DJ yang khas, sekaligus cahaya lampu yang begitu remang-remang kini begitu jelas kulihat. Sejujurnya, aku tak pernah menyangka akan menginjakan kaki di tempat kotor ini.
Belum lagi, suara tawa seorang pria dan wanita yang saling bersahutan karena kecanduan minuman keras dan menari-nari liar bersama. Benar-benar membuatku muak.
Hanya saja, aku tetap melangkah masuk. Sembari mengamati satu-persatu tiap sudut ruangan yang isinya hampir penuh orang. Mereka berjoget dan menggila bersama. Ada juga, yang tengah bercumbu tanpa tahu malu.
Aku sendiri yang tak sengaja melihat hal itu segera memalingkan wajah. Mendecih perlahan, dengan tangan yang sudah terkepal sedari tadi memasuki tempat ini.
Benar-benar deh, tempat ini membuat dadaku sesak. Seolah-olah, stok oksigen ditempat ini begitu minim untuk orang sebanyak ini.
Brak!
Seorang pelayan wanita dengan pakaian minim tak sengaja menabrak diriku. Membuat gelas wine yang dia bawa tumpah dan membasahi jas kesayanganku ini.
"Maaf," ucapnya pelan.
Aku hanya mengangkat tangan cuek. Namun segera tersadar jika aku bisa meminta bantuannya.
"Tunggu, bisakah aku bertanya tentang seorang pria bernama Lukman Salim. Apa dia ada di sini?"
Pelayan wanita itu hanya mengangguk pelan, kemudian memintaku untuk pergi mengikutinya.
Rupanya dia membawa diriku ke sebuah lorong dengan banyak pintu di masing-masing sisi. Di atas pintu cokelat itu, ada nomor yang tertera, mungkin nomor ruangan itu sendiri.
Lalu, saat kami sampai di pintu terakhir. Langkah si pelayan wanita itu terhenti.
"Anda bisa masuk dan menunggunya di dalam."
Alisku spontan terangkat sebelah. Masih mencerna ucapan pelayan wanita di depanku ini. Bukannya, seharusnya dia membawaku langsung ke hadapan si benalu itu, bukan malah menyuruh untuk menunggu?
Namun, saat aku ingin menjawabnya. Sesuatu yang begitu keras tiba-tiba menghantam bagian belakang kepalaku tiba-tiba. Membuat tubuhku yang tak siap, seketika limbung, karena pukulan keras itu.
"Sial!" decihku pelan.
Sayangnya, kepalaku mendadak pusing sekali. Membuatku akhirnya jatuh tersungkur dengan kesadaran yang hampir habis. Samar-samar sebelum jatuh pingsan. Aku mendengar suara seseorang.
"Kau bisa bermain dengan tubuhnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ray_Na
ku kira om lukman yg di jebak😭
2023-03-19
3