Berhubung sore tadi Jiya membuat ulah, akhirnya kuputuskan untuk memberi hukuman padanya.
Kusuruh bocah itu berdiri selama sejam di dekat lemari baju, dengan sebelah kaki terangkat satu. Tak lupa, Jiya juga kusuruh untuk menjewer kedua telinganya sendiri.
Anggap saja, ini sebagai hukuman kedisiplinan, karena berkelahi dengan teman sekelasnya dan memperebutkan satu orang cowok.
Sedangkan untuk mengawasi selama sesi hukuman itu berlangsung. Akupun memilih untuk mengerjakan berkas dan laporan perusahaan di atas tempat tidur.
Meskipun tampangku terlihat fokus menatap layar laptop, namun diam-diam aku mencuri pandang ke arah Jiya beberapa kali.
"Om, capek ih! Kaki Jiya juga pegal banget karena nggak bisa berdiri lama." Jiya mengeluh seraya menurunkan kakinya yang terangkat.
Menatap wajahku penuh harap, seperti yang dia lakukan tempo hari lalu. Pakai puppy eyes pula, buat memelas. Sayangnya itu nggak mempan, karena aku masih saja berpura-pura untuk fokus mengerjakan berkasku, tanpa berniat untuk melihat ke arahnya.
"Om iih, Jiya pengin pipis!"
"Pipis aja, nggak ada yang ngelarang kok," balasku masih cuek.
Kulihat dari balik laptop, Jiya menghentakkan kakinya kesal ke lantai. Lalu pergi menuju kamar mandi yang tak jauh letaknya dari lemari baju.
Cuma, belum ada satu menit setelah kepergiannya. Tiba-tiba kudengar Jiya menjerit. Karena khawatir, akupun segera beranjak dari posisi dudukku kemudian menghampiri Jiya secepatnya.
Brak!
Kudorong pintu kamar mandi kencang, sampai jatuh terlepas engselnya ke lantai.
"Kenapa?" tanyaku panik.
Dengan air mata yang sudah bercucuran Jiya langsung berlari menuju diriku. Dipeluknya tubuh ini erat sekali, sambil terisak beberapa kali. Aku yang mendapat perlakuan tiba-tiba begini hanya mengusap-usap punggungnya yang naik-turun, untuk menenangkan.
"Udah, jangan nangis. Coba cerita kenapa tadi?"
Jiya hanya menggelengkan kepalanya pelan. Enggan untuk bercerita, mungkin dan masih saja menangis dalam pelukanku.
Aku yang memang nggak tegaan, segera mengangkat tubuh bocah itu lalu mendudukkannya di atas kasur. Pelan, kudongakan wajah Jiya ke atas agar tatapan mata kami bertemu.
"Kalau kamu diem aja kayak gini, gimana Om mau tahu. Coba jelasin, kenapa tiba-tiba nangis gitu?"
Awalnya, Jiya masih enggan menjawab. Namun, saat bocah itu bergerak gelisah dan langsung meringis seraya memegang bagian bawah perutnya. Aku langsung saja peka.
"Kamu datang bulan?" tanyaku spontan. Yang membuat Jiya kaget mulanya.
"Jangan malu gitu, lagian emang udah kodratnya cewek," lanjutku.
"Jiya nggak malu, cuma ..."
"Cuma?" ulangku, mengikuti kata-kata Jiya barusan.
"Jiya kehabisan roti Jepang, jadi reflek teriak tadi. Oh iya, bisa nggak Om beliin pembalut buat Jiya?" pintanya polos yang nggak bisa aku tolak.
Asem-asem, dan gara-gara itu pula aku beneran langsung pergi ke Alfamart terdekat dong. Bodohnya, aku lupa nanya dia pakai merek apa. Benar-benar deh, menyengsarakan diri sendiri.
Tepat setelah membuka pintu masuk, aku langsung di sapa hangat sama karyawan di sana. Parahnya lagi, malam ini nggak ada karyawan cowok yang jaga. Kalau kayak gini, aku nanya ke siapa dong? Karena nggak ada yang bisa diajak buat kongkalikong.
Melihatku yang kebingungan, salah seorang pramuniaga tiba-tiba saja datang menghampiri diriku. Dengan sikap yang santun dan penuh tata krama, orang itu mulai bertanya barang apakah yang sedang aku cari.
Karena suasana yang cukup sepi, akhirnya segera kukatakan padanya, tentang benda apa yang sedang kucari dari tadi. Si pramuniaga itu tampak tak terkejut, dan segera membantuku untuk memilih barang yang akan kubeli.
Jujur, aku sempat bingung untuk memilih benda itu. Apalagi saat ditanya si pramuniaga begini; Mas mau yang merek apa? Oh iya, yang biasa atau yang biasanya dipakai buat malam hari?
Aku yang mendengar itu tanpa sadar melongo. Merasa jadi orang yang paling bodoh saja, karena tak mengetahui benda ini walaupun sudah sering melihatnya dari dulu.
Etdah, ternyata pengetahuanku masih dangkal toh.
"Saya beli satu yang biasa, sama satunya lagi buat dipakai pas malam hari," ujarku kemudian.
Si pramuniaga didepan wajahku itu tersenyum, lantas melontarkan pertanyaan lagi.
"Yang panjangnya berapa centi yah, Mas?"
Dan itu membuatku pusing tujuh keliling. Bisa-bisanya aku remidi soal beginian. Parah, banget kau Fer! Batinku meratap.
"Terserah mbanya aja, saya ngikut. Soalnya ini pesenan orang bukan buat saya," jawabku sambil tersenyum tipis pada akhirnya.
Huft, nggak nyangka beli pembalut bakal memakan waktu yang cukup lama begini. Aku yang pulannya nggak sengaja papasan sama tukang martabak, akhirnya memutuskan untuk mampir membeli.
Untungnya, si tukang martabaknya lebih cepat. Jadi, aku tak perlu repot-repot lagi buat nunggu lama.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamar. Mengetuk pintu bercat biru itu pelan, sebelum masuk tentunya.
Kulihat, Jiya sedang meringkuk di sisi ranjang dengan satu tangan memegangi bagian bawah perutnya. Rambutnya yang cukup panjang, hampir menutupi semua bagian wajahnya.
Ah, jika melihatnya begitu. Si bocah rese itu tampak rapuh. Seolah-olah, kalau aku salah menyentuhnya sedikit, Jiya bakal hancur dalam sekejap mata.
"Ji!" panggilku pelan, seraya mendudukkan diri di samping Jiya.
Perlahan, kusentuh puncak kepalanya sayang. Yang kemudian berubah menjadi usapan ringan.
"Sakit banget, kah?" bisikku lirih, Jiya balas mengangguk singkat.
Bocah itu seperti kehilangan daya dan begitu lemah tak berdaya. Dia hanya meringkuk di atas kasur tanpa ada niatan untuk bergerak barang sejengkal, sekalipun.
Inisiatif, kuangkat tubuh Jiya untuk menyender ke arahku. Mendudukkan bocah itu diatas pangkuan, yang tak mendapat protes sama sekali.
Kukira dia bakal protes gara-gara posisi kita yang dekat begini. Nyatanya, Jiya begitu tenang dan malah menyembunyikan kepalanya dibalik dadaku.
Melihat Jiya yang masih meringis sakit sambil memegangi bagian bawah perutnya, aku jadi punya ide yang lumayan ambigu. Namun tetap saja kulakukan, siapa tahu bisa membantu bocah itu untuk meredakan rasa nyerinya sedikit.
Yah, aku ikut memegang bagian bawah perutnya. Mengusapnya pelan sambil sesekali memijatnya perlahan-lahan.
"Masih sakit?" bisikku lagi.
Kali ini jiya malah meletakkan tangannya diantara kedua bahuku, kemudian memeluk leherku cukup erat.
"Nggak sakit, tapi Jiya ngerasa aneh dibawah."
Kontan saja, tanganku yang masih menekan-nekan bagian bawah perut Jiya berhenti bergerak.
Gila! Apa yang kamu coba lakuin Fer?
"Om," panggil Jiya lirih dengan wajah yang terdongak sedikit menatap ke arahku.
Saat melihatnya ada sesuatu yang aneh. Entah karena menahan rasa nyeri yang disebabkan datang bulan di hari pertamanya. Atau memang, ada sesuatu yang lain. Kulihat, wajah Jiya sedikit merona dan dipenuhi semburat warna merah dipipi.
"Tolong jangan berhenti, pijet perut Jiya lagi yah. Soalnya rasanya enak."
Detik itu juga, aku kehilangan kata-kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Gagas Permadi
astaghfirullah jiyaaaa🤭🤭🤭
2024-01-06
1
Lilisdayanti
🤦🤦🫣🫣
2023-11-26
2
El Nino
satu lagi, pakai sayap atau tidak wkwkwk
2023-05-14
3