"Kok, Om Ferdi sih yang datang, Papi mana?" tanya Jiya sesaat setelah sampai di hadapanku.
Kulihat sorot matanya begitu tajam dan menatapku sangat serius. Benar-benar menampilkan sosok yang sangat berbeda dari Jiya biasanya.
"Mana aku tahu, orang yang kasih kabar aja guru BK kamu tadi."
Si Jiya melotot. Sambil berkacak pinggang, dia menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. "Bilang aja, Om Ferdi yang sengaja masang mata-mata buat ngawasin Jiya, ngaku nggak!"
Lah, malah ngegas. Nggak tahu aja dia, gimana pontang-pantingnya aku ke sini. Bahkan meeting sama Pak Richard aku batalin dadakan tadi.
"Itu tangannya nggak usah nunjuk-nunjuk begitu, nggak sopan." Kudorong jari telunjuk Jiya pelan, dari depan wajahku.
Yang langsung membuat si bocah setan itu mendesis tak suka.
"Kalau gitu, pulang aja. Jiya nggak butuh bantuan Om Ferdi di sini."
Dih, sok keras banget lo, Dek? Lagian, aku ke sini juga buat formalitas aja sama guru yang nelpon.
"Eh, Pak Ferdi sudah datang? Mari pak, masuk ke ruangan saya dulu," celetuk seseorang yang kontan membuatku dan Jiya serempak menolehkan kepala.
Terlihat seorang wanita berparas ayu dengan lesung pipi berdiri di dekat pintu. Dia mengenakan baju batik tradisional berwarna cokelat muda, serta rok span berwarna hitam yang begitu kontras. Dandanan rambutnya disanggul sederhana seperti guru-guru kebanyakan. Hanya saja, yang buat beda. Wanita itu tampaknya hanya terpaut beberapa tahun saja dariku.
"Ngeliatnya biasa aja kaleee ... Ingat Om jangan sampe netes tuh air liurnya. Malu sama umur, lagian Om Ferdi udah nggak puber lagi loh." Sinis Jiya seraya menyenggol lengan tanganku keras.
"Bilang aja kamu cemburu," balasku enteng.
Si bocah setan itu segera mengelus permukaan perutnya yang masih terbalut seragam naik-turun. "Amit-amit jabang bayi, kenapa sih, harus ada spesies kayak Om Ferdi? Hidup pula."
Aku hanya mengembuskan napas pelan mendengarnya. Lagi pula, kami sudah sampai di depan pintu ruang BK sekarang. Kan, nggak etis aja kalau masih adu bacot.
Rupanya di dalam ruangan itu sudah ada beberapa orang. Hanya saja, kedua wali dari murid yang lain tampaknya belum juga hadir.
Aku sendiri yang menjadi wali satu-satunya di tempat ini. Sebisa mungkin untuk menjaga sikap dan tak memihak. Yah, aku harus adil dan tidak mengambil keputusan secara terburu-buru, serta melihat permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Bu Indri, Pak. Saya salah satu guru BK sekaligus wali kelas Jiya."
Aku hanya menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban. Toh, ini bukan pertama kalinya orang-orang mengajakku untuk berkenalan di depan umum.
"Dan saya masih lajang, jadi jika bapak-"
Tunggu sebentar, kenapa situasinya mendadak begini. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan Maya dan Gisel yang akhir-akhir ini mulai bersikap aneh di kantor.
Masa kah, wanita bernama Indri ini juga ingin melakukan hal yang sama padaku?
"Maaf Bu, saya ke sini tidak untuk mengobrol dengan Ibu. Jadi, bisa tolong jelaskan bagaimana kronologi yang membuat Jiya dan temannya bertengkar?" potongku cepat yang membuat wanita bernama Indri itu terperanjat kaget.
Berdeham pelan, kulihat Indri sempat membenarkan posisi duduknya sebelum kembali berbicara.
"Persoalan remaja sebenarnya, mereka bertengkar karena satu cowok."
What? Gara-gara cowok? Hari gini, masih zaman gitu? Hadeh, Jiya, Jiya padahal kamu punya yang lebih ganteng, tinggi, dan nggak dosa buat di sentuh. Udah gitu, kaya lagi. Tapi masih aja ngelirik keroco.
"Benar, begitu?" tanyaku seraya melirik tajam ke arah Jiya.
Seketika, si bocah setan itu menunduk karena kehilangan muka. Jiya bahkan nggak berani menjawab dan menatap mataku.
"Lagian, ngapain juga kamu ngerebutin satu cowok sampai berkelahi begitu. Kayak di dunia ini udah nggak ada aja stok cowok ganteng," lanjutku lagi yang hanya dibalas embusan napas berat milik Jiya.
"Itu karena Om Ferdi nggak tahu!" sentak Jiya berapi-api, kemudian.
Kulihat bocah itu sampai mengepalkan kedua tangannya karena begitu kesal.
"Coba aja kalau Om Ferdi pernah ngerasain sekali aja jatuh cinta, pasti Om nggak bakalan ngomong hal kayak gitu." Jiya melanjutkan ucapannya lagi.
Semenjak kejadian di ruang BK. Aku dan Jiya meninggalkan ruangan tanpa banyak bicara.
Meskipun, kami terlihat berjalan beriringan satu sama lain. Tapi, pikiran kami melalang buana kemana-mana. Ini menjadi salah satu faktor yang membuatku merasa, kalau kehidupan kita memang benar-benar berbeda.
Hingga, langkah kami tiba-tiba dihentikan oleh satu sosok. Yakni, salah satu anak yang kutahu berkelahi dengan Jiya tadi.
"Hai Om, boleh kenalan?" sapanya lembut khas anak-anak remaja pada umumnya.
"Ngomong-ngomong, Om ganteng deh, boleh minta nomer WA-nya nggak?" lanjutnya lagi, seraya mengerling genit ke arahku.
Aku yang cukup syok dengan sikapnya yang tiba-tiba begini. Hanya bisa terdiam. Lain lagi dengan Jiya, kulihat dia segera melangkah maju ke depan tubuhku, lantas berseru dengan lantangnya.
"Woy ganjen! Mata lo emang minta gue colok yah, lama-lama. Dasar cabe!" teriaknya keras yang membuat mataku nengerjap pelan.
Tak menyangka bakalan berada di situasi ini. Yang mengingatkanku akan adegan sinetron kesayangan Momi, Andin dan Aldebaran.
Jihahahah ...
"Aelah Ji, kenapa sih lo nggak bilang kalau punya Om ganteng mirip cowok Korea begitu? Kalau dari kemarin lo bilang, gue pasti bakalan relain Rehan ke lo secara sukarela."
Rehan? Siapa itu Rehan?
"Sasimo lo emang! Berani, dekat-dekat Om gue lagi, abis lo sama gue!" balas Jiya kesal.
Saking kesalnya, bocah itu sampai menyeret pergelangan tanganku untuk mengekor, mengikuti langkah kakinya kemanapun dia pergi. Sampai tak terasa sudah berada di depan mobil milikku.
"Ini semua salah Om Ferdi!" teriak Jiya tiba-tiba, sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Mirip anak kecil yang lagi marah-marah sewaktu permennya direbut paksa.
"Kok, aku?"
"Iyalah, siapa suruh Om Ferdi punya tampang ganteng begitu," jelas Jiya. Aku terkekeh pelan tanpa sadar.
"Siapa bilang?
"Nadin sama Sekar tuh, masa mereka berdua bilang kalau Om Ferdi mirip Yeonjun TXT. Padahal mah, kalau menurut Jiya, Om Ferdi itu kayak Suneo."
Aku melotot. "Enak aja Suneo! Masa aku disamain sama karakter antagonis sih, yah meskipun dia yang paling kaya raya dibanding lainnya. Cuma tetap ajalah, harusnya kamu samain Om sama sekelas Angga Aldi Yunanda atau Rizki Nazar. Itu baru bener."
"Cuih!"
Kulihat Jiya pura-pura meludah. Kemudian, bocah itu menatapku lagi dengan tatapan tajamnya seperti biasa.
"Ngarep banget, Jiya ngomong begitu. Om mah, pantasnya jadi Suneo. Titik!" kata Jiya final, tanpa mau dibantah sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
sweetie belle
kbykn ngomong sndr kdg..
2023-12-14
2
Lilisdayanti
haiiii aqu baru nongol lagi 🤣🤣 kangen sama si om pong 🤣🤣🤣🤣
2023-12-04
3
Nurhayati Nia
hadeuhhhhhhh jiyaa jiyaaa ntar lo duluan bucin sama si ommm
2023-11-30
1