"Aowsssstttt ... Sakit Om!"
"Pelan-pelan dong, kalo Jiya jadi nggak bisa jalan gimana?"
"Iih, sakit! Om bisa lebih lembut nggak, sih? Jiya kan masih bocah, hiks!"
"Udah?" tanyaku akhirnya.
Jujur kupingku sudah panas sejak tadi mendengar rintihannya yang lebay itu. Apalagi tangannya seenak jidat menjambak rambutku tanpa permisi. Aish, ingin sekali kumaki tapi sadar bocah itu istriku.
Tapi Jiya tetaplah Jiya, si bocah ajaib yang suka seenaknya. Bukannya meminta maaf akan perbuatannya, dia malah terkikik seperti orang tanpa dosa di depanku.
"Eheheh, lagian Om ngobatinnya kasar, sih. Jiya kan jadi takut kalo lukanya tambah infeksi nanti."
Menghela napas berat, aku cuma bisa melihat Jiya dengan ekspresi pasrah. "Terserah apa katamu saja deh, lagi pula mana bisa luka diobatin malah tambah infeksi. Curiga, selama sebelas tahun sekolah kamu cuma tidur aja dikelas."
"Enak aja! Gini-gini Jiya pinter dan banyak yang suka tahu," jawabnya membanggakan diri sendiri.
Aku hanya manggut-manggut saja.
"Eh tapi ..."
"Apa?"
Jiya tiba-tiba mendekatkan mukanya ke arahku, membuat napasnya menyapu permukaan kulit wajahku ini.
"Kalo dilihat-lihat Om ganteng juga yah, tapi sayang ..."
"Sayang kenapa?" tanyaku spontan.
Kulihat, seutas senyum tipis kembali muncul disudut bibir bocah tengik itu. Tentunya, senyuman tengil yang biasanya ia layangkan jika menemukan bahan candaan baru.
"Bangkotan, pantes aja nggak laku-laku ckckckck ..."
Ya Tuhan!
Tolong tenangkan jiwa hamba yang rapuh ini. Terlebih dari ucapan pedas istri kecil hamba.
TAHAN, FER! TAHAN!
AGAHAJJAKAUATDSGJKK....
Pletak!
"Ih, Om kok jitak Jiya sih? Curang, Jiya kan nggak main tangan!" semprot Jiya mirip cacing kepanasan.
Aku cuma geleng-geleng kepala. "Lagian itu mulut lancar banget ngehinanya? Kek suami pula, mau dikutuk jadi istri durhaka terus nggak masuk surga?"
Damn!
Setelah mendengar kalimat itu mulut Jiya berhenti mengoceh. Untuk menatap mataku saja dia tak berani dan lebih memilih membuang pandangannya ke arah lain.
Awalnya, kupikir gadis itu akan menangis rupanya Jiya hanya mengulun-ulun ujung baju tidurnya yang bergambar Doraemon itu. Seperti menyesali perbuatannya tadi, mungkin?
"Sudahlah lupakan saja hal tadi. Lebih baik kamu tidur, besok masuk sekolah, kan?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Jiya mendongakkan kepalanya dengan hati-hati. "Iya. Ta-tapi, Om tidak akan melakukan i-itu sekarang kan?"
Astaga Jiya! Kenapa kamu polos banget sih. Kalo aku nafsu udah dari tadi kali main bolanya. Terus, apa untungnya aku nyuruh kamu tidur duluan, heh? Tentunya, ini cuma curhatan batinku saja.
Karena di realita, aku cuma diam seraya mengamati Jiya dari ujung rambut sampai kaki.
"Om, jangan liatin Jiya begitu dong, serem ta-"
"Nggak minat, apalagi sama bocah tengik kayak kamu. Dada sama pantat aja tepos, udah gitu nggak ada bagian yang bisa dipegang?" kataku sengaja frontal.
Jiya melotot. Secepatnya gadis itu menjauh dariku, kemudian menaiki kasur dengan tergesa. Jangan lupakan tangannya yang begitu cekatan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya layaknya kepompong.
"Dasar mesum! Om mati aja sana ke laut biar dimakan hiu!" teriaknya histeris.
Kali ini aku yang dibuat terbahak-bahak. Habisnya, gimana yah? Melihat raut wajah ketakutannya itu bukannya membuatku iba malahan geli sendiri. Sudah begitu, Jiya memang ekpresif sekali orangnya.
"Kan kamu yang bahas duluan, kenapa sekarang jadi takut sendiri?" jawabku tak mau kalah. Jiya bergidik.
"Pergi! Om jelek kayak monyet!" usirnya mengejek. Aku masa bodo.
"Dih, ngamookkk! Awas tuh dipojokan nanti ada yang nongol."
"Om rese banget sih, udah pergi sana! Pergi!" teriak Jiya sembari melempar barang-barang yang ada di dekatnya ke arahku.
Mau tak mau aku langsung pura-pura mengambil langkah seribu keluar kamar. Lalu tak lama setelah aku menutup pintu, kudengar dia berteriak-teriak histeris dari dalam kamar memaki diriku yang biadab ini.
Ya ampun, apa aku seburuk itu buatnya?
Di luar kamar, kulihat kondisi rumah begitu hening. Mungkin karena orang-orang kelelahan setelah acara resepsi dan pesta tadi siang.
Aku lantas memilih mengasingkan diri ke arah balkon, tak lupa aku juga membawa secangkir kopi dan sebungkus rokok batangan untuk menemani gadangku malam ini.
Kunikmati semilir angin yang berhembus ke permukaan wajah. Yang memainkan anak-anak rambutku, menari-nari ke sana kemari.
Heuh ...
Rokok dan kopi hitam memang the best untuk menenangkan diri begini. Meskipun, aku lebih suka racikan kopi hitam yang pekat dan pahit tanpa gula sih. Tapi, cita rasanya mengingatkankanku akan kehidupan yang lebih pahit untuk dijalani.
Ya, mungkin jika Momi tidak menelponku dengan skenario gilanya waktu itu aku pasti masih berada di Jepang hari ini. Berkutat di depan laptop, menyelesaikan semua pekerjaanku di sana.
Hanya saja, aku sempat berpikir jika ini bukanlah takdir semata atau mungkin saja, si bocah tengik itu Tuhan sengaja ciptakan untukku?
Ah, sial. Memikirkan dirinya saja yang masih terlihat imut-imut dibalik baju tidur kebesarannya membuatku terlihat seperti pedofil saja.
Jiyaning Admaja, bolehkah aku berharap jika ini hanya mimpi belaka?
***
Paginya, saat kurasakan terik sinar matahari mulai menyengat kulit. Aku segera membuka mata. Mengamati sekeliling berharap jika semalam aku sedang berhalusinasi saja.
Ya, sepertinya begitu. Buktinya pagi ini aku masih sama. Bertemankan putung rokok dan setengah cangkir kopi yang sepertinya tidak kubahabiskan semalam. Jangan lupakan, sebuah map merah berisi berkas-berkas penting yang sudah aku utak-atik semalam suntuk.
Ah, nikmat Tuhan manakah lagi yang aku dustai selain hidup melajang begini. Aku bahkan tidak perlu ....
"Om, ngapain masih di situ? Katanya mau nganter Jiya, buruan ini udah mau jam tujuh!" teriak seorang gadis yang tiba-tiba muncul dengan seragam SMA dari balik pintu balkon.
Tentunya, itu cukup membuat otakku berhenti berfikir mendadak.
"Kamu siapa?" tanyaku kaget.
Kulihat, bocah imut berkuncir dua itu menatap diriku jengah. "Dasar orang tua pikun, masa sama Jiya lupaa."
"Kamu Jiya? Jiyaning Admaja si bocah tengik yang kemarin nikah sama aku?!"
"Iyalah, kalo nggak terpaksa Jiya juga nggak mau ni-"
"ANJIRRR! GUE KIRA SEMALAM ITU MIMPI! NYATA ASYUUU!"
"Ih, masih pagi nggak boleh ngomong kasar. Om ternyata toxic yah," celetuk Jiya.
"Aku bilangin Tante Clara nih, biar Om disentil. Lumayan pagi-pagi dapat hiburan wkwk..." katanya lagi.
Aku hanya menatap Jiya horor. Bukannya takut, hanya saja gimana yah mau jelasinnya? Susah asli. Kalo boleh jujur, aku belum siap nikah walaupun mau menginjak kepala tiga. Apalagi sama bocah yang body-nya isi triplek semua. Ah, mana bisa nafsu.
Sekretarisku aja yang bodygoals tak pernah kulirik. Apalagi Jiya yang masih SMA? Bisa tekanan batin, lama-lama.
"Cih, dasar pengadu. Aku cium bibirmu, kicep nanti!" ancamku, Jiya tertawa setan.
"Emang Om berani, semalam aja Om bilang nggak nafsu sama aku!"
"Oh, jadi kamu nantangin? Mana-mana? Bagian bawah apa atas dulu yang mau aku serang?"
"Tante! Om Ferdian cabul!" teriak Jiya langsung ngibrit entah kemana. Meninggalkan diriku yang masih berdiri kebingungan melihat tingkahnya.
"Dasar bocah, beraninya nantangin doang. Giliran dimajuin beneran langsung lari bubar pasar, untung aja aku bisa tahan."
"Pagi Pak Ferdi."
"Pagi Pak CEO ganteng."
"Pagi Pak Bos!"
"Pagi Pak!"
"Woy Ferdi! Tumben baru berangkat, ngapain aja lo di rumah tadi?" pekik Aron sebelum aku menaiki lift menuju ruanganku.
Mungkin sudah jadi makanan sehari-hari, aku yang bos ini diteriaki tanpa sopan santun oleh sahabatku sendiri.
"Sopan banget kamu, udah bosen kerja sama saya?"
Deg!
Hanya dalam sepersekian detik saja, muka songong Aron berubah ketakutan. Pria berkumis tipis dengan kemeja maroon itu segera melangkah tergesa ke arahku seraya tercengir lebar seperti kebiasaan sewaktu sekolah dulu.
"Ah, lo mah nggak asyik sama temen sendiri. Gue kan cuma bercanda tadi," elaknya.
Kusunggingkan sebuah senyum manis berseri ala-ala iklan pasta gigi.
"Oh, becanda? Oke, sebagai ganti bonus lembur Minggu ini saya potong."
Aron melotot. Kelihatan ingin mengajukan protes namun aku sudah lebih dulu menaiki lift menuju ruanganku dengan tampang arogan.
Jangankan untuk memanggil, menatap diriku saja dia tak berani. Samar-samar, sebelum pintu lift tertutup aku bisa mendengar rutukannya padaku.
"Sial! Apes banget gue hari ini. Duh, kagak jadi shoppingkan, weekend nanti."
Ya, sekiranya begitulah ocehan Aron, yang masih kudengar.
Tring ...
Lift terbuka, dan hal pertama yang mataku lihat adalah Gisel si sekertaris aduhai. Apalagi kalo lihat senyumannya, beuh berasa lihat kembang gula.
Cuma, ada yang janggal. Aku selalu lihat Gisel pakai baju kurang bahan. Entah, gajinya yang gede masih kurang atau emang dia yang sibuk sampai nggak ada waktu untuk belanja? Tapi opsi kedua lebih meyakinkan sih.
Tepat saat kakiku melangkah mendekati pintu ruanganku. Suara serak Gisel terdengar, seperti biasa memberi sapaan dan tawaran untuk dibuatkan segelas kopi hitam.
"Selamat pagi Pak Ferdi, apa Anda mau saya buatkan kopi?"
"Tidak usah, tapi saya perlu camilan nanti. Tolong sebelum masuk jam makan siang kamu kirimkan beberapa camilan ke ruangan saya yah," jawabku tanpa melirik ke arahnya.
Ya, walaupun Gisel begitu cantik tapi hal itu tak menarik minatku sama sekali. Bagiku dia tetap sama seperti anak buahku yang lain.
"Baik, Pak."
Kudengar nada suaranya sedikit bergetar tidak seperti sapaannya tadi. Sesaat aku sempat berpikir jika sekertarisku itu kurang sehat, namun segera kutepis dengan melangkah menuju ruang kerja. Tentunya meninggalkan Gisel seorang diri di depan ruangan kembali.
***
Ini hampir jam makan siang tapi belum juga kudapati Gisel di dalam ruangan. Jujur ingin rasanya aku segera memanggil sekertarisku itu, tapi notif dari smartphone di atas meja lebih menarik minat.
Tertera nama Momi menggantung dijendela layar depan. Tumben sekali dijam-jam begini. Aku jadi mencium bau-bau tidak beres di sini.
'Dear Ferdiku yang manis. Maaf yah, hari ini Momi dan Daddy ada acara keluarga mendadak. Jadi, kamu jangan lupa buat jemput Jiya di sekolah yah, nanti sore. Oh iya, Momi lupa memberitahu, mulai hari ini sampai tiga hari kedepan pembantu cuti jadi kamu siap-siap ngurus Jiya sendiri.'
What the pack?!
Ngurus Jiya?
Momi beneran pengin Ferdi cepat mati?!
As....taghfirullah!!!
Detik itu juga, rasanya mood-ku anjlok-seanjloknya. Bahkan, pikirkanku sudah tak lagi fokus pada tumpukan berkas-berkas yang menganggur minta ditandatangani.
Ibaratnya, nama Jiya itu sakral buat kesehatan mentalku.
"Ferdi salah apa sih, Mom? Sampai dikasih ujian buat ngurus bocah tengik itu? Rasanya ngenes banget sumpah," monologku sendu.
Entah sejak kapan aku yang biasanya cuek sama semua orang mendadak jadi sad boy setelah kenal Jiya.
Mungkin emang seharusnya aku nggak nikah sama dia. Fiks, hidupku lebih ceria. Tapi ...
'Si Bocah Lucnut!'
Astaga cobaan apalagi ini?
'Halo?'
'Om Ferdi, nanti nggak usah jemput Jiya. Pokoknya N-G-G-A-K U-S-A-H!!!'
Alisku menaut mendengar ocehan bocah itu lewat telepon. Mungkin, kalau Jiya ada di depanku ekspresi wajahnya sudah berapi-api ingin makan daging manusia.
Eh, tapi kenapa kita sepemikiran? Aku juga nggak mau jemput dia tuh wkwkwk...
'Awas aja kalo nanti dateng! Jiya doain bolak-balik ke WC semalam suntuk!'
Ngeri banget nih bocah, doanya jelek-jelek mulu. Kayaknya emang Jiya punya dendam pribadi deh, sama aku.
'Sopir sama pembantu lagi pada cuti, kamu mau pulang jalan kaki?' jawabku kemudian.
Sejenak kudengar suara ditelepon lengang. Entah, Jiya yang nekat menelepon diriku saat masih jam pelajaran atau memang dia sedang berpikir di seberang sana.
'Ji...," panggilku tapi belum ada sahutan.
Sebaliknya malah sebuah suara deep ala-ala remaja baru gede yang kudengar.
'Kita jadi nongkrongkan nanti? Ditempat biasa ya, dekat jembatan rel kereta yang nggak ada palang pintunya. Btw, lo gue bonceng yah, Ji.'
'Oh iya, jangan lupa kumpulin uang sepuluh ribu per anak. Hari ini lawan kita anak SMA sebelah.'
Apa?
Apa tadi? Kupingku nggak salah dengarkan soal rencana mereka?
Ah, sial! Niat mau nongkrong di depan laptop sambil ngerjain berkas sirna. Secepat kilat diriku langsung bangkit dari singgasana kemudian berjalan tergesa meninggalkan ruang kerja.
Tak sengaja di koridor aku berpapasan dengan Gisel yang membawa beberapa toples camilan hendak ke ruanganku. Terlihat sekali raut kaget menghiasi wajahnya. Namun, aku hanya melihatnya sekilas dan tak menggubris panggilannya barusan.
Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di depan sekolah Jiya. Tepatnya, di depan sebuah bangunan bercat krem keputihan dengan tulisan SMA Garuda di gerbang depan.
Sengaja kuparkir mobilku ini lumayan jauh dari sekolah. Lantas, agar tak kelihatan pekerja kantoran. Aku mengganti setelan jasku dengan jaket hoddie berwarna hitam dan celana bahan.
Sekitar sepuluh menit lebih aku menunggu di dalam mobil, akhirnya aku mendengar bel pulang sekolah dibunyikan. Lalu tak berselang lama setelahnya, kulihat Jiya berjalan keluar.
Secepatnya aku menghampiri bocah itu. Menarik tangannya secara paksa lantas mengurung tubuhnya ke dekat dinding samping sekolah. Yakni kesebuah gang sempit yang tampaknya jarang dilalui anak-anak.
"Mmmm... lo siapa Anjink! Lo mau perkosa gue? Tol-Om Ferdi?!" teriak Jiya kaget saat mendapati wajahku di depan wajahnya.
"Kok Om bisa di sini? Bukannya Jiya udah larang Om lewat telepon tadi?" katanya lagi. Aku segera menjitak ujung jidatnya membuat bocah tengik itu mengaduh.
"Ish, sakit tahu!" ringis Jiya sambil mengusap-usap bekas sentilan tanganku dijidatnya.
"Lagian itu mulut kotor banget jadi gemes pengin bersihin. Siapa sih yang ngajarin?"
"Dih, suka-sukalah. Mulut-mulut Jiya, jadi terserah Jiya mau ngomong apa!" kata Jiya malah makin ngegas.
"Eh, nyolot! Udah berani kamu sama orang tua?"
Bukannya minta maaf, Jiya malah memelototiku tak suka.
"Lagian Om Ferdi ngeselin, Papih aja nggak pernah tuh larang-larang Jiya!"
Pletak!
"Ish, kok dijitak lagi sih Om!"
"Kamu lupa status Om sama kamu apa? Udah jadi tanggung jawab Omkan sekarang, buat ngelarang dan nasehati kamu kalo nggak bener?"
"Ya iya, tapikan ..."
"Nggak ada tapi-tapian sekarang cepet masuk mobil. Kita pulang!" ucapku final Jiya masih mau mengelak.
"Yah, Om Jiya udah ada janji buat..."
"Tawuran?" serobotku cepat, gadis itu mendelik. "Berani kamu ikut hal-hal begitu, siap-siap aja nanti malem aku serang."
Glek!
Kudengar suara saliva Jiya yang ditelan berat. Efek karena ancamanku barusan.
"Oke, Jiya ikut pulang," ucap bocah itu pasrah, aku terkikik didalam hati.
Benar yang Momi bilang lewat pesan, tak ada satupun pembantu di rumah. Bisa dibilang semua diliburkan secara serempak entah karena alasan apa.
Untung saja aku sudah tak kaget dengan hal ini. Malahan, aku merasa bebas jika rumah dalam keadaan lengang. Cuma yang jadi pikiran sekarang, aku yang biasanya haha-hihi sendiri di depan laptop harus stay cool di depan Jiya.
Bisa berabe nanti kalau dia makin menjadi-jadi ngehinanya.
"Om, Jiya laper. Masakin nasgor dong!" pinta si bocah setan yang tiba-tiba nongol dari kaca sebelah kanan.
Aku yang hendak memasukkan mobil ke dalam garasi seketika menarik rem karena ulah bocah itu. Untung saja reflekku bagus.
Dengan sinis kulirik mata Jiya setelah mengelus dada tiga kali. Tak lupa, mulutku juga merapal istighfar saat melihat kelereng cokelat itu yang kini menampilkan raut penuh harap.
Heh! Jangan kira seorang Ferdian luluh hanya karena puppy eyes itu. Jujur saja, puppy eyes Kitty, kucing kesayangan Momi jauh lebih menggemaskan tahu.
"Dih manja, masak aja sana sendiri!" balasku tak acuh.
Raut wajah Jiya tampak menggelap.
"Jiya, kan nggak bisa masak! Ngerebus air aja, pancinya gosong. Apalagi di suruh buat nasgor? Yang ada jadi kerak telor!" sentaknya emosi. Aku cuma mengela napas berat sekali.
"Denger yah, Jiya istriku yang unyu-unyu mirip koala. Kalo kamu nggak nyoba belajar sekarang, mau sampai kapan bisanya? Mau sampai kepalaku ini dipenuhi uban, huh?" balasku ikut kesal.
Si bocah tengik malah ngikik.
"Pffftt ... Ubanan! Dasar Om bangkotan!"
"Ealah malah ngikik dia! Aku serius ngomongnya Jiya."
"Au ah, Jiya pesan lewat grabfood aja. Percuma punya suami, tapi yang selalu diandalkan abang-abang gojek."
Eh! Apa iya aku harus ngojek dulu biar lebih dihargai?
"Terserah kamulah, aku males berdebat hari ini."
Setelah itu, tak kulihat lagi batang hidungnya. Jiya seolah lenyap begitu saja, meninggalkan diriku sendiri di depan teras garasi.
Sorenya, sekitar pukul 16.00 kulihat muka Jiya suram. Sambil mencoret-coret meja makan dengan sendok, bocah tengik itu menelungkupkan kepalanya membelakangi diriku yang baru saja turun dari anak tangga.
"Pantesan hawanya kelabu, ternyata ada yang lagi galau. Kenapa lagi kamu?" kataku berniat menggodanya, tapi Jiya terlihat tak peduli.
Bocah itu malah terus-menerus menghela napas jengah sembari mengusap-usap perutnya.
"Jiya laper, peka dong!" sentaknya.
Alisku terangkat sebelah. Teringat dengan ucapan Jiya tadi siang yang katanya mau pesan nasgor lewat grabfood. Terus kenapa sekarang masih ngeluh?
"Bukannya kamu tadi pesen makanan online?" tanyaku hati-hati, Jiya menatap diriku sekilas.
"Nggak jadi, mehong! Mending uangnya buat beli skincare."
Masya Allah, punya bini gini amat. Padahal dia bisa bilang mau apa. Toh, aku kerja juga buat dia.
Tunggu!
Sejak kapan aku perhatian sama bocah setan itu? Sadar Fer, sadar kalian nikahnya terpaksa tanpa didasari cinta.
"Oh gitu? Ya udah selamat makan angin," kataku sebelum pergi ke arah meja dapur.
Jiya yang melihat gerak-gerikku hendak membuat kopi seketika mendekat. Tiba-tiba bergelayut manja pada lengan sebelah kiri mirip anak simpanse.
"Om," panggilnya penuh harap.
Jangan lupakan ia juga memasang raut wajah memelas dengan puppy eyes ala-ala anak kucing terlantar.
"Apa?" sahutku cuek.
Mataku sibuk meracik kopi dan melihat ke arah ceret air. Menunggu air di dalamnya mendidih.
"Masa Om tega, lihat Jiya yang gemes ini kelaparan? Om nggak kasihan? Nanti kalo Jiya sakit dan kena maag gimana, Om mau tanggung jawab?" terangnya panjang lebar.
Kepalaku menoleh ke arahnya. Sambil tersenyum tipis aku mendorong jidat bocah setan itu untuk menjauh dari tubuhku, dengan jari telunjuk.
"Mau tanggung jawab apalagi? Kamu juga belum hamil, apa mau aku hamilin dulu. Toh kita udah nikah."
Demi Gery keongnya Spongebob, muka Jiya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
"Nggak mau! Lagian kalo mau buat anak itu harus saling cinta, Om aja sama Jiya nikah karena terpaksa."
Benar juga. Kita berdua menikah karena terpaksa dan gara-gara surat wasiat kakek buyut soal keturunan. Mungkin, kalau waktu itu aku nggak termakan omongan bagian dari skenario Momi. Aku dan Jiya masih hidup kayak biasa.
Ah, bicara soal itu aku jadi teringat kembali beberapa hari sebelum pernikahan. Tepatnya saat pesawatku hampir lepas landas ke Jepang, aku segera mengcancel penerbangan karena pesan WhatsApp dari Momi.
'Kakek meninggal, kamu nggak pulang?'
Saat membaca pesan yang menggantung dijendela layar depan, jantungku langsung terpacu. Rasanya begitu menyesakkan saat tahu jika kakek tercinta meninggal tanpa aku di sisinya.
Ya, itu karena kakek salah satu orang yang paling kusayang. Jadi saat aku mendengar kabar buruk tentang dirinya, akupun tanpa sadar kehilangan pondasi kehidupan.
Sialnya, saat aku sampai di ambang pintu rumah, bukan jenazah kakek yang kudapati saat itu. Melainkan beberapa keluarga, bapak penghulu serta seorang gadis berkebaya putih yang tengah menangis tersedu-sedu.
Aku sempat mematung di tempatku berdiri beberapa saat. Menjatuhkan tas kerja dan sama sekali tak menggubris pandangan orang-orang terhadap penampilanku yang acak-acakan.
"Kakek!"
Hanya orang itu yang aku cari, sampai ketika mataku melihat sosoknya duduk dikursi roda dekat tangga. Aku langsung berlari menghampirinya. Duduk bersimpuh di depan tubuh kakek, seraya memeluknya begitu erat.
"Maafin Ferdi yah, yang baru bisa pulang. Ferdi janji bakal lebih sering jenguk kakek. Tapi Kek, kenapa dirumah ada Pak Penghulu? Emangnya siapa yang mau nikah?"
"Kamu," balas Kakek santai. Aku terperanjat kaget waktu itu.
"Ah, Kakek kalo bercanda suka kebangetan. Ferdi kan belum ada calon mana bisa naik ke pelaminan," elakku sopan.
Kudengar Kakek tertawa. Renyah sekali seperti tanpa dosa.
"Itu yang pakai baju kebaya putih kan calonmu, ingatkan sama cucunya Mbah Maja. Dia buyutnya, Jiya."
Bak tersambar petir saat panas terik, aku dibuat melongo detik itu juga. Ya kali, dijodohin? Sudah begitu, siapa yang nggak bakal sadar kalau calonku sekelas ABG. Mau ditaro mana mukaku ini yang lebih cocok jadi Omnya?
"Kakek nggak bercanda, kan? Dia ..." tunjukku pada gadis yang kini menatapku penuh derai air mata dan raut wajah penuh kebencian."Bukannya lebih cocok jadi ponakannya, Ferdi?"
"Son, kamu lupa keluarga kita punya perjanjian tertulis dengan keluarga Admaja? Perihal perjodohan anak masing-masing?"
Kini Ayah ikut ambil suara. Hal itu membuatku makin tak karuan saja.
Dijodohkan?
Emangnya ini masih zaman Siti Nurbaya? Come on, Ferdi sudah dewasa dan bisa memilih siapa yang mau dinikahi. Terlebih lagi, apa mereka nggak malu merusak masa depan Jiya yang notabene masih remaja?
Jujur ingin sekali aku menolaknya, namun melihat ekspresi wajah Kakek yang begitu sumringah membuatku tak enak hati. Dengan terpaksa, kududukan diriku di samping gadis bernama Jiya itu.
Namun siapa sangka, gadis remaja yang kupikir hanya bisa menangis tersedu-sedu itu, kini menatap diriku nyalang sembari membisikan ancaman. "Awas aja kalo Om berani nyentuh Jiya nanti, masa depan Om bakal Jiya pangkas sampai Om mati kehabisan darah."
Glek!
Berani banget dia? Belum tahu aja, seorang Ferdian itu siapa?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!